Minggu, 12 Juni 2022

Pelangkiran Usaha & Bisnis Menurut kepercayaan Umat Hindu


Pelangkiran usaha atau bisnis adalah salah satu tempat yang biasanya terdapat di tempat usaha atau bisnis di Bali. Masyarakat Bali terutama masyarakat yang beragama hindu percaya kalau Pelangkiran usaha ini merupakan tempat pemujaan dan menstananakan Dewa pengendali agar usaha atau bisnis yang di jalani mendapatkan keberkatan dan perlindungan atas usaha yang dilaksanakan serta peredaran uangan di tempat usaha tersebut. Menurut kepercayaan, di pelakiran usaha atau bisnis ini terdapat 3 Dewa atau Bhatara yang berstana dan memiliki tugas yang berbeda, yakni :I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan bertugas sebagai pengenter dan pengendali taksu serta menuntun dan melindungi kita dalam berhubungan dengan orang lain atau semua relasi. Kelancaran komunikasi agar hubungan bisa berjalan sesuai yang diharapkan dan segala niat dan maksud bisa dimengerti oleh relasi ( ini yang disebut pengenter atau penghubung) serta memberi karisma dan wibawa kepada kita agar memiliki pengaruh bagus dihadapan orang lain ( ini yang disebut ketaksuan).
Dewa Ayu Mas Melanting bertugas menjaga setiap bentuk usaha yang dibuat termasuk barang dan orang orang yang bekerja, agar usaha berjalan lancar dan karyawan yang bekerja aman dan terlindung, menjaga orang-orang yang bekerja selamat dan bertindak jujur dalam usaha, kemudian menentukan hukum sebab akibat, serta segala kedisiplinan bekerja bagi semua orang.
Ida Bhatari Rambut Sedana yang bertugas menjaga dan melindungi proses keluar masuknya keuangan agar tidak diganggu oleh pihak lain atau kekuatan lain.

Pelangkiran Usaha atau bisnis ini biasanya menghadap ke selatan, hal ini terjadi sesuai denagn tatwa dan filosofi sastra dan lebih tepatnya bila di buat berbentuk pelangkiran namun berisi atap dan pintu. Hal ini maksudnya bahwa stana beliau tidak boleh ada gangguan dari kekuatan apapun yang bisa merusak stana beliau sebagai sumber Amerta.



- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dipelangkiran usaha ini wajib menggunakan daksina linggih untuk menguatkan dan menetapkan lingga/ linggih/ stana dari Bhtara Taksu. Dalam istilah Hindu Bali disebut ngentegang linggih agar suapaya beliau 24 jam atau seharian penuh menjaga dan melindungi usaha yang dimiliki.

Serta melakukan penyucian dan mengharumkan lingga beliau dengan bunga-bunga harum setiap hari Purnama dan hari hari suci lainnya, terutama hari yang berkaitan dengan hari kerejekian ( hari Rambut Sedana/ Buda Wage).


Daksina linggi dipelangkiran ada dua yaitu satu daksina linggih untuk lingganya Bhatari Rambut Sedana dan satu lagi untuk lingganya Dewa Ayu Mas Melanting dan I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan.




Upakara yang di haturkan

Persembahan untuk Dewanya adalah banten peras pejati ketipat gong, taluh bekasem, punjung ireng berisi ayam betina hitam dipanggang, tirta bunga tunjung biru/ teleng biru atau persembehan sederhana canang sari berisi kopi dan air putih wadahidalam satu tempat.

Untuk bhutanya dipersembahkan sehehan kepel ireng duang kepel dadi atanding, atau caru ayam hitam betina dibagi menjadi empat porsi.

Fungsi dan Manfaat

Sebagai stana taksu geginan yang memberikan control terhadap usaha yang dilaksankan agar bisa berjalan lancer sesuai dengan harapan. Serta semua komunikasi interaksi terhadap semua pihak yang berkaitan dengan usaha bisa berjalan sama-sama menguntungkan.

