Umat hindu Indonesia tidak lepas dari pemakaian simbol sebagai bagaian dari kehidupan beragama dan bermasyarakat. Lalu bagaimanakah hubungan simbol dengan masyarakat Hindu? berikut akan diulas konsep simbol (arca) menurut Veda dan Susastra Veda.
1. Sebuah Ikon Suci
Istilah ikon berasal dari bahasa Yunani yang berarti gambaran atau representasi dari gambaran religius. Segala sesuatu yang berhubungan dengan ikon Hindu memiliki sebuah makna simbolik, sikap tangan, sikap kaki, ornamen, berbagai bentuk tangan, senjata, vahana, sakti dan parivara devata. Makna-makna simbolik tentang beragam ritual (yajna) dan benda-benda yajna pertama kali dijelaskan dalam kitab Brahmana dan Aranyaka, dan kemudian tentang simbol ikon dijelaskan dalam berbagai Purana seperti Bhagavata Purana, Vishnu Purana, Siva Purana, Upanisad seperti Gopala-uttara-tapini Upanisad, Krsa Upanisad dan kitab Agama Sastra.
|
Foto: Istimewa |
Salah satu yang dominan dalam pemujaan Hindu di dunia adalah penggunaan ikon suci. Ikon suci dapat terbuat dari kayu, batu, tembaga, atau cat. Istilah umum yang digunakan oleh Non-Hindu dan sering disalah tafsirkan oleh umat Hindu sendiri ketika mengacu pada ikon suci ini adalah patung pujaan atau berhala (Idol). Dalam agama Hindu ikon didefinisikan sebagai simbol suci yang mewujudkan kebenaran spiritual yang dipuja, dihormati dan direnungkan. Semua ikon suci Hindu merupakan representasi dari yang transenden yang menyangga, menjaga dan mengarahkan kosmos. Setiap seni dan simbologi dari ikon memiliki fitur yang telah dikembangkan melalui tingkatan-tingkatan pemikiran yang rumit dan semua aj aran-aj aran mistik para orang suci ditunjukkan kepada pencari kebenaran melalui ikon dan simbol. Kosmologi Hindu mengartikan simbol sebagai ekspresi dari realitas. Ekspresi itu memiliki dua ranah-yang transenden (niskala) dan yang material (sekala). Agama Sastra menegaskan 2 prinsip utama yaitu:
- Secara material (sekala) adalah sebuah refleksi dari yang transenden (niskala).
- Inti dari yang material adalah diluar kematerialan itu sendiri (yatha brahmanda tatha pindanda).
Sebuah simbolisasi muncul dari sifatnya sendiri bukan dari hasil spekulasi (angan-angan) dan melaluinya kontemplasi terhadap simbol mencapai pada konsep inti terdalam yang sangat halus dibalik dari simbol. Bagaimanapun jauh dari pemikiran Hindu saat ini semua menemukan kejelasan atas penggunaan simbol yang merupakan perwujudan yang abstrak. Semua ikonologi India dibangun dengan aturan simbol yang berdasarkan anggapan terhadap Yang Ada sebagai pertalian antara ide (nama) dan wujud (rupa). Sebuah simbol tidak berbicara pada pemikiran rasional dan tidak dapat dimengerti oleh akal, hal itu sebagai suatu subyek perenungan, pemujaan, hubungan, pengalaman mistik dan kesadaran spiritual. Jadi simbol adalah bahasa esoterik dari pemikiran yang tak tersadarkan.
Taittriya Upanisad menyatakan-brahmavid apnoti param-mereka yang merenungkan Brahman akan mencapai-Nya. Upanisad menjelaskan ada banyak teknik untuk mengembangkan realisasi diri yang banyak disebut adalah upasana. Upasana (upa+asana) secara literal bermakna duduk dekat dan mengacu pada aktivitas meditasi. Istilah ini dapat dihubungkan dengan pemujaan, kontemplasi dan pengabdian suci. Ikon awalnya digunakan untuk melaksanakan upasana. Bukan mewujud pada sebuah representasi dari Tuhan tetapi sebuah konsentrasi atau tempat dari kehadiran Tuhan. Maksudnya adalah Tuhan hadir dalam ikon tersebut.
