Selasa, 20 Agustus 2024

CERITA RAKYAT BALI BUKIT GUMANG DESA BUGBUG KARANGASEM BALI,INDONESIA

 



Seorang laki-laki dari Pulau Jawa (Jaba – luar ?), entah siapa namanya, terlunta-lunta pergi ke Bali. Ia jatuh miskin. Pekerjaannya sehari-hari hanya berjudi dan bermalas-malasan. Tanah rumah dan harta bendanya habis terjual karena ia selalu kalah dalam perjudian.

Di Bali ia berharap dapat menghindari kebiasaannya yang sangat buruk itu. Sambil mengenang nasibnya yang malang itu, ia melangkah tak tentu arah. Berpuluh sungai terseberangi, berpuluh hutan dan gunung terlewati, akhirnya ia sampai di sebuah bukit di ujung timur Pulau Bali. Penduduk Desa Bugbug yang tinggal tidak jauh dari bukit itu, menamakan tempat itu Bukit Juru atau Bukit Gumang.

Bukit yang agak tinggi itu menjorok ke Pantai selatan, di lereng Barat dan Utara berjejer gugus-gugus hutan yang lebat dan menghijau, di lereng timurnya mengalir sebuah sungai, Sungai Buhu namanya dan di seberang sungai itu terbentang sawah yang luas, di bukit itulah ia merasakan ketenangan. Sekali-sekali ia melepas pandang ke selatan, memandang ombak yang menghempas ke pantai di Song Lawah di kaki Bukit Gumang sebelah selatan.

Di bukit yang berpuncak seperti prisma, puncak bukit yang bercabang tiga laksana lambang kedamaian – peace – ini ia beroleh kedamaian. “Bukit ini tak kan kutinggalkan,” katanya sendirian. Ia duduk bersila menghadap ke timur laut menjalankan tapa brata seolah hendak menghubungkan aura Gunung Agung di Utara dan Gunung Lempuyang di timur mewujudkannya menjadi garis imajiner Trikona. Berhari-hari berminggu minggu, bahkan berbulan-bulan, ia merenung : melupakan masa silam dan menyambut kehidupan yang baru.

Singkat cerita, laki-laki yang mula-mula berperangai buruk itu berhasil menjadi betara atau dewata. Karena menetap di bukit itu, lama kelamaan ia dikenal dengan nama Dewa Gede Gumang. Di alam dewata ia tidak lagi hidup menyendiri, tetapi hidup berkeluarga, punya seorang istri dan empat orang anak. Anak pertama laki-laki bernama Dewa Gede Manik Punggung, anak kedua ketiga dan keempat semuanya perempuan berturut-turut bernama Dewa Ayu Nengah, Dewa Ayu Nyoman dan Dewa Ayu Ketut.

Keluarga dewata itu hidup rukun dan damai. Mereka bukan saja berhubungan baik dengan dewa-dewa di Desa Bugbug, tetapi juga dengan dewa-dewa di luar desa itu, seperti Bebandem, Jasi dan Ngis. Bahkan Dewa Gede Gumang menginginkan putra-putrinya menikah dengan betara-betari dari desa tetangga.





Keinginan sang Ayah itu terpenuhi, putrinya yang pertama Dewa Ayu Nengah dinikahkan dengan Betara Bebandem itu tidak berjalan mulus. Konon Ida Betara Bebandem itu sangat buruk rupanya. Kepalanya botak dan bibirnya sumbing. Sedikitpun Dewa Ayu Nengah tidak tertarik pada pemuda itu. Setiap didekati, putri itu menjauh, bahkan menolak mentah-mentah.

Tibalah pada suatu kesempatan, Dewa Ayu Nengah minggat dari Bebandem, Ia tidak berani pulang ke Gumang, tetapi membuang-buang langkah di pesisir Pantai Selatan. Di sepanjang jalan ia menangis dan menyesali nasibnya yang malang. Ketika menyisiri Pantai Jasi, seorang Betara bernama Betara Gede Pesisi mendengar tangis yang mengiris hati.

“Apa yang terjadi atas dirimu Ayu Nengah ?” Tanya Betara Pesisi mendekati Dewa Ayu Nengah. “Dan mengapa menangis di tempat seperti ini ?” “Tolonglah hamba yang malang ini Betara Gede,” jawab Dewa Ayu Nengah sesenggukan. Kemudian menjelaskan kenapa ia meninggalkan Betara Gede Bebandem.

Sebelumnya kedua Betara-betari itu sudah sejak lama saling menaruh perhatian. Akan tetapi karena takut dengan Dewa Gede Gumang, kedua muda-muda itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk saling bercengkerama. Kini saat yang baik itu dipergunakan oleh Dewa Gede Pesisi untuk menyatakan isi hatinya.

Pertemuan yang tak terduga-duga itu ternyata melahirkan benih-benih saling mencintai. Petang itu juga keluarga Dewa Gede Pesisi menyampaikan pejati kepada Dewa Gede Gumang. Tentu saja Dewa Gede Gumang marah luar biasa. Ia merasa hubungannya dengan Dewa Gede Bebandem sengaja dihancurkan, Kalau saja beberapa orang pengiring tidak melerai kejadian petang itu, pastilah terjadi pertumpahan darah.

