Sabtu, 20 Januari 2024

Konsep Arca Menurut Veda dan Susastra Veda

 Umat hindu Indonesia tidak lepas dari pemakaian simbol sebagai bagaian dari kehidupan beragama dan bermasyarakat. Lalu bagaimanakah hubungan simbol dengan masyarakat Hindu? berikut akan diulas konsep simbol (arca) menurut Veda dan Susastra Veda.


1. Sebuah Ikon Suci 

Istilah ikon berasal dari bahasa Yunani yang berarti gambaran atau representasi dari gambaran religius. Segala sesuatu yang berhubungan dengan ikon Hindu memiliki sebuah makna simbolik, sikap tangan, sikap kaki, ornamen, berbagai bentuk tangan, senjata, vahana, sakti dan parivara devata. Makna-makna simbolik tentang beragam ritual (yajna) dan benda-benda yajna pertama kali dijelaskan dalam kitab Brahmana dan Aranyaka, dan kemudian tentang simbol ikon dijelaskan dalam berbagai Purana seperti Bhagavata Purana, Vishnu Purana, Siva Purana, Upanisad seperti Gopala-uttara-tapini Upanisad, Krsa Upanisad dan kitab Agama Sastra.

Foto: Istimewa
Salah satu yang dominan dalam pemujaan Hindu di dunia adalah penggunaan ikon suci. Ikon suci dapat terbuat dari kayu, batu, tembaga, atau cat. Istilah umum yang digunakan oleh Non-Hindu dan sering disalah tafsirkan oleh umat Hindu sendiri ketika mengacu pada ikon suci ini adalah patung pujaan atau berhala (Idol). Dalam agama Hindu ikon didefinisikan sebagai simbol suci yang mewujudkan kebenaran spiritual yang dipuja, dihormati dan direnungkan. Semua ikon suci Hindu merupakan representasi dari yang transenden yang menyangga, menjaga dan mengarahkan kosmos. Setiap seni dan simbologi dari ikon memiliki fitur yang telah dikembangkan melalui tingkatan-tingkatan pemikiran yang rumit dan semua aj aran-aj aran mistik para orang suci ditunjukkan kepada pencari kebenaran melalui ikon dan simbol. Kosmologi Hindu mengartikan simbol sebagai ekspresi dari realitas. Ekspresi itu memiliki dua ranah-yang transenden (niskala) dan yang material (sekala). Agama Sastra menegaskan 2 prinsip utama yaitu: 
  1. Secara material (sekala) adalah sebuah refleksi dari yang transenden (niskala). 
  2. Inti dari yang material adalah diluar kematerialan itu sendiri (yatha brahmanda tatha pindanda).

Sebuah simbolisasi muncul dari sifatnya sendiri bukan dari hasil spekulasi (angan-angan) dan melaluinya kontemplasi terhadap simbol mencapai pada konsep inti terdalam yang sangat halus dibalik dari simbol. Bagaimanapun jauh dari pemikiran Hindu saat ini semua menemukan kejelasan atas penggunaan simbol yang merupakan perwujudan yang abstrak. Semua ikonologi India dibangun dengan aturan simbol yang berdasarkan anggapan terhadap Yang Ada sebagai pertalian antara ide (nama) dan wujud (rupa). Sebuah simbol tidak berbicara pada pemikiran rasional dan tidak dapat dimengerti oleh akal, hal itu sebagai suatu subyek perenungan, pemujaan, hubungan, pengalaman mistik dan kesadaran spiritual. Jadi simbol adalah bahasa esoterik dari pemikiran yang tak tersadarkan. 

Taittriya Upanisad menyatakan-brahmavid apnoti param-mereka yang merenungkan Brahman akan mencapai-Nya. Upanisad menjelaskan ada banyak teknik untuk mengembangkan realisasi diri yang banyak disebut adalah upasana. Upasana (upa+asana) secara literal bermakna duduk dekat dan mengacu pada aktivitas meditasi. Istilah ini dapat dihubungkan dengan pemujaan, kontemplasi dan pengabdian suci. Ikon awalnya digunakan untuk melaksanakan upasana. Bukan mewujud pada sebuah representasi dari Tuhan tetapi sebuah konsentrasi atau tempat dari kehadiran Tuhan. Maksudnya adalah Tuhan hadir dalam ikon tersebut. 


Apa alasan pernyataan tersebut? pertama yang diyakini oleh semua umat manusia, Tuhan ada dimana-mana (Omnipresence), Maha mengetahui (Omniscience) dan memiliki potensi (Omnipotent). Semua ciptaan diresapi oleh Tuhan, tidak satupun tempat yang tidak diresapi oleh Tuhan. Jadi secara logika Tuhan juga berada di dalam ikon. Saat upacara penyucian (konsekrasi) diselenggarakan sesuai dengan sastra 'Veda-Tuhan dimohon untuk hadir dalam ikon tersebut melalui cinta kasih dengan demikian manusia memuja dan mengekspresikan cintanya pada Tuhan. 

Kedua, Tuhan adalah saksi tertinggi yang mengetahui pemikiran dan perasaan manusa dan sastra Veda mengatakan Tuhan akan merespon pemujaan umat-Nya. Jadi Tuhan dengan kekuatan kecil-Nya dari kekuatan tak terbatas-Nya hadir di dalam ikon yang sudah dikonsekrasi. Makanya Tuhan disebut sebagai Yang Maha Kuasa. Dengan demikian ikon tidak lagi disebut sebagai simbol tetapi murti yang berarti yang merupakan perwujudan Ilahi (ketuhanan). 

2. Pernyataan Veda dan Sastra Veda tentang Arca 

Arca pemujaan tidak dibuat sembarangan tetapi harus berdasarkan apa yang dijelaskan Veda dan Susastra Veda. Kemudian disakralisasi di sebuah pura atau kuil dengan upacara prana pratistha sehingga Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa yang dimohon hadir, hadir pada area. Maka itu arca disebut sebagai arca vigraha atau perwujudan Tuhan yang dipuja sebagai objek meditasi. Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa ini dalam Veda disebut sebagai Dewa atau Kepribadian agung lainnya seperti Rama, Krishna, Visnu, Siva, Durga dan sebagainya. 

Beberapa orang berpikir bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tetapi banyak bait-bait Veda seperti Purana dan Susastra Agamika, terutama Brahma Samhita menguraikan Tuhan memiliki wujud. Dalam teks ini menggambarkan ciri-ciri dan atribut yang beragam yang di dalamnya termasuk perwujudan ilahi, karakteristik, rupa yang rupawan, kekuatan, aktivitas ilahi dan sebagainya. Meskipun ini dianggap sebagai perwujudan yang diakui dalam Veda bahwa semua gambaran tersebut dijelaskan untuk menjelaskan Tuhan yang Berpribadi yang biasa disebut sebagai lsvara. 

Penjelasan atau uraian mengenai area yang dipuja tidak secara terperinci dijelaskan oleh kitab Sruti sebagaimana tersurat dalam Rg Veda (IV. 32. 23) yakni: 

“Kaninakeva vidradhe nave drupade arbhake, babhru yamesu sobhete”.

Terjemahan: 

“Seperti dua buah boneka pada panggung kecil yang ditata, kemampuan kembarmu mental dan vital tampak cemerlang pada upacara korban kosmis”. 

Apa yang dijelaskan oleh mantra Rg Veda di atas menunjuk pada keberadaan suatu objek pemujaan bempa benda-benda yang bisa dikatakan sebagai murti atau bentuk dari dewa tertentu sesuai dengan dewa yang diundang untuk menerima korban suci. Dua boneka yang dijelaskan adalah menunjukkan perwujudan dewata mental dan vital yang merujuk pada dewa Aswin. Sementara mantra Rg Veda (X.155.3) menjelaskan bahwa: 

“Ado yaddaru plavate sindhoh pare apurusam, tada rabhasva durhano tena gaccha parastaram”.

Terjemahan: 

“Batang kayu yang mengapung berada di seberang lautan, terpisah jauh dari manusia, ambillah itu wahai dewi dan bersama itu pergilah ke tempat yang jauh”. 

Sayana Acharya lebih jauh mengembangkan mantra ini menjadi mayat berkayu Dewa itu disebut sebagai Purushottama (Sayana, 2005: 1068). 

Penjabaran Sruti akan Purusottama secara terperinci di jelaskan dalam Purusa Sukta yang menunjukkan Oknum awal sebagai sumber dari penciptaan yang dipuja dengan berbagai kegiatan yajna yang disebut yajna Purusa-persembahan atau kurban suci yang ditujukkan kepada Purusa. Purusottama dalam Brahma Purana (Bibek, 2000:3l-36) dan Skanda Purana (Bibek, 2002:61-62) diceritakan sebagai tiga batang kayu ilahi yang mengapung di lautan yang terjadi di Orissa dengan sebutan Purusottama Ksetra Dhama-tempat tinggal Tuhan. Ini menunjukkan daerah yang kini disebut sebagai Jagannatha Puri, Orissa. 

Sruti Veda sendiri, terutama Rg Veda tidak menitikberatkan pemujaan dengan menggunakan arca atau darubrahman karena Sruti lebih menitikberatkan pada proses menggunakan agni dalam homa yajna sebagai murti Tuhan yang akan mengirimkan semua kurban yajna kepada para dewa. 

Praktik-praktik rohani dalam konteks pemujaan Tuhan dengan menggunakan simbol-simbol diberikan ruang oleh Vedanta Sutra (Phala Adyaya lV.l.4) diuraikan bahwa: 

“Na pratike, na hi sah”.

Terjemahan: 

“(Pelaksana meditasi) tidak (untuk melihat sang diri) pada lambang, sebab dia bukan (itu)”. 

“Pikiran adalah Brahman” (Chandogya Upanisad 3.18.l). Dalam meditasi semacam itu, pikiran digunakan sebagai lambang brahman, apakah pelaksana meditasi menyamakan dirinya dengan pikiran seperti dalam kasus meditasi “Aku adalah Brahman?” pada tempat pertama, bila lambang yaitu pikiran dikenali sebagai sama dengan Brahman maka ia akan berhenti menjadi lambang, bahkan ketika kita merealisasikan perhiasan sebagai emas, kita melupakan sifat individualnya sebagai perhiasan. Disamping itu bila pelaksana meditasi sadar akan kesamaannya dengan Brahman, maka dia berhenti sebagai roh individual sebagai pelaksana meditasi. Kegiatan meditasi hanya dapat terjadi dimana perbedaan itu ada dan persatuan belum terealisasikan dan dimana ada pengetahuan mengenai kejamakan, pelaksana meditasi tentu akan berbeda dengan lambang. Karenanya ia tidak melihat dirinya dalam lambang (Viresvarananda, 2004:2456). 

Foto: Mutiarahindu.com
Perhatian meditasi pada simbol-simbol suci sehingga akan menimbulkan pertanyaan apakah lambang ini dianggap sebagai Brahman atau Brahman sebagai lambang?. Sutra ini mengatakan bahwa lambang atau simbol, pikiran dan matahari dianggap sebagai Brahman bukan sebaliknya. Sebab hanya dengan memandang pada yang bersifat bawah sebagai yang lebih tinggi (Visvesvarananda, 2004:457). Lebih jauh Vedanta Sutra (IV.1.6) menyatakan: 

“adityadimatascange upayattehh”

Terjemahan: 

“Gagasan tentang matahari dan lain-lain, (harus ditumpangkan) pada anggota lebih rendah (dari kegiatan kurban), sebab (hanya dengan cara itu saja pernyataan kitab suci) akan menjadi konsisten)”.

Dari Sutra di atas dapat memperoleh pengetahuan Brahman bukan sebaliknya. Proses mendapatkan dan merealisasikan pengetahuan Brahman dapat ditemui seperti apa yang dijelaskan oleh Sanatkumara kepada Narada (Chandogya Upanisad VII bagian 1) dan percakapan Uddalaka Aruni dengan Yajnavalkya (Brhadaranyaka Upanisad Ill Brahmana 7). 

Meski lambang atau simbol dianjurkan tetapi bukan berarti bahwa penyamaan simbol tersebut dengan Brahman adalah sama, yang membedakan adalah esensn dasar dari kebendaan tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Kena Upanisad (1.6): 

“Yan manasa na manute yenahur mano matam tad eva brahma tvam viddhi nedam yad idam upasate “.

Terjemahan: 

“Hal itu yang tidak dipikirkan oleh pikiran tetapi dengan apa mereka katakan pikiran itu dipikirkan ketahuilah sesungguhnya adalah Brahman dan bukan apa yang dipuja oleh orang”. 

Ada yang kekal dibalik benda-benda yang tidak kekal, dimana Brahman tidak hanya dipandang sebagai obyek pemujaan tetapi sebagai subyek, hidupnya hidup. Hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah bersifat ke dalam yang memperlihatkan dirinya pada kedalaman kehidupan rohani. Bagaimanapun tingginya angan-angan kita selama angan-angan itu bersifat objektif, dia adalah tetap sebagai bentuk pemujaan. Ketika kita terikat pada dunia obyektif kita melihat Tuhan sebagai kekuatan luar yang sangat besar, kekuatan maha dasyat yang wajib didamaikan. Tuhan adalah yang hidup dan hanya bisa dilihat dalam kehidupan rohani (Radhakrishnan, 2008:451). 


Orang-orang harus memusatkan pikirannya kepada Personalitas Tuhan hingga terbiasa berpikir tentang salah satu wujud Tuhan yang tak terhitung jumlahnya hingga secara bertahap akan mencapai kesempurnaan yoga. Hal ini dibenarkan dalam Brahma Samhita-orang yang telah mengembangkan cinta kasih kepada Tuhan dan matanya terolesi dengan salep cinta kasih rohani selalu melihat Tuhan Yang Maha Esa di hatinya. Tuhan sebagai obyek meditasi dalam pikirannya untuk melenyapkan semua ikatan pikiran pada kenikmatan material, maka itu Yoga Sutra Patanjali (1.32) menganjurkan:

“Tat pratisedhartam eka tattva abhyasa”. 

Terjemahan: 

“Hancurkanlah ini, bermeditasilah pada satu obyek”. 

Meditasi pada satu obyek adalah suatu cara untuk menghilangkan kegoncangan mental. 
Metode kedua untuk menenangkan hati adalah memperbaiki mental sampai pikirannya terpusatkan pada wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kekhusukan seseorang untuk merenungkan Tuhan diimplementasikan tidak hanya dengan meditasi belaka tetapi harus adanya pengembangan bhakti seseorang, hal ini dibenarkan dalam Bhagavata Purana (3.28. 19): 

“stitham vrajantam asinam sayanam va guhasayam preksaniyehitam dhyayec chuddha bhavena cetasa”.

Terjemahan:

“Dengan selalu khusuk dalam bhakti, sang yogi membayangkan Tuhan berdiri, bergerak, berbaring atau duduk di dalam dirinya, sebab kegiatan-kegiatan Tuhan selalu menawan dan memukau”. 

Proses memusatkan pikiran kepada wujud Tuhan di dalam diri seseorang dan proses mengucapkan keagungan dan kegiatan Tuhan adalah hal yang sama. Satu-satunya perbedaan ialah bahwa mendengar dan memusatkan pikiran pada kegiatan-kegiatan Tuhan lebih mudah daripada membayangkan wujud Tuhan di hati sebab begitu seseorang mulai berpikir tentang Tuhan, terutama pada jaman saat ini, pikiran goyah. Disebabkan begitu banyaknya godaan, proses melihat Tuhan di dalam pikiran menjadi terganggu. Akan tetapi, Tuhan berkarunia pada semua makhluk, Beliau dipuja di kuil dalam bentuk pemujaan arca. Penggunaan arca dalam Bhagavata Purana dibenarkan dijelaskan dalam Bhagavata Purana (4.8.5 6): 

“labdhva dravyamayim arcam ksity ambv adisu varcayet abhrtatma munih santo yata van mita vanya bhuk”.

Terjemahan: 

“Adalah mungkin untuk memuja wujud Tuhan yang terbuat dari unsur-unsur fisik seperti tanah, air, kayu dan logam. Di hutan seseorang dapat membuat sebuah wujud dengan tidak lebih daripada tanah dan air dan memuja Dia sesuai prinsip-prinsip yang telah ditentukan. Seorang penyembah yang mampu mengendalikan diri sepenuhnya hendaknya sangat tenang dan damai dan harus puas hanya dengan memakan buah dan sayuran apapun yang tersedia di hutan”. 

Penggunaan benda-benda material yang berasal dari alam semesta diperbolehkan guna membuat rupa atau gambaran Tuhan yang akan dipuja sesuai petunjuk sastra untuk mengendalikan sepenuhnya pikiran yang liar agar mencapai kedamaian. Penggambaran wujud Visnu pada arca menurut Bhagavata Purana (4.12.17) dinyatakan bahwa bhagavat pratirupa etad dhyayams tad avyavahito vyasrjat smadhau-arca vigraha adalah replika persis Tuhan dengan bermeditasi seperti kepada-Nya, ia masuk ke dalam keadaan khusuk meditasi yang sempura. 