Sebagai tempat memohon penglaris, pengarad, pelindung, pengendali dan pematuh bagi pelaku usaha serta semua pihak yang berkepentingan dalam interaksi usaha tersebut.

Sebagai tempat memohon peneduh tempat usaha agar menjadi nyaman bagi jalannya perputaran usaha serta setiap orang yang masuk kedalam lingkungan usaha menjadi nyaman, aman dan tentram.

Sebagai tempat memohon perlindungan usaha dari berbagai gangguan baik manusa sakti, ilmu hitam maupun mahluk gaib yang mengganggu usaha. (CF/Google)

KESUSASTRAAN SEBAGAI LANDASAN KEMBALI PADA DRESTA BALI DAN NUSANTARA

 



Om Hyang Buddha Tampahi Ciwa Rajadewa
Rwanekadhatu Winuwus, Wara Budhha Wicwa.
Bhinneki Rakwa Ring apan Kena Parwwanosen
Mangka Jinatwa Lawan Ciwatattwa Tunggal,
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Tidaklah mungkin mampu membangkitkan spirit tanpa tapa,
Tidaklah mungkin mampu mewujudkan tapa tanpa brata,
Tidaklah mungkin mampu mempraktekkan brata tanpa Yoga,
Tidaklah mungkin mampu melaksanakan yoga tanpa Samadhi,
Tidaklah mungkin mampu melaksanakan samadhi tanpa tuntunan guru penuntun……dan memulai dengan tapa lagi, begitu dan begitu seterusnya sebagai wujud yoga cakra mangilingan, yang tak pernah putus putus…
Tidaklah mungkin mampu menggelar yoga cakra mangilingan dengan tanpa sadhana, pembangkitannya dengan ritual, mengindahkan dengan yantra, dengan komunikasi mantra.
Yoga cakra mangilingan adalah kalacakra sejatinya, sadhana kepada bhumi sebagai tempat tumbuhnya seluruh mahluk hidup untuk berkehidupan yang masuk dalam kelompok bhuta yajnya.
Yoga Mandala adalah pembangkitan energi melalui pemahaman empat dunia rohani yang dikenal catur bavana. Salah satunya adalah sunya bavana yang hanya dapat dimasuki dengan penggabungan tri bavana atau triwikrama. Dalam olah yoga aksara dikenal sanghyang catur aksara.
Sunya bavana adalah sumber kehidupan yang absolut, dialah cahaya kehidupan yang tersembunyi, cahaya ini hanya terbangun dari yoga, diburu dengan perangkap ritual, diumpan pakai yantra dan dipanggil melalui mantra, tempat pelaksanaan seluruh kegiatan ini selalu dibungkus dengan bingkai permainan rohani dalam wujud sadhana upacara.
Keniscayaan,kesucian, kenirmalaan dan keindahan pada sunya bavana hanya mampu diwujudkan dengan api suci yang keluar dari bhumi sebagai sumbernya, dinamakan HOMA.