Setelah kemarahannya mereda, barulah Dewa Gede Gumang menyadari kekeliruannya. Pernikahan antara putrinya dengan Dewa Gede Pesisi adalah atas dasar cinta sama cinta. Sedangkan pernikahan dengan Betara Bebandem atas dasar kehendak orang tua masing-masing. Hubungan cinta yang murni itu haruslah direstui, demikian kata hatinya.

Sepeninggal Betara Gede Pesisi tak lama kemudian datanglah Betara Bebandem. Ia mengira Ayu Nengah yang minggat dari rumahnya, pastilah pulang ke Gumang. Mendengar penjelasan bahwa Ayu Nengah telah dinikahi oleh Dewa Gede Pesisi, seketika itu ia naik darah. Ia menuduh Dewa Gede Gumang tidak bertanggung jawab, dan menghina keluarga Bebandem. Tanpa berpikir panjang ia segera berangkat ke Jasi untuk merebut kembali kekasihnya.

“Maafkanlah aku anakku”, kata Betara Gede Gumang sambil menahan keberangkatan Betara Bebandem. “Rupanya Ayu Nengah bukan jodohmu. Kita tidak boleh memaksakan perkawinan yang bukan jodohnya. Kalau nanda berkenan ambillah anakku Ayu Nyoman sebagai istrimu.
Dengan demikian hubungan keluarga Gumang dengan Bebandem tetap terjalin”. Walaupun kemarahan yang meluap itu terobati, Betara Bebandem masih meragukan kata-kata Betara Gede Gumang. Ia takut kalau-kalau kejadian yang memalukan itu terulang kembali dan tentu saja hubungan antara dua keluarga itu akan retak selamnya.

“Baiklah hamba bersedia memperistri Dewa Ayu Nyoman, tetapi ada satu permintaan hamba”, kata Dewa Gede Bebandem. “Hamba minta putra ayahanda yang pertama, Manik Punggung menyertai Ayu Nyoman untuk menetap di Bebandem. Dialah yang akan memperkuat hubungan keluarga kita”. Kata Gede Bebandem.

Bagi Betara Gede Gumang, usul menantunya itu bagaikan gayung bersambut. Hubungan Bukit Gumang dengan desa desa lain di sekitarnya akan selamanya terjalin dengan aman dan damai. Apalagi Manik Punggung dipercaya ikut memelihara hubungan kekeluargaan itu. Itu terlukis dalam prosesi yang berlangsung dalam Upacara Usaba Gumang yang tetap diadakan sampai sekarang.

Sumber : https://iwbdenpasar.wordpress.com/.../pergumulan-jem...


CERITA RAKYAT BALI I Belog Dan Bebeknya. "Si Bodoh dan bebeknya"

 



Dikisahkan, pada jaman dahulu hiduplah seorang anak lelaki kecil bernama I Belog. Ia tinggal bersama dengan ibunya yang sudah tua dan menjanda. Bapaknya sudah meninggal saat I Belog masih bayi. I Belog sesuai dengan namanya, memiliki kekurangan dalam hal kecerdasan. Seringkali ia berbuat yang keliru karena kebodohannya.

Suatu kali Sang Ibu memanggil I Belog. Karena dirasanya anak lelakinya sekarang sudah mulai besar, Sang Ibu ingin agar I Belog mulai bisa bekerja mencari uang sendiri dengan memelihara bebek. Maka disuruhnyalah anaknya itu pergi ke pasar untuk membeli beberapa ekor bebek. “Belog, berangkatlah kamu ke pasar hari ini untuk membeli bebek”. Anaknya mengangguk setuju dengan rencana ibunya. I Belog pada dasarnya adalah seorang anak yang sangat baik dan penurut. Apapun kata ibunya pasti akan ia ikuti dengan baik. “Baiklah Ibu, saya akan berangkat hari ini” Jawab I Belog. Ibunya pun segera memberikan I Belog sejumlah uang yang cukup untuk membeli sepuluh ekor anak bebek.

Menyadari bahwa anaknya kurang pintar, maka Ibunya mewanti-wanti I Belog dengan berbagai nasihat. “Kalau memilih anak bebek, pilihlah yang sehat dan lincah. Pilih yang badannya berat – berat saja. Jangan pilih bebek yang ringan, karena itu tandanya bebek itu tidak sehat. Percuma kalau dibawa pulang” . Nasihat ibunya. I Belog mendengarkan nasihat ibunya dengan baik. Ia menghapalkannya sepanjang jalan, karena ia tidak ingin ibunya yang sudah tua kecewa. Jadi pilih bebek yang sehat. Pilih bebek yang lincah. Dan pilih bebek yang berat.






