Kamis, 27 Juni 2024

Palinggih Penglurah

 


dalam sanggah / merajan alit, selain kemulan - taksu, semeton bali diwajibkan membangung panglurah agung.
dimana palingih ini berupa bangunan bebaturan seperti tugu dengan batu paras, batu cadas atau batu bata dengan rong satu bertempat di sebelah kiri sanggah kemulan.
Berasal dari kata "Lurah" yang berarti penguasa di suatu wilayah.
Pelinggih Penglurah merupakan pengingat/jatu atau sebagai "Engker" dari unsur Bayu/Angin dalam materi dasar pembentuk kehidupan,
Panca Maha Bhuta. Sebagai Lurah bertugas ngemong jagat/ Amangku Bhumi sehingga leluhur kita sering menghormati Beliau dengan sebutan Ratu Ngurah Tangeb Langit.
Harmonisasi antara parahyangan, pawongan dan pelemahan dari perspektif pelinggih Pengelurah adalah terciptanya suasana sejuk (tis), nyaman (ngelangenin) serta mood yang teratur (tegteg) serta stabil (pageh) dari manusia yang tinggal didalamnya.


Jika kalian sering mengalami swing mood atau angin-anginan, dari senang tiba tiba sedih, paranoid, merasa tiba tiba hawa dirumah panas, awalnya ingin belajar tiba tiba mood kalian terbang seringan Angin jadi malas belajar dan kalian kadang tidak bisa tidur padahal badan sangat lelah.
Bhatara Ngelurah atau sering disebut Pengelurah.
Penglurang asal katanya "Lurah" yang artinya pembantu (pepatih), mendapat awalan pe dan sisipan ng, menjadi kata kerja, jadi pengelurah artinya bertugas menjadi pembantunya para dewa atau dewata (menjadi patihnya) pada setiap pura atau pamerajan.
Dalam perpektif manusia sebagai makhluk Sosial-Spiritual, salah satu penyebabnya dari gangguan diatas adalah ketidakharmonisan diri dengan vibrasi energi Ratu Ngurah Tangeb Langit yang di stanakan di Pelingih Pengelurah.
Menghadaplah dengan hati tulus dan terbuka memohon petunjuk kehadapan Ratu Ngurah dan lakukan meditasi untuk mengharmoniskan "bagian diri" yang terbentuk dari elemen Bayu/Udara/Angin dalam diri Anda.
Semeton tidak perlu memikirkan sarana banten yang rumit, cukup dengan ketetapan hati, canang, dupa, air dan metode meditasi yang sesuai untuk mulai mengaharmoniskan diri Anda dengan unsur Bayu di Alam Semesta.
Itulah filosofi dasar kenapa Mpu Kuturan menyarankan setiap merajan/sanggah mendirikan pelingih Pengelurah.
Bangunan ini merupakan palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga sanggah pamerajan..
Dalam Penghayatan agama ring sekala Tugu Panglurah adalah palinggih ( Sthana ) para Lurah, iringan pengawal para Dewa Istadewata Hyang Widhi. Fungsinya adalah sebagai Pengawal Pribadi dari Ista Dewata Hyang Widhi.

Selasa, 25 Juni 2024

RAHINA BUDA CEMENG KELAWU

 


Hari Buda Cemeng Kelawu atau biasanya juga disebut dengan Buda Wage Kelawu,dilaksanakan setiap enam bulan sekali.
Pada hari suci ini, yang dipuja oleh umat Hindu adalah sinar suci-Nya Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Sebagai manifestasinya ke dalam perwujudan Ida Bhatara Sri Sedana, atau Ida Bhatara Rambut Sedana.
terhadap Dewi Laksmi yang di Bali diberi gelar Sang Hyang Sri Sedana atau Bhatari Rambut Sedana
"Sri" berarti beras dan
"Sedana" berarti uang,
Sesuai dengan gelarnya Lakshmi adalah Dewi yang olas asih yang menganugrahkan harta kekayaan emas,perak (sarwa mule) kemakmuran, dan kesejahteraan.


Menurut umat Hindu di Bali saat buda cemeng kelawu diyakini Ida Betari Rambut Sedana atau Dewi Laksmi sedang melaksanakan yoganya dan umat biasanya menghaturkan banten tebasan rambut Sedana di palinggih Taksu yang diyakini Beliau beryoga di palinggih tersebut.
Tebasan ini berisi nasi penek dan tumpeng masing-masing dua buah, dan terbuat dari beras hitam (beras injin), raka-raka jangkep, taledan dialasi kulit peras, dan sampian sodaan, peras dan penyeneng.
Menurut yang dikutip dari laman tribun percakapan dengan seorang pemangku asal bon dalem, ( Jero Mangku Ketut Maliarsa)
Dewi Laksmi adalah saktinya Dewa Wisnu sehingga penek dan tumpengnya menggunakan warna hitam.
Selanjutnya Dewi Sri perwujudan wanita cantik (predana) dan satunya lagi Dewa Sedana perwujudan uang sebagai Purusha.
Sehingga biasanya dilambangkan dengan dua arca antara Dewi Sri dengan Dewa Sedana,
Ring sekala biasa disebut
"Purusha dan Predana."
Namun secara umum
Sarana Yadnya yang dugunakan
Tidak ada yang khusus pada hari raya buda cemeng klawu, Bisa dipakai sarana mulai dari canang sari, banten pejati, maupun bebantenan tumpeng 7 disesuaikan denga desa, kala, patra dan desa mawacara di masing - masing pakraman dan kemampuan umat masing - masing.
Makna dan Tujuan
Dari pemujaan terhadap beliau dalam prabawanya sebagai Ida Bhatara Rambut Sedhana adalah untuk memohon anugraha beliau dalam berbagai macam wujud dan bentuk kemakmuran untuk segala makhluk hidup ciptaannya

Senin, 24 Juni 2024

ARMADA TEMPUR KERAJAAN BALI KUNA

 



Sugra Pekulun,
Dalam Catatan Sejarah yang Valid, Kerajaan Bali Kuna ternyata memiliki Armada Tempur ( Pasukan Perang ) yang tangguh.
Pernahkah Kerajaan Bali Kuna diserbu Kerajaan lain ?
Jawabannya : Menurut saya Tidak Pernah
Pertimbangan nya :
Tidak satupun tercatat dalam Prasasti yang sahih ( Dari Tahun Saka 804 sampai Saka 1264 ) yang mencatat Tentang Penyerbuan Prajurit Kerajaan Luar Pulau Bali yang menyerbu Bali.
Kenapa Bali tidak pernah diserbu Kerajaan lain ?
Banyak kemungkinan diantaranya :
- Bali mungkin pernah menjadi Negara Vasal.
- Bali mempunyai Armada Tempur yang tangguh yang disegani Kerajaan lain
Menarik untuk disimak tentang Armada Tempur ( Pasukan Perang ) Bali Kuno. Fakta kekuatan Pertahankan Kerajaan Bali tertulis dalam Prasasti yang sahih yang sudah diverifikasi oleh Ahli Epigrafi.
Diantaranya :
- Juru Wadwa ( Pemimpin Pasukan / Prajurit ).
Dalam suatu Armada Tempur yang tangguh, tentu ada Panglima Perang ( Pemimpin Pasukan ), dan Panglima Perang di Jaman Bali Kuna disebut “ Juru Wadwa “. Hal ini tertulis dalam Prasasti Angsri A , yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ …….. samgat juru wadwa dang acarrya gamarohana …….. “:
Saat itu, Juru Wadwa ( Pemimpin Pasukan ) dijabat oleh Dang Acaryya Gamarohana.
- Gudang Senjata dan Pabrik Baju Besi ( Baju Zirah ).
Dalam suatu Kerajaan yang tangguh tentu mempunyai Pasukan dengan Senjata yang mumpuni. Gudang dan Produksi Senjata lokasinya adalah di Wanua ( Desa ) Tamblingan. Dalam Prasasti sering disebut tentang “ Juru Pande “ ( Pemimpin / Petugas Pande ) di Tamblingan. Begitu juga pabrik Baju Zirah ( Baju Besi Pelindung Prajurit ), tempat nya adalah di Tamblingan. Bukti tentang keberadaan Pande yang memproduksi Baju Besi di Tamblingan tertulis dalam Prasasti Tamblingan - Pura Endek I Lempeng Besar I, berangka tahun Saka 844. Raja yang bertahta saat itu adalah Sang Ratu Sri Ugrasena, Raja termasyur Bali Kuno. Yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ …….. tani antêkên ya parmasan ulih juru pande, apan hhu tumkap baji bsi …….. “.
Terjemahannya :
“ …….. Tidak dikenakan ia parmasan(a) oleh juru pande, karena bertugas membuat baju besi ……… . “.
Adalah suatu yang lumrah di Angkatan Perang Kerajaan - kerajaan Nusantara bahwa Senjata Andalan Prajurit adalah Keris begitu juga di Bali. Kris ( Keris ) tertulis dalam Prasasti Batur - Pura Abang A ( Air Hawang I ), Lempeng III.a. Berangka tahun Saka 933. Raja yang bertahta adalah Paduka Haji Sri Dharmmodayana Warmmadewa. Yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ …….. tan pangala_. _pana kris, kampit, lukay, wdung, wadung, sasap, linggis, astam tnunan laway, …….. “
Terjemahan :
“ …….. mereka tidak diperkenankan mengambil Keris, pisau, sabit, parang, kampak, pisau pengiris, linggis, astam tenunan lawe ( benang?), …….. “.
- Amanah - Agandi ( Pasukan Panah dan - Pelempar Batu ).
Pasukan Panah dan Pelempar Batu tertulis dalam Prasasti Sawan AI ( Bila IA ) Lempeng III.a. Berangka Tahun Saka 945. Raja yang bertahta adalah Paduka Haji Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkaja Sthana Uttunggadewa. Yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ ……. nganyan wwaya para senāpati, ser nāyaka, parajuru, parawadwahaji amanahagandi, …….. “.
Terjemahan :
“ …….. Ada para senapati, ser nayaka, para juru, para wadwahaji, amanah-agandi ( pasukan panah, Pelempar Batu ), …….. “.
Pasukan Panah mungkin sudah lumrah tetapi tentang Pasukan Pelempar Batu agak unik dan mungkin jarang terdengar bahwa Kerajaan Bali mempunyai Divisi Pelempar Batu. Apakah Batu dilempar langsung ke Pasukan Musuh atau memakai Alat Pelontar seperti di Film Lord Of The Rings, mungkin perlu didiskusikan lagi.
- Pasukan Maya
Walaupun tidak disebutkan secara spesifik, kemungkinan Ksatria - ksatria tangguh Bali jaman dulu juga berbekal Ilmu Olah Batin yang mumpuni. Alasannya, Ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Maya seperti Ilmu Sihir / Ilmu Teluh dll sudah berkembang di Bali sejak dulu. Penyihir, Tukang Racun dan Penyebar Wabah ( Gering ) tertulis dalam Prasasti Ujung ( Jung Hyang ) Lempeng IV.b. Berangka tahun Saka 932. Diperkirakan Raja yang bertahta saat itu adalah Paduka Haji Sri Dharmmodayana Warmmadewa. Yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ …….. hamupang, hamigiñjat, drohaka, haněluḥ, haracun, hatatayi, …….. “.
Terjemahan :
“ …….. Merampas, melakukan perzinahan, durhaka/pengkhianat, menyihir, meracun, menyebarkan wabah, ……… “.
Sedangkan Ksatria, Kuda dan Pendukung Armada Tempur yang lain sudah banyak tertulis dalam Prasasti Bali Kuna.
Dengan Kekuatan dan Kelengkapan Armada Tempur yang dimiliki Kerajaan Bali Kuna, Musuh dari Kerajaan lain akan berpikir ulang untuk mengadakan Perang Besar dengan Kerajaan Bali.
Salut buat Ksatria Ksatria tangguh Balidwipa yang sudah menjaga Pulau Bali.
SEKARANG BUKAN WAKTUNYA BERPERANG MENGANGKAT SENJATA
KARENA MUSUH SEBENARNYA YANG PERLU DIPERANGI ADA DALAM DIRI KITA
Jukut Kangkung misi sambel sera
Kirang langkung titiang nunas gengrena sinempura
Photo sebagai ilustrasi
Disarikan dari :