Tujuan dari perburuan ini adalah untuk membangkitkan benih-benih kemurnian ajaran kapurusan ( kabrahmanan ), untuk dapat menarik seluruh mamfaat hidup didunia, bahagia, damai dan surga itu, yang dimiliki oleh ajaran kemurnian kapradanan, dikenal shakti.
Lompatan ajaran dari kapurusan menuju kapradanan itulah tantrayana dan praktek-prakteknya diselipkan pada hampir seluruh kegiatan beragama hindu nusantara umumnya dan bali khususnya, namun tidak banyak yang mampu melihatnya, karena telah mengabaikan yoga.
Dalam kontek ajaran filsafat, keseluruhan ajaran tantrayana ini diaplikasikan dalam sebuah teks lontar yang sangat terkenal pada jaman majapahit, disaat agama siwa dan budha duduk bersama memikirkan kebahagiaan lahir bathin, bahkan diwujudkan dalam bentuk siwa budha manunggal, bhineka tunggal ikka tan hana dharma mangruwa, dikenal dengan lontar SutaSoma, buah karya Mpu Tantular.
Sebuah lontar yang berisikan permutasian semesta, formulasi bathin para brahmana saat itu, serta realitas tuhan sebagai buah cipta karsa manusia yang dinyatakan sebagai DIVA RUPA.
Kemudian diwujudkan sebagai bentuk surat, rajah dan gambar yang kita warisi sampai hari ini, sebagai bentuk BUDHA-YA.
Bahasa sastra jnana yang paling tepat untuk mengungkap proses ini tiada lain adalah KE SUSASTRA-AN, yang berisikan dasar penggalian pada aksara, penganalisaan serta pengembangan lebih lanjut dengan yoga aksara ( nyastra ) pada kelompok-kelompok sangga tertentu yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat, yang dinyatakan sebagai Pesantian.
Budaya pesantian inilah yang melahirkan pundi-pundi kesepakatan ( sidhantta ) antar masyarakat, sehingga melahirkan konsep seni sastra yang tiada banding ( sundharam ) seperti kelompok kesusastraan, kelompok seni drama dan tari, kelompok seni rupa, kelompok seni suara dan masih banyak lagi kelompok budaya yang berlandaskan bhakti atau wujud pelayanan pada alam semesta sebagai wujud upakara yajnya yang tertinggi.
Ilustrasi kesejagatan dengan paradigma baru sebagai masyarakat moderen tidak mampu memahami budaya sastra sebagai sebuah tradisi leluhur yang bersumber pada bhakti yaitu wujud Yajnya Sastra kepada alam, malah dijadikan ajang atau modus mencari ketenaran dengan cara eksplorasi bathin tanpa batas, sehingga menyebabkan penderitaan, penyakit kronis bahkan kematian.....maka disaat ini baru menyadari, tidaklah mungkin obat mujarab akan datang, kecuali penyesalan dan mau tidak mau liang kubur telah menunggu sebagai peristirahatan lama niraka bavana.
Semoga tulisan ini menjadikan kita mulai sadar dan mulai khawatir tentang keadaan dunia sudah semakin rawan kehancuran, sehingga kita semua seharusnya mewaspadainya dengan kesadaran rohani yang lebih matang dalam bingkai pengetahuan siwa budha manunggal dalam penggalian pada kelompok-kelompok sangga sastra yang tetap dituntun oleh seorang guru yang mumpuni di bidangnya.
Rahayu Rahayu Rahayu.

Nawa gempang caru penglukatan karang panes

 



wenten ring lontar lebur sangsa dan gong wesi.
Caru ayam berwarna 5 manut urip seperti caru manca sata,dan bebek putih di olah menjadi 9 karangan ,dan 9 tanding semua berisi sate 9 biji nasi 9 kepel ,kulit bebek putih di tutup kan di tengah metatakan ngiu / nyiru. Dan selanjut nya caru bhuta slurik.......
Banten dan caru ini biasanya di buat saat sebagai perlengkapan UPAKARA YADNYA : Manusa Yadnya , Butha yadnya , Rsi Yadnya , Dewa Yadnya , Pitra Yadnya .
Di buat dari jaja suci yg di buat menyerupai simbol simbol ALAM SEMESTA /Bhuwana Agung , biasa di sebut BANTEN PULA GEMbAL .
BANTEN PULA GEMbAL di tujukan kepada BHATARA GANA yaitu DEWA yg melindungi manusia dari godaan bhatara KALA .
Banten Pula Gempal biasanya di buat bersama Banten BEBANGKIT .
Banten Pula Gembal dan Banten Bebangkit tergolong Banten TATABAN .
Banten Bebangkit dan Banten Pula Gempal selalu di sertai Banten Sekar Taman.
Banten Bebangkit adalah di tujukan pada DEWI DURGA pengendali semua BHUTA KALA.
Banten Sekar Taman di tujukan pada DEWA SEMARA RATIH .
Banten bebangkit adalah simbol ALAM BHUANA AGUNG YANG DAHSYAT KEKUATANNYA .
ALAM ini bisa menjadi musuh juga sekalian menjadi sahabat umat manusia .
Karena di alam inilah manusia dan mahluk lainnya lahir , hidup dan mati ....juga ALAM adalah sumber penyakit juga sumber semua obat dari penyakit .
Banten Bebangkit untuk memuja DEWI DURGA ...DEWI DURGA adalah perwujudan KRODA/KEMARAHAN dari DEWA SIWA . Tetapi DEWI DURGA juga penguasa semua aspek BHUTA KALA dari alam itu sendiri .



BHUTA = RUANG , KALA =WAKTU ...tidak ada mahluk yg tidak berada di RUANG dan WAKTU .
Kalo manusia tidak bisa menata dirinya dengan benar di ruang dan waktu (bersinergi dengan ALAM SEMESTA ) ...maka BHUTA KALA(RUANG dan WAKTU ) menjadi sumber kesengsaraan dalam hidupnya .
Itu sebabnya tubuh kita yg merupakan BHUANA ALIT harus di selaraskan dengan ALAM SEMESTA yg merupakan BHUANA AGUNG di bantu dengan BANTEN TATAPAN yg terdiri dari BANTEN BEBANGKIT dan BANTEN PULA GEMBAL .
Dewi Durga adalah perwujudan KRODA/KEMARAHAN DEWA SIWA , haruslah di SOMIA menjadi perwujudan asli BELIAU yaitu DEWI UMA PARWATI .
Ketiga Banten inilah yaitu Banten Bebangkit , Banten Pula Gempal dan Banten Sekar Taman sarana YADNYA untuk mengubah Dahsyatnya Kekuatan BHUANA AGUNG/ALAM SEMESTA menjadi ALAM yg memberi CINTA KASIH pada manusia .
Bhatara GANA yg merupakan pemujaan yg di tujukan dengan Banten Pula Gempal yg memiliki peranan untuk menetralkan pengaruh ALAM NEGATIF menjadi Positif .
Simbolnya adalah DEWI DURGA yang KRODA/MARAH akan di redakan kemarahannya oleh Putra tercintanya DEWA GANA yg lebih di kenal dengan sebutan Dewa GANESHA .
Caru nawa gempang ?
Kitab lebur gangsa
Caru nawa gempang merupakan sebuah prosesi upacara buta yadnya untuk tempat tinggal dan tegalan yg angker . di sumber tanah angker itu harus di buatkan padma indrabelaka , bila tidak di isi padma maka caruu pun tiada guna sekalipun 100x mengadakan upacara buta Yadnya . apabila persyaratan itu tidak di patuhi maka muncul durga dari dalam tanah untuk memberi anugrah wewenang kepada sang kala maya untuk menyebarkan penyakit , di pinjam raga pemilik tanah sehingga dilihat berubah wujud jadi liak desti , boros , susah rejeki , sering ribut di keluarga .
Kalau ada kesulitan seperti itu , carilah di rumah tangga ( nyiksik bulu 😀😀)
Adapun caruu mawa gempang merupakan caru tertimgg ( widining caruu menurut kitab lebur gangsa ) yg cukup sederhana dan biaya yg murah cukup dg ayam empat warna sesuai warna pengurus mata angin di tengah sebagai pancer di ganti dg bebek pitih .
Ritual ini di lakukan bila si pemilik tidak mampu melakukan jenana tertinggi ( manunggal / ardenareswari / linuwih ) itupun sebatas hidupnya sang linuwiih karena mereka bisa membersihkan dg jenana nya .

Copas w sudika
Om Sastyastu
Om Awighnam astu namah siddham
Om Ano badrah kratawo yantu wiswatah 🙏
Dumadak tan kakeneng sot-sot upadrawa / cakrabawan Ida Sang Hyang Aji Saraswati, Sang Hyang Kawiswara ,Sang Hyang Guru Reka
Isi Tutur Gong Besi dan lanjut ke Tutur Lebur Gangsa.
Bagian- bagian isi Tutur Gong Besi yaitu Bagian 1. mengenai Betara Dalem / Dalem Kawi ..............
Bagian 2 dan 3 mengenai Keputusan Sang Hyang Wimbayagni serta Tutur Pematuh Ndewasraya dan juga Ajaran Sanghyang Dharmatattwa ,, bagian- bagian ini tidak bisa disampaikan/bahas, oleh karena mengandung sastra dan mantra-mantra yang sangat sakral dan pingit, hanya boleh disampaikan dalam hal aguron-guron.
Untuk Bagian-bagian 4 dan 5 mengenai pedewasan, hari baik dan buruk ( wariga ) dapat disampaikan bertahap karena menyangkut banyak materi seperti ; wewaran, neptu/urip wewaran, wuku, penanggal pangelong, sasih, dawuh dan pedewasan bersifat tenung,prathiti samutpada, wewatekan,lanang wadon,pengunya-unyaan saptawara dll lagi.
Lanjut ke Tutur Lebur Gangsa ( disampaikan isi secara ringkas ).
Tutur Lebur Gangsa adalah mengenai Durmanggala ( kedurmanggalan ) yaitu tanda -tanda yang membawa bahaya dalam bentuk yang aneh-aneh kadang2 diluar nalar.
Beberapa yang dapat disebut Durmanggala :
1. Kageni bhaya, kebakaran rumah
2. Karang panes ;
a.karipu bhaya, adanya pohon tumbang penyebabnya kurang jelas menimpa pekarangan/rumah
b.kalebon amuk,adalah orang mati karena jatuh
c. kalulut bhaya, adalah adanya lulut dipekarangan, baik lulut emas, lulut perak lulut besi.
d. keraja bhaya,adalah ada darah dipekarangan/rumah.
e. raga bhaya/ulah pati, adalah bila ada orang menusuk dirinya sendiri/bunuh diri.
f. kerare bhaya, meninggal karena melahirkan.
g. salah pati ,, mati dibunuh orang .
h. rumah tumbak rurung.
i. raga sesa adalah menambah dan mengurangi/memotong rumah.
dan banyak lagi yang dapat digolongkan Durmanggala tergantung dari sumber sastranya...dari masing2 sumber sastra tidak ada yang salah, menurut penulis semuanya benar ( sastra pinaka Sang Pencipta ).
Untuk menetralisir atau " melakukan pembersihan dan penyucian kembali/somya" dapat dilakukan dengan upakara Caru, sebagai pemahayu karang panes dan kedurmanggalan/durbhiksa.
Sepatutnya mendirikan pelinggih Antasana bagi Rumah Tumbak Rurung.
Beberapa Caru yang dapat dilaksanakan adalah, caru bhuta slurik, caru nawa gempang dan caru asu bang bungkem.
Apabila telah nampak ciri-ciri atau tanda2 Durmanggala dan Durbhiksa (buruk dan paceklik),yang sebutkan dalam Ajaran Aji Lebur Gangsa, sepatutnya mendirikan tempat suci yaitu Antasana adalah Pelinggih / Stana Sang Hyang Tiga Wisesa, yaitu Sang Hyang Indra Belaka, Sang Hyang Durgha Maya, dan Sang Hyang Kala Maya, ApabilaBeliau bertiga ini dibuatkan pelinggih Antasana maka Beliau bertiga manunggal mengeluarkan kekuatan /kehebatan menjadi Durgha Manik.
Disamping melakukan upakara Caru sebaiknya buat Pelinggih Antasana. Banyak lagi rumah pekarangan disebut kadurmanggalan, yaitu nguluning tempat suci/pura,, nguluning bale banjar,, apit rurung,,negen telabah,, rumah perempatan dll......patut dilakukan pemahayu pekarangan/rumah .
Apabila ada orang bunuh diri dalam satu pekarangan/rumah sepatutnya dilakukan pembersihan/penyucian dengan Caru Pamurna Nawa Gempang dan Caru Bhuta Slurik.
Demikian yang tersurat,tersirat dalam Ajaran / Tutur Lebur Gangsa



Sabtu, 11 Juni 2022

Asubha Karma

 

Asubha Karma atau Adharma adalah segala bentuk tingkah laku yang tidak baik, tidak suci dan selalu menyimpang dengan perbuatan subha karma dan bertentangan dengan hukum yang berlaku, serta merupakan sumber dari kedursilaan yaitu :
  • Segala bentuk perbuatan yang selalu bertentangan dengan susila atau dharma, dan 
  • Selalu cenderung mengarah kepada kejahatan. 
  • Dan nantinya setelah kematian, akan mendapatkan hukuman berupa penyiksaan di Kawah Candra Gomuka bagi atma yang semasa hidupnya selalu berbuat asubha karma ini.
Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma / Asubha karma ini merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini.

Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma inilah menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita.

Menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma / kejahatan yang harus dihindari di dalam hidup ini adalah :
  • Tri Mala, perbuatan hina, dusta dan angkuh….. 
  • Catur Pataka, 4 perbuatan dosa… 
  • Panca Bahya Tusti, bersifat keduniawian dan kikir….. 
  • Panca Wiparyaya, selalu berharap….. 
  • Sad Ripu, bersifat kejam, serakah dan iri hati…. 
  • Sad Atatayi, menjalankan ilmu hitam dan membunuh ….. 
  • Sapta Timira, kegelapan pikiran…. 
  • Dasa Mala, pemarah dan suka menipu. …
  • Astadewi, sifat yang membuat manusia terus menerus berada dalam kepapaan.
  • Misalnya seperti : memirat, memotoh, judi, memunyah, wegig dll
Demikian bentuk-bentuk acubhakarma perbuatan yang menyimpang dan prilaku dosa dalam kutipan Çubha dan Açubha Karma yang dijelaskan pada Hindu-Indonesia.com yang harus dihindari.
Sebagaimana yang diuraikan pada kutipan “The Descent Ilahi Tuhan”, hal ini dijelaskan dalam kitab suci sebagai “Dharma Glani” merajalelanya adharma.

Melihat keadaan hari ini, seharusnya tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa inilah waktu dunia sedang mengalami saat Glani Dharma.

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

 

Dimana masa kegelapan ketika dosa-dosa dan kejahatan dari segala jenis biasanya berlangsung;

  • Ketika manusia meraba-raba untuk menginginkan visi yang jelas. 
  • Ini adalah saat dimana Tuhan campur tangan dalam urusan manusia.  
Pada titi gonggang atau titi ugal agil pun disebutkan, bahwa atma yang terjatuh ke neraka atau alam bhur loka  adalah atma-atma yang diselaputi oleh karma wasana yang terlalu banyak cenderung pada adharma ini. 

Perbuatan asubha karma ini merupakan papa atau dosa yang mesti dihindari oleh setiap orang, terutama yang ingin sukses menempuh jalan rohani (Bhagavadgita (XVI.21).

Dalam sarasamuscaya juga ditegaskan, bahwa berusahalah untuk memahami hakekat penjelmaan sebagai manusia di alam ini sehingga kita mampu untuk meningkatkan atau menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma) ini menjadi perbuatan baik.
***
Ada sebuah cerita yang menceritakan kejahatan seorang manusia, yang bernama Pepaka yang dalam Tantri: Pepaka Manusia Jahat diceritakan sebagai berikut :

Ia pada mulanya merupakan seorang pemburu binatang yang loba tamak, jahat dari kecil. Tidak pernah berbuat yang baik.

“Suatu hari, dilihatnya si macan sudah siap akan menerkamnya. Suaranya meraung keras,”

Hai kamu manusia jahat, yeng selalu membunuh binatang.
Pasrahkan hatimu untuk ku makan.

Sang Pepaka gemetar menangis, Hampir saja ia bisa dimakan, kalau tidak ada si Wenari menolongnya yang selalu melakukan dharma sadhu kebaikan yang berbudi luhur, berpribadi mulia dan berhati suci.

