Minggu, 23 Juni 2024

Mebanten Saiban

 



Mebanten Saiban atau Ngejot merupakan suatu tradisi Hindu di Bali yang biasa dilakukan setiap hari setelah selesai memasak di pagi hari. Mesaiban / Mejotan juga disebut dengan Yadnya Sesa, merupakan yadnya yang paling sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
Mesaiban / Mejotan biasanya dilakukan setelah selesai memasak atau sebelum menikmati makanan. Dan sebaiknya memang mesaiban dahulu, baru makan. Seperti yang dikutip Bhagawadgita(percakapan ke-3, sloka 13) yaitu :
YAJNA SISHTASINAH SANTO, MUCHYANTE SARVA KILBISHAIH, BHUNJATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACHANTY ATMA KARANAT
Artinya : Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa.
Makna dan Tujuan Mesaiban
Yadnya sesa atau mebanten saiban merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini.

Tujuannya mesaiban yaitu sebagai wujud syukur atas apa yang di berikan Hyang Widhi kepada kita. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya.
Sarana Banten Saiban
Banten saiban adalah persembahan yang paling sederhana sehingga sarana-sarananya pun sederhana. Biasanya banten saiban dihaturkan menggunakan daun pisang yang diisi nasi , garam dan lauk pauk yang disajikan sesuai dengan apa yang dimasak hari itu, tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu.
Yadnya Sesa (Mesaiban) yang sempurna adalah dihaturkan lalu dipercikkan air bersih dan disertai dupa menyala sebagai saksi dari persembahan itu. Namun yang sederhana bisa dilakukan tanpa memercikkan air dan menyalakan dupa, karena wujud yadnya sesa itu sendiri dibuat sangat sederhana.
Tempat Menghaturkan Saiban
Ada 5 (lima) tempat penting yang dihaturkan Yadnya Sesa (Mesaiban), sebagai simbol dari Panca Maha Bhuta:
Pertiwi(tanah),biasanya ditempatkan pada pintu keluar rumah atau pintu halaman.
Apah(Air), ditempatkan pada sumur atau tempat air.
Teja(Api), ditempatkan di dapur, pada tempat memasak(tungku) atau kompor.
Bayu, ditempatkan pada beras,bisa juga ditempat nasi.
Akasa, ditempatkan pada tempat sembahyang(pelangkiran,pelinggih dll).
Tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu.
Kelima tempat terakhir ini disebut sebagai tempat di mana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari, karena secara tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tetumbuhan di tempat-tempat itu.
Didalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75 dinyatakan: Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan nyadnya sesa.
Doa-doa dalam Yadnya Sesa (Doa Mesaiban)
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada Hyang Widhi melalui Istadewata(ditempat air,dapur,beras/tempat nasi dan pelinggih/pelangkiran doanya adalah:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Hyang Widhi, sebagai paramatma daripada atma semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada simbol-simbol Hyang Widhi yang bersifat bhuta, Yaitu Yadnya Sesa yang ditempatkan pada pertiwi/tanah doanya:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA BHUTA,KALA,DURGHA SUKHA PRADANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Sang Hyang Widhi, Engkaulah paramatma daripada atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta,kala dan durgha.
Jadi pada kesimpulannya sebuah tradisi Hindu di Bali yaitu mesaiban/mejotan merupakan sebuah tradisi yang menghaturkan atau membersembahkan apa yang dimasak atau disajikan untuk makan dipagi hari kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya terlebih dahulu dan barulah sisanya kita yang memakannya . Semua sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan dan menebus dosa atas dosa membunuh hewan dan tumbuhan yang diolah menjadi makanan.
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…

Tetimpug / Penimpug

 



Tetimpug / Penimpug adalah
sarana yang digunakan untuk memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma yang dalam upacara yadnya disebutkan disimbolkan dengan bambu tiga batang yang dibakar dengan api danyuh kelapa, kemudian bambu ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi (meletus).
suara letupan dari 'tetimpug' tersebut merupakan simbol untuk memanggil Bhutakala agar hadir pada upacara tersebut. Kemudian diberikan suguhan supaya tidak menggangu jalannya upacara, ada juga pendapat bahwa suara letupan dari tiga bambu tersebut merupakan simbol atau tanda untuk mengusir pengaruh-pengaruh buruk yang diakibatkan oleh energi negatif (ketiga ruas bambu itu diartikan sebagai simbol Bhuta, Kala, Dengen yang merupakan unsur negatif )
Tetimpug/ penimpug the means used to invoke Sang Hyang Brahma, who in the ceremony mentioned yad symbolized by three bamboo sticks that were burned with fire and coconut, then this bamboo was burned to make a sound (erupted). en
the bursting sound of the 'tetimpug' is a symbol to call Bhutakala to be present at the ceremony. Then given a treat so as not to interfere with the course of the ceremony, there is also an opinion that the sound of the burst of the three bamboo is a symbol or sign to ward off bad influences caused by negative energy (the three bamboo segments are interpreted as symbols of Bhuta, Kala, Dengen which are elements negative)


Sabtu, 22 Juni 2024

Memaknai Rahina Tumpek Landep

 



Sublimasi Pasu, Pasa Jadi Pasupati. Hari Raya Tumpek Landep akan dirayakan pada Saniscara Kliwon wuku Landep. “Tumpek” diambil dari kata “Tampa” berarti turun. Dalam kamus Jawa Kuno - Indonesia “Tampa” mendapat sisipan kata “Um”, sehingga menjadi kata “Tumampak” menurut Lontar Sundarigama berarti dekat. Kata “Tumampak” kemudian mengalami persenyawaan huruf “M” sehingga berubah menjadi “Tumpek”.
Maka Hari Raya Tumpek Landep dapat diartikan sebagai hari peringatan turunnya manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa ke Bumi. Hari Raya Tumpek Landep dapat juga diartikan sebagai upacara yadnya selamatan terhadap semua jenis alat yang tajam serta memohon kepada Bhatara Shiva dan Sang Hyang Pasupati agar semua alat / senjata tetap bertuah yang perayaannya dilakukan setiap 210 hari setiap Saniscara, Kliwon wuku Landep.
Di Bali sesuai siklus hitungan panca wara dan sapta wara ditemukan 6 (enam) kali Saniscara Kliwon dalam durasi 210 hari. Diawali perayaan Tumpek Landep. Kemudian Tumpek Wariga, dengan dengan Ista Dewata Sanghyang Sangkara. Selanjutnya, Tumpek Kuningan, dengan Ista Dewata Sanghyang Mahadewa, lalu Tumpek Krukut Sanghyang Semara Ratih, Tumpek Uye, disana dipuja Sanghyang Rare Angon,Sanghyang Iswara.
Nah pada Saniscara Kliwon umat Hindu menggelar pujawali Tumpek Landep. “Kunang ring wara Landep saniscara Kliwon pujawalin Bhatara Siwa Sambada,Muang yoganira Sang Hyang Pasupati pujawalinira Bhatara Siwa,”
Lalu bagaimana kita memaknai hari Tumpek Landep itu? Dalam afirmasi pujaan idealnya diarahkan kepada dewa pelebur dalam trinitas, yakni Shiva sebagai Hyang Pasupati. Mengacu ajaran Siwasidanta ditekankan adanya tiga tatwa pokok yakni Pasu, Pasa dan Pasupati. Nah, Pasu (binatang) dimaknai sebagai manusia yang masih dibungkus oleh awidya dan maya, ilusi, harus dengan tekad kuat, senantiasa menghilangkan sifat sifat binatang seperti marah, loba, iri, dengki , yang masih melekat pada diri kita.