Apa alasan pernyataan tersebut? pertama yang diyakini oleh semua umat manusia, Tuhan ada dimana-mana (Omnipresence), Maha mengetahui (Omniscience) dan memiliki potensi (Omnipotent). Semua ciptaan diresapi oleh Tuhan, tidak satupun tempat yang tidak diresapi oleh Tuhan. Jadi secara logika Tuhan juga berada di dalam ikon. Saat upacara penyucian (konsekrasi) diselenggarakan sesuai dengan sastra 'Veda-Tuhan dimohon untuk hadir dalam ikon tersebut melalui cinta kasih dengan demikian manusia memuja dan mengekspresikan cintanya pada Tuhan.
Kedua, Tuhan adalah saksi tertinggi yang mengetahui pemikiran dan perasaan manusa dan sastra Veda mengatakan Tuhan akan merespon pemujaan umat-Nya. Jadi Tuhan dengan kekuatan kecil-Nya dari kekuatan tak terbatas-Nya hadir di dalam ikon yang sudah dikonsekrasi. Makanya Tuhan disebut sebagai Yang Maha Kuasa. Dengan demikian ikon tidak lagi disebut sebagai simbol tetapi murti yang berarti yang merupakan perwujudan Ilahi (ketuhanan).
2. Pernyataan Veda dan Sastra Veda tentang Arca
Arca pemujaan tidak dibuat sembarangan tetapi harus berdasarkan apa yang dijelaskan Veda dan Susastra Veda. Kemudian disakralisasi di sebuah pura atau kuil dengan upacara prana pratistha sehingga Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa yang dimohon hadir, hadir pada area. Maka itu arca disebut sebagai arca vigraha atau perwujudan Tuhan yang dipuja sebagai objek meditasi. Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa ini dalam Veda disebut sebagai Dewa atau Kepribadian agung lainnya seperti Rama, Krishna, Visnu, Siva, Durga dan sebagainya.
Beberapa orang berpikir bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tetapi banyak bait-bait Veda seperti Purana dan Susastra Agamika, terutama Brahma Samhita menguraikan Tuhan memiliki wujud. Dalam teks ini menggambarkan ciri-ciri dan atribut yang beragam yang di dalamnya termasuk perwujudan ilahi, karakteristik, rupa yang rupawan, kekuatan, aktivitas ilahi dan sebagainya. Meskipun ini dianggap sebagai perwujudan yang diakui dalam Veda bahwa semua gambaran tersebut dijelaskan untuk menjelaskan Tuhan yang Berpribadi yang biasa disebut sebagai lsvara.
Penjelasan atau uraian mengenai area yang dipuja tidak secara terperinci dijelaskan oleh kitab Sruti sebagaimana tersurat dalam Rg Veda (IV. 32. 23) yakni:
“Kaninakeva vidradhe nave drupade arbhake, babhru yamesu sobhete”.
Terjemahan:
“Seperti dua buah boneka pada panggung kecil yang ditata, kemampuan kembarmu mental dan vital tampak cemerlang pada upacara korban kosmis”.
Apa yang dijelaskan oleh mantra Rg Veda di atas menunjuk pada keberadaan suatu objek pemujaan bempa benda-benda yang bisa dikatakan sebagai murti atau bentuk dari dewa tertentu sesuai dengan dewa yang diundang untuk menerima korban suci. Dua boneka yang dijelaskan adalah menunjukkan perwujudan dewata mental dan vital yang merujuk pada dewa Aswin. Sementara mantra Rg Veda (X.155.3) menjelaskan bahwa:
“Ado yaddaru plavate sindhoh pare apurusam, tada rabhasva durhano tena gaccha parastaram”.
Terjemahan:
“Batang kayu yang mengapung berada di seberang lautan, terpisah jauh dari manusia, ambillah itu wahai dewi dan bersama itu pergilah ke tempat yang jauh”.
Sayana Acharya lebih jauh mengembangkan mantra ini menjadi mayat berkayu Dewa itu disebut sebagai Purushottama (Sayana, 2005: 1068).
Penjabaran Sruti akan Purusottama secara terperinci di jelaskan dalam Purusa Sukta yang menunjukkan Oknum awal sebagai sumber dari penciptaan yang dipuja dengan berbagai kegiatan yajna yang disebut yajna Purusa-persembahan atau kurban suci yang ditujukkan kepada Purusa. Purusottama dalam Brahma Purana (Bibek, 2000:3l-36) dan Skanda Purana (Bibek, 2002:61-62) diceritakan sebagai tiga batang kayu ilahi yang mengapung di lautan yang terjadi di Orissa dengan sebutan Purusottama Ksetra Dhama-tempat tinggal Tuhan. Ini menunjukkan daerah yang kini disebut sebagai Jagannatha Puri, Orissa.
