Jro Gde :
Delod tunduh abian semal
Mula kunyit di sempidi
Mepunduh peturu lengar
Mare ngejengit tusing megigi
Jro Luh :
Ngempug kuud caratan diwang
Ngempug kuud caratan diwang
Meli bulih tuah ji talen
Bli suud nyaratang tiang
Bli suud nyaratang tiang
Kemu alih sube ne elenan
Penggalan gending / lagu barong landung diatas biasa dinyanyikan oleh pemundut barong landung,saat ngelawang keliling desa. Umat menurunkan sesuhunan berupa barong landung tersebut dari pura untuk menari di sepanjang jalan desa, dengan harapan tarian ini akan menimbulkan energi gaib positif untuk menetralisir energi negatif.
______
Barong Landung sangat lekat dengan konsep multikultur di Bali jika dilihat dari perspektif mitos dan sejarah. Mitos dalam Barong Landung berhubungan dengan simbol harmoni dan penolak bala. Barong Landung sendiri merepresentasikan sejarah pernikahan antara Raja Bali kuno dengan perempuan Tionghoa bernama Kang Cing Wie sekitar abad 12 M.
Penampakan Barong Landung mirip dengan ondel-ondel, seperti boneka orang-orangan. Ukurannya bisa mencapai 2,5 meter. Barong Landung adalah sepasang barong suami istri. Barong lelaki disebut Jero Gede, sedangkan yang perempuan disebut Jero Luh. Jero Gede berwarna kulit hitam legam dan Jero Luh berwarna putih bersih. Muka barong laki-laki berkarakter seram dengan bergigi menonjol ke depan, sementara barong perempuan bermata sipit dan berhidung mancung. Para pemain yang menarikan barong ini harus masuk dan mengusungnya dari dalam kain, dan yang memainkan kepala barong harus mengendalikan tongkat yang ada di dalamnya agar kepala si barong bisa menoleh ke kanan dan ke kiri.
Sebagian besar desa di Bali memiliki barong sebagai benda sakral. Barong tersebut diarak keliling desa pada hari suci. Barong juga ditarikan untuk perayaan dan ritual adat, seperti hari raya Galungan dan Kuningan yang dating tiap enam bulan sekali. Upacara arak-arakan barong disebut ngelawang. Lawangan—kata dasarnya—juga berarti pintu gerbang rumah.
Upacara ini merupakan rangkaian arak-arakan dengan pertunjukan barong di depan pintu rumah penduduk desa.
Barong Landung berkaitan dengan permohonan masyarakat untuk terbebas dari roh jahat, wabah penyakit, dan harmoni masyakarat kepada Ida Bhatara Dalem Sakti (Jero Gede) dan Jero Luh.
Rangkaian permohonan ini dihaturkan melalui sesaji dan ritual ngelawang keliling desa. Mitos lainnya menyebutkan bahwa konon di zaman dahulu ada tonyo (makhluk menyerupai manusia yang hidup di alam lain) laki-laki bernama Bhuta Awu-Awu yang jahat dan berbadan tinggi besar. Masyarakat Bali bersama pendeta mengusir Bhuta itu ke luar pulau. Agar makhluk ini tidak kembali mengganggu, maka warga desa menyelenggarakan ritual ngelawang
Barong Landung dihubungkan dengan sejarah pemerintahan Raja Shri Aji Jaya Pangus di era Bali kuno antara 1181-1269 M. Raja ini memiliki dua permaisuri, yakni Sri Parameswari Indujaketana dan Sri Mahadewi Sasangkajacihna.
Yang terakhir ini berasal dari negeri Tiongkok, dengan nama asli Dewi Cung Khang (Kang Cing Wei). Kang Cing Wei juga putri dari dinasti Cung atau Sung.
Hubungan harmonis antara Raja Jaya Pangus dan permaisuri Kang Cing Wei dirayakan masyakarat Bali dengan menciptakan boneka sakral bernama Barong Landung. Boneka ini diarak berkeliling tiap hari suci untuk membebaskan masyarakat desa dari serangan penyakit dan pengaruh roh jahat. Beberapa warga desa bahkan memohon kesembuhan dengan menghaturkan ritual khusus tolak bala.
Istana Raja Jaya Pangus terletak di Balingkang, Kintamani. Dari puncak dataran tinggi di Bali ini sang raja menebar kebaikan dan harmoni masyarakat dengan mengakui secara sederajat hubungan masyarakat Bali dan Tionghoa. Hubungan harmonis seperti itu dapat dibuktikan dari kehidupan masyarakat Kintamani, seperti di Desa Lampu. Masyakarat Tionghoa yang sudah berabad-abad tinggal di desa itu mendirikan kongco—tempat sembahyang umat Khonghucu—di tengah pekarangan yang bersanding dengan pura keluarga. Hal yang sama juga dapat dilihat di Pura Ulun Danu Batur Kintamani, pura terbesar kedua di Bali, di mana ada sebuah kongco di halaman utama pura.
