Minggu, 27 November 2022

Tumpek Wariga

 


Di Bali Umat Hindu juga sering menyebutnya Tumpek Wariga yang jatuh 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Disebut Tumpek Wariga, karena dilaksanakan pada Saniscara Kliwon Wariga. Sebagai rasa syukur kehadapan Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas ciptaanya. Sang Hyang Sangkara akan dipuja di arah wayabya (Barat Laut) atau Kaja-Kauh dari pengider mata angin Bali. Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang Hyang Sangkara digambarkan dengan warna hijau, yang mewakili tumbuhan. Jika kita merujuk pada konsep Siva Siddhanta, maka Sang Hyang Sangkara adalah bagian dari perbanyakan Bhatara Siwa yang tidak berbeda dengan Beliau. Tetapi, dalam etika dan upacaranya, pembagian dan pembedaan itu diadakan untuk menggambarkan kekuatan Beliau yang tanpa batas dan agar manusia yang serba terbatas ini dapat merealisasikan setiap energi Tuhan dalam kehidupannya.

Peringatan hari raya Tumpek Atag tentu kita bisa rasakan betapa alam saling mendukung keberadaan satu sama lain, di hari otonan tumbuh-tumbuhanan ini, kita berharap hujan akan jatuh dari bapa akasa memandikan seluruh tumbuhan agar menjadi bersih, memberikan siraman kesejukan kepada ibu pertiwi, agar ibu pertiwi bisa memberikan kesuburan dan menghidupi tanam-tanamanan di atasnya. Namun untuk mewujudkan semua itu, kita sebagai umat tidak cukup hanya dengan menghaturkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu diiringi dengan aksi nyata, misalnya turut menyukseskan program pemerintah aktif melakukan aksi penghijauan melalui program satu miliar pohon, one man one tree, wanita menanam pohon atau program sejenisnya, menyayangi tumbuh-tumbuhan, memerangi aksi illegal logging dan lainnya. Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini, diharapkan dapat pula menekan atau mengurangi dampak dari pemanasan global (global warming). Tidak ada istilah terlambat untuk menanam pohon, karenanya mulai lah dari sekarang, mulai dari lingkungan di sekitar kita. Karena apa yang kita tanam saat ini demi anak cucu kita kelak.


Mitos dan Nilai Sejarah Barong Landung


Jro Gde :
Delod tunduh abian semal
Mula kunyit di sempidi
Mepunduh peturu lengar
Mare ngejengit tusing megigi
Jro Luh :
Ngempug kuud caratan diwang
Ngempug kuud caratan diwang
Meli bulih tuah ji talen
Bli suud nyaratang tiang
Bli suud nyaratang tiang
Kemu alih sube ne elenan
Penggalan gending / lagu barong landung diatas biasa dinyanyikan oleh pemundut barong landung,saat ngelawang keliling desa. Umat menurunkan sesuhunan berupa barong landung tersebut dari pura untuk menari di sepanjang jalan desa, dengan harapan tarian ini akan menimbulkan energi gaib positif untuk menetralisir energi negatif.
______
Barong Landung sangat lekat dengan konsep multikultur di Bali jika dilihat dari perspektif mitos dan sejarah. Mitos dalam Barong Landung berhubungan dengan simbol harmoni dan penolak bala. Barong Landung sendiri merepresentasikan sejarah pernikahan antara Raja Bali kuno dengan perempuan Tionghoa bernama Kang Cing Wie sekitar abad 12 M.
Penampakan Barong Landung mirip dengan ondel-ondel, seperti boneka orang-orangan. Ukurannya bisa mencapai 2,5 meter. Barong Landung adalah sepasang barong suami istri. Barong lelaki disebut Jero Gede, sedangkan yang perempuan disebut Jero Luh. Jero Gede berwarna kulit hitam legam dan Jero Luh berwarna putih bersih. Muka barong laki-laki berkarakter seram dengan bergigi menonjol ke depan, sementara barong perempuan bermata sipit dan berhidung mancung. Para pemain yang menarikan barong ini harus masuk dan mengusungnya dari dalam kain, dan yang memainkan kepala barong harus mengendalikan tongkat yang ada di dalamnya agar kepala si barong bisa menoleh ke kanan dan ke kiri.
Sebagian besar desa di Bali memiliki barong sebagai benda sakral. Barong tersebut diarak keliling desa pada hari suci. Barong juga ditarikan untuk perayaan dan ritual adat, seperti hari raya Galungan dan Kuningan yang dating tiap enam bulan sekali. Upacara arak-arakan barong disebut ngelawang. Lawangan—kata dasarnya—juga berarti pintu gerbang rumah.
Upacara ini merupakan rangkaian arak-arakan dengan pertunjukan barong di depan pintu rumah penduduk desa.
Barong Landung berkaitan dengan permohonan masyarakat untuk terbebas dari roh jahat, wabah penyakit, dan harmoni masyakarat kepada Ida Bhatara Dalem Sakti (Jero Gede) dan Jero Luh.
Rangkaian permohonan ini dihaturkan melalui sesaji dan ritual ngelawang keliling desa. Mitos lainnya menyebutkan bahwa konon di zaman dahulu ada tonyo (makhluk menyerupai manusia yang hidup di alam lain) laki-laki bernama Bhuta Awu-Awu yang jahat dan berbadan tinggi besar. Masyarakat Bali bersama pendeta mengusir Bhuta itu ke luar pulau. Agar makhluk ini tidak kembali mengganggu, maka warga desa menyelenggarakan ritual ngelawang