Sesampainya di pasar, ia langsung mencari pedagang bebek. Melihat-lihat dan memilih sepuluh ekor anak bebek terbaik yang menurutnya sudah sesuai dengan permintaan ibunya. Sudah terlihat paling sehat, paling lincah dan paling berat. Untuk memastikannya, maka iapun bertanya kepada pedagang bebek, apakah menurutnya bebek pilihannya itu sudah sesuai dengan kriteria ibunya atau tidak. Pedagang bebek itu meyakinkan I Belog, bahwa ia telah memenuhi semua persyaratan bebek sehat, lincah dan berat yang dinasihatkan ibunya. Maka dengan riang, iapun menuntun dan mengarahkan bebeknya berjalan pulang ke rumahnya.

Sebelum mencapai rumahnya, ada sebuah sungai dangkal yang harus diseberangi oleh I Belog. Ia pun berhenti sejenak di tepi kali dan bermaksud menyeberangkan bebeknya itu satu per satu. Melihat badan air itu, maka bebek bebek itupun merasa sangat kegirangan, lalu beramai-ramai berlarian ke kali dengan riangnya. Kwek kewek kwek..jebuurrrrr! jeburrr! jeburrr!!, Kwek kwek kwek… jebur!!.. ke sepuluh ekor bebek itupun sekarang sudah mengapung dan berenang di air kali itu. Melihat itu I Belog terkejut bukan alang kepalang.Ia teringat kepada nasihat ibunya.

Bebeknya mengapung di air!. Ia berpikir, jika ada sebuah benda yang mengapung di air tentulah benda itu ringan, jika tidak tentu di dalamnya kosong. Waduuuh!. bebek -bebek itu mengapung semuanya. Tentulah bebek itu ringan. Atau kalau tidak tentu di dalamnya kosong. “Aduuuh, rupanya aku sudah ditipu oleh pedagang bebek itu. Ia bilang bebeknya berat. Kenyataannya bebeknya mengapung. Ternyata aku salah membeli. Bebek kosong rupanya yang kubeli” Gumamnya di dalam hati. I Belog merasa sangat geram pada pedagang bebek itu. Namun ia tak mungkin kembali ke pasar lagi, karena sekarang hari sudah terlalu siang. Tentu pedagang bebek itu sudah pulang. Maka iapun akhirnya pulang juga tanpa membawa bebeknya. Ia ingat perkataan ibunya, bahwa percuma membawa bebek yang ringan. Ia pun berjalan dengan lunglai ke rumahnya.

Sesampai di rumah, ibunya bertanya mengapa ia terlihat sangat lesu dan dimanakah gerangan bebeknya? I Belogpun menceritakan semua kejadian yang ia alami sejak pergi hingga dalam perjalanan pulang di sungai kecil itu. Dan menunjukkan betapa kesalnya ia pada pedagang bebek yang menurutnya telah menipu dirinya itu. Mendengar cerita itu, ibunyapun terkejut dan mengurut dada .Sedih atas kebodohan anaknya. ” Ya ampuuun,Belog! Semua bebek juga akan mengapung jika kamu lepas di sungai. Tapi bukan berarti bahwa mereka ringan.” Kata ibunya.

Mendengar itu I Belog segera berlari kembali ke sungai. Namun bebek-bebeknya sudah tidak kelihatan lagi. Sudah terlalu jauh karena mengikuti arus sungai sejak ditinggalkan oleh I Belog.

*****

Moral ceritanya adalah hendaknya kita jangan memiliki pikiran sempit dan berhenti pada terjemahan harfiahnya saja, namun hendaknya meningkatkan pemahaman kita tehadap intisarinya dengan lebih mendalam, sehingga ketika kita berhadapan dengan situasi yang berbeda, pikiran kita masih tetap jernih dan tdak kebingungan.

Sumber : https://nimadesriandani.wordpress.com/.../i-belog-dan-...




CERITA RAKYAT BALI "SAPUH LEGER"




BHATARA KALA PUTRA DEWA SIWA

YANG LAPAR INGIN MEMANGSA
ADIKNYA KARENA IA LAHIR TEPAT DI TUMPEK WAYANG YAITU (WUKU RINGGIT,WAYANG) SAMA DENGAN KELAHIRAN BHATARA KALA.

Dalam Kala Tattwa diceritrakan Bhatara Siwa bersama saktinya Dewi Giriputri/Uma, sedang bercengkrama di laut. Sedang asyiknya menikmati keindahan laut, tiba-tiba birahi Bhatara Siwa bangkit dan langsung menyatakan kehendaknya kepada Sang Bhatari Saktinya. Hasrat Bhatara Siwa itu ditolak oleh Bhatari Giriputri, karena prilaku yang demikian itu tidak sesuai dengan prilaku para dewa-dewa di Kahyangan. Tetapi pada waktu itu Bhatara Siwa membantah pendapat Bhatari Giriputri, karena siapa yang dapat menahan nafsu yang sedang bergelora secara tuntas dan seketika, karena nafsu itu timbul dari indria yang bertemu dengan wisaya-nya.

Tetapi dalam perdebatan itu karena tidak dapat menahan nafsu, pada waktu itu juga “kama/sukla” Bhatara Siwa, ke luar dengan sendirinya dan jatuh di laut. Setelah itu sebagai Ardhanareswari, Bhatara Siwa dan Bhatari Giriputri kembali ke Siwa Loka.