Tema Barong Landung yang dibuat 1934 ini barangkali berhubungan dengan momentum pemindahan Pura Ulun Danu Batur. Sebelumnya, pura ini berdiri di lereng Gunung Batur ataupun di pesisir Danau Batur. Letusan Gunung Batur yang dahsyat pada 1926 mengakibatkan sebagian besar pura tertimbun lava. Benda-benda sakral atau pratima diungsikan ke Desa Bayung Gede yang berlokasi di pegunungan atasnya. Pada 1935 masyakarat Batur dan sekitarnya mulai mendirikan Pura Ulun Danu Batur yang baru di Desa Batur (dulu: Desa Karanganyar), Kintamani. Hubungan
harmonis masyarakat Tionghoa dan Bali tetap tergambar dengan didirikannya kongco di halaman utama pura.
Tarian Barong Landung tidak sekedar imajinatif, tapi memiliki nilai sejarah yang penting. Karya ini juga mengandung makna bahwa harmonisasi sosial adalah bagian dari masyarakat modern.
------------
Dalam kekawin atau geguritan Barong Landung, mengisahkan perjalanan Raja Sri Haji Jayapangus yang memperistri putri China Kang Cing We yang ditulis oleh I Nyoman Suprapta. Dalam Kekawin tersebut dikisahkan, Sri Aji Jayapangus adalah seorang raja tersohor dan bijaksana berstana di Kerajaan Bukit Panarajon, dengan permaisuri Dewi Danuh seorang puteri keturunan Bali Mula. Seiring waktu datang seorang pedagang dari China bersama puteri cantik bernama Kang Cing We yang kemudian menjadi abdi atau dayang Mpu Lim seorang penasehat raja.
Keberadaan Kang Cing We di lingkungan kerajaan sebagai pelayan Mpu Lim diketahui oleh raja, kemudian sang raja berniat memperistri putri Kang Cing We, yang sebenarnya tidak disetujui oleh Mpu Siwa Gandu yang merupakan salah satu penasehat raja.
Keinginan raja akhirnya terwujud acara pernikahan dilangsungkan, yang akhirnya membuat Mpu Siwa Gandu menjadi marah, dalam tapa semadinya beliau memohon agar tercipta bencana di kerajaan Kerajaan Panarogan, akhirnya kerajaan tersebut hancur dan Raja Sri Haji Jayapangus pindah merambah tempat baru di Jong Les dan sekarang dikenal Dalem Balingkang.
Pernikahan raja dengan Dewi Danuh, memiliki seorang Putera bernama Mayadenawa dan kemudian diangkat menjadi raja Bedahulu, sedangkan dengan Kang Cing We tidak memiliki keturunan. Dewi Danuh akhirnya moksa. Kang Cing We sendiri tidak memiliki keturunan untuk penerus kerajaan maka beliau minta ijin untuk kepada Kang Cing We untuk melakukan tapa semadi di Gunung Batur seraya memohon agar dikaruniai keturunan.
Sesampai di puncak Gunung Batur, bertemulah beliau dengan seorang puteri cantik yang merupakan jelmaan dari seorang Dewi yang bertujuan menggoda tapa Raja Sri Jayapangus, puteri cantik tersebut adalah jelmaan Dewi Danuh. Karena kecatikannya tergodalah sang raja dan mengaku belum beristri.
Lama tidak berkabar, maka berangkatlah Kang Cing We dari keraton Dalem Balingkang menyusul ke tempat pertapaan raja, sesampai di tempat pertapaan terkejut dan marahlah Kang Cing melihat raja sedang memadu kasih dengan seorang puteri cantik.
Kang Cing We memaki-maki puteri tersebut yang tak lain adalah penjelmaan seorang Dewi, karena merasa dimaki oleh seorang manusia, Dewi Danuh juga marah mengeluarkan api, melebur dan membakar Kang Cing We. Mengetahui kematian permaisurinya raja menjadi sedih. Dan sebagai hukumannya karena mengaku belum beristri, Sri Aji Jayapangus juga dilebur oleh sang Dewi sehingga menjadi abu.
Rakyat Dalem Balingkang menjadi sedih mengetahui kedua junjungannya telah menjadi abu, dan memohon agar keduanya dihidupkan kembali. Melihat ketulusan hati dari para abdi dan rakyat Dalem Balingkang, sang Dewi akhirnya mengabulkan permintaan rakyat Dalem Balingkang, namun dalam bentuk Lingga saja berupa Barong Landung lanang dan istri (laki dan perempuan).
Sang Dewi memerintahkan agar Barong Landung tersebut dibawa kekeraton Dalem Balingkang, dianugerahkan bahwa kedua lingga tersebut akan memerintah dari alam niskala yang mampu memberikan perlindungan bagi rakyat Dalem Balingkang.
Dalam kontek nama yaitu Pura Dalem Balingkang, Dalem berasal dari nama Keraton yaitu Kuta Dalem, sedangkan Balingkang berasal dari kata Bali dan Ing Kang, digabungkan menjadi Bali-Ing-Kang yang sekarang bernama Balingkang.
Di jaba tengah Pura Dalem Balingkang terdapat palinggih Ratu Ayu Subandar. Palinggih ini sebagai pemujaan pada Kang Ci Wi dan ini amat diyakini oleh masyarakat Cina membawa berkah.
Sumber : http://repo.isi-dps.ac.id/
Foto Kelompok pertunjukan Barong Landung dengan tokoh Jero Gede (topeng hitam) dan Jero Luh (topeng putih). Foto ini diambil sekitar 1910/1920. Koleksi Tropenmuseum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar