Senin, 18 April 2022

Sate Renteng Simbol Dewi Durga

 


Sarana upakara di Bali dikenal dengan berbagai bentuk dan jenis. Salah satunya adalah Sate Renteng. Sarana upacara ini memiliki bentuk yang tergolong unik, di mana terdiri dari beberapa tusuk sate dan rangkaian kulit Babi. Apa sejatinya makna Sate Renteng ini?

Sate Renteng, jika dilihat dari beberapa lontar agama Hindu memang belum ada yang membahas secara jelas. Sehingga Sate Renteng dalam upacara Hindu disebut dengan uperengga atau pelengkap upakara yadnya, namun wajib ada dalam setiap upacara yang menggunakan Banten Bebangkit. Sate Renteng sangat erat kaitannya dengan Banten Bebangkit yang menggunakan Babi Guling sebagai ulamnya.

“Hal itu sesuai dengan makna Banten Bebangkit yang merupakan persembahan kepada Dewi Durga,” ujar Budayawan, I Gede Anom Ranuara, S.pd, S.Sn yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (30/3).

Lebih lanjut dijelaskannya, dalam Lontar Tattwa Mpu Kuturan dijelaskan mengenai Rerentengan Jatah yang artinya rangkaian atau susunan sate. Sedangkan dalam Lontar Kadurgan dijelaskan juga mengenai rangkaian sate yang disebut Gayah. Gayah adalah merangkai kembali tulang babi yang akan dipersembahkan kepada Dewi Durga. Karena, apa pun itu segala jenis olahan daging babi pasti dipersembahkan kepada Dewi Durga.

Secara filosofis, Sate Renteng berawal dari permohonan Dewa Wisnu kepada Dewi Durga untuk membunuh Mahesasura, karena diyakini hanya Dewi Durga yang mampu menaklukkannya. Permohonan itu disanggupi oleh Dewi Durga, namun semua senjata para dewa agar berkenan diserahkan untuk mengalahkan Mahesasura. “Hal itu dibuktikan dengan terdapatnya sate yang berbentuk sembilan senjata para Dewa ,” jelasnya.



Sate Renteng terdiri dari beberapa jenis, yakni Sate Renteng Puspusan yang menggunkan kelapa sebagai alasnya. Di mana didalamnya terdapat 13 buah tusuk sate, namun tidak menggunakan bagia Pulekerti. Kedua adalah Sate Renteng Sari. Dalam sate ini terdapat Bagia Pulekerti, namun tetap berpatokan kepada 13 buah tusuk sate. Ketiga adalah sate Renteng Utuh, jenis sate Renteng yang tergolong tinggi, sebab pada alasnya menggunakan kepala babi utuh. Yang terakhir adalah Sate Renteng Durga Dewi yang tertinggi. Hal yang membedakan adalah penggunaan kepala babi yang disertai dengan cabai merah melambangkan taring Dewi Durga.

Beberapa komponen yang harus dilengkapi ketika hendak membuat Sate Renteng, yakni Sate Asem, Sate Serapah, Sate Lamat, Kekuwung, Bagia Pulekerti, Senjata Dewata Nawa Sanga, Penyelah, Aling-aling, Lawang, Japit Balung, dan Japit Babi. Susunan dalam merangkai Sate Renteng hendaknya selalu memperhatikan Tattwa, di mana ada beberapa komponen wajib yang harus ada di dalam Sate Renteng. Sate Renteng wajib menggunakan kelapa yang merupakan simbol bumi. Jika untuk keperluan estetika atau seni, boleh menggunakan gedebong atau batang pisang, namun wajib menggunakan sebanyak tiga biji yang melambangkan Tri Bhuwana atau tiga alam.

Selanjutnya di bagian dasar terdapat rangkaian tulang belulang babi, inilah yang dinamakan gayah. Selain itu, terdapat cabe merah yang merupakan simbol Banaspati yang berkaitan erat dengan Dewi Durga. Namun, secara biologis cebe memiliki peran penting untuk menghalau lalat agar tidak hinggap di sate, karenannya cabe diletakkan di ujung-ujung tusuk sate. Kunyit juga terdapat dalam rangkaian Sate Renteng yang merupakan penguat rangkaian agar kulit babi yang dirangkai tidak jatuh. Namun, secara biologis dapat menjadi antibiotik pada sate agar tidak busuk.

Selain beberapa komponen yang telah disebutkan , hal yang tak kalah penting adalah penggunaan Paru-paru di arah timur, Hati di arah selatan, Empedu di arah barat, Limpa di arah utara, dan di tengah adalah ginjal. Komponen ini hendaknya harus terdapat dalam rangkaian Sate Renteng. “Karena penggunaan ini merupakan simbol kanda pat yang tak lain merupakan ancangan Dewi Durga,” tutup Anom.