Arca Visnu yang dipuja di kuil atau pura memiliki bentuk keserupaan dengan perwujudan Tuhan di dunia rohani sebagaimana yang telah dijelaskan dalam slokasloka Bhagavata Purana. Arca vigraha merepresentasi wujud Tuhan agar memudahkan penyembah mendekati Beliau dan memusatkan pikiran pada Tuhan. Bahan-bahan untuk pembuatan arca tentunya harus beradasarkan otoritas Veda dan susastra Veda seperti apa yang dijelaskan dalam kitab Shilpa Sastra,juga dapat ditemukkan dalam Bhagavata Purana (11.27.12) menyatakan: 

“saili daru mayi lepya lekhya ca saikati mano mayi masi mayi pratimasta vidha smrta”.

Terjemahan:

“Wujud arca vigraha dari Tuhan dapat dibentuk dengan mengunakan delapan macam bahan yaitu batu, kayu, logam, tanah, cat, pasir, dalam pikiran dan permata”. 

Bahan-bahan di atas dianjurkan untuk membuat arca vigraha Tuhan sesuai aspek Pribadi Tuhan yang ingin dibuat. Semua unsur-unsur tersebut terdapat di alam semesta. Bahan-bahan yang diambil dari alam semesta juga adalah perwujudan dari Tuhan sebagai Vira! Purusa. Bhagavata Purana (11.2.41) menjelaskan: 

“kham vayum agnim salilam mahin ca jyotimsi sattvani diso drumadin sarit samudrams ca hareh sariram yat kim ca bhutam pranamed ananyah”.

Terjemahan: 

“Seorang penyembah harus tidak melihat segala sesuatu terpisah dari Tuhan Yang Maha Esa. Baik ether, api, udara, air, tanah, matahari dan semua yang bersinar, semua kehidupan, arah mata angin, pepohonan, sungai-sungai dan samudra. Pengalaman apapun itu dia harus menganggap semua adalah expansi dari Tuhan. sehingga melihat segala sesuatu yang ada dalam penciptaan sebagai badan Tuhan Yang Maha Esa, Sri Hari, penyembah harus menghormati segala yang menjadi ekspansi dari Tubuh-Nya”. 


Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak terpisah dari Tuhan karena ciptaan ini merupakan perwujudan dari tubuh Tuhan yang disebut sebagai Vira! Purusa. Virat Purusa ini terjadi karena adanya penggabungan antara potensi Tuhan Yang Maha Esa yang dinamakan purusa dan prakrti. Dalam Bhagavata Purana (3.6.4) hal ini ditegaskan: 

“Prabuddha karma daivena trayovimsatiko ganah prerito 'janayat svabhir matrabhir adhipurusam”.

Terjemahan: 

“Ketika duapuluh tiga unsur utama itu digerakkan atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, bentuk semesta yang maha besar atau badan Visvarupa Tuhan menjadi terwujud”.

Virat Svarupa atau Visvarupa adalah bentuk semesta Tuhan Yang Maha Besar, yang mendapat perhatian khusus oleh para impersonalis, bukanlah badan Tuhan yang kekal. Bentuk ini diwujudkan atas kehendak Tuhan setelah adanya unsur-unsur ciptaan material. Sri Krsna memperlihatkan wujud Vira: atau Visvarupa ini kepada Arjuna hanya untuk meyakinkan impersonalis bahwa Tuhan adalah Berpribadi. 


Krsna memperlihatkan Viratrupa bukanlah bahwa Krsna yang diperlihatkan oleh Viratrupa karena Viratrupa bukanlah sebuah bentuk kekal Tuhan yang diperlihatkan di tempat kediaman Tuhan di dunia rohani. Itu hanyalah manifestasi material Tuhan. Arca vigraha atau area yang dipuja di kuil adalah perwujudan Tuhan dengan cara yang sama bagi para pemula. Namun meskipun mengalami persentuhan material, bentuk-bentuk Tuhan sebagai Virat dan area tidak berbeda dengan wujud kekal Tuhan yang berada di dunia rohani Vaikuntha. Demikian pula Tuhan merasa sangat disenangkan apabila sebagian badan Virat-Nya dipuja. Arca adalah bagian dari badan Tuhan karena seluruh alam semesta adalah badan-Nya (Sivananda, 2003: 123). 

Pemujaan hanyalah sebuah instrumen untuk kembali mengembangkan hubungan dengan Tuhan dalam kesatuan. Pemujaan arca hanya merupakan awal dari agama dan tentu bukan akhir dari agama. Kitab suci Hindu yang sama yang menguraikan pemujaan arca bagi pemula, menyatakan tentang meditasi pada Yang tak Terbatas atau Yang Mutlak serta perenungan akan maksud mahavakya tersebut guna keuntungan sadhaka (Sivananda, 2003:131). Dalam Bhagavata Purana (11.2.46) menjelaskan mengenai tipe madhyama adhikari : 

“Isvare tad adhinesu balisesu dvisatsu ca prema maitri krpopeksa yah karoti sa madhyamah”.

Terjemahan: 

“Dia yang mencintai Tuhan, yang menjadi teman bagi semua makhluk, yang memberikan karunia kepada orang bodoh yang tidak berdaya dan kepada mereka yang iri hati kepada Tuhan Yang Maha Esa”. 

Berdasarkan Bhagavad Gita (15.7) mamaivamso jiva loke jiva bhutah keberadaan-Ku yang ada di dunia ini hanya sebagian dari fragmen-Ku saja. Dikarenakan maya, sang jiva terkondisikan sehingga melupakan hubungan yang kekal dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka yang telah menginsafi Tuhan Yang Maha Esa menjadi teman semua makhluk dan membantu mereka yang berdosa untuk diangkat ke dalam kedudukan sebenarnya yaitu sang diri sejati. Sedangkan Bhagavata Purana (11.2.47) menjelaskan tentang kanistha adhikari adalah sebagai berikut: 

“Arcayam eva haraye pujam yah sraddhayehate na tad bhaktesu canyesu sa bhaktah prakrtah smrtah”.

Terjemahan: 

“Seorang penyembah yang memiliki keyakinan yang mantap dalam pemujaan arca di kuil tetapi tidak bersikap semestinya kepada semua orang disebut prakrta bhakta, seorang yang materialistic”. 

Kanistha adhikari pada sloka ini disebut prakta bhakta yang berarti penyembah yang meterialistik adalah dia yang masih sibuk dalam kegiatan materialistik, memikirkan hal-hal yang bersifat fisik dan kenikmatan jasmani belum insaf sepenuhnya mengenai keberadaan Tuhan dan memuja arca demi keuntungan pribadi tanpa memandang keberadaan orang lain. Dalam Bhagavata Purana (3.29.21) dijelaskan: 

“aham sarvesu bhutesu bhutatmavasthitah sada tam avajnaya mam martyah kurute ‘rca vidambanam”.

Terjemahan: 

“Aku hadir di dalam setiap makhluk hidup sebagai Roh Yang Utama (Paramatma). Apabila seseorang mengabaikan bahwa Roh Yang Utama ada dimana-mana dan ia menyibukkan diri dalam pemujaan arca di kuil, maka itu hanyalah sebuah kepalsuan”. 


Foto: Istimewa
Jelas apa yang dijelaskan dalam sloka tersebut bahwa seseorang hanya menyibukkan pemujaan area di kuil dan tidak peduli terhadap semua makhluk maka ia termasuk ke dalam penyembah pada tingkat kanistha adhikari. Orang yang memuja area di kuil dan tidak memberikan sikap hormat kepada siapapun sesungguhnya mereka melakukan kepalsuan. Lebih lanjut Bhagavata Purana 3.29.22) menerangkan: 

“yo mam sarvesu bhutesu santam atmanam isvaram hitvarcam bhajate maudhyad bhasmanya eva juhoti sah”. 

Terjemahan: 

“Orang yang memuja arca Tuhan di kuil tapi tidak mengetahui bahwa Tuhan sebagai Paramatma berada di hati setiap makhluk berada dalam kebodohan dan ia diibaratkan orang yang menghaturkan persembahan ke dalam abu”.

Sloka ini memberikan kritik terhadap mereka yang hanya sibuk dalam pelayanan kepada arca tanpa menyadari keberadaan Tuhan yang bersemayam di relung hati makhluk hidup adalah seorang yang bodoh yang hanya melihat keberadaan Tuhan ada pada area. Semua tipe-tipe yang dijelaskan di atas dibedakan dari tingkat kesadarannya terhadap keberadaan Tuhan dan sadhana bhakti yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. 


Pemujaan area di kuil dengan keyakinan dan sesuai dengan apa yang dijelaskan Veda dan Susastra Veda lainnya dapat mengantarkan manusia ke dalam kesempurnaan hidup, hal ini dijelaskan dalam Bhagavata Purana (11.27.49): 

“evam krya yogam pathaih puman vaidik tantrikaih arcann unghayatah siddhim matto vindaty abhipsitam”.

Terjemahan: 

“Dengan memuj a-Ku melalui berbagai metode yang diuraikan di dalam Veda dan Tantra, orang akan mendapatkan dariku kesempurnaan, keinginannya di dunia ini dan di dunia sana”. 

Sloka di atas menekankan pentingnya keyakinan dalam proses pemujaan arca. Dengan keyakinan teguh bahwa Visnu hadir dalam bentuk arca-Nya dan dengan mengikuti metode tersebut yang dijelaskan baik mengikuti prinsip Veda atau Tantra, seseorang mencapai kesempurnaan. 

Dalam Caitanya Caritamrta (Madhya 22. 130) dinyatakan: sraddha vicesatah pritih sri mrter aggrhri sevane-seseorang harus memiliki keyakinan yang mantap dan cinta kasih untuk memuja arca. Dari keyakinan tersebut seorang Hindu tidak boleh memandang arca di kuil sebagai sebuah batu atau kayu karena perwujudan arca di kuil adalah sesungguhnya perwujudan dari gambaran Visnu yang hadir secara nyata melalui arca. Hal ini secara tegas di dalam Padma Purana dijelaskan bahwa: 

“arcye visnau Sila dhir gurusu nara matir jati buddhir visnor va Vaisnavanam kali mala mathane pada tirte ‘mbu buddhi sri visnor namni mantre sakala kalusa he sabda samnya buddhir visnau sarvesvarese tad itara sama dhir yasya va naraki sah”.

Terjemahan:

“Orang yang menganggap arca di kuil terbuat dari kayu atau batu, yang menganggap guru spiritual dalam garis perguruan sebagai manusia biasa, yang menganggap Vaisnava dalam Acyuta gotta termasuk kasta atau keyakinan tertentu atau yang menganggap caranamrta atau air gangga sebagai air biasa dianggap sebagai penghuni neraka”. 

Berkomunikasi dengan Tuhan Tanpa sebuah wujud bagaimana Tuhan dimeditasikan? Jika Dia adalah tanpa wujud, dimana pikiran ini dapat merenungkan? ketika tidak ada bagi pikiran untuk mengikatkan dirinya sendiri untuk itu akan pergi dari meditasi, atau akan masuk ke dalam keadaan tidur. oleh karena itu orang bijaksana akan merenungkan beberapa bentuk, mengingat bagaimanapun bahwa itu adalah metode tidak langsung, sebuah indikasi yang yang benar-benar tak berbentuk (Visnu Samhita 29:55-57) 

Dari terjemahan sloka di atas maka secara ontologi, arca adalah sebuah media untuk memfokuskan pikiran yang pada dasarnya seperti kera liar untuk menuju posisi meditatif. Suatu meditasi, sikap tangan, sikap tubuh, doa-doa yang diuncarkan oleh penyembah Tuhan serta sarana-sarana yang dipersembahkan pada Tuhan adalah sebuah komunikasi verbal dan non verbal yang dilandasi oleh pemahaman ketuhanan yang tercampur dengan cinta kasih terhadap Tuhan setelah terpisah jauh dari Pujaannya sehingga sang bhakta merasakan ekstasi dari hubungan tersebut. Demikian keterbalasan apa yang kita ekspresikan pastinya akan dibalas oleh Tuhan Pujaan penyembah. 


Ketuhanan dalam agama Hindu menyatakan bahwa Yang Tertinggi adalah Tuhan Yang Personal tetapi pada saat yang sama menyatakan bahwa wujud-Nya tak mampu diketahui (anirdesya), tak mampu dipahami (acintya) dan Melampaui ruang dan waktu (ananta). Begitu juga dalam Parama Samhita 3.7 dinyatakan bahwa: Nirakare tu devese a arcanam sambhave nrnam, na ca dhyanam na ca stotram tasmat . sakaram arcayet-adalah hal yang mustahil umat manusia dapat memuja, bermeditasi dan menyembah Tuhan tanpa wujud. Karenanya Tuhan harus dipuja menggunakan arca. Sriprasna Samhita 18.1 menegaskan bahwa Tuhan turun dan masuk kedalam ikon suci karena kehendak-Nya dengan tujuan memberikan karunia dan berkah kepada penyembah-Nya. itulah Tuhan yang sedang berkomunikasi dengan bhaktaNya. Dari komunikasi inilah menghadirkan pertemuan antara dua dunia yakni dunia sekala dan niskala. 

Penutup 

Pada Satya Yuga sebuah upasana yang dianjurkan adalah dengan cara meditasi dimana Dharma berdiri tegak 100° 0 tanpa adanya adharma, pada Treta Yuga Dharma kehilangan salah satu kakinya sehingga upasana yang dianjurkan adalah mempelajari kitab suci Veda dan merenungkannya, pada Dwapara Yuga umat manusia dianjurkan melakukan persembahan suci atau yajna kepada Tuhan Yang Maha Esa dikarenakan manusia semakin sibuk dengan hal-hal yang bersifat material juga dalam jaman ini Dharma kehilangan kakinya sehingga hanya memiliki dua kaki kebenaran, di Kali Yuga umat manusia dianjurkan untuk membangun tempat suci dan menempatkan arca suci Tuhan di dalam Pura atau Kuil sambil mengucapkan nama suci Tuhan (namasmaranam atau berjapa). Semua aktivitas itu bertujuan untuk menyucikan pikiran, membangun dan mengembangkan hubungan kekal makhluk hidup dengan Tuhan serta merealisasikan diri sejati (atman). 


Daftar Pustaka
https://www.mutiarahindu.com/2018/05/konsep-arca-menurut-veda-dan-susastra.html 

Acharya, Sayana. 2005. Veda Sruti Rg Veda Samhita (Sakala Sakha), ter. Dewanto. Surabaya: Paramita.
Atep, Adya Bharata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Alex Media Komputindo. 
Bibek, Dipavali. 2000. Brahma Purana. Surabaya: Paramita. 
Bibek, Dipavali. 2002. Skanda Purana. Surabaya: Paramita. 
Dillistone. F. W. 2002. The Power Of Symbols, terj. Yogyakarta: Kanisius. 
Madrasuta, Ngakan. Pedanda, Kiai dan Pastor: Topik Sehari-hari Tentang Hindu. Denpasar: PT Pustaka Manikgeni.
Maulana, Ratnaesih. 1997. Ikonografi Hindu. Jakarta: Fakultas Sastra UI. 
Pandit, Bansi. 2003. Pemikiran Hindu, terj. Dewi Paramita. Surabaya: Paramita. 
Prabhupada, Swami. 2007. Srimad Bhagavatam Skanda Tiga Jilid 2, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti. 
Prabhupada, Swami. 2010. Srimad Bhagavatam Skanda Empat Jilid 4, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti. 
Prabhupada, Swami. 2008. Srimad Bhagavatam Skanda' Tiga Jilid 4, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti. 
Prabhupada, Swami. 2006. Srimad Bhagavatam Skanda Satu Jilid ] , terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti. 
Prabhupada, Swami. 1995. Srimad Bhagavatam Eleven Canto Part One. Mumbai: The Bhaktivedanta Book Trust. 
Prabhupada, Swami. 1995. Srimad Bhagavatam Eleven Canto Part Two. Mumbai: The Bhaktivedanta Book Trust.
Radhakrishnan. 2008. The Principal Upanisads, terj. Agus S. Mantik. Surabaya: Paramita. 
Singh. T.D. 2004. Realitas Keberadaan Tuhan. Denpasar: Yayasan Institute Bhaktivedanta Indonesia. 
Sivananda, Swami. 2003. All About Hinduism, terj. Yayasan Sanatana Dharmasrama. Surabaya: Paramita.
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda. 
Suryanto. 2006. Hindu Dibalik Tuduhan & Prasangka. Narayana Smrti Press.
Tim Penyusun. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 
Titib, Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Tyagisananda, Swami. 1996. Narada Bhakti Sutra, terj. Maswinara. Surabaya: Paramita. 
Viresvarananda, Swami. 2004. Brahma Sutra, terj. Agus Sumantik. Surabaya: ' Paramita.
Wiana, Ketut. 2004. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta: Manikgeni. 
Yudha, Triguna 2000. Teori Simbol. Denpasar: Widya Dharma.
Jurnal Pasupati Vol. 3. no. 2. Juli-Desember 2014.

Arti Om Awighnam Astu Sebagai Doa Kesuksesan



Salam Om Swastyastu, namaste, Astungkara dan Om Avighnamastu, ditutup dengan Om shanti-Shanti-Shanti Om, merupakan doa mantra pendek, ringkas dan padat, yang sering diucapkan untuk mengaitkan Tuhan yang Maha suci dengan aktivitas manusia Hindu. Mantra atau doa sesungguhnya tidak lain ucapan dari keinginan manusia yang ditujukan kepada Hyang Widhi atau Ida Bhatara. Bahasa yang dipakai untuk menyampaikan keinginan itu, bisa dengan bahasa Bali (sehe), bahasa Kawi dan bahasa Sanskerta. Doa yang memakai bahasa Sanskerta sering disebut mantra. Sedangkan yang memakai bahasa Bali dan Kawi sering disebut sehe atau sesontengan. Jika memakai bahasa sanskerta cara mengucapkan dengan menyanyi (seronca atau sruti), sedangkan jika doa dengan bahasa Kawi maka ucapannya dengan menggunakan palawakia, dan jika berdoa dengan menggunakan bahasa Bali maka ucapannya seperti berkomunikasi biasa dengan orang yang lebih tinggi (bahasa halus).




Om Avighnamastu

adalah salah satu doa sehari – hari yang digunakan dengan tujuan agar suatu kegiatan yang dilaksanakan berjalan lancer tanpa hambatan dan akhirnya menjadi sukses.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Mantra itu sering kata-katanya tidak dimengerti oleh sebagian besar orang dalam masyarakat. Justru disitulah memberikan nilai magis atau suasana kramat dan gaib, misalnya kata AUM atau Om atau Ong.

Om atau Ongkara adalah prenawa, yaitu simbol kehidupan. Dalam mantra om dianggap mempunyai kekuatan gaib. Kata Om dimaksudkan widyasakti dari Hyang Widhi yang merupakan dari unsur-unsur Tri Sakti yakni kesaktian untuk menciptakan disimbolkan dalam hurup atau ucapan Ang, kesaktian untuk memelihara atau menghidupkan disimbolkan dalam ucapan Ung, dan kesaktian untuk mengembalikan semua ciptaannya ke asalnya (pralina) diwujudkan dalam simbol ucapan atau hurup Mang. Gabungan ketiga bunyi inilah (Ang, Ung, Mang) berubah menjadi Om atau Ongkara. Ongkara adalah pranawa atau Bija Mantra dalam setiap doa atau mantra. Artinya setia memulai mengucapkan bait mantra, selalu didahului dengan Om.

Dalam Wrespati Kalpa disebutkan bahwa:


Om ng sarira, awi ng aksara, gna ng palinggihan, mastu ng pangulu, nama ng panugrahan, si ng surya, dem ng bulan. Samangkana kaweruhakna tingkah rangne, yatna kna sang hyang sastra, mwang palinggyanya. Iki lwir tandoh ring tkep putih maka palinggih sang hyang sastra sujati, hana usadhaning usadha, mangkana sloka ning dewek, OM.

Mungkin maksud kalimat tersebut adalah “……tubuh kita terdiri atas aksara suci yang merupakan tempat beliau (tuhan) berstana sehingga apa kehendak kita terpenuhi baik di siang atau malam…”

Sedangkan dalam Lontar Parta Adnyana Sura pada lembar 2a, disebutkan pula arti mantra “ Om Awighanam Astu Nama Sidham” bahwa

Om Awighnam berarti siang, Astu Nama Sidham artinya malam. Om Awighnam berarti mengetahui suka duka, juga berarti hidup mati, ada dan tiada, pembahasan ini mempunyai pengertian berbeda dalam satu kalimat (Rwa Bhineda).




Dalam ritual hindia juga terdapat kata “ Avighnam ” yaitu pada ritual samskaras. Dimana Sebagian besar dari para Brahmana yang digunakan untuk mengikuti ritual yang kompleks sehubungan dengan peristiwa besar dalam hidup mereka, seperti kehamilan, melahirkan, pendidikan, pernikahan, dan kematian.

Pada salah satu ritual besar tersebut yaitu Vidyarambha atau Akshararambha (Vidya berarti Pengetahuan dan Arambham berarti awal, harfiah Vidyarambha diartikan dimulainya studi) yang dilakukan baik ketika anak mencapai tiga atau lima tahun. Di lidah anak huruf "Hari Sri Ganapataye Namah Avignamastu" dan semua huruf ditulis dengan sepotong emas. Anak dibuat untuk menulis surat yang sama dari "Sri Hari" dan seterusnya dengan jari telunjuk pada beras mentah dalam bejana logam bel dan anak dibuat untuk mengucapkan setiap kata kalau ditulis. Inisiasi ke dunia huruf untuk anak biasanya dimulai dengan penulisan mantra 'Om Hari sri ganapataye namah. " 'Hari' mengacu pada Tuhan, 'sri,' menuju kemakmuran. Pada awalnya, mantra akan ditulis di atas pasir atau di nampan butir beras. Kemudian, guru akan menulis mantra di lidah anak dengan emas. Menulis di pasir menunjukkan praktik. Menulis pada butir menunjukkan penguasaan pengetahuan, yang mengarah ke kemakmuran. Menulis di lidah dengan emas memanggil rahmat Saraswathi, Dewi Belajar, dimana seseorang mencapai kekayaan pengetahuan sejati.

Jadi tidaklah salah kalau dibali, ditemukan pula Doa sebelum memulai suatu pekerjaan:

Om Awighnam Astu Namo Sidhham Om Sidhirastu Tad Astu Swaha

Yang artinya:

Ya Tuhan, semoga atas perkenanMu, tiada suatu halangan bagi hamba memulai pekerjaan ini dan semoga berhasil dengan baik. maksudnya, ucapan syukur bahwa kita selamat, atau memohon supaya diberi keselamatan dari suatu peristiwa yang sudah terjadi.


MENCINTAI PEKERJAAN Manusia yang bekerja disayang Tuhan (Hyang Widhi). Makin rajin, bersemangat, jujur dan berprestasi ia dalam bekerja maka makin sayanglah Tuhan kepadanya, sehingga pahala dari karma-nya pun berlimpah.