Barong Landung dihubungkan dengan sejarah pemerintahan Raja Shri Aji Jaya Pangus di era Bali kuno antara 1181-1269 M. Raja ini memiliki dua permaisuri, yakni Sri Parameswari Indujaketana dan Sri Mahadewi Sasangkajacihna.
Yang terakhir ini berasal dari negeri Tiongkok, dengan nama asli Dewi Cung Khang (Kang Cing Wei). Kang Cing Wei juga putri dari dinasti Cung atau Sung.
Hubungan harmonis antara Raja Jaya Pangus dan permaisuri Kang Cing Wei dirayakan masyakarat Bali dengan menciptakan boneka sakral bernama Barong Landung. Boneka ini diarak berkeliling tiap hari suci untuk membebaskan masyarakat desa dari serangan penyakit dan pengaruh roh jahat. Beberapa warga desa bahkan memohon kesembuhan dengan menghaturkan ritual khusus tolak bala.
Istana Raja Jaya Pangus terletak di Balingkang, Kintamani. Dari puncak dataran tinggi di Bali ini sang raja menebar kebaikan dan harmoni masyarakat dengan mengakui secara sederajat hubungan masyarakat Bali dan Tionghoa. Hubungan harmonis seperti itu dapat dibuktikan dari kehidupan masyarakat Kintamani, seperti di Desa Lampu. Masyakarat Tionghoa yang sudah berabad-abad tinggal di desa itu mendirikan kongco—tempat sembahyang umat Khonghucu—di tengah pekarangan yang bersanding dengan pura keluarga. Hal yang sama juga dapat dilihat di Pura Ulun Danu Batur Kintamani, pura terbesar kedua di Bali, di mana ada sebuah kongco di halaman utama pura.
Tema Barong Landung yang dibuat 1934 ini barangkali berhubungan dengan momentum pemindahan Pura Ulun Danu Batur. Sebelumnya, pura ini berdiri di lereng Gunung Batur ataupun di pesisir Danau Batur. Letusan Gunung Batur yang dahsyat pada 1926 mengakibatkan sebagian besar pura tertimbun lava. Benda-benda sakral atau pratima diungsikan ke Desa Bayung Gede yang berlokasi di pegunungan atasnya. Pada 1935 masyakarat Batur dan sekitarnya mulai mendirikan Pura Ulun Danu Batur yang baru di Desa Batur (dulu: Desa Karanganyar), Kintamani. Hubungan
harmonis masyarakat Tionghoa dan Bali tetap tergambar dengan didirikannya kongco di halaman utama pura.
Tarian Barong Landung tidak sekedar imajinatif, tapi memiliki nilai sejarah yang penting. Karya ini juga mengandung makna bahwa harmonisasi sosial adalah bagian dari masyarakat modern.
------------
Dalam kekawin atau geguritan Barong Landung, mengisahkan perjalanan Raja Sri Haji Jayapangus yang memperistri putri China Kang Cing We yang ditulis oleh I Nyoman Suprapta. Dalam Kekawin tersebut dikisahkan, Sri Aji Jayapangus adalah seorang raja tersohor dan bijaksana berstana di Kerajaan Bukit Panarajon, dengan permaisuri Dewi Danuh seorang puteri keturunan Bali Mula. Seiring waktu datang seorang pedagang dari China bersama puteri cantik bernama Kang Cing We yang kemudian menjadi abdi atau dayang Mpu Lim seorang penasehat raja.