Untuk mendapat anugerah Shiva, maka Pasa, (pengikat) harus dilepaskan, sehingga mencapai kesadaran Shiva. Ikatan yang dimaksud, berupa kecendrungan, hal hal duniawi, kemelekatan material. Itulah harus dilepaskan ikatannya (pasa) nya. Dengan melepaskan Pasa itu, maka secara gradual diharapkan menyadari hakekat shiva itu sendiri yakni Pasupati (Sanghyang Widhi).
Jadi untuk menghilangkan Pasu dan Pasa itu tidak mudah. Karena itu, di hari baik Tumpek Landep ini, Kita memohon dengan khusuk anugerah kepada Shiva Pasupati, sehingga bisa menghilangkan awidya dan kenikmatan ragawi, duniawi yang berkelebihan itu.
Nah terkait upakara banten sebagai simbolisasi tumpek Landep, maka disiapkan upakara atau bebantenan antara lain Sesayut Pasupati. Diaplikasikan untuk upacara semua jenis (Sarwa) senjata lelandeping perang yang tajam.
“Kalingania ikang Wang apasupati lelandeping idep,”
Nah, Lelandeping idep dalam menapak kehidupan ini, dengan menggunakan ketajaman pikiran. Itulah sebagai senjata utama konsentrasi, ekagrata, hening dalam hakekat Shiva Pasupata. Pikiranlah yang mesti diasah agar fokus, kosentrasinya tajam. Pikiran senantiasa disucikan dengan perbuatan kebenaran. Sedangkan jiwa dimurnikan dengan pengendalian diri.
Itulah makna simbolis sayut Pasupati. Bukan saja sesayut pasupati, ada juga sesayut Jayeng Perang dan sesayut kusumayudha.
Melalui ritual Tumpek Landep diharapkan kita senantiasa mendapat tuntunan ajaran suci untuk menegakkan dharma. Menjalankan shadana - disiplin - mengendalikan, mengkosentrasikan pikiran yang tajam mencapai kesadaran Shiva. Hal hal kontraproduktif yakni nafsu nafsu rendah, sifat sifat binatang, dalam diri harus dienyahkan, dipupus habis.
Bila kecendrungan tak baik itu tidak dikendalikan, maka itulah akan berubah menjadi “musuh” yang justru dapat menyesatkan, menenggelamkan sang jiwa.
“Tan Hana satru mengeluwihaning Hana geleng ri hati,”
Bagaimanapun kita harus senantiasa bisa menang dalam pertarungan panjang melawan musuh musuh , sifat sifat buruk yang melekat dalam diri. Itulah makna yang disimbolisasi menggunakan sayut Jayeng Perang, jaya, menang dalam perang kehidupan.
Jikapun toh setelah berjuang all out harus kalah dalam perang kehidupan ini, maka jadilah pahlawan sejati. Bukan justru mati sebagai budak nafsu. Hal itu disimbolkan dalam sayut Kusumayudha, tetap wangi , harum ia sebagai pahlawan.
Lalu bagaimana caranya memenangkan peperangan abadi itu ?
Mau tidak mau, kita harus membatasi keinginan, buat standar hidup yang mengkonstruksikan dharma, kejujuran dan kedamaian hati, dan mengaplikasikan kasih sayang secara membumi, kepada semua mahluk, dengan senantiasa laku agawe sukaning wong len, serta jangan biarkan mata dan telinga tanpa kontrol. 🌸

Jumat, 21 Juni 2024

Dina kala paksa

 

Mengapa orang bali memasang "Sesuwuk" / Paselatan ( daun pandan diisi tapak dara dari kapur )
Hari ini jumat ( 15/11/19 ) kalemder Bali menandainya sebagai sukra Wage wuku Wayang, Secara tradisi, orang Bali menyebutnya sebagai dina atau hari kala paksa atau dina Ala Paksa. Di beberapa tempat sering pula disebut sebagai hari Pemagpag Kala. Pada hari ini biasanya orang bali akan memasang sesuuk (semacam penanda) disetiap pelinggih atau bangunan suci dan lebuh.
(pintu masuk rumah) Mengapa???
Orang Bali meyakini, dina kala paksa, sehari sebelum tumpek wayang, sebagai hari yang tenget (angker) atau leteh (kotor).
Hari ini dipercaya sebagai puncakkekotoran dunia
(rahina cemer)
Lontar Sundarigam, sebagaimana dikutip IBP sudarsana dalam buku acara agama hindu, menyebut saat dina kala paksa, umat semestinya memepersembahkan sesaji khusus sebagai simbol menetralisir kekuatan buruk, Salah satu persembahan yang khas di hari kala paksa, yakni sesuuk berupa daun pandan berduri itu biasanya di potong-potong sekitar 5cm lalu di olesi kapur sirih dengan tanda tapak dara (tanda silang)