Setelah itu diceritrakan Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu pergi ke laut dan melihat laut di mana sebelumnya Bhatara Siwa dan Bhatari Giriputri berada. Situasi laut pada waktu itu kelihatannya bergelora dengan ombak yang sangat besar. Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu memandang laut yang bergelora itu. Menyaksikan tanda-tanda yang ajaib. Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu beryoga. Akibat yoga mereka itu akhirnya “kama/sukla” Bhatara Siwa, dapat berkumpul menjadi satu.

Ketika kama Bhatara Siwa terkumpul menjadi satu, tiba-tiba kama itu berubah wujud, menjadi raksasa yang sangat besar dan hebat rupanya. Melihat raksasa yang sedemikian besar dan hebatnya, lalu Bhatara Brahma dan Wisnu lari, meninggalkan tempat itu.

Sekarang raksasa yang besar dan hebat itu setelah lahir, terus melihat ke sana ke mari, tetapi sunyi dan tidak menjumpai siapa pun. Suasana di sekitarnya sunyi sepi. Akhirnya Bhatara Kala mengeluarkan suara yang keras, yang menyebabkan dunia menjadi bergetar dan sorga loka menjadi bergoyang.

Menyaksikan keadaan yang demikian itu para Dewata Nawa Sangha keluar dari istananya masing-masing lengkap dengan senjatanya. Bhatara Wisnu membawa cakra, Bhatara Sambhu membawa trisula, Bhatara Iswara membawa bhajra, Bhatara Brahma membawa gada, Bhatara Rudra membawa moksala, Bhatara Mahadewa membawa nagapasa dan Bhatara Sangkara membawa angkus.

Setelah para Dewata Nawa Sangha keluar dari sthananya masing-masing, maka tampaklah Bhatara Kala, yang langsung menuju Dewata Nawa Sangha dan berkata, “Singgih pakulun, jangan pakulun memerangi hamba ………..“.

Tetapi para Dewata Nawa Sangha menjawab dengan keras, “Ah, kamu raksasa, kamu jangan banyak cakap, danuja adalah makhluk yang angkara murka, yang patut dilenyapkan ……….. “.

Maka pertempuran hebatpun tak dapat dihindari lagi. Semua para Dewata Nawa Sangha memanah Bhatara Kala, dengan senjatanya masing-masing, tetapi tidak ada yang dapat melukai Bhatara Kala. Akhirnya dari pihak yang mempertahankan diri, Bhatara Kala berbalik menjadi pihak yang menyerang. Dewata Nawa Sangha ada yang diinjak-injaknya, ada yang dilemparkannya, sehingga para dewa cerai berai, akhirnya semua dewa melarikan diri dan langsung menuju Siwa Loka, untuk melapor dan mohon bantuan kepada Dewa Siwa. Para Dewata Nawa Sangha, kemudian melaporkan kepada Bhatara Siwa, bahwa sorga loka diancam oleh raksasa yang maha besar dan sakti.

Pada waktu itulah Bhatara Siwa menyatakan kepada para Dewata Nawa Sangha, bahwa tidak usah khawatir, raksasa itu akan dibunuhnya. Maka Bhatara Siwapun terus berangkat ke medan laga. Begitu berhadapan dengan Bhatara Kala, Bhatara Siwa berkata, “Hai raksasa, besar dosamu, karena berani memerangi Kahyangan, terimalah ajalmu sekarang“.

Maka pertempuran serupun terjadi lagi. Akhirnya Bhatara Siwa dapat dikalahkan oleh Bhatara Kala. Bhatara Siwa lalu menjauhi medan laga, setelah lari agak jauh dan dapat menenangkan pikiran kembali. Bhatara Siwa berbalik kembali dan bertanya, “Hai engkau raksasa, apa kesalahan Sang Catur Lokapala dan kamu tiba-tiba berani menyerang sorga loka ?”

Bhatara Kala menjawab, “Ya Tuanku Dewa Yang Agung, sebenarnya hamba tidak bermaksud berperang, hamba sebenarnya mau bertanya kehadapan Tuanku, karena hamba tidak mengetahui, siapakah sebenarnya orang tua hamba ?”

Mendengar Bhatara Kala berkata demikian, kemudian Bhatara Siwa menjawab, “Kalau demikian, potonglah taringmu yang sebelah kanan, setelah itu barulah kamu akan mengetahui ayah dan ibumu“.

Setelah taring kanan Bhatara Kala dipotong, maka diketahuilah bahwa ayah dari Bhatara Kala adalah Bhatara Siwa sendiri, dan bersabdalah Bhatara Siwa, “Sekarang saya tidak ragu-ragu lagi, kamu adalah anakku. Sekarang ada waranugrahku, semoga anakku menjumpai keberhasilan, engkau dapat berwujud seperti semua makhluk hidup, anakku boleh membunuh dan menghidupkan kembali, karena engkau adalah anakku, maksudnya Aku Bhatara Siwa adalah ayahmu dan Bhatari Giriputri/Uma adalah ibumu“. Dalam versi lain bahwa mulai saat itu yakni tatkala memotong taringnya yang kanan, raksasa itu diberi nama Bhatara Kala (kala = waktu).