Keberadaan Kang Cing We di lingkungan kerajaan sebagai pelayan Mpu Lim diketahui oleh raja, kemudian sang raja berniat memperistri putri Kang Cing We, yang sebenarnya tidak disetujui oleh Mpu Siwa Gandu yang merupakan salah satu penasehat raja.
Keinginan raja akhirnya terwujud acara pernikahan dilangsungkan, yang akhirnya membuat Mpu Siwa Gandu menjadi marah, dalam tapa semadinya beliau memohon agar tercipta bencana di kerajaan Kerajaan Panarogan, akhirnya kerajaan tersebut hancur dan Raja Sri Haji Jayapangus pindah merambah tempat baru di Jong Les dan sekarang dikenal Dalem Balingkang.
Pernikahan raja dengan Dewi Danuh, memiliki seorang Putera bernama Mayadenawa dan kemudian diangkat menjadi raja Bedahulu, sedangkan dengan Kang Cing We tidak memiliki keturunan. Dewi Danuh akhirnya moksa. Kang Cing We sendiri tidak memiliki keturunan untuk penerus kerajaan maka beliau minta ijin untuk kepada Kang Cing We untuk melakukan tapa semadi di Gunung Batur seraya memohon agar dikaruniai keturunan.
Sesampai di puncak Gunung Batur, bertemulah beliau dengan seorang puteri cantik yang merupakan jelmaan dari seorang Dewi yang bertujuan menggoda tapa Raja Sri Jayapangus, puteri cantik tersebut adalah jelmaan Dewi Danuh. Karena kecatikannya tergodalah sang raja dan mengaku belum beristri.
Lama tidak berkabar, maka berangkatlah Kang Cing We dari keraton Dalem Balingkang menyusul ke tempat pertapaan raja, sesampai di tempat pertapaan terkejut dan marahlah Kang Cing melihat raja sedang memadu kasih dengan seorang puteri cantik.
Kang Cing We memaki-maki puteri tersebut yang tak lain adalah penjelmaan seorang Dewi, karena merasa dimaki oleh seorang manusia, Dewi Danuh juga marah mengeluarkan api, melebur dan membakar Kang Cing We. Mengetahui kematian permaisurinya raja menjadi sedih. Dan sebagai hukumannya karena mengaku belum beristri, Sri Aji Jayapangus juga dilebur oleh sang Dewi sehingga menjadi abu.
Rakyat Dalem Balingkang menjadi sedih mengetahui kedua junjungannya telah menjadi abu, dan memohon agar keduanya dihidupkan kembali. Melihat ketulusan hati dari para abdi dan rakyat Dalem Balingkang, sang Dewi akhirnya mengabulkan permintaan rakyat Dalem Balingkang, namun dalam bentuk Lingga saja berupa Barong Landung lanang dan istri (laki dan perempuan).
Sang Dewi memerintahkan agar Barong Landung tersebut dibawa kekeraton Dalem Balingkang, dianugerahkan bahwa kedua lingga tersebut akan memerintah dari alam niskala yang mampu memberikan perlindungan bagi rakyat Dalem Balingkang.
Dalam kontek nama yaitu Pura Dalem Balingkang, Dalem berasal dari nama Keraton yaitu Kuta Dalem, sedangkan Balingkang berasal dari kata Bali dan Ing Kang, digabungkan menjadi Bali-Ing-Kang yang sekarang bernama Balingkang.
Di jaba tengah Pura Dalem Balingkang terdapat palinggih Ratu Ayu Subandar. Palinggih ini sebagai pemujaan pada Kang Ci Wi dan ini amat diyakini oleh masyarakat Cina membawa berkah.
Foto Kelompok pertunjukan Barong Landung dengan tokoh Jero Gede (topeng hitam) dan Jero Luh (topeng putih). Foto ini diambil sekitar 1910/1920. Koleksi Tropenmuseum.