Selain dipasang di setiap pelinggih ,sesuuk juga diletakkan di dalam sebuah sidi (nyiru) disertai benang tridatu. Pada nyiru itu juga di isi takir diisi triketuka (mesui,kesuna,dan jangu) dan canang sari.
Selain itu dilengkapi juga dengan api dakep. Api yang dihasilkan dari sabut kelapa yg disilangkan.
Di akhir upacara, sesaji ini dihaturkan di bawah atau tanah didepan pintu masuk (lebuh).
Ada juga yang membuangnya ditempat pembuangan sampah.
Dan Ritual ini biasanya dilaksanakan pada pagi hari.
Tak hanya itu,pada dada masing-masing umat juga disi tanda tapak dara menggunakan kapur sirih. Sesaji ini, menurut IBP sudarsana sebagai simbol penetralisir kekuatan buruk pada dina kalapaksa.
Doa yang dilantunkan selama prosesi ritual ini, Memohon keselamatan agar energi Buruk menjelma menjadi energi Baik sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan bagi umat manusia.
Orang-orang awam biasanya menyatakan ritual khusus pada hari dina kala paksa sebagai pembentuk pengaharapan agar manusia tidak dimangsa kala.
"Dina kala paksa sehari sebelum menjelang tumpek wayang, hari puncak betara kala. Kalau tidak waspada, kita bisa tadah kala.( Dimangsa kala)
Selain memasang sesuuk, orang bali biasanya berpantang terhadap aktivitas pada hari dina kala paksa. Seperti tidak berkeramas, para sulinggih ( pendeta) juga pantang memuja pada hari dina kala paksa..
Semoga ini bisa menjadi bahan diskusi bagi para sahabat dumay, mungkin saja ada sima atau tradisi yang berbeda di masing2 daerah..
Sehingga postingan ini bermanfaat dan menambah tentang dina kala paksa atau dina sehari sebelum tumpek wayang.

Kamis, 20 Juni 2024

KEBO IWA, SEORANG PATIH YANG RELA BERKORBAN DEMI BERSATUNYA NUSANTARA

 



Kebo Iwa adalah seorang Patih atau Panglima Militer yang berasal dari Bali. Badannya besar, tubuhnya tinggi. Selain menguasai ilmu perang, ia juga menguasai ilmu arsitektur. Ia membangun berbagai tempat ibadah di Bali, dan seringkali mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya.
Meskipun berbadan besar, Kebo Iwa tak pernah semena-mena menggunakan kekuatannya. Hatinya sangat mulia. Ia bahkan sering membantu warga yang mengalami kesulitan, misalnya dengan membuatkan sumur dengan jarinya yang sakti.
Kebo Iwa juga merupakan patih yang setia. Ia pernah berjanji pada Sang Raja, selagi ia masih bernafas, Kerajaan Bali Aga tak akan diserahkan pada kerajaan manapun.
Berita tentang kesaktian Kebo Iwa pun sampai ke telinga Mahapatih Gajah Mada. Gajah Mada adalah seorang patih dari Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan sumpahnya untuk menyatukan nusantara, yaitu Sumpah Palapa.
Gajah Mada, begitu mengetahui bahwa Kerajaan Bali Aga memiliki seorang patih yang sakti, segera mengatur siasat bersama Raja Tribuana Tungga Dewi. Mereka geram, karena kerajaan kecil itu tak juga takluk, sedangkan Kerajaan Daha yang merupakan induk dari Kerajaan Bali Aga, malah lebih dulu tunduk pada Majapahit.
Gajah Mada pun berupaya mencari cara agar bisa menaklukkan kerajaan itu. Ia mengirimkan sebuah surat yang berisi ajakan agar Kerajaan Bali Aga bersedia menjadi sekutu Kerajaan Majapahit. Kebo Iwa pun diundang untuk hadir ke Kerajaan Majapahit sebagai tanda persahabatan.
Raja Bali Aga menyambut hangat ajakan itu. Raja pun mengizinkan Kebo Iwa untuk berkunjung ke sana tanpa rasa curiga. Saat itu Kerajaan Bali Aga diperintah oleh Raja Sri Ratna Bumi Banten yang dikenal adil, bijaksana, dan dicintai oleh rakyatnya.
Sesampainya Kebo Iwa di Majapahit, Gajah Mada segera menemui tamunya tersebut. Gajah Mada berkata, "Kami sedang mengalami paceklik. Rakyat kekurangan air bersih. Untuk itu, sudikah kiranya Patih Kebo Iwa membantu membuatkan sumur?"


Kebo Iwa yang lurus hati itu pun bersedia membantu. Dengan jemarinya yang sakti, Ia mulai membuat lubang di tanah. Namun keanehan terjadi. Air tak juga muncul meskipun Kebo Iwa sudah menggali cukup dalam. Ia pun masuk ke dalam sumur buatannya untuk menggali lebih dalam lagi. Ia tak sadar bahwa sesungguhnya ada bahaya yang sedang mengintai.
Begitu Kebo Iwa masuk ke dalam sumur, Gajah Mada segera memerintahkan prajuritnya untuk menimbun Kebo Iwa dengan tanah yang telah digalinya. Kebo Iwa dikubur hidup-hidup.
Gajah Mada tersenyum, "Akhirnya, sebentar lagi Kerajaan Bali akan menjadi bagian dari nusantara," batinnya. Namun beberapa saat kemudian, tanah bergerak dan keluarlah Kebo Iwa yang ternyata masih hidup. Kebo Iwa merasa dikhianati. Ia pun bertarung dengan Gajah Mada. Akan tetapi di tengah pertarungan, ia terngiang keinginan mulia Gajah Mada yang ingin mempersatukan nusantara.
Di satu sisi ia ingin membantu Gajah Mada mewujudkan impiannya, namun di sisi lain ia juga teringat janjinya pada Raja Bali Aga bahwa Bali Aga tak akan dibiarkan jatuh ke tangan kerajaan lain selama ia masih bernyawa.
Akhirnya, Kebo Iwa memutuskan untuk membantu mewujudkan mimpi Gajah Mada dengan mengatakan bahwa serbuk kapur bisa menghapus kesaktiannya. Mendengar hal itu, Gajah Mada pun segera memukul sebongkah batu kapur. Tak berapa lama, Kebo Iwa tumbang setelah terkena serbuknya.

DISKUSI NAHUSA DAN Yudhistira

 



Nahusha telah berwujud seekor ular besar yang tinggal disebuah gua dan sedang menunggu hari dimana kutukannya akan dicabut karena percakapannya dengan Yudhistara.
Bhima memberikan petunjuk tanpa sadar dengan mencapai Nahusha terlebih dahulu dan Yudhistira datang mencari saudaranya yang melacak jejak kaki dan cerita lain untuk menemukannya dalam cengkeraman kuat ular besar itu.
Ketika Yudhistira memintanya untuk melepaskan saudaranya, Nahusha mengatakan dia akan melepaskannya jika dia menjawab pertanyaan yang akan diajukan kepadanya. Yudhistira mengiyakan namun memberikan syarat balasan bahwa ia ingin mengetahui terlebih dahulu apakah Nahusha sadar 'Apa yang harus disadari (diketahui) oleh seorang Brahmana dalam hidupnya', agar ia bisa menjawab pertanyaan Nahusha.
Nahusha: siapakah Brahmana itu? dan apa yang perlu diketahui?
Yudhistira: Seorang Brahmana adalah orang yang memiliki kualitas-kualitas kebenaran, amal, ketekunan, perilaku baik, tanpa kekerasan, tobat dan kasih sayang.
Yang perlu diketahui adalah Parabrahmam, yang melampaui Sukha (kebahagiaan) dan Dukha (duka), begitu seseorang mengetahui bahwa ia akan mengatasi kesedihan.
Nahusha: kualitas seperti kejujuran, kasih sayang, tidak adanya kemarahan, tidak melakukan kekerasan, kasih sayang tersedia dalam keempat Varna, tidak ada sesuatu pun yang bukan suka atau bukan dukha.
Yudhistira: jika seorang Sudra memiliki semua sifat tersebut maka ia disebut Brahmana, jika seorang Brahmana tidak memiliki sifat tersebut maka ia disebut Sudra.
Saya percaya ada tahapan yang melampau sukha dan dukha, sama seperti ada tahapan dimana tidak ada panas yang ekstrim atau dingin yang ekstrim tapi itu hanya kehangatan biasa.
Nahusha: jika seorang Brahmana ditentukan berdasarkan kualitas yang dimilikinya, maka sia-sia menentukan Varna berdasarkan kelahiran.
Yudhistira: sangat sulit untuk menentukan Varna seorang laki-laki karena percampuran Varna dan laki-laki telah menghasilkan anak dari perempuan dari Varna yang berbeda. Oleh karena itu para filosof berpendapat bahwa penentuan Varna harus didasarkan pada perilaku saja. Barangsiapa mempunyai pengetahuan Veda dan juga sifat-sifat baik, maka dia sendirilah yang layak disebut sebagai Brahmana.
Nahusha menerima bahwa Yudhistira tahu persis apa yang harus diketahui dan karenanya dia tidak bisa memakan saudaranya, Bhimasena. Sesi diskusi berlanjut lebih jauh dengan Yudhistira mencari ilmu kepada Nahusha dan akhirnya Nahusha mendapatkan tubuh ketuhanannya dan menjauh menuju swarga setelah menyelesaikan masa kutukannya.
*Komentar*.
*1*. Diskusi secara khusus memperjelas bahwa banyak brahmana, karena kelahiran, tidak memperlihatkan kualitas-kualitas yang ditentukan dan sesi tanya jawab ini. Kemerosotan kualitas para brahmana lebih terlihat pada Kaliyuga dibandingkan Dwapara Yuga. Ini masuk teks Mahabharata, karena mempunyai tujuan yang lebih tinggi sebagai dharma sastra.