Manusia dapat bekerja dan berhasil baik jika ia mencintai pekerjaannya. Mencintai pekerjaan adalah sama dengan mencintai Tuhan. Mereka yang yakin bahwa bekerja dengan baik adalah perintah Tuhan maka ia akan sedih dan merasa malu bilamana hasil pekerjaannya tidak baik atau bila merugikan masyarakat,baik secara langsung maupun tidak langsung.




Sumber : cakepane.blogspot.com



Karakter yang Dapat Diteladani dalam Mahābhārata



Setelah membaca tentang tokoh-tokoh dalam Mahābhārata, ada beberapa karakter dari setiap tokoh yang dapat dijadikan pedoman dan dapat kita teladani, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 69).





Karakter yang dapat kita contoh dari tokoh-tokoh Mahābhārata, seperti berikut;


1. Yudhistira


Selalu menegakkan kebenaran, jujur, dan selalu melaksanakan ajaran Dharma.


2. Arjuna



Berhati lembut, memiliki ketegasan dalam mengambil keputusan, dan melakukan kewajiban dengan baik.


3. Bima


Kasih sayang, tetap pendirian, tegas, dan berani membela demi kebenaran.



4. Nakula


Jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna, dan dapat menyimpan rahasia.


5. Sahadewa


Bersifat bijaksana, bertanggung jawab, teliti, dan baik hati.
Sahadewa merupakan Pandawa yang memiliki sifat paling bijaksana.



6. Kunti


Mempunyai pengetahuan yang penuh sebelum memberi perintah, berlaku adil antara anak kandung dan anak tiri, memenuhi tanggung jawab sebagai ibu dan ipar.


GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

7. Kŗsṇa


Kŗsṇa adalah penjelamaan Deva Wisnu turun ke dunia sebagai penegak kebenaran dan sebagai guru dalam mempelajari nilai-nilai kehidupan. Kebijaksanaan dan sifat kasih sayang yang beliau miliki dapat menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan lebih baik, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 70).



8. Widura


Selalu bijaksana dalam mengambil keputusan, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 71).


Baca: Cerita Bhima dan Naga Vasuki


Referensi:
https://www.mutiarahindu.com/2018/12/karakter-yang-dapat-diteladani-dalam.html

Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Jumat, 19 Januari 2024

Pentingnya Otonan dan doa – doanya

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Otonan atau hari kelahiran dalam weton Bali, seringkali dianggap sepele dan tidak dilaksanakan. Padahal, ‘ulang tahun’ yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali ini, sangat penting dengan rerentetan banten dan maknanya.

Setiap tahun kita semua merayakan ulang tahun pada tiap tanggal kelahiran. Namun, di Bali juga memiliki prosesi ritual untuk memperingati hari kelahiran. Dalam penanggalan Bali, weton tersebut biasanya jatuh setiap enam bulan sekali.

Sulinggih asal Mengwi, Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa, mengatakan, dalam Lontar Jyotisha dan Pawacakan disebutkan, pada saat weton kelahiran wajib mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, atas diberinya kesempatan sang atman untuk dapat bereinkarnasi kembali. “Otonan itu berasal dari bahasa Jawa kuna dari kata weton dan berubah konsonan menjadi oton yang artinya lahir atau menjelma,” urai Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin.

Nah, berdasarkan apa hari kelahiran ini? ” Dalam tradisi Hindu di Bali, menentukan Otonan harus menggunakan sapta wara, panca wara, dan wuku. Jadi, tidak bisa sembarangan, karena semua itu sangat memengaruhi perilaku serta jalan hidup seseorang,” ujarnya.



Secara etimologi, lanjutnya, Otonan adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali. Dalam lontar Pawacakan, Otonan memiliki makna mensyukuri, wara nugraha. “Kita diberikan anugerah dalam bentuk kesempatan untuk bereinkarnasi kembali membayar karma. Dalam upacara piotonan, terdapat byakala atau prayascita yang fungsinya untuk menyucikan diri, melenyapkan kekotoran batin, menjauhkan diri dari gangguan Bhutakala,” paparnya.

Diakuinya, prosesi Otonan ada kaitannya dengan catur sanak, sebagai simbolisasi atas rasa syukur. “Kita lahir ke dunia bersama empat saudara, yaitu darah, ketuban, placenta, dan ari – ari. Lewat Otonan kita berbagi dan mengingat mereka. Lalu bersyukur pada Tuhan atas hidup yang telah diberikan,” ujarnya. Dalam Otonan, beberapa perlengkapan upakara yang dapat digunakan adalah banten pajati, banten dapetan, sesayut pawetuan, dan segehan. “Banten pajati dihaturkan kepada Bhatara Guru di rong telu, sesayut pawetuan dihaturkan kepada yang manumadi atau numitis. Dan, segehan dihaturkan di bawah kepada Bhutakala,” ujarnya.


Mantram dan Doa Saat Otonan

Mantram Mabyakala atau Byakaon : Om shang bhuta nampik lara sang bhuta nampik rogha, sang bhuta nampik mala, undurakna lara roga wighnanya manusanya. Om sidhirastu Yanama Swaha.

Sesayut Bayu Rauh Sai:
Om sanghyang jagat wisesa,
metu sira maring bayu, alungguh maring bungkahing adnyana sandi
Om Om sri paduka guru ya namah. Om ung sanghyang antara wisesa, metu sira maring sabda,

Mantram Matebus Benang:
Om angge busi bayu premana maring angge sarire

Mantram Masesarik:
Kening : Om sri sri ya nama swaha. Bahu kanan : Om anengenaken phala bhoga ya nama swaha. Bahu kiri : Om angiwangaken pansa bhaya bala rogha ya nama swaha.Telapak tangan : Om ananggapaken phala bhoga ya nama swaha

(bx/tya/yes/JPR) –sumber