Sruti Veda sendiri, terutama Rg Veda tidak menitikberatkan pemujaan dengan menggunakan arca atau darubrahman karena Sruti lebih menitikberatkan pada proses menggunakan agni dalam homa yajna sebagai murti Tuhan yang akan mengirimkan semua kurban yajna kepada para dewa.
Praktik-praktik rohani dalam konteks pemujaan Tuhan dengan menggunakan simbol-simbol diberikan ruang oleh Vedanta Sutra (Phala Adyaya lV.l.4) diuraikan bahwa:
“Na pratike, na hi sah”.
Terjemahan:
“(Pelaksana meditasi) tidak (untuk melihat sang diri) pada lambang, sebab dia bukan (itu)”.
“Pikiran adalah Brahman” (Chandogya Upanisad 3.18.l). Dalam meditasi semacam itu, pikiran digunakan sebagai lambang brahman, apakah pelaksana meditasi menyamakan dirinya dengan pikiran seperti dalam kasus meditasi “Aku adalah Brahman?” pada tempat pertama, bila lambang yaitu pikiran dikenali sebagai sama dengan Brahman maka ia akan berhenti menjadi lambang, bahkan ketika kita merealisasikan perhiasan sebagai emas, kita melupakan sifat individualnya sebagai perhiasan. Disamping itu bila pelaksana meditasi sadar akan kesamaannya dengan Brahman, maka dia berhenti sebagai roh individual sebagai pelaksana meditasi. Kegiatan meditasi hanya dapat terjadi dimana perbedaan itu ada dan persatuan belum terealisasikan dan dimana ada pengetahuan mengenai kejamakan, pelaksana meditasi tentu akan berbeda dengan lambang. Karenanya ia tidak melihat dirinya dalam lambang (Viresvarananda, 2004:2456).
|
Foto: Mutiarahindu.com |
Perhatian meditasi pada simbol-simbol suci sehingga akan menimbulkan pertanyaan apakah lambang ini dianggap sebagai Brahman atau Brahman sebagai lambang?. Sutra ini mengatakan bahwa lambang atau simbol, pikiran dan matahari dianggap sebagai Brahman bukan sebaliknya. Sebab hanya dengan memandang pada yang bersifat bawah sebagai yang lebih tinggi (Visvesvarananda, 2004:457). Lebih jauh Vedanta Sutra (IV.1.6) menyatakan:
“adityadimatascange upayattehh”
Terjemahan:
“Gagasan tentang matahari dan lain-lain, (harus ditumpangkan) pada anggota lebih rendah (dari kegiatan kurban), sebab (hanya dengan cara itu saja pernyataan kitab suci) akan menjadi konsisten)”.
Dari Sutra di atas dapat memperoleh pengetahuan Brahman bukan sebaliknya. Proses mendapatkan dan merealisasikan pengetahuan Brahman dapat ditemui seperti apa yang dijelaskan oleh Sanatkumara kepada Narada (Chandogya Upanisad VII bagian 1) dan percakapan Uddalaka Aruni dengan Yajnavalkya (Brhadaranyaka Upanisad Ill Brahmana 7).
Meski lambang atau simbol dianjurkan tetapi bukan berarti bahwa penyamaan simbol tersebut dengan Brahman adalah sama, yang membedakan adalah esensn dasar dari kebendaan tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Kena Upanisad (1.6):
“Yan manasa na manute yenahur mano matam tad eva brahma tvam viddhi nedam yad idam upasate “.
Terjemahan:
“Hal itu yang tidak dipikirkan oleh pikiran tetapi dengan apa mereka katakan pikiran itu dipikirkan ketahuilah sesungguhnya adalah Brahman dan bukan apa yang dipuja oleh orang”.
Ada yang kekal dibalik benda-benda yang tidak kekal, dimana Brahman tidak hanya dipandang sebagai obyek pemujaan tetapi sebagai subyek, hidupnya hidup. Hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah bersifat ke dalam yang memperlihatkan dirinya pada kedalaman kehidupan rohani. Bagaimanapun tingginya angan-angan kita selama angan-angan itu bersifat objektif, dia adalah tetap sebagai bentuk pemujaan. Ketika kita terikat pada dunia obyektif kita melihat Tuhan sebagai kekuatan luar yang sangat besar, kekuatan maha dasyat yang wajib didamaikan. Tuhan adalah yang hidup dan hanya bisa dilihat dalam kehidupan rohani (Radhakrishnan, 2008:451).
Orang-orang harus memusatkan pikirannya kepada Personalitas Tuhan hingga terbiasa berpikir tentang salah satu wujud Tuhan yang tak terhitung jumlahnya hingga secara bertahap akan mencapai kesempurnaan yoga. Hal ini dibenarkan dalam Brahma Samhita-orang yang telah mengembangkan cinta kasih kepada Tuhan dan matanya terolesi dengan salep cinta kasih rohani selalu melihat Tuhan Yang Maha Esa di hatinya. Tuhan sebagai obyek meditasi dalam pikirannya untuk melenyapkan semua ikatan pikiran pada kenikmatan material, maka itu Yoga Sutra Patanjali (1.32) menganjurkan:
“Tat pratisedhartam eka tattva abhyasa”.
Terjemahan:
“Hancurkanlah ini, bermeditasilah pada satu obyek”.
Meditasi pada satu obyek adalah suatu cara untuk menghilangkan kegoncangan mental.
Metode kedua untuk menenangkan hati adalah memperbaiki mental sampai pikirannya terpusatkan pada wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kekhusukan seseorang untuk merenungkan Tuhan diimplementasikan tidak hanya dengan meditasi belaka tetapi harus adanya pengembangan bhakti seseorang, hal ini dibenarkan dalam Bhagavata Purana (3.28. 19):
“stitham vrajantam asinam sayanam va guhasayam preksaniyehitam dhyayec chuddha bhavena cetasa”.
Terjemahan:
“Dengan selalu khusuk dalam bhakti, sang yogi membayangkan Tuhan berdiri, bergerak, berbaring atau duduk di dalam dirinya, sebab kegiatan-kegiatan Tuhan selalu menawan dan memukau”.
Proses memusatkan pikiran kepada wujud Tuhan di dalam diri seseorang dan proses mengucapkan keagungan dan kegiatan Tuhan adalah hal yang sama. Satu-satunya perbedaan ialah bahwa mendengar dan memusatkan pikiran pada kegiatan-kegiatan Tuhan lebih mudah daripada membayangkan wujud Tuhan di hati sebab begitu seseorang mulai berpikir tentang Tuhan, terutama pada jaman saat ini, pikiran goyah. Disebabkan begitu banyaknya godaan, proses melihat Tuhan di dalam pikiran menjadi terganggu. Akan tetapi, Tuhan berkarunia pada semua makhluk, Beliau dipuja di kuil dalam bentuk pemujaan arca. Penggunaan arca dalam Bhagavata Purana dibenarkan dijelaskan dalam Bhagavata Purana (4.8.5 6):
“labdhva dravyamayim arcam ksity ambv adisu varcayet abhrtatma munih santo yata van mita vanya bhuk”.
Terjemahan:
“Adalah mungkin untuk memuja wujud Tuhan yang terbuat dari unsur-unsur fisik seperti tanah, air, kayu dan logam. Di hutan seseorang dapat membuat sebuah wujud dengan tidak lebih daripada tanah dan air dan memuja Dia sesuai prinsip-prinsip yang telah ditentukan. Seorang penyembah yang mampu mengendalikan diri sepenuhnya hendaknya sangat tenang dan damai dan harus puas hanya dengan memakan buah dan sayuran apapun yang tersedia di hutan”.
Penggunaan benda-benda material yang berasal dari alam semesta diperbolehkan guna membuat rupa atau gambaran Tuhan yang akan dipuja sesuai petunjuk sastra untuk mengendalikan sepenuhnya pikiran yang liar agar mencapai kedamaian. Penggambaran wujud Visnu pada arca menurut Bhagavata Purana (4.12.17) dinyatakan bahwa bhagavat pratirupa etad dhyayams tad avyavahito vyasrjat smadhau-arca vigraha adalah replika persis Tuhan dengan bermeditasi seperti kepada-Nya, ia masuk ke dalam keadaan khusuk meditasi yang sempura.
Arca Visnu yang dipuja di kuil atau pura memiliki bentuk keserupaan dengan perwujudan Tuhan di dunia rohani sebagaimana yang telah dijelaskan dalam slokasloka Bhagavata Purana. Arca vigraha merepresentasi wujud Tuhan agar memudahkan penyembah mendekati Beliau dan memusatkan pikiran pada Tuhan. Bahan-bahan untuk pembuatan arca tentunya harus beradasarkan otoritas Veda dan susastra Veda seperti apa yang dijelaskan dalam kitab Shilpa Sastra,juga dapat ditemukkan dalam Bhagavata Purana (11.27.12) menyatakan:
“saili daru mayi lepya lekhya ca saikati mano mayi masi mayi pratimasta vidha smrta”.
Terjemahan:
“Wujud arca vigraha dari Tuhan dapat dibentuk dengan mengunakan delapan macam bahan yaitu batu, kayu, logam, tanah, cat, pasir, dalam pikiran dan permata”.
Bahan-bahan di atas dianjurkan untuk membuat arca vigraha Tuhan sesuai aspek Pribadi Tuhan yang ingin dibuat. Semua unsur-unsur tersebut terdapat di alam semesta. Bahan-bahan yang diambil dari alam semesta juga adalah perwujudan dari Tuhan sebagai Vira! Purusa. Bhagavata Purana (11.2.41) menjelaskan:
“kham vayum agnim salilam mahin ca jyotimsi sattvani diso drumadin sarit samudrams ca hareh sariram yat kim ca bhutam pranamed ananyah”.
Terjemahan:
“Seorang penyembah harus tidak melihat segala sesuatu terpisah dari Tuhan Yang Maha Esa. Baik ether, api, udara, air, tanah, matahari dan semua yang bersinar, semua kehidupan, arah mata angin, pepohonan, sungai-sungai dan samudra. Pengalaman apapun itu dia harus menganggap semua adalah expansi dari Tuhan. sehingga melihat segala sesuatu yang ada dalam penciptaan sebagai badan Tuhan Yang Maha Esa, Sri Hari, penyembah harus menghormati segala yang menjadi ekspansi dari Tubuh-Nya”.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak terpisah dari Tuhan karena ciptaan ini merupakan perwujudan dari tubuh Tuhan yang disebut sebagai Vira! Purusa. Virat Purusa ini terjadi karena adanya penggabungan antara potensi Tuhan Yang Maha Esa yang dinamakan purusa dan prakrti. Dalam Bhagavata Purana (3.6.4) hal ini ditegaskan:
“Prabuddha karma daivena trayovimsatiko ganah prerito 'janayat svabhir matrabhir adhipurusam”.
Terjemahan:
“Ketika duapuluh tiga unsur utama itu digerakkan atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, bentuk semesta yang maha besar atau badan Visvarupa Tuhan menjadi terwujud”.
Virat Svarupa atau Visvarupa adalah bentuk semesta Tuhan Yang Maha Besar, yang mendapat perhatian khusus oleh para impersonalis, bukanlah badan Tuhan yang kekal. Bentuk ini diwujudkan atas kehendak Tuhan setelah adanya unsur-unsur ciptaan material. Sri Krsna memperlihatkan wujud Vira: atau Visvarupa ini kepada Arjuna hanya untuk meyakinkan impersonalis bahwa Tuhan adalah Berpribadi.
Krsna memperlihatkan Viratrupa bukanlah bahwa Krsna yang diperlihatkan oleh Viratrupa karena Viratrupa bukanlah sebuah bentuk kekal Tuhan yang diperlihatkan di tempat kediaman Tuhan di dunia rohani. Itu hanyalah manifestasi material Tuhan. Arca vigraha atau area yang dipuja di kuil adalah perwujudan Tuhan dengan cara yang sama bagi para pemula. Namun meskipun mengalami persentuhan material, bentuk-bentuk Tuhan sebagai Virat dan area tidak berbeda dengan wujud kekal Tuhan yang berada di dunia rohani Vaikuntha. Demikian pula Tuhan merasa sangat disenangkan apabila sebagian badan Virat-Nya dipuja. Arca adalah bagian dari badan Tuhan karena seluruh alam semesta adalah badan-Nya (Sivananda, 2003: 123).
Pemujaan hanyalah sebuah instrumen untuk kembali mengembangkan hubungan dengan Tuhan dalam kesatuan. Pemujaan arca hanya merupakan awal dari agama dan tentu bukan akhir dari agama. Kitab suci Hindu yang sama yang menguraikan pemujaan arca bagi pemula, menyatakan tentang meditasi pada Yang tak Terbatas atau Yang Mutlak serta perenungan akan maksud mahavakya tersebut guna keuntungan sadhaka (Sivananda, 2003:131). Dalam Bhagavata Purana (11.2.46) menjelaskan mengenai tipe madhyama adhikari :
“Isvare tad adhinesu balisesu dvisatsu ca prema maitri krpopeksa yah karoti sa madhyamah”.
Terjemahan:
“Dia yang mencintai Tuhan, yang menjadi teman bagi semua makhluk, yang memberikan karunia kepada orang bodoh yang tidak berdaya dan kepada mereka yang iri hati kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan Bhagavad Gita (15.7) mamaivamso jiva loke jiva bhutah keberadaan-Ku yang ada di dunia ini hanya sebagian dari fragmen-Ku saja. Dikarenakan maya, sang jiva terkondisikan sehingga melupakan hubungan yang kekal dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka yang telah menginsafi Tuhan Yang Maha Esa menjadi teman semua makhluk dan membantu mereka yang berdosa untuk diangkat ke dalam kedudukan sebenarnya yaitu sang diri sejati. Sedangkan Bhagavata Purana (11.2.47) menjelaskan tentang kanistha adhikari adalah sebagai berikut:
“Arcayam eva haraye pujam yah sraddhayehate na tad bhaktesu canyesu sa bhaktah prakrtah smrtah”.
Terjemahan:
“Seorang penyembah yang memiliki keyakinan yang mantap dalam pemujaan arca di kuil tetapi tidak bersikap semestinya kepada semua orang disebut prakrta bhakta, seorang yang materialistic”.
Kanistha adhikari pada sloka ini disebut prakta bhakta yang berarti penyembah yang meterialistik adalah dia yang masih sibuk dalam kegiatan materialistik, memikirkan hal-hal yang bersifat fisik dan kenikmatan jasmani belum insaf sepenuhnya mengenai keberadaan Tuhan dan memuja arca demi keuntungan pribadi tanpa memandang keberadaan orang lain. Dalam Bhagavata Purana (3.29.21) dijelaskan:
“aham sarvesu bhutesu bhutatmavasthitah sada tam avajnaya mam martyah kurute ‘rca vidambanam”.
Terjemahan:
“Aku hadir di dalam setiap makhluk hidup sebagai Roh Yang Utama (Paramatma). Apabila seseorang mengabaikan bahwa Roh Yang Utama ada dimana-mana dan ia menyibukkan diri dalam pemujaan arca di kuil, maka itu hanyalah sebuah kepalsuan”.
|
Foto: Istimewa |
Jelas apa yang dijelaskan dalam sloka tersebut bahwa seseorang hanya menyibukkan pemujaan area di kuil dan tidak peduli terhadap semua makhluk maka ia termasuk ke dalam penyembah pada tingkat kanistha adhikari. Orang yang memuja area di kuil dan tidak memberikan sikap hormat kepada siapapun sesungguhnya mereka melakukan kepalsuan. Lebih lanjut Bhagavata Purana 3.29.22) menerangkan:
“yo mam sarvesu bhutesu santam atmanam isvaram hitvarcam bhajate maudhyad bhasmanya eva juhoti sah”.
Terjemahan:
“Orang yang memuja arca Tuhan di kuil tapi tidak mengetahui bahwa Tuhan sebagai Paramatma berada di hati setiap makhluk berada dalam kebodohan dan ia diibaratkan orang yang menghaturkan persembahan ke dalam abu”.
Sloka ini memberikan kritik terhadap mereka yang hanya sibuk dalam pelayanan kepada arca tanpa menyadari keberadaan Tuhan yang bersemayam di relung hati makhluk hidup adalah seorang yang bodoh yang hanya melihat keberadaan Tuhan ada pada area. Semua tipe-tipe yang dijelaskan di atas dibedakan dari tingkat kesadarannya terhadap keberadaan Tuhan dan sadhana bhakti yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemujaan area di kuil dengan keyakinan dan sesuai dengan apa yang dijelaskan Veda dan Susastra Veda lainnya dapat mengantarkan manusia ke dalam kesempurnaan hidup, hal ini dijelaskan dalam Bhagavata Purana (11.27.49):
“evam krya yogam pathaih puman vaidik tantrikaih arcann unghayatah siddhim matto vindaty abhipsitam”.
Terjemahan:
“Dengan memuj a-Ku melalui berbagai metode yang diuraikan di dalam Veda dan Tantra, orang akan mendapatkan dariku kesempurnaan, keinginannya di dunia ini dan di dunia sana”.
Sloka di atas menekankan pentingnya keyakinan dalam proses pemujaan arca. Dengan keyakinan teguh bahwa Visnu hadir dalam bentuk arca-Nya dan dengan mengikuti metode tersebut yang dijelaskan baik mengikuti prinsip Veda atau Tantra, seseorang mencapai kesempurnaan.
Dalam Caitanya Caritamrta (Madhya 22. 130) dinyatakan: sraddha vicesatah pritih sri mrter aggrhri sevane-seseorang harus memiliki keyakinan yang mantap dan cinta kasih untuk memuja arca. Dari keyakinan tersebut seorang Hindu tidak boleh memandang arca di kuil sebagai sebuah batu atau kayu karena perwujudan arca di kuil adalah sesungguhnya perwujudan dari gambaran Visnu yang hadir secara nyata melalui arca. Hal ini secara tegas di dalam Padma Purana dijelaskan bahwa:
“arcye visnau Sila dhir gurusu nara matir jati buddhir visnor va Vaisnavanam kali mala mathane pada tirte ‘mbu buddhi sri visnor namni mantre sakala kalusa he sabda samnya buddhir visnau sarvesvarese tad itara sama dhir yasya va naraki sah”.
Terjemahan:
“Orang yang menganggap arca di kuil terbuat dari kayu atau batu, yang menganggap guru spiritual dalam garis perguruan sebagai manusia biasa, yang menganggap Vaisnava dalam Acyuta gotta termasuk kasta atau keyakinan tertentu atau yang menganggap caranamrta atau air gangga sebagai air biasa dianggap sebagai penghuni neraka”.
Berkomunikasi dengan Tuhan Tanpa sebuah wujud bagaimana Tuhan dimeditasikan? Jika Dia adalah tanpa wujud, dimana pikiran ini dapat merenungkan? ketika tidak ada bagi pikiran untuk mengikatkan dirinya sendiri untuk itu akan pergi dari meditasi, atau akan masuk ke dalam keadaan tidur. oleh karena itu orang bijaksana akan merenungkan beberapa bentuk, mengingat bagaimanapun bahwa itu adalah metode tidak langsung, sebuah indikasi yang yang benar-benar tak berbentuk (Visnu Samhita 29:55-57)
Dari terjemahan sloka di atas maka secara ontologi, arca adalah sebuah media untuk memfokuskan pikiran yang pada dasarnya seperti kera liar untuk menuju posisi meditatif. Suatu meditasi, sikap tangan, sikap tubuh, doa-doa yang diuncarkan oleh penyembah Tuhan serta sarana-sarana yang dipersembahkan pada Tuhan adalah sebuah komunikasi verbal dan non verbal yang dilandasi oleh pemahaman ketuhanan yang tercampur dengan cinta kasih terhadap Tuhan setelah terpisah jauh dari Pujaannya sehingga sang bhakta merasakan ekstasi dari hubungan tersebut. Demikian keterbalasan apa yang kita ekspresikan pastinya akan dibalas oleh Tuhan Pujaan penyembah.
Ketuhanan dalam agama Hindu menyatakan bahwa Yang Tertinggi adalah Tuhan Yang Personal tetapi pada saat yang sama menyatakan bahwa wujud-Nya tak mampu diketahui (anirdesya), tak mampu dipahami (acintya) dan Melampaui ruang dan waktu (ananta). Begitu juga dalam Parama Samhita 3.7 dinyatakan bahwa: Nirakare tu devese a arcanam sambhave nrnam, na ca dhyanam na ca stotram tasmat . sakaram arcayet-adalah hal yang mustahil umat manusia dapat memuja, bermeditasi dan menyembah Tuhan tanpa wujud. Karenanya Tuhan harus dipuja menggunakan arca. Sriprasna Samhita 18.1 menegaskan bahwa Tuhan turun dan masuk kedalam ikon suci karena kehendak-Nya dengan tujuan memberikan karunia dan berkah kepada penyembah-Nya. itulah Tuhan yang sedang berkomunikasi dengan bhaktaNya. Dari komunikasi inilah menghadirkan pertemuan antara dua dunia yakni dunia sekala dan niskala.
Penutup
Pada Satya Yuga sebuah upasana yang dianjurkan adalah dengan cara meditasi dimana Dharma berdiri tegak 100° 0 tanpa adanya adharma, pada Treta Yuga Dharma kehilangan salah satu kakinya sehingga upasana yang dianjurkan adalah mempelajari kitab suci Veda dan merenungkannya, pada Dwapara Yuga umat manusia dianjurkan melakukan persembahan suci atau yajna kepada Tuhan Yang Maha Esa dikarenakan manusia semakin sibuk dengan hal-hal yang bersifat material juga dalam jaman ini Dharma kehilangan kakinya sehingga hanya memiliki dua kaki kebenaran, di Kali Yuga umat manusia dianjurkan untuk membangun tempat suci dan menempatkan arca suci Tuhan di dalam Pura atau Kuil sambil mengucapkan nama suci Tuhan (namasmaranam atau berjapa). Semua aktivitas itu bertujuan untuk menyucikan pikiran, membangun dan mengembangkan hubungan kekal makhluk hidup dengan Tuhan serta merealisasikan diri sejati (atman).
Daftar Pustaka
https://www.mutiarahindu.com/2018/05/konsep-arca-menurut-veda-dan-susastra.html
Acharya, Sayana. 2005. Veda Sruti Rg Veda Samhita (Sakala Sakha), ter. Dewanto. Surabaya: Paramita.
Atep, Adya Bharata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Alex Media Komputindo.
Bibek, Dipavali. 2000. Brahma Purana. Surabaya: Paramita.
Bibek, Dipavali. 2002. Skanda Purana. Surabaya: Paramita.
Dillistone. F. W. 2002. The Power Of Symbols, terj. Yogyakarta: Kanisius.
Madrasuta, Ngakan. Pedanda, Kiai dan Pastor: Topik Sehari-hari Tentang Hindu. Denpasar: PT Pustaka Manikgeni.
Maulana, Ratnaesih. 1997. Ikonografi Hindu. Jakarta: Fakultas Sastra UI.
Pandit, Bansi. 2003. Pemikiran Hindu, terj. Dewi Paramita. Surabaya: Paramita.
Prabhupada, Swami. 2007. Srimad Bhagavatam Skanda Tiga Jilid 2, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti.
Prabhupada, Swami. 2010. Srimad Bhagavatam Skanda Empat Jilid 4, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti.
Prabhupada, Swami. 2008. Srimad Bhagavatam Skanda' Tiga Jilid 4, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti.
Prabhupada, Swami. 2006. Srimad Bhagavatam Skanda Satu Jilid ] , terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti.
Prabhupada, Swami. 1995. Srimad Bhagavatam Eleven Canto Part One. Mumbai: The Bhaktivedanta Book Trust.
Prabhupada, Swami. 1995. Srimad Bhagavatam Eleven Canto Part Two. Mumbai: The Bhaktivedanta Book Trust.
Radhakrishnan. 2008. The Principal Upanisads, terj. Agus S. Mantik. Surabaya: Paramita.
Singh. T.D. 2004. Realitas Keberadaan Tuhan. Denpasar: Yayasan Institute Bhaktivedanta Indonesia.
Sivananda, Swami. 2003. All About Hinduism, terj. Yayasan Sanatana Dharmasrama. Surabaya: Paramita.
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda.
Suryanto. 2006. Hindu Dibalik Tuduhan & Prasangka. Narayana Smrti Press.
Tim Penyusun. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Titib, Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Tyagisananda, Swami. 1996. Narada Bhakti Sutra, terj. Maswinara. Surabaya: Paramita.
Viresvarananda, Swami. 2004. Brahma Sutra, terj. Agus Sumantik. Surabaya: ' Paramita.
Wiana, Ketut. 2004. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta: Manikgeni.
Yudha, Triguna 2000. Teori Simbol. Denpasar: Widya Dharma.
Jurnal Pasupati Vol. 3. no. 2. Juli-Desember 2014.