*2*. Pada masa kini seseorang dapat diklasifikasikan kedalam Varna dan kasta, ditentukan berdasarkan perilaku. Brahmana berdasarkan kasta tidak dapat mengklaim dirinya secara otomatis sebagai Brahmana oleh Varna tanpa memiliki kualitas-kualitas yang layak seperti yang disebutkan di atas sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Mahabharata karya Vyasa dan disepakati oleh Nahusha dan Yudhistira.
*3*. Promiskuitas adalah praktik melakukan seks bebas secara sering dengan pasangan yang berbeda atau tidak pandang bulu memilih pasangan, tanpa didasari ikatan pernikahan.
*4*. Para orang bijak memberikan kesaksian dengan mengatakan apapun kasta kita, lakukan pengorbanan (yajna) sebagai awal, karena orang-orang bijak berpendapat bahwa karakter adalah syarat utama. Upacara kelahiran seseorang dilakukan sebelum putus tali pusat, ibunya bertindak sebagai Savitri dan ayahnya bertugas sebagai pendeta.
*5*. Dianggap sebagai seorang Sudra selama dia tidak diinisiasi dalam Veda. Swayambhuva Manu telah menyatakan, bahwa kasta campuran harus dianggap lebih baik jika telah melalui upacara penyucian dan mematuhi aturan perilaku yang baik. Siapapun yang mematuhi aturan-aturan perilaku yang murni dan berbudi luhur, maka dialah yang telah ditetapkan sebagai seorang Brahmana.
*6*. Karakteristik yang ada pada seorang Sudra, tidak ada pada seorang Brahmana, mereka yang Brahmana juga tidak ada dalam Sudra. Seorang Sudra bukanlah Sudra karena kelahirannya saja, begitu pula seorang Brahmana bukanlah Brahmana karena kelahirannya saja.
*7*. Orang yang dikatakan oleh para bijaksana yang melihat kebajikan-kebajikan itu adalah seorang Brahmana. Orang-orang menyebutnya sebagai Sudra yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut, meskipun ia adalah seorang Brahmana sejak lahir.
*8*. Dengan melakukan hal yang sebaliknya, manusia dilahirkan kembali sebagai manusia atau sebagai binatang yang lebih rendah, bahwa manusia yang terombang-ambing oleh amarah dan nafsu serta terbiasa dengan keserakahan dan kedengkian, akan meninggalkan alam kemanusiaannya dan terlahir kembali sebagai hewan yang lebih rendah.
*9*. Makhluk hidup yang menuai hasil perbuatannya, kemudian bertransmigrasi melalui kondisi ini, roh terikat oleh takdir dan menuai hasil dari tindakannya sendiri, mengalami kelahiran demi kelahiran. Orang yang terlahir bijaksana menyerahkan jiwanya kedalam Roh Tertinggi yang kekal.
*Bhagavad Gita 8. 8*
*abhyāsa-yoga-yuktena*
*cetasā nānya-gāminā*
*paramaḿ puruṣaḿ divyaḿ*
*yāti pārthānucintayan*
Orang yang bersemadi kepadaKu sebagai Kepribadian Tuhan YME, dengan pikirannya senantiasa tekun ingat kepada-Ku dan tidak pernah menyimpang dari jalan itu, dialah yang pasti mencapai kepada-Ku, wahai Pārtha.
Dengan berbincang dengan dirimu yang saleh, kutukanku yang menyakitkan telah ditebus. Setelah berkata demikian, raja Nahusa, meninggalkan wujud ularnya, dan mengambil wujud surgawinya, kembali ke Surga.
Yudhishthira pun kembali kepertapaannya bersama Dhaumya dan saudaranya Bhima. Kemudian beliau menceritakan semua itu secara rinci kepada para brahmana yang berkumpul disana. Semua Brahmana mulia yang menginginkan kesejahteraan para Pandawa, menegur Bhima karena kebodohannya, menyuruhnya untuk tidak melakukan hal seperti itu lagi, para Pandawa juga sangat senang melihat Bhima yang perkasa keluar dari bahaya dan tinggal bersama lagi.