Minggu, 23 Juni 2024

Mebanten Saiban

 



Mebanten Saiban atau Ngejot merupakan suatu tradisi Hindu di Bali yang biasa dilakukan setiap hari setelah selesai memasak di pagi hari. Mesaiban / Mejotan juga disebut dengan Yadnya Sesa, merupakan yadnya yang paling sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
Mesaiban / Mejotan biasanya dilakukan setelah selesai memasak atau sebelum menikmati makanan. Dan sebaiknya memang mesaiban dahulu, baru makan. Seperti yang dikutip Bhagawadgita(percakapan ke-3, sloka 13) yaitu :
YAJNA SISHTASINAH SANTO, MUCHYANTE SARVA KILBISHAIH, BHUNJATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACHANTY ATMA KARANAT
Artinya : Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa.
Makna dan Tujuan Mesaiban
Yadnya sesa atau mebanten saiban merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini.

Tujuannya mesaiban yaitu sebagai wujud syukur atas apa yang di berikan Hyang Widhi kepada kita. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya.
Sarana Banten Saiban
Banten saiban adalah persembahan yang paling sederhana sehingga sarana-sarananya pun sederhana. Biasanya banten saiban dihaturkan menggunakan daun pisang yang diisi nasi , garam dan lauk pauk yang disajikan sesuai dengan apa yang dimasak hari itu, tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu.
Yadnya Sesa (Mesaiban) yang sempurna adalah dihaturkan lalu dipercikkan air bersih dan disertai dupa menyala sebagai saksi dari persembahan itu. Namun yang sederhana bisa dilakukan tanpa memercikkan air dan menyalakan dupa, karena wujud yadnya sesa itu sendiri dibuat sangat sederhana.
Tempat Menghaturkan Saiban
Ada 5 (lima) tempat penting yang dihaturkan Yadnya Sesa (Mesaiban), sebagai simbol dari Panca Maha Bhuta:
Pertiwi(tanah),biasanya ditempatkan pada pintu keluar rumah atau pintu halaman.
Apah(Air), ditempatkan pada sumur atau tempat air.
Teja(Api), ditempatkan di dapur, pada tempat memasak(tungku) atau kompor.
Bayu, ditempatkan pada beras,bisa juga ditempat nasi.
Akasa, ditempatkan pada tempat sembahyang(pelangkiran,pelinggih dll).
Tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu.
Kelima tempat terakhir ini disebut sebagai tempat di mana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari, karena secara tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tetumbuhan di tempat-tempat itu.
Didalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75 dinyatakan: Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan nyadnya sesa.
Doa-doa dalam Yadnya Sesa (Doa Mesaiban)
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada Hyang Widhi melalui Istadewata(ditempat air,dapur,beras/tempat nasi dan pelinggih/pelangkiran doanya adalah:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Hyang Widhi, sebagai paramatma daripada atma semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada simbol-simbol Hyang Widhi yang bersifat bhuta, Yaitu Yadnya Sesa yang ditempatkan pada pertiwi/tanah doanya:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA BHUTA,KALA,DURGHA SUKHA PRADANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Sang Hyang Widhi, Engkaulah paramatma daripada atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta,kala dan durgha.
Jadi pada kesimpulannya sebuah tradisi Hindu di Bali yaitu mesaiban/mejotan merupakan sebuah tradisi yang menghaturkan atau membersembahkan apa yang dimasak atau disajikan untuk makan dipagi hari kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya terlebih dahulu dan barulah sisanya kita yang memakannya . Semua sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan dan menebus dosa atas dosa membunuh hewan dan tumbuhan yang diolah menjadi makanan.
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…

Tetimpug / Penimpug

 



Tetimpug / Penimpug adalah
sarana yang digunakan untuk memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma yang dalam upacara yadnya disebutkan disimbolkan dengan bambu tiga batang yang dibakar dengan api danyuh kelapa, kemudian bambu ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi (meletus).
suara letupan dari 'tetimpug' tersebut merupakan simbol untuk memanggil Bhutakala agar hadir pada upacara tersebut. Kemudian diberikan suguhan supaya tidak menggangu jalannya upacara, ada juga pendapat bahwa suara letupan dari tiga bambu tersebut merupakan simbol atau tanda untuk mengusir pengaruh-pengaruh buruk yang diakibatkan oleh energi negatif (ketiga ruas bambu itu diartikan sebagai simbol Bhuta, Kala, Dengen yang merupakan unsur negatif )
Tetimpug/ penimpug the means used to invoke Sang Hyang Brahma, who in the ceremony mentioned yad symbolized by three bamboo sticks that were burned with fire and coconut, then this bamboo was burned to make a sound (erupted). en
the bursting sound of the 'tetimpug' is a symbol to call Bhutakala to be present at the ceremony. Then given a treat so as not to interfere with the course of the ceremony, there is also an opinion that the sound of the burst of the three bamboo is a symbol or sign to ward off bad influences caused by negative energy (the three bamboo segments are interpreted as symbols of Bhuta, Kala, Dengen which are elements negative)


Sabtu, 22 Juni 2024

Memaknai Rahina Tumpek Landep

 



Sublimasi Pasu, Pasa Jadi Pasupati. Hari Raya Tumpek Landep akan dirayakan pada Saniscara Kliwon wuku Landep. “Tumpek” diambil dari kata “Tampa” berarti turun. Dalam kamus Jawa Kuno - Indonesia “Tampa” mendapat sisipan kata “Um”, sehingga menjadi kata “Tumampak” menurut Lontar Sundarigama berarti dekat. Kata “Tumampak” kemudian mengalami persenyawaan huruf “M” sehingga berubah menjadi “Tumpek”.
Maka Hari Raya Tumpek Landep dapat diartikan sebagai hari peringatan turunnya manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa ke Bumi. Hari Raya Tumpek Landep dapat juga diartikan sebagai upacara yadnya selamatan terhadap semua jenis alat yang tajam serta memohon kepada Bhatara Shiva dan Sang Hyang Pasupati agar semua alat / senjata tetap bertuah yang perayaannya dilakukan setiap 210 hari setiap Saniscara, Kliwon wuku Landep.
Di Bali sesuai siklus hitungan panca wara dan sapta wara ditemukan 6 (enam) kali Saniscara Kliwon dalam durasi 210 hari. Diawali perayaan Tumpek Landep. Kemudian Tumpek Wariga, dengan dengan Ista Dewata Sanghyang Sangkara. Selanjutnya, Tumpek Kuningan, dengan Ista Dewata Sanghyang Mahadewa, lalu Tumpek Krukut Sanghyang Semara Ratih, Tumpek Uye, disana dipuja Sanghyang Rare Angon,Sanghyang Iswara.
Nah pada Saniscara Kliwon umat Hindu menggelar pujawali Tumpek Landep. “Kunang ring wara Landep saniscara Kliwon pujawalin Bhatara Siwa Sambada,Muang yoganira Sang Hyang Pasupati pujawalinira Bhatara Siwa,”
Lalu bagaimana kita memaknai hari Tumpek Landep itu? Dalam afirmasi pujaan idealnya diarahkan kepada dewa pelebur dalam trinitas, yakni Shiva sebagai Hyang Pasupati. Mengacu ajaran Siwasidanta ditekankan adanya tiga tatwa pokok yakni Pasu, Pasa dan Pasupati. Nah, Pasu (binatang) dimaknai sebagai manusia yang masih dibungkus oleh awidya dan maya, ilusi, harus dengan tekad kuat, senantiasa menghilangkan sifat sifat binatang seperti marah, loba, iri, dengki , yang masih melekat pada diri kita.

Untuk mendapat anugerah Shiva, maka Pasa, (pengikat) harus dilepaskan, sehingga mencapai kesadaran Shiva. Ikatan yang dimaksud, berupa kecendrungan, hal hal duniawi, kemelekatan material. Itulah harus dilepaskan ikatannya (pasa) nya. Dengan melepaskan Pasa itu, maka secara gradual diharapkan menyadari hakekat shiva itu sendiri yakni Pasupati (Sanghyang Widhi).
Jadi untuk menghilangkan Pasu dan Pasa itu tidak mudah. Karena itu, di hari baik Tumpek Landep ini, Kita memohon dengan khusuk anugerah kepada Shiva Pasupati, sehingga bisa menghilangkan awidya dan kenikmatan ragawi, duniawi yang berkelebihan itu.
Nah terkait upakara banten sebagai simbolisasi tumpek Landep, maka disiapkan upakara atau bebantenan antara lain Sesayut Pasupati. Diaplikasikan untuk upacara semua jenis (Sarwa) senjata lelandeping perang yang tajam.
“Kalingania ikang Wang apasupati lelandeping idep,”
Nah, Lelandeping idep dalam menapak kehidupan ini, dengan menggunakan ketajaman pikiran. Itulah sebagai senjata utama konsentrasi, ekagrata, hening dalam hakekat Shiva Pasupata. Pikiranlah yang mesti diasah agar fokus, kosentrasinya tajam. Pikiran senantiasa disucikan dengan perbuatan kebenaran. Sedangkan jiwa dimurnikan dengan pengendalian diri.
Itulah makna simbolis sayut Pasupati. Bukan saja sesayut pasupati, ada juga sesayut Jayeng Perang dan sesayut kusumayudha.
Melalui ritual Tumpek Landep diharapkan kita senantiasa mendapat tuntunan ajaran suci untuk menegakkan dharma. Menjalankan shadana - disiplin - mengendalikan, mengkosentrasikan pikiran yang tajam mencapai kesadaran Shiva. Hal hal kontraproduktif yakni nafsu nafsu rendah, sifat sifat binatang, dalam diri harus dienyahkan, dipupus habis.
Bila kecendrungan tak baik itu tidak dikendalikan, maka itulah akan berubah menjadi “musuh” yang justru dapat menyesatkan, menenggelamkan sang jiwa.
“Tan Hana satru mengeluwihaning Hana geleng ri hati,”
Bagaimanapun kita harus senantiasa bisa menang dalam pertarungan panjang melawan musuh musuh , sifat sifat buruk yang melekat dalam diri. Itulah makna yang disimbolisasi menggunakan sayut Jayeng Perang, jaya, menang dalam perang kehidupan.
Jikapun toh setelah berjuang all out harus kalah dalam perang kehidupan ini, maka jadilah pahlawan sejati. Bukan justru mati sebagai budak nafsu. Hal itu disimbolkan dalam sayut Kusumayudha, tetap wangi , harum ia sebagai pahlawan.
Lalu bagaimana caranya memenangkan peperangan abadi itu ?
Mau tidak mau, kita harus membatasi keinginan, buat standar hidup yang mengkonstruksikan dharma, kejujuran dan kedamaian hati, dan mengaplikasikan kasih sayang secara membumi, kepada semua mahluk, dengan senantiasa laku agawe sukaning wong len, serta jangan biarkan mata dan telinga tanpa kontrol. 🌸