Jumat, 25 November 2022

Kecantikan Perempuan Dalam Mistisisme Tantra (Sanggama Rasasvada dengan Brahamasvada)

 



Kecantikan dalam Tantra identik dengan keindahan (estetik). Menikmatinya sesungguhnya dapat membangkitkan rasa cinta universal. Cinta yang mengatasi dualitas dan delusi. Jadi, kecantikan bukan pemantik birahi yang buta kaum pria. Dalam pandangan Tantra, kecantikan perempuan adalah ekspresi estetik yang dapat menumbuhkan aspek relegius manusia untuk menjalin hubungan yang intim dengan Tuhan. Oleh karena itu, dalam ikonografi Tantra aspek feminim digambarkan sebagai wanita cantik yang lazim disebut Sakti mewakili energi (power). Maka dari itu, Sakti dipuja dalam penuh kekhidmatan.
Perempuan dikaruniai kecantikan fisikal dan infisikal adalah untuk dapat meluapkan rasa individu (rasasvada) seseorang. Rasa dalam konteks ini sudah tentu diartikan pengalaman estetik. Dalam artian, menikmati kecantikan dalam ruang indah yang tersusun atas keteraturan dan paripurna. Sederhananya, menikmati kecantikan, seseorang dapat mengalami daya mistik (penyatuan), asal melalui pandangan yang benar. Dengan demikian, kecantikan yang dimiliki perempuan adalah simbolisasi rasa yang dapat membangkitkan pengalaman etstetik-mistik penikmat. Demikian juga kecantikan yang dimiliki kaum perempuan merupakan simbolikum kehidupan ideal yang terbentuk dari keteraturan, kejelasan dan kesempurnaan. Dalam diri wanitalah terdapat semua katagori ideal tersebut, sehingga dalam Tantra kaum perempuan selalu dimuliakan.

Berekenaan dengan hal tersebut, kecantikan yang identik dengan daya estetik merupakan sublimasi rasasvada (luapan rasa individu) manusia. Luapan rasa ini pada nantinya akan bertransformasi menuju pada luapan rasa universal (brahmasvada). Luapan rasa universal ini tidak terikat lagi oleh keadaan partikular, demikian juga mengatasi dimensi ruang dan waktu, sehingga seseorang yang sudah berada pada brahmasvada tidak lagi memandang kecantikan itu bersifat material. Tetapi kecantikan itu sejatinya hanyalah luapan rasa pengalaman estetik universal. Ia tidak lagi akan memandang kecantikan itu hanya ada pada wanita, dan terletak pada lekukkan tubuh, lekukkan buah dada, lekukkan wajah dan yang lainnya pada wanita, akan tetapi kecantikan itu ada pada semua entitas hidup.
Luapan rasa universal melalui pengalaman estetik yang dirasakan seseorang akan memunculkan bhava ketuhanan (getaran ketuhanan), sehingga seseorang tidak lagi terkungkung dalam bingkai pemikiran yang sempit. Bhava ini akan memberikan sentuhan indah pada batin seseorang untuk ia dapat megalami kontemplasi estetik, dan hal ini akan memberi pengalaman mistik. Inilah yang dimaksudkan bahwa kecantikan dapat membangkitkan sisi religius mistik manusia. Kontemplasi estetik terjadi, ketika perasaan manusia menyatu dengan Brahman yang absolute, dan ego pribadi lebur ke dalam realitas yang tinggi.
Konsep menikmati kecantikan dengan rasasvada inilah yang menghilhami kaum Tantrik untuk mereka memandang kecantikan tidak secara artificial. Bali masa lalu adalah potret bagaimana perempuan dihormati meskipun kala itu wanita Bali bertelanjang dada. Kehormatan kaum perempuan ketika itu dimuliakan sebagai objek persenggamaan mistik rasa dengan Brahman. Bahkan kaum Tantra Kawi Sastra menjadikan kecantikan tubuh perempuan sebagai objek persengamaan mereka dalam tangga yoga sastra.
*Foto Gadis Bungaya (Kaki Gondelan)



Aksara Bertutur Tentang Kesejatian Diri I Angkus Prana

 