Demikian juga Bhatari Giriputri memberi anugrah kepada Bhatara Kala, yakni menjadi penguasa segala yang menakutkan, seperti : jin, setan, durga, pisaca, wil, danuja, kingkara, raksasa dan dewanya sekalian jenis penyakit, racun dan segala yang merusak. Sabda Bhatari Giriputri, “Jika anakku ingin mencari santapan, makanan, turunlah ke mayapada dan mudah-mudahan anaknda menjumpai keberhasilan dan kesejahtraan“. Setelah Sang Bhatari Giriputri memberi anugrah, lalu Bhatara Kala bertanya, “Ibunda Bhatari, apa yang menjadi makanan ananda ?”

Bhatari Giriputri menjawab, “Ananda Bhatara Kala, yang boleh engkau makan adalah kalau ada orang yang tidur sampai lewat sandhyakala dan mengambil waktu tidur tidak pada waktunya. Bangun tidur setelah matahari terbenam dan kalau ada anak-anak yang menangis pada waktu malam hari, ditakut-takuti oleh ibu dan bapaknya. Ada juga yang boleh dimakan, jika ada orang yang membaca kidung/kekawin atau tutur kadyatmikan di tengah-tengah jalan“.

Dalam pustaka lain ada yang menyebutkan yang boleh dimakan oleh Bhatara Kala adalah orang yang berjalan pada waktu sandhyakala, pada waktu tepat tengah hari, orang yang mengumpulkan atau membasahi alang-alang, yang tidak membuka tali besarnya, orang yang menumpuk kayu api dan tidak membuka talinya, orang yang memasak nasi di dapur, tetapi tidak menutup lubang kiri kanan tungkunya. Bahkan mereka yang lahir bertepatan dengan Wuku Wayang, yang dianggap wuku yang katadah kala (letuh), sebagai wuku lahirnya Bhatara Kala (amada-mada).



Sedangkan di dalam Geguritan Sapuh Leger, dengan menggunakan bahasa Bali Lumrah, sehingga mudah dimengerti, mengisahkan sebagai berikut :

Dikisahkan Bhatara Kala yang berdasarkan waranugraha dari Bhatara Siwa dengan Bhatari Uma boleh memakan orang yang lahir pada wuku Wayang dan orang yang berjalan-jalan tepat pada waktu tengah hari, akan selalu mau memanfaatkan waranugraha tersebut.

Diceritrakan Hyang Rare Kumara, adik Bhatara Kala yang mempunyai “weton” yang sama dengan Bhatara Kala tepatnya pada wuku Ringgit (Wayang), mau dimakan juga. Bhatara Kala lalu memohon kehadapan Bhatara Siwa agar diberikan ijin untuk memakan Sanghyang Kumara. Tetapi beliau Bhatara Siwa mengijinkan namun ditangguhkan karena Hyang Kumara masih kecil. Kelak kemudian hari setelah Hyang Rare Kumara berumur tujuh tahun (sapta warsa), di sanalah saatnya Bhatara Kala boleh memakan adiknya.




Tetapi Bhatara Siwa sangat sayang kepada Hyang Rare Kumara, sehingga sangat sedih, kalau Hyang Rare Kumara dimakan oleh Hyang Kala, karena hanya mempunyai weton (wetuan) yang sama pada wuku Ringgit (Wayang). Akibatnya, oleh Bhatara Siwa, Hyang Rare Kumara dikutuknya agar tetap menjadi “rare” atau anak-anak. Tetapi setelah tenggang waktu tujuh tahun itu sampai, Bhatara Kala datang kehadapan Bhatara Siwa, untuk menagih janjinya untuk memakan Hyang Rare Kumara. Tetapi Bhatara Siwa masih menangguhkan lagi selama tiga tahun (tri warsa).

Setelah batas waktu tiga tahun itu lewat Bhatara Kala datang lagi menagih janji, untuk memakan adiknya Hyang Rare Kumara. Bhatara Kala menjadi marah sekali, karena adiknya berani “mamada-mada weton Hyang Kala, ri wukuning ringgit“.

Agar supaya Hyang Rare Kumara selamat, maka disuruhlah oleh Bhatara Siwa agar Hyang Rare Kumara turun ke mayapada dan mohon perlindungan kepada Prabhu Mayasura di negara Kertanegara. Hyang Rare Kumara lalu turun ke dunia dan bertemu dengan Prabhu Mayasura serta memohon perlindungan. Prabhu Mayasura menjadi sangat kasihan dan berjanji akan menolong dari kejaran Bhatara Kala. Sejak itu Prabhu Mayasura mengatur siasat perang (gelar jurit) dan mempersiapkan bala tentaranya.

Sekarang, diceritrakan Bhatara Kala setelah tiga tahun, lagi mendatangi Bhatara Siwa, untuk meminta janji menyerahkan Hyang Rare Kumara, akan dimakannya hari itu juga. Tetapi Bhatara Siwa mengatakan tidak berjumpa dengan Hyang Rare Kumara. Bhatara Siwa mengatakan Hyang Rare Kumara pergi entah ke mana. Mendengar jawaban Bhatara Siwa yang tidak memuaskan itu Bhatara Kala menjadi marah. Kemudian mencium bau telapak kaki Hyang Rare Kumara yang melarikan diri ke mayapada.

Dalam pelarian Sang Rare Kumara, lalu bertemu dengan gulungan alang-alang yang masih ikatan talinya, lalu Rare Kumara masuk ke dalamnya. Bhatara Kala mengetahuinya dan membongkar alang-alang tersebut dengan melepas talinya, Sang Rare Kumara lari sekuat-kuatnya. Ketika itu Bhatara Kala mengutuknya, siapa saja yang mengikat alang-alang tanpa melepas talinya, akan menjadikan makanan bagi Bhatara Kala.

Sang Rare Kumara lalu bertemu dengan tumpukan kayu api yang juga masih ada talinya, lalu Sang Rare Kumara, masuk bersembunyi di sana. Bhatara Kala terus mengejar dengan merunut bau telapak kaki Hyang Rare Kumara, akhirnya dijumpai di tumpukan kayu api, dengan segera Sang Rare Kumara lari sekencang-kencangnya. Bhatara Kala mengutuk orang-orang menumpuk kayu api tanpa melepas talinya.

Sang Rare Kumara lalu bertemu dengan orang sedang memasak di dapur, namun tidak menutup lubang tungkunya kanan dan kiri, Sang Rare Kumara bersembunyi di sana. Bhatara Kala dengan segera mencarinya, namun Sang Rare Kumara dapat meloloskan diri melalui lubang tungku tersebut. Orang yang memasak tidak menutup lubang tungkunya, mendapat kutukan dari Bhatara Kala. Sang Rare Kumara sampailah di Kertanegara dan mendapat perlindungan dari Prabhu Mayasura.

Maka pertempuranpun tak dapat dihindari, dalam pertempuran melawan Bhatara Kala untuk melindungi Hyang Rare Kumara, diceritrakan bala tentara kerajaan Kertanegara dapat dikalahkan oleh Bhatara Kala. Bahkan raja Mayasura melarikan diri masuk ke dalam istana. Pada waktu itulah Hyang Rare Kumara lagi melarikan diri dan terus dikejar oleh kakaknya, Bhatara Kala.

Diceritrakan, bahwa Bhatara Siwa /Sanghyang Guru dan Dewi Uma, selalu mengikuti ke mana perginya Sang Rare Kumara, dengan menunggangi lembu putih sebagai wahananya. Ketika itu Sang Rare Kumara dapat dikejar oleh Bhatara Kala, lalu ditelannya. Ketika itu juga Sanghyang Siwa “mamastu” agar Bhatara Kala muntah. Bhatara Kala muntah, sehingga Sang Rare Kumara dapat melarikan diri dan bebas dari tangkapan Bhatara Kala.

Setelah dapat menenangkan diri akibat muntah, Bhatara Kala terus mencium jejak Sang Rare Kumara dan terus mengejarnya. Pada waktu itulah Bhatara Kala bertemu dengan Bhatara Guru dan Dewi Uma, yang menunggangi lembu putih. Kebetulan pada waktu itu tepat waktu tengah hari.

Bhatara Kala sangat gembira, segera akan memakan Sanghyang Siwa dengan Saktinya Dewi Uma. Pada waktu itu Bhatara Guru /Siwa bertanya kepada Bhatara Kala, apa sebabnya mau memakan ayah dan ibumu sendiri. Itulah adalah suatu perbuatan yang amat berdosa. Bhatara Kala menjawab, karena Bhatara Siwa dan Bhatari Uma berjalan menyalahi waktu di mana waktu tepat tengah hari, waktu yang merupakan waranugraha Bhatara Siwa kepada Bhatara Kala, yang membolehkan memakan orang yang berjalan salah dawuh dan salah lampah.

Mendengar jawaban Bhatara Kala, Bhatara Siwa kemudian berkata, “Anakku Hyang Kala, janganlah segera ananda “nadah” ayahmu; ananda boleh “nadah” ayahnda, kalau dapat memecahkan teka-teki ini “. Teka-teki Bhatara Siwa kepada Bhatara Kala adalah sebagai berikut :

“Asta pado sad lungayan catur buto, dwi purusa eka baga, eka egul tri nabhi sad karno, dwi srenggi gopangopo sapta locanam”.

Bhatara Kala memberi jawaban :

Asta pado = berkaki delapan, kaki Bhatara Siwa 2, Bhatari Uma 2, kaki lembu 4.
Sad lungayan = bertangan enam, tangan Bhatara Siwa 4, Bhatari Uma 2.
Catur buto = empat buah pelir, dua buah pelir Bhatara Siwa dan dua buah pelir lembu (jantan).
Dwi purusa = dua kemaluan laki (sakar), Bhatara Siwa 1, lembu 1.
Eka baga = satu kemaluan perempuan, miliknya Dewi Uma.
Eka egul = satu ekor, ekornya lembu.
Tri nabhi = tiga pusar, pusar Bhatara Siwa 1, Dewi Uma 1 dan lembu 1.
Sad karno = enam telinga, Bhatara Siwa 2, Dewi Uma 2, lembu 2.
Dwi srenggi = tanduk dua, yakni tanduknya lembu.
Sapta locanam = tujuh matanya, Bhatara Siwa 2, Dewi Uma 2, lembu 2, hanya enam, yang mana lagi satu, saya tidak tahu ………. .
Dalam lontar Capa Kala, teka teki itu berbunyi sebagai berikut :

Asta pado sadti karna, dwi srenggi sapta locana, catur bhuja tri nabhisca, eka baga dwi purusah. (Kakinya delapan, telinga enam, tanduk dua, mata tujuh, empat tangan, tiga pusar, satu kemaluan perempuan, dua kemaluan laki).

Setelah lama Bhatara Kala kebingungan tidak mampu memberi jawaban terhadap teka teki Bhatara Siwa, sampai matahari condong ke barat. Bhatara bertanya, “Bagaimana anakku, apakah ananda mampu memberi jawaban ?”

Bhatara Kala diam, sambil merenung nasibnya. Sehingga Bhatara Siwa dan Dewi Uma luput dari amarah Bhatara Kala. Lalu Bhatara Siwa memberi penjelasan, “Anakku Hyang Kala, jawaban ananda hampir benar tetapi kurang sempurna, pada dasarnya yang kelihatan ayahnda bermata dua, tetapi ada mata bathin yang terletak disela-sela kening, maka itu ayah bergelar Sanghyang Tri Netra.”

Bhatara Kala lagi melanjutkan pengejarannya dengan mencium jejak telapak kaki Sang Rare Kumara.

Sang Rare Kumarapun lari untuk mencari tempat persembunyian agar tidak diketahui oleh kakaknya dan haripun mulai malam.

Tersebutlah Sang Mangku Dalang, pada wuku Ringgit mengadakan pementasan wayang, guna pangruwatan terhadap anak-anak yang lahir wuku Wayang, ketika itu juga Rare Kumara datang dan mohon perlindungan, serta mengatakan dirinya dikejar oleh Bhatara Kala untuk menjadi santapannya. Mangku Dalang merasa kasihan kepada Sang Rare Angon, lalu diberikan tempat bersembunyi di “plawah gender“. Sang Mangku Dalang melanjutkan ceritranya, dengan suara keras namun menawan hati dan orang-orang yang menontonpun merasa senang.

Bhatara Kala menuju tempat itu ikut menonton, beliau heran terhadap kemampuan Sang Mangku Dalang, mempermainkan wayang dan menyisipkan tutur-tutur yang baik. Bhatara Kala melihat dihadapan kelir ada bebanten caru, banten bebali (panebasan), Bhatara Kala tidak mampu menahan laparnya, seketika menyantap caru dan banten bebali tersebut sampai habis.

Sang Mangku Dalang, bertanya kepada Bhatara Kala, “Mengapa Sanghyang memakan caru dan bebanten panebasan untuk pangruwatan orang yang lahir wuku Ringgit, tolong kembalikan lagi, agar panebasan oton itu bisa berjalan dengan sempurna“.

Bhatara Kala menjawab, “Perutku lapar, di sini ada makanan, maka aku makan, apakah itu salah ? Aku tidak mampu mengembalikannya, di mana aku mencarinya, lebih baik Mangku Dalang saja yang mengembalikannya“.

Banyak terjadi percakapan antara Mangku Dalang dengan Bhatara Kala, Bhatara Kala mengakui kesalahannya dan merasa berhutang kepada Sang Mangku Dalang dan Bhatara Kala memberikan anugrah kepada Sang Mangku Dalang.

Wastu mangku dalang manggih apadang, setata yogia ngayukti, wonge mrecapada, saluiring mahala-hala, miwah anglukat wong mati, apang nemu dalan apadang, saputra-putra eki.

(Semoga Sang Mangku Dalang mendapatkan jalan kebenaran, memberikan petunjuk yang benar, kepada orang-orang di dunia ini, menyucikan segala yang kotor/leteh, menyucikan orang mati, agar mendapatkan jalan yang baik, sampai kepada keturunannya)

Bhatara Siwa dan Dewi Uma, yang ikut menyaksikan, segera menjemput Sang Rare Kumara, bersama-sama pergi ke Siwaloka.

Rupa-rupanya ceritra ini mentradisi dalam masyarakat Hindu di Bali, menjadi suatu keyakinan bahwa orang yang lahir pada wuku Wayang/Ringgit, memohon Tirtha Pangruwatan Wayang kepada Dalang ataupun kepada Sulinggih. Demikian juga ibu-ibu yang sedang mengandungpun kalau umur kandungannya bertemu dengan wuku Wayang, mohon Tirtha Wayang ataupun melukat kepada Sulinggih. Disamping itu ada juga suatu keyakinan yang mendalam, agar dapat memohon Tirtha Pangruwatan Wayang Sapuh Leger. Dengan harapan agar terbebas dari pengaruh-pengaruh buruk wuku Wayang dan menjadi korban Bhatara Kala.

Sumber : https://panbelog.wordpress.com/.../sapuh-leger-cerita/


Minggu, 18 Agustus 2024

Semiotika OM (dan praktik Yoga)

 



Kata “OM” ditemukan di hampir semua Upanisad, secara khusus diuraikan dalam Taittiriya, Chāndogya dan Māndukya Upanishad. OM juga beberapa kali disebutkan dalam Bhagawad Gita.
Aum ity etad aksaram idam sarvam, tasyopavyakhyanam, bhutam bhavad bhavisyad iti sarvam aumkara eva, yac canyat trikalatitam tad apy aumkara eva (Mandukya Upanisad 1).
“Aum, aksara ini adalah apa saja yang ada di sini. Apa saja yang meruupakan keadaan masa silam, sekarang dan yang akan datang semuanya adalah aksara Aum. Dan apa saja yang berada di luar waktu itu juga hanyalah aksara Aum”
maharṣīṇāṁ bhṛgurahaṁ girāmasmyekamakṣaram, yajñānāṁ japayajñoʻsmi sthāvarāṇāṁ himālayaḥ (Bhagawad Gita X.25).
“Di antara para maharṣi akulah Bhṛgu. Di antara suara suci Aku aksara tunggal OṀ. Di antara yajña akulah japayajña, di antara benda-benda yang tak bergerak akulah Himālaya”
Aum – sering disebut sebagai Om – dianggap sebagai suku kata paling suci dalam agama Hindu. Hal ini diyakini sebagai benih primordial yang mendasari semua suara manifes, suara pertama yang berasal dari kosmos yang memicu terciptanya alam semesta. Aum dikatakan terus-menerus bergema di seluruh alam semesta dan getarannya menjadi dasar bagi semua benda-benda materi, semua makhluk hidup, semua bahasa dan kitab suci – oleh karena itu dianggap sebagai suara alam semesta yang menghubungkan segalanya.


A, U, M sebagaimana yang paling sering kita dengar, melambangkan tiga prinsip keberadaan yang diwakili oleh tiga prinsip utama Dewa-dewa Hindu – Brahma, Wisnu, Siwa (dan dengan itu mewakili spektrum segala yang ada – penciptaan, pemeliharaan dan peleburan).
Selain itu, AUM secara keseluruhan berarti realisasi yang membebaskan jiwa manusia dari kungkungan tubuh, pikiran, kecerdasan dan ego. Dengan bermeditasi pada Aum, sadhaka menjadi jiwa yang agung (mahatma). Ketiga huruf tersebut dikatakan mewakili 3 kondisi kesadaran.
A adalah keadaan sadar, waking state. Yaitu mewakili dunia fisik yang dirasakan dengan organ indera kita, yaitu aspek kasar dari keberadaan kita, tubuh kita, dunia material.
U adalah alam bawah sadar, keadaan mimpi. Dream state. Di sinilah kesadaran individu berada berbalik ke dalam, keadaan 'di antara' kesadaran kehidupan [terjaga] dan ketidaksadaran saat tidur. U adalah dunia abstrak atau halus.
M adalah ketidaksadaran, keadaan tidur yang tanpa mimpi, lelap. Deep sleep state.
Setelah melampaui ketiga level kesadaran tersebut, kita akan sampai kepada keadaan keempat yaitu keadaan Samadhi.
OM, adalah juga perlambang panca maha butha, unsur2 semesta dengan mana semua material dibentuk.
****
Kemarin saya mempresentasikan Analisis Semiotika OM ini di Kelas Eksekutif Semester VI STAH DNJ. Sungguh kebetulan yang luar biasa, hari ini mentor istri saya membahas hal yang sama di kelas Yoga 300 jam.
“Pa, ini materinya persis yang papa bahas kemarin”, katanya sambil mengirim beberapa screenshot materi.
Yoga, pada level awal, membahas AUM melalui teknik pernafasan. Nafas A adalah aktifasi cakra bawah, U aktifasi cakra tengah, dan M aktifasi cakra atas. Kemudian, di level tertentu, Yoga akhirnya juga akan membahas “kesadaran” (consciousness). Waking state, dream state, deep sleep state, dan puncaknya “Turiya”, Samadhi.
Siapa bilang Yoga bisa dipisahkan dari ajaran Hindu?
*****
“Segala sesuatu dalam ciptaan memiliki frekuensi getaran dan mantranya sendiri, namun
kombinasi seluruh frekuensi universal dan getaran berdenyut mengikuti irama dari Aum. Tidak ada mantra yang lebih baik untuk diulangi”
(Swami Muktibodhananda)
“Ishvara adalah Atman yang dilihat atau ditangkap oleh pikiran. Nama tertingginya adalah Om; jadi ulangi, renungkan, dan pikirkan semua sifat-sifat indahnya. Mengulangi Om terus-menerus adalah satu-satunya pemujaan yang benar. Itu bukanlah sebuah kata, itu adalah Tuhan sendiri”
(Swami Vivekananda)