(bx/gus /yes/JPR) –sumber





Minggu, 17 April 2022

Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

 


Ceruk  yang ada di aliran Sungai Pakerisan, Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, yang diyakini sebagai tempat meditasi  Kebo Iwa, hingga kini dijadikan tempat meditasi penekun spiritual.

Jero Bendesa Desa Pakraman Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar
Wayan Biata mengatakan, Candi Tebing yang menjadi lokasi bersejarah ini, memang sering dikunjungi krama dari luar desa. Bahkan, mereka yang datang tidak hanya menikmati pemandangan karena juga   sebagai tempat wisata religius. “Saat rerahinan (hari baik) banyak sekali warga dari luar datang untuk meditasi dan malukat . Memang ada sebuah pancuran yang bisa digunakan untuk malukat, yakni pancuran Sudamala,” terang pensiunan guru ini ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group), pekan  kemarin. Selain untuk malukat, lanjutnya, juga difungsikan ke luhur karena  sebagai tempat mlasti ketika piodalan di pura khayangan tiga dan pura dang khayangan  setempat.



Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

Wayan Biata (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Biata menyebutkan, rentetan tersebut dengan prosesi ngening, agar sasuhunan secara niskala hening kembali atau bersih kembali. Begitu juga dia mengungkapkan ketika ada pamedek yang malukat di sana agar bersih jiwanya.

Dikatakannya, prosesi piodalan di Candi Tebing  tidak dilaksanakan secara khusus. Tetapi, ketika pelaksanaan ngening dihaturkan juga banten piodalan alit karena pada candi tidak terdapat hari piodalan. Hal itu dilakukan karena tradisinya sejak dulu berlangsung, hanya sebagai tempat masucian saja. Tanpa ada sebuah tegak piodalan yang khusus dilaksanakan.

“Sasuhunan yang mlasti ke sini berasal dari Pura Khayangan Tiga Desa Pakraman Tegallinggah.  Pura Pucak Manik dan Pura Dalem Rsi yang ada di lingkungan Kecamatan Blahbatuh juga menggunakan tempat ini sebagai pasucian,” jelas Biata.

Diakuinya  krama yang otonan,  apalagi saat  melaksanakan otonan pabayuhan pasti nunas tirta. Dikarenakan selain difungsikan untuk prosesi Dewa Yadnya juga dapat sebagai panglukat Manusa Yadnya. Biata menjelaskan yang ditunas juga tidak sembarangan pancuran.

Ada lima buah pancuran, tetapi yang disakralkan hanya pancuran Sudamala yang menghadap ke timur laut dan dikenakan wastra. Sedangkan sisanya hanya digunakan untuk permandian biasa atau untuk kebutuhan  diminum  warga.

Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

PANCURAN: Dewa Made Suparsa nunas ( mengambil) air pancuran di Tirta Sudamala Candi Tebing , Desa Pakraman Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Sarana yang digunakan untuk malukat, cukup  menghaturkan canang secukupnya. Itupun jika malukat pada hari biasa, sedangkan pada rahinan disarankan untuk menghaturkan sebuah pajati. Setelah malukat,baru melaksanakan  persembahyangan di depan candi tebing.

Salah seorang warga setempat yang kerap sembahyang Dewa Made Suparsa mengatakan, kerap melihat orang sakit  datang  untuk malukat.  Warga setempat, lanjutnya,  banyak datang saat Banyupinaruh. Dan, saat rahinan  kebanyakan yang datang dari luar desa. “ Ada orang yang datang malukat terus berteriak teriak karena  gangguan jiwa.  Setelah melukat dan melakukan persembahyangan sadar kembali,”urainya.  Dikatakannya, pemangku memang tidak ada,   yang malukat bisa bawa pemangku sendiri atau tanpa pemangku.

Ayah dua anak ini mengaku sering mengambil air  untuk diminum. Bahkan, ia berani tidak memasaknya lagi kalau untuk diminum.

Dewa Suparsa menunjukkan ada delapan buah ceruk.  Bahkan di ceruk paling ujung terlihat seseorang yang sedang melakukan meditasi. “Karena berada di dinding tebing,  tidak akan basah bila hujan. Namun, kalau  banjir besar kemungkinan ceruk akan dimasuki air sungai yang meluap,” terangnya.

Beberapa ceruk yang terdapat di areal Candi Tebing Tegallinggah sampai saat ini,  memang difungsikan untuk meditasi. Suasananya yang masih sangat asri  ini, sangat mendukung  untuk menenangkan pikiran.
Dikatakannya, beberapa ceruk  sering digunakan sebagai tempat bertapa. Bahkan, setiap hari pasti ada saja orang yang datang ke sana dari pagi sampai sore. “Setiap hari pasti ada saja orang yang ada pada ceruk ini. Entah itu beryoga atau sekedar mencari ketenangan. Bisa dilihat juga di depan candi ada yang sedang bermeditasi,” papar Dewa Suparsa sambil menunjukkan orang yang sedang bertapa di sebuah ceruk.

