Minggu, 05 Mei 2024

Bentuk, Isi, serta Makna Sepuluh Canang yang Digunakan di Bali








BALI EXPRESS, DENPASAR - Bali memiliki tiga tingkatan upakara, yakni Nista, Madya dan Utama. Ketiga tingkatan inilah yang mendasari umat Hindu dalam beryadnya sesuai kemampuan, agar yadnya yang dilakukan tidak memberatkan.

Upakara dengan kwantitas terkecil dikenal dengan istilah Nista, di mana salah satunya cukup dengan sarana upakara berupa canang. Canang berasal dari sukukata ‘Ca’ yang artinya indah, sedangkan kata ‘Nang’ artinya tujuan.

“Dapat didefinisikan canang merupakan sarana untuk mencapai tujuan yaitu keindahan (Sundharam) kehadapan Ida Sang Hyang widhi Wasa,” Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

.

Lebih lanjut dijelaskan Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran , canang yang dialasi sebuah ceper adalah simbol Ardha Candra, sedangkan canang yang dialasi sebuah tamas kecil merupakan simbol Windhu. Di dalam ceper terdapat porosan silih asih yang memiliki makna welas asih dalam melaksanakan upakara. Selai porosan, di dalam ceper juga berisi jajan, tebu dan pisang yang merupakan simbol ‘Tedong Ongkara’ yang menjadi perwujudan kekuatan Utpeti, Stiti, dan Pralin. Di atas raka-raka tadi disusunkan sebuah sampian urasari yang merupakan simbol windhu, sedangkan ujungnya merupakan simbol nadha.

Di atas sampian urasari disusun bunga dengan susunan sebagai berikut, bunga putih diletakkan di arah timur yang merupakan simbol Sang Hyang Iswara. Bunga Merah diletakakan di arah selatan yang merupakan simbol Dewa Brahma. Bunga Kuning diletakkan di arah barat yang merupakan simbol Dewa Mahadewa. Bunga biru atau hijau diletakkan di arah utara yang merupakan simbol Dewa Wisnu.

“Dan, yang terakhir adalah Kembang Rampai yang diletakkan di tengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata,” jelasnya.

Dengan demikian, canang mengandung makna sebagai permohonan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi (berwujud Ongkara), bahwa umatnya memohon kekuatan agar Beliau bermanifestasi menjadi Ista Dewata.

Berikut Beberapa jenis canang yang dikenal di Bali:
1. Canang Sari


Canang Sari (ISTIMEWA)


Canang Sari adalah sebuah canang yang alasnya menggunakan ceper atau tamas kecil dan sampian urasarinya membentuk astadala, sehingga bentuknya bundar yang berfungsi sebagai sarining yadnya.

Canang sari terdiri dari dua jenis, yaitu Canang Sari Ageng dengan sampian urasari berbentuk astadala dan Canang Sari Alit yang pada sampian urasarinya menunjuk empat arah mata angin, namun maknanya tetap sama.
2. Canang Genten


Canang Genten (ISTIMEWA)


Canang Genten, pada intinya sama dengan canang sari hanya ditambahkan dengan jajan kiping, pisang mas dan bubur sesuruh merah dan putih. Di masing-masing bubur tersebut dibungkus dengan janur yang digiling menyerupai sebatang rokok serta diletakkan di bawah sampaian urasari.

Fungsi canang ini adalah untuk memohon anugerah keremajaan, sehingga sering digunakan pada saat upacara matatah atau menek kelih (beranjak dewasa).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

3. Canang Pesucian

Canang Pesucian yang dialasi dengan sebuah taledan kecil yang berbentuk segi empat panjang dan memiliki satu sibeh pada bagian pangkalnya. Di atas taledan ini dijahitkan lima buah celemik dengan posisi tempatnya di atas yang berisi tepung tawar, merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.

Di kanan yang berisi lenga wangi yang telah dicampur dengan kapas berisi minyak wangi yang merupakan simbol Sang Hyang Brahma. Di bawah berisi daun dapdap yang merupakan simbol Sang Hyang Mahadewa. Di kiri berisi sisig yang merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu dan di tengah berisi burat wangi yang merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Siwa.