Gambar di bawah adalah karya I Ketut Liyer (alm). Gambar rajah dipadukan dengan aksara modre yang menggambarkan narasi besar ajaran tutur, yakni ANGKUS PRANA. Ajaran mistik Tantra Bali yang menjelaskan bagaimana peran aksara untuk manusia memahami hakikat dirinya, hingga mencapai kelepasan. Sungguh rahasia ajaran ini, dan sangat utama dipelajari untuk kita belajar mati yang sesungguhnya.
.
Angkus Prana merujuk pada Sangsunyatma, yakni Atma sebagai kesadaran murni ada dalam diri. Darinya, prana atau daya kehidupan mengalir. Siapa yang mampu menyatukan (angkus) prana itu kembali ke dalam penyatuannya yang semula, maka di sana ada kebahagiaan, kelepasan, dan kesejatian hidup dikecap. Prana kemudian disimbolkan dengan Aksara yang berada pada titik tertentu dari raga berserta dengan lapisannya. Aksara sebagai prana juga mengalir ke dalam organ vital, dan TRINADI hingga penyatuannya pada inti hati.
.
Keutamaan ajaran ini terletak pada pesan yang tersirat dari aksara. Jika saya tafsirkan, aksara seolah bertutur akan kesejatian diri sebagai Angkus Prana. Atma yang terbungkus oleh lapisan material badan dan maya. Dalam selubung yang gelap ia bercahaya, selalu menjadi sandaran bagi ragawi untuk manusia dapat hidup. Ia sejatinya rindu, ketika ada manusia yang memainkan aksara dalam dirinya hingga mengenal hakikat aksara. Mengenal dan paham hakikat aksara sama dengan paham akan kesejatian diri yang tiada lain adalah I Angkus Prana, yakni Atma yang terbungkus atau kesadaran yang terliputi maya.


Homa Kadyatmikan dalam Siwa Tattwa

 


Bhatara Iswara ada di puncak gunung Kailasa. Begitu Siwa Tattwa menyebutkan. Kailasapada sesungguhnya ada pada puncak kesadaran (Tungtungin Idep). Lalu, Bhagawan Wrhaspati yang masih mengalami keraguan, bertanya kepada Bhatara hakikat semua Tattwa. Tidak ubahnya, diri yang mengalami keraguan dan bermaksud bertanya kepada Iswara sebagai Kesadaran murni dalam diri. Jadi, dialog Siwa dan Wrhaspati dalam Tattwa sesungguhnya dialog dalam diri antara keraguan dengan kesadaran sebagai Sang Diri Sejati.
.
Dialog yang tidak akan pernah usai, selama diri belum memahami semua Tattwa. Tetapi, semua Tattwa tidak akan mengantar seseorang pada kemanunggalan, jika belum menjalani Sadanggayoga. Tetapi, Sadanggayoga akan sia-sia, jika belum mempraktikan 10 Sila (tata laku). Namun demikian, semua itu akan sia-sia jika seseorang belum mengetahui Paramartha dan Samyak Jnana (inti pengetahuan). Tetapi, inti pengetahuan tidak akan menyala sebelum seseorang Masdhana (praktik spiritual), yakni Mahoma (maŋhanākĕn homa ). Homa adalah pemujaan api. Pemujaan api yang utama adalah melaksanakan Homa Kadyatmikan.
.
Jadi, Bhatara Iswara menyuruh Sang Bhagawan untuk melaksanakan Homa Kadyatmikan. Homa yang bukan hanya sekadar memuja api dalam bentuk seremonial. Tetapi menyalakan Siwagni dalam tubuh. Jadi raga inilah Kunda itu. Tubuh sebagai Kunda atau tungku api, maka api berada pada Nabi (Brahma Ghranti), dan disimbolkan dengan aksara ANG sebagai Agnirahasya. Aksara ANG itu sifatnya panas, dan adanya panas itu bersumber dari api yang ada dalam Tabunan. Prosesi Homa Kadyatmikan ini kemudian lazim dikenal dengan proses Dag-Dhi-Karana dan Amerti Karana, yakni proses pembakaran segala kekotoran diri dan menghidupkan kembali kesadaran Siwa dalam diri. Sebelum Homa digelar dan aksara ANG sebagai sumber api dinyalakan, terlebih dahulu Sang Atma pada inti teratai hati dituntun dan ditempatkan pada jantung. Proses nuntun Sang Hyang Atma dari hati dengan mantra khusus, yakni Sapta-Om-kara-atma-mantra; Wṛsada Mudra, selanjutnya Homa digelar dengan menyalakan api pada tungku/tubuh, sehingga segala kekotoran dibakar melalui Dagdhi-Karana.
.
Melalui mantra Sang Hyang Kala Agni Rudra semua kekotoran dibakar, sehingga diri tersucikan kembali. Setelah api menyala hebat dan membakar segala kekotoran itu, maka akan ada keterpisahan antara Sang Atma dengan segala hal yang bersifat material (natuna), baik negatifitas wasana karma dan segala kekotoran itu. Kemudian nyala api yang berkobar akan memurnikan diri. Agni berada dalam nabi (dengan aksara ANG) dinyalakan dan dinaikkan melalui dua nadi (ida-pinngala) yang ada dalam sumsuna (tulang belakang) sampai pada padma hrdaya. Api yang menyala dalam tubuh (tungku api) membakar sarwa papa klesa, dan dari atas munculah amrtha melalaui amrti karana. Air Byomasiwa dituangkan pada api menyala, dan segala kekotoran diri akan dihanyutkan melalui Saptanadi, yang bermuara di sungai Srayu tempatnya di telapak kaki.
.
Orang yang menekuni jalan Kasiwan, prosesi ini merupakan Yoga Rahasia di mana segala kekotoran diri dapat dilenyapkan. Tatkala semua dilenyapkan, maka pandangan Sang Atma tidak lagi mengarah ke bawah, tetapi ke atas ke sumber Tattwa itu. Ia (Sang Atma) tidak lagi termangu-mangu dan mabuk akan semuanya, tetapi sadar bahwa dirinya adalah Paramasiwa sesungguhnya. Nikmat Pramasunya sebagai Bogha Paramasiwa akan dikecap hingga meniadakan semua Tattwa. Demikianlah sekelumit Buku Siwa Tattwa ini saya buat, dan dari yang bodoh bermaksud mengadakan sunya dan “mengawi lan amuja Siwa ing Tattwa).
****************
Dalam buku ini Homa Adyatmika saya ulas, dan membuktikan kebenaran dari homa yang dimaksud dalam Siwa Tattwa adalah mempersembahkam diri dalam Api Rahasya pada Kunda. Silakan dipreorder ke Bali Wisdom di no 0881 900 8000. Harga preorder Rp.99000.


Tattwa Wisesa Bertutur Tentang Hakikat Diri

 




Tattwa Wisesa, salah satu teks Tantra Bali. Berkisah tentang hakikat diri sebagai Sangatma. Atma adalah Manik dan berada dalam tubuh. Sedangkan tubuh diibaratkan Cecupu Manik yakni wadah dari Sangatma. Sungguh utama Katattwan manusia sebagai Atma dalam Cecupu Manik, dan ini hendaknya dituju bagi mereka yang berada pada jalan Yoga Sastra.

.
Sangatma tidak berbeda dengan Siwa, dan hanya dengan pengetahuan Kasiwan hal itu dapat diketahui. Oleh karena itu, Siwa dan Atma adalah inti dari Adnyana Wisesa atau Samyak Jnana bagi mereka yang mendalami sastra. Dengan kata lain, Samyak Jnana adalah intisari dari pengetahuan untuk menyatukan Siwa dengan Atma yang disebut Pengetahuan Kasiwan.
.
Kembali Tattwa Wisesa bertutur, bahwa inti pengetahuan Kasiwan merupakan aji kaweruh. Pengetahuan yang didapat dengan Anglukun Dasaksara, yakni menyatukan sepuluh aksara. Kemudian dari sepuluh dijadikan Pancabrahma. Pancabrahma dijadikan Triaksarana dan Triaksara dijadikan rwabhineda aksara. Kemudian satukan semua itu menjadi Sanghyang Ekaksara-wisesa. Dasaksara adalah simbol dari kesepuluh indria (Dasendria). Jadi siapa yang dapat menyatukan Dasendria, maka Ia menjadi Manusia Ong.

.
Manusia Ong tidak lagi disebut Cecupu Manik, tetapi Cecupu Mas. Mas disini diartikan Atma yang agung dan murni. Sebagaimana batangan emas disepih masih tetap emas. Sepihan emas meskipun ada di lumpur masih tetap emas. Sangatma berada pada hati, dan siapa yang dapat menaruh Aksara Kabeh (semua aksara) pada hati, maka ia akan menjadi Wisesa. Dan, siapa yang dapat memasukan Aksara Kabeh di dalam hati (Tuntungin Hati), maka ia tidak ubahnya sebagai Giri Sumeru. Giri adalah gunung, dan disebut sebagai Linggachala (Lingga Siwa yang tidak bergerak). Sumeru adalah Meru yang merujuk pada hal yang sama, yakni Siwalingga. Jadi, kesejatian diri adalah Atmalingga dan Siwalingga.
.
Berbahagialah diri, ketika memiliki pengetahuan itu. Sebab, semua akan Teka Kasih (kedatangan welas asih). Tidak saja manusia asih, tetapi Bhuta, Dewa dan Satru (musuh) akan menaruh welas asihnya pada diri, dan diri tidak berbeda dengan Gedong Manik Emas Suweta atau ruang dari Atma yang agung, dan hanya dengan kesucian hal itu semakin jelas terlihat. Pada akhir bait pertama Tattwa Wisesa berpesan, bahwa “siapa yang pageh mejalankan semua itu, maka Dirgayusa adalah pahalanya”.


Senin, 21 November 2022

Dewa Pasraman, Ajarkan Hidup Harmoni

 


Berbagai cara dilaksankan warga di Bali untuk mengekspresikan kemenangan dharma melawan adharma. Seperti tradisi yang dilaksanakan di Pura Dadya Panti Timbrah yang sangat unik.

Di Pura Dadya Panti Timbrah Banjar Timbrah, Desa Pasksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung ada tradisi yang dinamai Dewa Pasraman, di mana filosofinya untuk mempertemukan sekala niskala Ida Sasuhunan yang malinggih di sana dengan panjaknnya semua.

Pemangku Pura Panti Timbrah, Jero Mangku I Made Mustika mengungkapkan bahwa tradisi Dewa Pasraman sudah dilaksanakan secara turun temurun dengan tujuan agar panjak pura tersebut tidak melupakan asal-usul mereka, apalagi sudah banyak bertempat tinggal di lain daerah. “Sekitar tahun 1900 masehi, penduduk yang ada di sini hanya berjumlah 18 kepala keluarga. Karena berkembang, maka dibuatkanlah pura parhyangan dan panti,” terang pria pensiunan PNS Kodam ini, kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya Banjar Timbrah, Desa Pasksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung, pekan kemarin.

Tradisi Dewa Pasraman, lanjutnya, menunjukkan rasa bhakti kepada leluhur yang suci, di samping memupuk rasa kebersamaan antar sesama pangempon.

“Yang disungsung (digotong) merupakan linggih (tempat) pasimpangan Ida Bhatara yang ada di Pura Besakih, Pura Lempuyang, dan Dewa Tri Sakti,” terang pria 72 tahun tersebut.

“Prosesi ini juga merupakan rangkaian pemaknaan hari Galungan dan Kuningan. Sebagai simbolisasi kemenangan dharma melawan adharma,” bebernya.

Leluhur dulu memilih tempat di Panti Timbarh, lanjutnya, juga dimaksudkan untuk menjaga perbatasan Klungkung dengan Karangasem pada zaman tersebut.

Mangku Mustika memaparkan proses awal tradisi Dewa Pasraman diawali dengan mendirikan dua buah penjor sehari sebelumnya. Penjor tersebut berisi palabungkah, palagantung, dan palawijil. Semua bahan yang digunakan tersebut bersumber dari alam, sebagai simbol Bhuwana Agung untuk mengawali pelaksanaan upacara.

“Penjornya sedikit berbeda dengan penjor biasanya. Seperti ada perwakilan satwa yang digunakan pada penjor, yakni anyaman berbentuk burung,” ungkapnya. Dikatakannya, burung merupakan manuk yang berasal dari manu, yang berarti kayun (mau) berdasarkan niat. Sehingga bisa diartikan bahwa sebelum pelaksanaan upacara didasari dengan niat yang baik dan penuh dengan ketulus-ikhlasan.

 

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Keesokan harinya pada hari Sabtu, pembuatan sarana lainnya, seperti pembuatan banten caru, atau pembuatan segala sarana yang harus disediakan pada pelaksanaan piodalan yang akan berlangsung sore harinya. Setelah itu, dilaksanakan prosesi nunas paica yang dilakukan anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar sampai taman kanak-kanak.

“Pelaksanaannya harus dilaksanakan di depan pamedal pura, dengan maksud untuk mendatangkan generasi penerus selanjutnya untuk mangempon pura panti nantinya,” terang ayah empat anak tersebut.

Dalam nunas paica itu, lanjut Mangku Mustika, suguhan yang terdiri atas nasi, lawar, dan sate, tidak ada perbedaan antara anak satu dengan lainnya. “Cara seperti ini sebagai tradisi memupuk kebersamaan sejak kecil hingga nantinya menjadi pangempon pura,” urainya. Setelah itu, ada juga pelaksanaan magibung (makan bersama). Namun sedikit berbeda dengan magibung pada umumnya. Berbahan dari lima jenis bahan lawar, yang terdiri atas daun belimbing, nangka, paku, kelapa, dan pisang. Sedangkan di tengah-tengahnya berisikan garam. “Pesertanya bebas, bisa dari kalangan remaja dan dewasa. Tujuan dari lima jenis lawar itu untuk lambang catus pata dan satunya lambang gibungan,” paparnya.

Ia mengatakan sejumput garam itu, sebagai penetral perbedaan satu sama lain. Di mana pada pelaksanaan magibung akan menyatukan sifat dari beberapa orang menjadi satu, satu rasa, dan sepenanggungan. “Cara ini juga diharapkan akan menghasilkan keharmonisan dalam pelaksanaan piodalan yang berlangsung,” imbuhnya.

Setelah magibung, baru Ida Sasuhunan dipundut medal (keluar) untuk proses masuciang (pembersihan) sebelum pujawali ke sumber mata air di Pura Segening, berdektan dengan Tukad Unda. Selesainya masuciang, kembali lagi ke areal pura, di mana semua jempana dan pratima disambut oleh Rejang sebagai manifestasi widyadara dan widyadari, dan Daratan. “Daratan itu, jika dicari maknanya sebagai pengaman. Tentu pengaman dewa-dewi yang malinggih di Pura Panti Timbrah ini,” paparnya.

Pada saat itu juga prosesi Dewa Pasraman dimulai. Sasuhunan sebelumnya diupacarai dengan sarana segehang agung. Dilanjutkan memutari areal jaba tengah pura sebanyak tiga kali, menggunakan bale alit sebagai porosnya. Di mana juga sebagai titik tengah dari pura tersebut. Memutar, lanjut Mangku Mustika, sebagai simbol kehidupan, stiti, utpeti, dan pralina.

Pada saat itu pula, sebagaian jempana masolah (menari), dengan syarat satu jempana harus diiring oleh dua orang saja. Ini sebagai bukti nyata bahwa pangempon pura satu suara dan sepenanggungan satu sama lain.

Pada saat prosesi inilah kerap terjadi beberapa gesekan, senggol, saling dorong, bahkan beradu sengit. Meski kerap terjadi aksi saling dorong, namun tidak pernah berujung pada perkelahian karena emosi, apalagi ada dendam.“Selesai prosesi Dewa Pasraman, mereka sembahyang dengan baik. Intinya biasa saja, tidak ada yang akhirnya ribut berlanjut setalah prosesi usai,” terang Mangku Mustika. Tiga hari setelah Dewa Pasraman, dilaksanaka ngalemek (subur), upacara memohon kesuburan, di mana persembahyangan tetap dilaksanakan selama 10 hari kedepannya.

Di tempat terpisah, Wakil Kelihan Pura Panti Timbrah, Wayan Gede Prawira menambahkan, prosesi Dewa Pasraman dilaksanakan tepat pada pukul 18.00 sampai 19.30.

Sebelum itu, lanjutnya, ada pelaksanaan mendak pada soang-soang panyimpenan yang terdapat di beberapa rumah pangempon. “Ada sekitar delapan panyimpenan, baik dari panyimpenan di rumahnya pemangku dan krama biasa,” terang pria 38 tahun tersebut.

Gede Prawira mengakui tradisi tersebut sudah ada dari zaman dulu. Jika tidak dilaksanakan, desa setempat bisa kena musibah, seperti masalah ekonomi, kerukunan, dan lain sebagainya. “Tradisinya memang seperti tabuh rah, karena dilihat secara nyata itu berupa aduan. Namun, kami tidak berani menyebutnya seperti itu, tetap Dewa Pasraman. Mungkin masyarakat lain melihatnya seperti mapalu (perang),” jelas pria yang tiga tahun baru menjadi wakil kelihan pura tersebut. Jika penasaran dengan tradisi Dewa Pasraman, bisa datang di areal Pura Panti Timbrah, Banjar Timbrah, Paksebali pada Saniscara Wuku Kuningan, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan.

(bx/rin/bay/ade/yes/JPR) –sumber