Dia mengaku hampir setiap hari mengambil air  untuk dikonsumsi.

Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

GAPURA : Gapura yang sebagian telah menjadi reruntuhan. Bersamaan candi ini ditemukan, juga ditemukan tiga lingga yang diyakini sebagai lambamg Tri Murti. (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Suparsa juga menunjukkan sebuah goa yang ada di samping pancuran  yang dinamai Goa Garba. Goa inilah yang diyakini menjadi  tempat  bertapanya Patih Kebo Iwa zaman kerjaan dulu.

Kebo Iwa adalah salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14. Nama lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu, nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai titel kehormatan, khususnya di Bali ataupun Jawa.

Panglima muda yang bertempat tinggal di Desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing ini, sering digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang mengusai seni perang selain ilmu arsitektur. “Undagi (arsitek tradisonal Bali) ini membangun berbagai tempat suci Bali dan tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya,” urainya.



Lebih lanjut Suparsa menjelaskan, candi tersebut dipahat  pada dua sisi tebing yang berseberangan. Di mana yang memisahkan adalah aliran Sungai Pakerisan. Pada dinding juga terdapat sebuah bangunan, bahkan penduduk desa setempat dulu mengetahui  berupa gapura saja. Dikarenakan terus digali dan dibersihkan, segingga ada tangga  di dalamnya.

Di sebelah kanan gapura ada bangunan yang lebih besar, namun sebagian telah menjadi reruntuhan. “Bersamaan candi ini ditemukan, juga ditemukan tiga lingga yang diyakini sebagai lambamg Tri Murti, yaitu perlambang Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa,” terangnya.

Saat ini  di areal tersebut sedang dalam proses penataan. Sudah dibuatkan juga tempat parkir, toilet, dan bale bengong.

Jalan menuju candi juga sudah ada  anak tangga yang ada di tebing. Sebelum ada  tangga warga  harus berhati-hati karena licin.

Lokasi Candi Tebing Tegallinggah ini harus ditempuh selama satu jam dari Pusat Kota Denpasar. Dari Pasar Blahbatuh  susuri jalan ke utara hingga tiba di pertigaan Tegallinggah yang ada Tugu Patung Dewi Kadru. Kemudian tempuh jalan ke kanan sekitar 100 meter akan terlihat  gang pertama di  kiri jalan.  Masuk terus ke gang yang menuju wilayah Desa Pakraman Tegallinggah, sekitar 800 meter akan sampai depan parkiran candi. Untuk masuk ke areal candi saat ini belum dikenakan tiket masuk karena masih dalam proses penataan.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber



Ciri-ciri Anak Melik dan Cara Merawatnya







Melik adalah suatu anugrah pada saat kelahiran anak yang teramat besar dari Ida Sang Hyang Widhi. Dalam Lontar Purwa Gama disebutkan bahwa Anak yang memiliki melik mempunyai rerajahan sejak lahir yang dapat menimbulkan kematian, sehingga diperlukan upacara pebayuhan otonan melik pada si anak untuk menetralisir kekuatan tersebut dan selalu ingat dalam melaksanakan suci laksana untuk mempertahankan dan meningkatkan kesucian diri.

Rerajahan yang terdapat pada orang melik biasanya terdapat di telapak tangan, dijidat atau di bagian tubuh tertentu selain itu juga bisa terdapat tanda senjata terkadang terdapat salah satu dari sembilan senjata pengider bhuwana tergantung tugas yang diemban sang anak lahir ke dunia, dengan rerajahan senjata para dewa seperti:




Bajra
Gada
Nagapasa
Cakra
Dupa
Angkus
Trisula
Moksala,
Api dan Angin


Tentu jika ingin melihat tanda-tanda berupa sejata diatas pada orang melik tidak dapat dilihat dengan kasat mata/ mata orang biasa. Melik atau tidaknya seseorang biasanya diketahui setelah matetuun atau mepinunas pada sulinggih atau balian. Orang yang melik mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang biasa pada umumnya.

Ia disenangi semua golongan roh halus, baik itu roh yang bersifat negatif (butha) juga para dewa-dewi.

- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Ciri-ciri Anak Melik

Kelahiran “melik” terlihat dari tanda-tanda di tubuhnya, antara lain :

1. Ketika lahir, badannya dililit tali plasenta beberapa kali putaran. Kelahiran seperti ini sangat jarang terjadi, dan kalau ada, kebanyakan mati beberapa saat sebelum keluar dari rahim ibunya.