4. Canang Gantal

Pada prinsipya hampir sama dengan canang pesucian. Hanya, di tengahnya ditambahkan base tubungan matungkas. Kata ‘Gantal’ berasal dari kata Gana yang mengandung arti pertemuan, sedangkan kata ‘Tal’ dapat diartikan bersatu. Dengan demikian, Canang Gantal memiliki makna permohonan kedamaian kepada Tuhan.
5. Canang Pangrawos


Canang Pangrawos (ISTIMEWA)


Model lainnya adalah Canang Pangrawos, yang pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan canang gental, hanya di tengahnya mempergunakan sebuah takir berisi lima buah lekesan. Hal ini bertujuan untuk memohon kebulatan pendapat berdasarkan ketenangan hati untuk mencapai kedamaian.

Canang ini biasa digunakan saat rapat ataupun pengajuman.
6. Canang Tubungan


Canang Tubungan (ISTIMEWA)


Model selanjutnya yakni Canang Tubungan. Canang ini pada prinsipnya sama dengan canang pangerawos, bedanya hanya terdapat pada lekesannya saja. Kalau di canang pangerawos terdapat lima, sedangkan di canang tubungan hanya satu.

Canang ini merupakan penghormatan terhadap Ida Sang Hyang Widi agar dianugerahkan kekuatan. Canang ini biasanya digunakan saat upacara nuntun atau mamendak. 



7. Canang Raka


Canang Raka (ISTIMEWA)


Selanjutnya Canang Raka, yang pada prinsipnya sama dengan canang sari. Pada canang raka tedapat buah-buahan sebanyak lima macam yang merupakan simbol permohonan pengeleburan panca mala. Baik terhadap bhuwana agung maupun bhuwana alit. Selain itu, canang ini juga bertujuan agar dianugerahkan Panca Amertha, yakni Amertha Sanjiwani yang disimbolkan dengan pisang kayu, Amertha Kamandalu yang disimbolkan dengan buah salak, Amertha Kundalini yang disimbolkan dengan buah yang berwarna kuning, Amertha Pawitra yang disimbolkan dengan buah manggis, dan Amertha Maha Mertha yang disimbolkan dengan buah jeruk.

Canang ini biasa dugunakan saat upacara Panca Yadnya, khususnya saat mendem pedagingan dan nyejer.

8. Canang Tadah Sukla

Pada prinsipnya sama dengan membuat Canang Payasan, hanya isi celemiknya yang berbeda. Pada canang ini isi celemiknya masing-masing, yakni celemik pada bagian kiri atas berisi kacang ijo, celemik pada bagian kanan atas berisi kacang komak, celemik pada bagian kiri bawah berisi ubi lima iris, celemik pada bagian kanan bawah berisi keladi lima iris, dan celemik pada bagian tengah bersisi kacang botor dan pisang kayu mentah sebanyak lima iris. Kemudian di atasnya diletakkan canang sari.

Canang ini merupakan simbol kekuatan iman, kesucian dan kesejahteraan. Canang ini biasa digunakan saat upacara pebersihan.
9. Canang Pangengkeb


Canang Pangengkeb (ISTIMEWA)


Canang ini pada prinsipnya sama dengan Canang Payasan, hanya ditengahnya berisi dua bua takir dengan posisi tempat kanan dan kiri. Yang di kanannya berisi beras kuning dengan satu buah base tubungan, sedangkan takir yang kiri berisi cendana.

Canang ini bertujuan agar dianugerahkan kekuatan kewibawaan atau taksu dalam berkesenian. Canang ini biasa digunakan saat pementasan tarian sakral.
10. Canang Saraswati


Canang Saraswati (ISTIMEWA)


Canang ini menggunakan tamas kecil atau sebuah ceper sebagai alasnya. Di dalamnya berisi jajan, pisang, tebu, porosan, sampian plaus yang diletakkan pada bagian hulunya. Kemudian dipasangkan lima buah celemik. Celemik bagian atas berisi jajan suci bungan temu putih kuning, celemik di bagian kanan berisi jajan suci karang putih kuning, celemik di bagian bawah berisi jajan suci kekuluhan putih kuning, di bagian kiri berisi jajan karna putih kuning, di bagian tengah berisi jajan suci candigara putih kuning.

Di atas tetandingan jajan suci tadi disusunkan lagi sebuah ceper yang merupakan ceper kedua yang di dalamnya berisi lima buah celemik. Masing-masing celemik berisi pala bungkah dan pala gantung. Kemudian di atas panca ini disusun sebuah ituk-ituk yang berisi eteh-eteh tetukon. Selanjutnya ituk-ituk ini diisi dengan jajan saraswati yang dialas dengan daun beringin, selanjutnya di atas jajan saraswati diisi dengan pesucian dan canang sari.

Canang ini bertujuan untuk memohon anugerah kepintaran dan biasa digunakan saat hari Suci Saraswati.

(bx/rin/gus /yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/12/03/31018/ini-bentuk-isi-serta-makna-sepuluh-canang-yang-digunakan-di-bali

Jumat, 03 Mei 2024

Turus lumbung hingga merajan

 




 PULAU Bali juga disebut sebagai ‘Pulau Seribu Pura’. Pura selain merupakan tempat suci Hindu, juga sebagai “sentra rohani”.

Apa saja yang melatarbelakangi perkembangannya dan bagaimana sebaiknya konsep rancangan sebuah pura ke depan?
Sumber prasasti kerap menyebut gunung dan bukit sebagai sthana para dewa. zaman dulu, tempat – tempat tinggi di Bali, di hulu atau di tanah bervibrasi suci, orang-orang membuat suatu bangunan peribadatan, meski sederhana dan sifatnya sementara.
Ketika itu tiangnya dibuat dari turus pohon dapdap, dan sebuah ruangan dengan balai-balai dirakit dari bambu untuk tempat meletakkan sajian (sesajen). Bangunan suci jenis ini disebut Turus Lumbung, bermakna kias “melindungi dan menghidupi pemujanya”.
"Turus dapdap" bermakna tameng atau perisai-alat pelindung diri.
“lumbung” mengandung makna: ranah penghidupan.
Bangunan Turus Lumbung ini sifatnya sementara yang lambat laun diganti menjadi bangunan yang lebih permanen.

Perkembangan teknologi, berimbas juga pada bangunan Turus Lumbung, yang semula berbahan sederhana, lalu dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal), digunakan untuk tempat sesajen. Dari rong tunggal inilah muncul sebutan nama bangunan suci Kemulan yang dipuja suatu keluarga sekelompok kecil. Jika belakangan kepala keluarga kecil sudah berkembang menjadi beberapa keluarga, mereka kemudian mendirikan beberapa buah palinggih.
Seiring perkembangan kultur manusia yang kian maju, bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (me-rong kalih). Lantas berkembang lagi menjadi tiga ruangan (rong telu), untuk menghormati atau memuja para leluhur yang telah disucikan. Palinggih-palinggih baru disejajarkan tempatnya dengan bangunan Kemulan, sehingga keseluruhannya disebut Sanggah atau Pamerajan. Bangunan-bangunan di dalamnya sangat bervariasi, umumnya terdiri dari bangunan Menjangan Saluang, Gedong, Sanggar Agung, Saka Ulu, dan Taksu.
Perkembangan bangunan rong telu lalu disesuaikan dengan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), bermanifestasi selaku pencipta, pemelihara dan pelebur. Kesatuan ketiga dewa inilah disebut dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Dari pengaruh konsep ini bangunan rong telu berfungsi ganda, selain untuk tempat memuja arwah leluhur yang telah suci, pun untuk memuja Sang Hyang Tri Murti.

Redite Umanis Ukir, Pemujaan Terhadap Bhatara Hyang Guru

 


Sehari setelah perayaan hari suci Tumpek Landep tepatnya Redite (Minggu) Umanis Ukir adalah Piodalan Bhatara Guru yang berstana di Sanggah Kemulan. Dirayakan setiap 210 hari atau enam bulan sekali, Bhatara Guru adalah menifestasi Hyang Widhi Wasa yang memberikan tuntunan pada keturunannya.

Sarana upakara berupa :
Pengambyan 1, sedah ingapon atau sirih diberi kapur sebanyak 25 lembar, kewangen 8 buah. Upakara ini dapat di tambahi lagi, sesuaikan dengan desa, kala, dan patra.

Mengapa di Kemulan? dalam Sastra Hindu disebutkan sebagai berikut :

“Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen bapa ngaran paratma,ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Hyang Siwatma,ring Kamulan tengah ngaran raganta, metu Brahmadadi meme bapa meraga Sang Hyang Tuduh. (Dipetik dari Lontar Usana Dewa)”

Maksudnya:
Di Kamulan disebutkan Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma, di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma, di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahma sebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.

Menurut beberapa sumber pustaka Hindu di Bali, yang dipuja di Pelinggih Kamulan itu adalah Sang Hyang Atma. Di samping dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa yang dikutip di atas juga dinyatakan dalam Lontar Gong Wesi sebagai berikut

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

…ngarania Sang Hyang Atma, ring Kamulan Tengen bapanta ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalin raga.

Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.

Dalam tradisi Hindu di Bali Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru. Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru yaitu Agni, yaitu sinar suci Hyang Widhi, Atman yaitu unsur yang tersuci dalam diri manusia yang berasal dari Brahman, Mata yaitu ibu yang melahirkan kita, Pita yaitu ayah menyebabkan kita lahir dan Acarya yaitu guru yang memberikan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang nampaknya di Bali menjadi ajaran Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wesesa.

Karena Atman sebagai salah satu Guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa itulah nampaknya menjadi dasar pendirian Kamulan sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Batara Hyang Guru. Atman dalam Upanisad adalah Brahman yang ada dalam diri makhluk hidup yang diselubungi oleh Panca Maya Kosa. Untuk menjadikan Atman itu Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara. Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Atman yang disebut Panca Maya Kosa itu. Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.

 

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Upacara tersebut bagaikan menghilangkan selubung mendung di langit biru yang menutupi sinar matahari sehingga sinar matahari tersebut dapat langsung memberikan penerangan pada bumi ini. Demikianlah proses upacara ngaben untuk melepaskan Atman dari selubung Stula Sarira. Upacara Atma Wedana melepaskan Atman dari selubung Suksma Sarira. Sedangkan upacara Danda Kalepasan adalah upacara untuk mengambil dosa-dosa leluhur oleh keturunannya. Dengan demikian Sang Hyang Atma tanpa selubung lagi sehingga disebut Dewa Pitara.

Upacara Danda Kalepasan di Bali ada yang menyebutnya upacara Maperas yang artinya keturunan orang yang diupacarai itu mengadopsi utang-utang karma leluhur yang diupacarai tersebut. Yang diwarisi oleh keturunan itu bukanlah berupa kekayaan materi saja. Berbagai utang karma dari leluhur itu juga harus diwarisi juga.

Ini artinya pemujaan pada leluhur dalam tradisi Hindu di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan. Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya. Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya.

Pengalaman adalah guru terbaik, demikian orang menyebutkan. Pengalaman yang baik dan buruk dari leluhur itu dijadikan guru dalam hidup ini. Itulah pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.

Rupanya manusia setelah dianugerahi ilmu pengetahuan, kemakmuran serta kejayaan tidak lantas lupa, sehingga tidak sia-sia ilmu pengetahuan , kemakmuran serta kejayaan yang diperoleh. Atau bila manusia masih dalam diliputi kegelapan, dekatlah dan mohon selalu kepada beliau Bhatara Hyang Guru sehingga terbuka jalan terang, berkat bimbingan dan tuntunan beliau segala sesuatu menjadi mudah. Bila manusia telah melenceng dari jalurnya, lali kawitan (lupa menyembah pada Bhatara Guru) maka beliau akan memberi kita teguran, baik dalam bentuk peristiwa atau yang lainnya. Oleh karena itu kita tidak boleh lupa pada kawitan (asal muasal manusia). –sumber


Pura Kentel Gumi, Tonggak Pengakuan Mpu Kuturan

 



Pura Agung Kentel Gumi di Desa Tusan, Klungkung, terkait erat dengan perjalanan Mpu Kuturan. Bahkan, pura yang berada di wilayah Kecamatan Banjarangkan ini, menjadi simbol penegakan kembali keberadaan Pulau Bali.

Secara umum diketahui Pura Agung Kentel Gumi yang diamong oleh desa manca (lima desa) yang ada di Kecamatan Banjarangkan, dibangun untuk menciptakan kedamaian di Dunia. “Nama pura berasal dari kata kentel dan gumi. Kentel berarti padat, sedangkan gumi adalah tanah atau dunia. Jadi, ini merupakan pemberian secara simbolis yang menunjukkan suatu penegakan kembali keberadaan Pulau Bali oleh Mpu Kuturan, yang sudah ada sejak Kerajaan Maya Denawa tahun 975 Masehi,” jelas

Pemangku Pura Agung Kentel Gumi, Jro Mangku I Wayan Sudiartha ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya, pekan kemarin.

Ayah lima anak ini, juga menjelaskan bahwa Mpu Kuturan sebagai konseptor pura sekaligus agamawan, di mana pada zaman itu menata Pulau Bali agar kentel. “ Mpu Kuturan kala itu menancapkan sebuah tiang berbentuk segi empat ke dasar bumi, yang kini jadi tempat suci linggih Ratu Pancer Jagat, yang berarti pusat bumi,” terangnya.

Pujawali diselenggarakan setiap enam bulan sekali, bertepatan pada Umanis Galungan. Sedangkan pelaksanaan ngusabha, dilakukan satu tahun sekali bertepatan pada Purnama Kalima. “Sebelum pujawali diselenggarakan, sasuhunan yang ada di wilayah manca desa tedun ke pura terlebih dahulu, dan dilinggihkan pada Bale Agung. Setelah itu, baru dilinggihkan pada suatu tempat yang disebut dengan piyasan Murdha Manik,” urainya.

Siang hari dilanjutkan prosesi mlasti ke Pantai Lepang dengan mamarga (jalan kaki), dilaksanakan pada pukul 12.30 . “Intinya mlasti harus lewat dari pukul 12.00 Wita. Setelah itu ada sebuah tradisi mamasar sebagai simbol kalau sebelum melakukan pujawali, harus mencari persiapan ke pasar terlebih dahulu. Tradisi tersebut dilaksanakan pada perempatan Jalan Desa Tusan,” imbuhnya.

Tradisi mamasar, lanjutnya, diibaratkan sasuhunan yang menjelang piodalan akan mempersiapkan segala sesuatunya, agar pelaksanaan piodalan berjalan lancar, tanpa kekurangan apapun. Kembali dari tradisi mamasar, seluruh sasushunan akan dilinggihkan pada tempat yang sudah ada di pura. “Sampai di pura ada lagi prosesi mapada wewalungan, menggunakan seluruh bahan-bahan upakara, yang akan dibuatkan sesajen. Semua itu dibawa menari sambil mengelilingi areal pura dengan tujuan agar yang berasal dari alam itu dihaturkan kembali pada pujawali tersebut,” terang Sudiartha.

Sarana yang digunakan saat prosesi mapada, ada seekor babi, kambing, ayam, bebek, buah-buahan dan sayur-sayuran. Mapada itu juga dibarengi dengan murwa daksina, dilakukan pada areal jaba pura sampai di areal utama mandala Pura Agung Kentel Gumi.

Setelah itu, lanjutnya, ada penyembelihan babi dengan keris hanya sebagai simbol saja. Selesai disemblih, semua hewan dan sayuran tersebut dikembalikan ke masing-masing bagian upakara yang ada di sana. Buah, sayur dan bunga diberikan kepada serati banten. Sedangkan babi dan hewan lainnya diberikan pada perantenan (bagian dapur). Penyerahan itu pertanda keesokan harinya boleh digunakan untuk upakara.

Sudiartha juga menerangkan, sasuhunan di Pura Agung Besakih dan Pura Pasar Agung ketika mlasti akan simpang (mampir). “Jika melewati jalan Barat, maka sasuhunan yang ada di Besakih dan Pasar Agung akan simpang di sini. Ketika melewati jalan tengah, simpangnya di Pura Penataran Agung Klungkung. Sedangkan jika melalui jalan Timur, akan simpang di pura yang ada di daerah Sidemen Karangasem,” jelasnya.