2. Ketika tumbuh berumur +/- 2 tahun, rambut di kepalanya kusut (sempuut). Walau digundul, tumbuhnya sempuut lagi.

3. Kepalanya mempunyai pusaran (usehan) 3 atau lebih

4. Lidahnya poleng (ada warna hitam/coklat)

5. Ada tahi lalat besar (maaf) di kemaluannya


Semakin cepat seseorang mengetahui dirinya memelik maka semakin bagus sehingga akan segera dibuatkan upacara penebusan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk dari memelik.

Jika tidak mendapat banten penebusan maka biasanya orang yang memelik sesuai dengan kelahirannya ada yang diambil pada saat baru bisa berjalan, ketika baru menikah dalam upacara pawiwahan, dan ada juga pada saat baru mempunyai anak. Dengan pebayuhan melik akan dinetralisir kekurangan yang ada dalam dirinya (menghilangkan apes pengaruh melik). Supaya semua kekuatan bersinergi, agar dapat keseimbangan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit.



Sesungguhnya orang Melik itu adalah berkah bagi keluarganya karena dia ibarat lokomitif atau pesawat terbang yang akan mengantarkan keluarganya ke alam kebahagiaan sekala-niskala. Maka tolong bantu dan bimbing orang-orang Melik itu karena dia akan berguna tidak hanya bagi keluarga yang memiliki tetapi juga bagi masyarakat luar, bahkan bangsa.

Dalam sejarah Bali, ada contoh kelahiran melik yang sangat heboh, yakni kelahiran bayi tahun 1599 M, hasil perkawinan (tidak resmi) Dalem Seganing dengan Si Luh Pasek Panji. Ketika lahir, tubuh bayi itu seluruhnya berwarna merah darah, dan di malam hari dari ubun-ubunnya keluar sinar terang berwarna biru. Oleh karena itu bayi itu dinamakan Ki Barak Panji. Ternyata setelah besar beliau sangat sakti sehingga berhasil menjadi Raja Buleleng I dengan gelar I Gusti Anglurah Panji Sakti.

Bahkan ada pula yang mengatakan entah benar atau tidaknya kami sendiri belum berani memberi kepastian, dikutip dari blog I Gede Junidwaja menyebutkan “Jangan lupa Presiden RI Pertama Soekarno pun orang memelik, saya tahu dan pernah bertemu dengan saksi yang masih hidup dan memang mampu mengenali orang memelik.”

Merawat Anak Melik

Anak melik biasanya “kerinyi” (bahasa Indonesia : sensitif, mudah tersinggung, mudah marah, dll). Jadi ia perlu diperlakukan beda, misalnya kamar tidurnya harus selalu bersih dan suci, ada pelangkiran diatas hulu tidurnya. Ia perlu sering-sering melukat ke Gerya, makanannya di jaga agar selalu memakan makanan yang satwika (lihat tt hal ini di website ini). Banyak bergaul dengan orang-orang suci, karena dia merasa dekat dengannya. Kalau makin dewasa, berikan pelajaran agama yang intensif, panggilkan guru agama kerumah untuk les, dan berikan pelajaran spiritual secara bertahap. Nanti ia akan berumur panjang dan menjadi orang suci, karena atman (roh) nya sudah dalam kondisi siap menerima lanjutan kemampuan supranatural.

Bagaimana caranya agar orang Memelik tidak pendek umur?
Syarat pertama adalah jaga makanannya, jangan sampai makan makanan kotor sekala niskala.

Makanan jenis: darah, tulang dan jeroan hindari; Kalau bisa pantang daging hewan berkali empat. Minumuan jenis: beralkohol, arak, tuak, berem jauhi. Idealnya adalah makan makanan organik dan vegetarian.

Lalu yang terpenting berikutnya adalah jangan melakukan hubungan sex di luar pernikahan.

Jangan menginap dan tidur di sembarang tempat. Kalau terpaksa maka sebelum tidur harus dilakukan pemberisihan dan pengamanan terlebih dahulu. Sebenarnya jika sudah punya Guru maka Guru itu pasti mengajarkan tata cara ini.





Sabtu, 16 April 2022

Jejak Kebo Iwa di Bedha; Arca Sang Patih Dibangun karena Ada Bisikan

 


Kemegahan dan kereligiusan Bale Agung Desa Pakraman Bedha, Tabanan, memang langsung terasa ketika pertama kali melihatnya. Bale Agung tersebut menjadi simbol keagungan dan kekuatan Patih Kebo Iwa sebagai patih yang kuat dan undagi yang terkenal dengan arsitekturnya.

Bale Agung juga dikelilingi dengan relief yang menceritakan sejarah kehidupan Kebo Iwa, dari sejak lahir sampai menyerahkan diri kepada Patih Gajahmada saat dijebak di Majapahit. “Bale Agung ini dikelilingi relief yang memang sudah ada sejak dulu yang menceritakaan kehidupan Kebo Iwa,” ujar Bendesa Adat Bedha I Nyoman Surata.

Di dinding-dinding pura juga terdapat relief yang begitu indah, namun dengan cerita yang berbeda, yakni menceritakan tentang pemutaran Gunung Mandara Giri. Pujawali di pura ini jatuh pada Buda Kliwon Pahang.

Yang lebih menakjubkan adalah, sejak dibangun oleh Patih Kebo Iwa pada abad ke 13, Bale Agung tersebut belum pernah diganti kayunya, terutama kayu yang membentuk atap. Surata pun menunjukkan kepada wartawan Bali Express kayu-kayu yang menyusun atap Bale Agung yang panjangnya memang berbeda dari kayu-kayu yang dijualbelikan saat ini.

“Beberapa kali memang sudah direnovasi, tetapi bagian bawahnya saja, kalau untuk kayu-kayunya dari dulu memang seperti itu,” terang Surata.



Di Bale Agung tersebut dikatakan berstana Ida Betara Begawan Penyarikan dan Ida Betara Nusa Mecaling yang selama ini mengayomi Desa Pskraman Bedha agar senantiasa diberikan keselamatan. Selain sebagai Kahyangan Tiga, Bale Agung ini juga menjadi Kahyangan Subak, mengingat Patih Kebo Iwa dahulu merupakan tokoh yang memperkenalkan sistem irigasi dan subak, sehingga dahulu masyarakat sejahtera dengan hasil sawah yang melimpah.

“Kalau ada upacara Subak di Tabanan pasti berkaitan dengan Bale Agung di sini,” lanjutnya.

Pura ini disungsung oleh 38 banjar yang tersebar di tiga Kecamatan di Kabupaten Tabanan, yakni Kecamatan Tabanan, Kediri, dan Kerambitan. Maka , jangan heran jika saat pujawali tiba, pura ini akan menjadi penuh sesak oleh pamedek .



Selain dibuat terkagum-kagum dengan Bale Agung yang dulunya adalah tempat peristirahatan Patih Kebo Iwa, setiap orang yang tangkil akan disambut dengan Patih Kebo Iwa yang berwujud arca yang terletak di sebelah timur Bale Agung.
Surata menjelaskan, jika arca Kebo Iwa tersebut dijuluki Palinggih Ida Betara Bagus Kebo Iwa atau Kebo Taruna. Kebo Taruna sendiri merupakan julukan Patih Kebo Iwa karena perjalanan hidupnya yang melajang hingga akhir hayat. “Arca ini dibangun sekitar tiga tahun yang lalu,” imbuhnya.

Dibangunnya arca tersebut didasari oleh pawisik yang didapatkan pemangku setempat sebagai wujud keberadaan Kebo Iwa di pura tersebut. “ Dan, akhirnya kami membangun sebuah arca dengan wujud Patih Kebo Iwa sesuai dengan gambaran wujud Patih Kebo Iwa semasa hidup ,yaitu setinggi 2,25 meter, berbeda dengan manusia kebanyakan,” pungkasnya.

Kebo Iwa dan pasukannya pun membangun benteng-benteng pertahanan yang disebut Bedog, yang digadang-gadang menjadi asal mula nama Desa Pakraman Bedha. Selain benteng, Kebo Iwa juga membuat tempat peristirahatan. “Tempat peristirahatan inilah yang menjadi Bale Agung Desa Pakraman Bedha,” tegasnya.

Dijelaskan oleh Wirata, pembuatan Bale Agung tersebut oleh Kebo Iwa menggunakan kayu-kayu yang terdampar di pesisir pantai Selatan Tabanan. “Saat itu ada banjir dan badai besar, jadi kayu-kayu besar dari Jembrana hanyut dan terdampar di pesisir pantai Selatan. Itulah yang digunakan untuk membangun tempat peristirahatan Kebo Iwa bersama 800 pasukannya,” tandasnya.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber



Selasa, 12 April 2022

catur sanak dan pertiwi

 


Hubungan istimewa rare (bayi) bukan hanya kapada ibu ataupun ayah, adalah juga dengan catur sanak (empat saudara niskala). Menjaga bayi sejak embrio, membantu lahir hingga menyertai segala aktivitas kehidupan kelak.
Mereka adalah bentuk niskala dari darah, ketuban, ari. Lalu ketika telah berumur 3 bulan bukan hanya perayaan untuk bayi maka empat saudara gaib pun layak di apresiasi.

Seperangkat baju anak, mainan, banten ari beragam hiasan warna-warni harum, dipersembahkan.
sebelum bayi dewasa lalu melangkah ditanah, maka pijakan tanah pertama itu penting pula disucikan.
Tanah di gurat sosok bedawang Nala kura-kura api dasar bhumi. Ditutup guwungan sangkar ayam. Penanda "sinangga dening hyang ibu pertiwi pinayungan dening bapa akasa" di sangga oleh ibu pertiwi dipayungi bapa angkasa langit.



Minggu, 03 April 2022

Sejarah Tradisi Ngaro Warga Madura Sanur di Pura Tengah Laut

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Beragam tradisi keagamaan dilakukan turun temurun oleh umat Hingu di Bali, sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Tradisi Ngaro misalnya, yang dilaksanakan di lautan oleh warga Madura.

Tradisi Ngaro yang digelar warga Madura di Desa Sanur ini, dilaksanakan bertepatan dengan Purnama Kapat, Jumat (15/10/2016) lalu di Pura Dalem Segara. Sesuai dengan namanya, Pura Dalem Segara memang berada di lautan, yakni sekitar 150 meter dari bibir pantai. Jika air laut pasang, kawasan yang disucikan tersebut seperti ditelan lautan.

Menurut Pangempon Pura Dalem Segara, Nyoman Sunarta, tradisi Ngaro yang dilaksanakan warga Madura yang tinggal di Desa Sanur ini, merupakan tradisi yang sudah diselenggarakan secara turun temurun dari leluhur warga Madura sebelumnya. “Tradisi Ngaro yang diselenggarakan pada Purnama Kapat ini sudah diselenggarakansejak abad ke-10 silam, sebagai ungkapan terima kasih leluhur kami kepada Dewa Baruna sebagai penguasa Samudra,” jelas Sunarta.



Dikatakan Sunarta, sejarah dari tradisi Ngaro ini erat kaitannya dengan perjalanan tokoh suci Mpu Baradah dan Hyang Yogi Swara ke Pulau Bali. Ketika runtuhnya Kerajaan Singasari pada abad ke -10 lalu, kondisi keamanan dan wilayah di Kerajaan Singasari sangat kacau, sehingga Sang Hyang Yogi Swara yang merupakan seorang pendeta kerajaan bersama dengan Mpu Baradah memutuskan untuk berlayar ke wilayah timur Pulau Jawa. Setelah menyeberangi Pulau Jawa, akhirnya Mpu Baradah dan Sang Hyang Yogi Swara sampai di sisi utara Pulau Bali. Di tempat pertama kalinya berlabuh itu, Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Beradah mendirikan tempat pemujaan yang akhirnya dinamai Pura Dalem Sari yang terletak di Bukit Gondol, Singaraja. “Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan ke arah Timur dan Sang Hyang Yogi Swara sampai di Tulamben dan di tempat ini juga mendirikan pura dengan nama Pura Manik Sakti di Tulamben,” paparnya.

Setelah beberapa lama tinggal di Tulamben akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke arah barat melalui samudera, hingga sampailah di Kawasan Sanur. Sesampainya di Desa Sanur ini, Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi di tengah lautan di Sanur. Sedangkan Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke daratan dan mendirikan banyak pura di wilayah Sanur dan Kabuparen Badung, hingga akhirnya juga mendirikan sebuah Pura, yakni Pura Dalem Madura di Desa Cemagi, Kabupaten Badung.

Setelah melakukan tapa semedi, akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Baradah bertemu lagi. Tempat pertemuan itulah yang disebut dengan Madura yang beradal dari dua kata, yakni “Madu” yang artinya bertemu dan “Ara” yang artinya ari. Jadi, Madura ini berarti pertemuan daratan dan air laut. “Sehingga rawa-rawa tempat pertemuan tersebut disebut sebagai wilayah Madura dan keturunan Hyang Yogi Swara di tempat tersebut disebut dengan warga Madura, dan sampai sekarang tempat wilayah ini disebut dengan Banjar Madura,” ungkapnya.


Setelah memiliki wilayah dan akhirnya punya keturunan, Sang Hyang Yogi Swara memerintahkan kepada keturunannya untuk membuat suatu persembahan bagi Sang Hyang Baruna dan dihaturkan di tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi ketika air laut surut. Selanjutny, ritual menghaturkan persembahan tersebut disebut dengan nama Ngaro. Sedangkan tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan pemujaan di tengah segara dijadikan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Baruna. Dan, hingga saat ini tempat tersebut dinamai sebagai Pura Dalem Segara, dan secara turun temurun tempat tersebut digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual Ngaro setiap Purnama Kapat. Adapun bentuk persembahan yang dihaturkan ketika upacara Ngaro adalah banten sederhana yang terdiri dari buah-buahan dan dua jenis bubur, yakni bubur merah dan bubur putih. Seluruh perlengkapan upacara ini, lanjut Sunarta, dipersiapkan pada malam hari sebelum upacara Ngaro dilaksanakan. “Untuk buah-buahan yang digunakan adalah buah lokal, termasuk juga bunga yang digunakan adalah bunga jepun putih dan bunga jepun merah,” paparnya. Hal ini menurut Sunarta untuk menjaga nilai kesucian dari bahan baku dan proses yang digunakan dalam pembuatan sesajen untuk upacara Ngaro. Selain bahan baku yang digunakan dipersiapkan pada malam harinya, seluruh proses pembuatannya juga tidak menggunakan teknologi modern. Seperti membuat tepung, beras yang digunakan harus ditepung dengan lumpang dan proses memasaknyapun harus mengunakan kayu bakar. Setelah banten selesai dibuat, selanjutnya banten dibawa ke segara (laut). Saat upacara Ngaro dilakukan, tanpa perlu mengunakan penerangan dari lampu, karena ketika upacara Ngaro, sinar bulan menyinari bumi dengan maksimal, karena posisi bulan tepat berada di atas katulistiwa.

(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber


Jumat, 25 Februari 2022

PENGERTIAN PADEWASAN PENANGGAL PANGLONG, SASIH, DAUH



Pengertian dan Perhitungan Padewasan Penanggal dan Panglong, Sasih dan Dauh - Pada pembahasan materi agama Hindu kali ini mengenai pengertian padewasan penanggal dan panglong, sasih dan dauh beserta contoh dan cara menggunakannya, untuk lebih jelasnya dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!


Padewasan Menurut Penanggal dan Panglong, Sasih dan Dauh
Berdasarkan Penanggal dan PanglongPenanggal dan Panglong perhitungannya berdasarkan peredaran bulan satelit dari bumi. Penanggal (tanggal) disebut pula Suklapaksa yaitu perhitungan hari-harinya dimulai sesudah bulan mati (tilem) sampai dengan purnama (bulan sempurna). Lama penanggal 1 sampai dengan 15 lamanya 15 hari. Penanggal ke 14 atau sehari sebelum purnama disebut Purwani artinya bulan mulai akan sempurna nampak dari bumi.

Sedangkan Penanggal ke 15 disebut purnama artinya bulan sempurna nampak dari bumi. Pada hari Purnama merupakan hari beryoganya Sang Hyang Candra (Wulan).

Panglong disebut pula Krsnapaksa yaitu perhitungan hari dimulai sesudah purnama yang lamanya juga 15 hari dari panglong 1 sampai dengan pangglong 15. Panglong ke 14 sehari sebelum tilem disebut Purwaning Tilem artinya bulan mulai tidak akan nampak dari bumi. Sedangkan pangglong 15 disebut tilem artinya bulan sama sekali tidak nampak dari bumi. Pada hari tilem beryoganya Sang Hyang Surya.


Pengertian Padewasan Penanggal Panglong, Sasih, Dauh


Padewasan Pananggal-Panglong terdapat pada tabel sebagai berikut :Baik Buruknya Pananggal menurut Teks Wariga Diwasa


PananggalDewa YajñaPitra YajñaManusa YajñaWiwaha YajñaBhuta Yajña
1 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
2 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
3 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
4 X X X X X
5 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
6 X X X X X
7 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
8 X X X X X
9 X X X X X
10 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
11 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
12 X X X X X
13 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
14 X X X X X
15 Ayu X X X X
Baik Buruknya Pananggal Persefektif Teks Sundariterus

PananggalWujud HariBaik/Buruk
1 Jaran/kuda Baik untuk Dewa Yajña
2 Kidang/kijang Baik
3 Macan Baik
4 Kucit/anak babi Baik
5 Sampi/sapi Buruk
6 Kebo/kerbau Baik
7 bikul/tikus Buruk
8 Lembu Baik
9 Asu/anjing Buruk
10 Naga Baik
11 Kambing Baik
12 Menjangan Baik
13 Gajah Baik
14 Singa Buruk
15 Mina/ikan Baik
Baik Buruknya Panglong Persefektif Teks Sundariterus




PanglongWujud HariBaik/Buruk
1 Celeng/babi Buruk
2 sikep/elang baik untuk menghadap raja
3 lelipan/lipan baik untuk dewa Yajña
4 klesih/trenggiling Buruk
5 konta/unta Baik
6 manusa/manusia Buruk
7 manusa sakti Baik
8 bala/prajurit Baik
9 padang/rumput Baik
10 pacet/lintah Buruk
11 lutung/monyet Baik
12 lelipi/ular Baik
13 gruda/garuda Baik
14 uled/ulat Buruk
15 kekua/kura-kura Buruk



Berdasarkan SasihPadewasan sasih adalah hitungan baik buruknya bulan bulan tertentu yang berpedoman pada letak matahari, apakah berada di Uttarayana (utara), Wiswayana (tengah) atau Daksinayana (selatan). Berikut akan diuraikan Ala Ayuning Sasih berdasarkan Teks Wariga Dewasa seperti tabel berikut ini:

Ala Ayuning Sasih berdasarkan Teks Wariga Dewasa



Agama Hindu mempergunakan panduan sasih antara sasih Candra dengan Sasih Surya sehingga ada perhitungan “pengrapetang sasih”. Hal ini dilakukan karena disadari betul bahwa bulan dan matahari mempunyai pengaruh besar terhadap bumi dan isinya. Selain penentuan Padewasan, hari suci agama Hindu, yang berdasarkan sasih adalah:

1) Pada hari Purnama beryoga Sang Hynag Candra (wulan),

Pada hari Tilem beryoga Sang Hynag Surya. Jadi pada hari Purnama-Tilem adalah hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra. Pada waktu Candra Graha (gerhana bulan) pujalah beliau dengan Candrastawa (Somastawa). Pada waktu Sūrya graham (gerhana matahari) pujalah beliau dengan Sūryacakra Bhuanasthawa.
2) Sasih Kapat

Purnama Kapat merupakan beryoganya Bhatara Parameswara, beliau Sang hynag Purusangkara diiringi oleh Para Dewa, Widyadara-Widyadari dan para Rsigna. Selanjutnya pada Tilem dapat dilakukan penyucian batin, persembahan kepada Widyadara-widyadari.
3) Sasih Kepitu

Purwaning Tilem Kepitu disebut hari Sivaratri, yaitu beryoganya Bhatara Siva dalam rangka melebur kotoran alam semesta termasuk dosa manusia. Pada hari ini umat Hindu melakukan Bratha Sivaratri, yaitu Mona, Upawasa, dan Jagra.
4) Sasih Kesanga

Tilem Kesanga adalah hari pesucian para dewata, dilakukan Bhuta Yajna, yaitu tawur agung kesanga sebagai tutup tahun Saka.
5) Sasih Kedasa

Penanggal 1 (bulan terang pertama) sasih Kedasa disebut hari Suci Nyepi, yaitu tahun baru Saka. Pada saat ini turunlah Sang Hyang Darma. Purnama Kedasa beryoganya Sang Hyang Surya Amertha pada Sad Khayangan Wisesa.
6) Sasih Sada


BACA JUGA : 


Pada Purnama Sadha, patutlah umat Hindu memuja Bhatara Kawitan di Sanggah Kemulan.
Berdasarkan DauhPadewasan menurut dauh merupakan ketetapan dalam menentukan waktu yang baik dalam sehari guna penyelenggaraan suatu upacara-upacara tertentu.

Pentingnya dari dewasa dauh akan sangat diperlukan apabila upacara-upacara yang akan dilakukan sulit mendapatkan hari baik (dewasa ayu). Dauh jika dibandingkan mirip dengan pembagian waktu menurut jam, namun bedanya hanya penempatan panjangnya waktu. Hitungan jam dalam sehari dibagi 24, hingga sehari dalam hitungan jam panjangnya 24 jam. Dalam perhitungan dewasa dauh mengandung makna dalam waktu satu hari terdapat dauh (waktu-waktu tertentu) yang cocok untuk melakukan suatu kegiatan. Signifikasi dari dewasa dauh diperlukan apabila upacaraupacara yang dilakukan sulit mendapatkan hari baik (dewasa ayu). Dalam perhitungan dewasa berdasarkan dauh mempunyai beberapa hitungan, yakni berdasarkan Panca dauh dan Asta dauh.


a. Sistem Panca dauh (Sukaranti) adalah pembagian waktu (hari) dalam sehari menjadi 10 bagian, dengan hitungan 5 dauh untuk menghitung panjangnya siang (setelah matahari terbit hingga menjelang terbenam) dan 5 dauh lagi untuk menghitung panjangnya malam/wengi (dari matahari tenggelam hingga terbit).

Sistem Panca Dauh


Keterangan :

Kr: Kerta: Ayu (baik)
Pe: Peta: Madya (menengah)
Pa: Pati: Ala (Jelek)
Su: Sunia: Ala (buruk)
Ke: Ketara: Ayu (baik)
Catatan: Ala-Ayu dauh Sukaranti pada Pengelong dihitung terbalik (1 menjadi 5)
b. Sistem Asta dauh yang memiliki konsep yang sama dengan Panca dauh, bedanya hanya pembagian waktunya menjadi 16, dengan perincian 8 dauh untuk menghitung panjang waktu mulai matahari terbit, hingga menjelang terbenam dan 8 dauh lagi untuk untuk menghitung panjangnya malam hari dari terbenamnya matahari hingga menjelang terbit.

Sistem Asta Dauh


Perbandingan Asta Dauh dengan Jam Indonesia Tengah