Sasuhunan yang malinggih di Pura Agung Kentel Gumi adalah Sang Hyang Reka Bhuana Pancar Ring Jagat.

I Made Tisnu Wijaya, salah seorang warga mengatakan pura sempat dipugar, pada tahun 2008 lalu baru rampung pengerjaannya. “Kalau sebelum tahun 2008, jalan raya berada di areal parkiran yang sekarang. Karena dibuatkan sebuah wantilan dan tempat parkir, maka jalannya juga ikut digeser ke sebelah barat parkiran,” papar mantan Ketua Pemuda tersebut.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber

Kamis, 02 Mei 2024

Banten Pejati

 



Pejati untuk mohon dipersaksikan, mengesahkan dan meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin, agar mendapatkan keselamatan.
Banten pejati juga dihaturkan ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci.
Sesayut pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja .
Banten Pejati/ "Banten Peras Daksina" dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
-Daksina kepada Sanghyang Brahma
-Peras kepada Sanghyang Isvara
-Ketupat kelanan kepada Sanghyang Wisnu
-Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
Selain sastra Weda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Weda dan bahasa Mona itu adalah banten.
Lontar Yajña PrakrtI
“Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka dan bhuana”
Artinya :
Semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:
“Mapiteges pakahyunan Banten, nga; pakahyunane sane jangkep galang ”Artinya
: Banten itu adalah buah pemikiran yaitu pemikiran yang lengkap dan bersih.
BANTEN PEJATI
Pejati berasal dari bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-“. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang berada makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.

UNSUR DAN MAKNA FILOSOFI
Daksina
Banten Peras,
Banten Ajuman Rayunan / Sodaan
Ketupat Kelanan
Penyeneng / Tehenan / Pabuat
Pesucian
Segehan alit
Sarana yang Lain
Daun / Plawa; lambang kesejukan.
Bunga; lambang cetusan perasaan
Bija; lambang benih-benih kesucian.
Udara; lambang pawitra, amertha
Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Daksina mengurung:
bakul / serembeng, simbol arda candra
kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
bedogan, simbol swastika
kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
kojong gegantusan, simbul akasa / pertiwi
telur bebek simbol windu dan satyam
tampelan, simbol trimurti
irisan pisang, simbol dharma
irisan tebu, simbol smara-ratih
benang putih, simbol siwa
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa termasuk kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia..
#DAKSINA terdiri dari serobong dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur / slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan , irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di isi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
#PERAS: memakai alas taledan lalu di isi diisi kulit peras yang diisi beras + benang + base tampelan, lalu di atas kulit peras akomodasi 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan), ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur / slepan yang berisi kacang saur, gerang / terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di isi canang dan sampiyan peras.
SODAAN / AJUMAN RAYUNAN: memakai tamas dari janur / slepan yang diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik yang berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di isi canang dan sampiyan Plaus / sampiyan Soda.
TIPAT KELAN: memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di isi dapat diisi dan sampiyan Plaus / Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang kaya minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk memberi informasi juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura / Tempat suci.
Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita rupa sehingga rupa sehingga tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras + daun dapdap + kunir ditumbuk ) dan irisan bunga cepaka dan jepun patok boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.
Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; waras kakalih sampun masikian “.
Artinya :
Kacang-kacangan penyebab perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu.
“Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos waras becik rinengo ”.
Artinya:
Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan:
“Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; waras tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan “.
Artinya :
Segala jenis buah-buahan merupakan hasil dari perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), perasaan yang menyebabkan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Mengenai Kue / Jajan:
“Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan “.
Artinya :
Gina adalah lambang alarm, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka (ayah-ibu), Dodol is lambang pikiran menjadi setia, wajik is lambang belajar sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang benar-benar- Dan tidak .
Mengenai bahan porosan:
“Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih “.
Artinya:Sirih dan pinang itu lambang dari yang kesejahteraan / kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.
TBB


Rabu, 01 Mei 2024

ulah pati Bunuh Diri : Cara Kematian Paling Mengerikan

 


Di dalam ajaran Siwa-Sogata (Tantra Shiwa-Buddha), satu-satunya cara kematian yang tidak dapat ditolong diseberangkan adalah mati bunuh diri (ulah pati). Orang yang mati bunuh diri, dia akan langsung jatuh ke alam-alam rendah dan mengalami penderitaan berat dan ekstrim selama ribuan tahun. Tidak bisa ditolong. Selain itu, di tempat orang yang melakukan bunuh diri pasti mengalami leteh berat dan energi buruk, serta membawa energi bunuh diri yang menular. Sehingga harus dilakukan suatu ritual khusus untuk nyomia (menetralisir kembali) leteh berat, energi buruk dan energi bunuh diri yang menular.
Ada banyak terdapat lontar-lontar mengenai Atma Tattwa (ajaran tentang kematian dan pembebasan), seperti Yama Purana Tattwa, Yama Purwana Tattwa, Yama Tattwa, Swarga Rohana Parwa, Tetenger Kapatian, Tutur Kalepasan, Tutur Kamoksan, dsb-nya.

Dalam lontar Yama Purwana Tattwa dan Yama Tattwa disebutkan bahwa orang yang mati bunuh diri (ulah pati), mayatnya dilarang berada di dalam pekarangan rumah, karena akan membuat rumah mengalami leteh berat dan membawa berbagai hal yang buruk. Serta dilarang diupacarai (ngaben), hanya boleh dikubur saja dan itupun dilarang dibawa ke setra (kuburan) menggunakan bade, hanya boleh dibawa ke setra dengan tumpang salu dari bambu dan peti mati.
Kemudian harus digelar upacara khusus yaitu Pecaruan Nawa Gempang Lebur Gangsa di tempat orang yang melakukan bunuh diri tersebut, untuk nyomia (menetralisir kembali) leteh berat, energi buruk dan energi bunuh diri yang menular.
Selanjutnya, orang yang bunuh diri tersebut, baru boleh diupacarai (ngaben) paling cepat setidak-tidaknya 5 tahun setelah dikubur.
Hal yang sama berlaku dalam tradisi Bali pada jaman dahulu. Orang yang bunuh diri dilarang diupacarai (ngaben) dan harus dikubur saja. Bahkan di beberapa desa, orang yang mati bunuh diri harus dikubur di tempat lain yang berbeda dengan cara kematian lainnya.
Demikian juga dalam ajaran Hindu, seperti dalam buku suci Parasara Dharma Sastra yang ditulis Maharsi Parasara, salah satu Maharsi dalam Rig Veda dan penulis buku Jyotisha (astronomi Hindu). Disebutkan bahwa orang yang mati bunuh diri, dia akan langsung masuk alam neraka dan mengalami penderitaan berat dan ekstrim minimal 60.000 tahun. Tidak bisa ditolong. Bahkan disebutkan bahwa orang yang menemukan orang bunuh diri, mengurus mayatnya, membawa mayatnya ke kuburan dan menyelesaikan upacaranya, juga akan ikut mendapatkan karma-karma buruk akibat perbuatan bunuh diri tersebut.
Bunuh diri merupakan cara kematian paling mengerikan dan juga tidak bisa ditolong. Bunuh diri merupakan avidya (kebodohan) yang membawa pada kesengsaraan berat dan ekstrim. Setelah mati bukannya seseorang bisa terbebas dari beban-beban berat kehidupan, tapi dia justru akan mengalami kesengsaraan yang jauh lebih berat, keras, gelap dan ekstrim dibandingkan dengan kesengsaraan apapun selama masa kehidupan manusia.
Selain itu, di alam samsara ini, mendapat kesempatan terlahir sebagai manusia tidak terjadi dengan mudah. Kelahiran sebagai manusia yang kita miliki disaat ini sangat sulit diperoleh. Kita perlu mengumpulkan akumulasi karma baik yang amat sangat banyak, dalam jangka waktu amat sangat panjang, agar kita dapat terlahir sebagai manusia.
Sehingga sesedih dan seberat apapun kehidupan ini terasa, jangan pernah sedikitpun terpikir untuk melakukan bunuh diri. Jalan keluar paling baik adalah segera mencari perlindungan dharma, seperti membaca ajaran suci dharma, pergi tirtayatra ke tempat-tempat suci, mencari Guru suci pembimbing, mencari saudara spiritual, dsb-nya.