Secara niskala, melakukan prosesi ritual dalam hal menetralisir kekuatan – kekuatan jahat ini juga bertujuan agar menjadi suatu kekuatan yang baik dan berguna yang sebagaimana diantaranya disebutkan sangatlah penting bagi diri manusia itu sendiri dan kehidupan di alam semesta ini;

Sehingga di Bali juga melaksanakan upacara nyomia yang bertujuan untuk mengembalikan kekuatanan negatif dari Bhuta Kala yang dibuat dalam wujud Ogoh-ogoh yang kemudian dilanjutkan dengan natab caru pabiakalan sebuah ritual yang bermakna nyomia, untuk mengembalikan sifat-sifat jahat buta kala ke asalnya.

sumber





Rabu, 01 Juni 2022

Makna Hari Raya Soma Ribek

 


Tanggal 16 Oktober merupakan hari pangan yang diperingati oleh dunia internasional.  Umat Hindu Bali juga memiliki peringatan hari pangan yakni hari raya Soma Ribek. Hari raya Soma Ribek jatuh pada Soma (Senin) Pon wuku Sinta, dua hari setelah hari raya Saraswati.

Mengapa Soma Ribek diidentikkan sebagai hari pangan ala Bali? Menurut lontar Sundari Agama, teks tradisional yang dijadikan salah satu rujukan hari-hari raya suci Hindu. Soma Ribek adalah hari pemujaan Sri Amerta (manifestasi Hyang Widhi Wasa yang memberikan kemakmuran berupa bahan makanan, seperti beras dan lainnya. Awam biasa menyebut Soma Ribek sebagai hari piodalan (peringatan kelahiran) beras sebagai sumber pangan utama.

Maka dari itu, saat Soma Ribek, umat Hindu Bali akan menghaturkan sesaji di tempat-tempat yang memiliki kaitan erat dengan beras, seperti lumbung atau jineng (tempat penyimpanan padi) serta pulu (tempat penyimpanan beras). Sesaji yang dihaturkan lazimnya berupa banten khusus yang berisi nyanyah geti-geti, gringsing, raka-raka (buah-buahan), pisang emas, dan bunga-bunga harum. Dalam masyarakat Hindu Bali, seperti lazimnya masyarakat di Nusantara, padi atau beras memang memiliki makna khusus. Buktinya, banyak daerah di Nusantara memiliki cerita rakyat tentang asal mula padi atau beras. Masyarakat Nusantara melihat padi atau beras sebagai simbol kemakmuran.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Pada hari Soma Ribek, umat Hindu Bali disadarkan tentang betapa pentingnya pangan dalam kehidupan ini. Tanpa pangan manusia tidak bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Karenanya, manusia pantas berterima kasih dan mengucap syukur ke hadapan Sang Pencipta atas karunia pangan yang melimpah.

Pantangan menumbuk padi serta menjual padi dan beras ini tersurat dalam lontar Sundarigama yang secara tradisi selama ini menjadi rujukan pelaksanaan hari raya Hindu di Bali. Para petani Bali yang masih taat pada tradisi yang bersumber pada teks biasanya akan menghentikan segala kegiatan bertani di sawah saat hari Soma Ribek. Mereka berkonsentrasi memuja Sang Hyang Sri Amertha, manifestasi Tuhan sebagai pemberi anugerah kemakmuran, segala jenis pangan.

Penyusun buku Rerahinan Hari Raya Umat Hindu, Wayan Budha Gautama menyebutkan ada tiga kegiatan utama yang dipantangkan saat hari Soma Ribek, yaitu mengetam padi dan memetik buah-buahan, menumbuk padi dan menyosoh gabah, serta menjual hasil pertanian termasuk tidak menjual beras. “Apabila hal-hal tersebut dilanggar, umat manusia akan dikutuk Batari Sri dan akan senantiasa mendapat kesulitan di bidang pangan,” tulis Budha Gautama.

Pantangan menumbuk padi serta menjual padi dan beras merupakan cara manusia Bali menghormati serta memuliakan Batari Sri yang telah menganugerahkan pangan bagi umat manusia. Dalam tradisi Bali, cara yang lazim ditempuh untuk menghormati atau memuliakan dengan jalan brata (berpantang). Tengok saja brata atau pantangan membaca dan menulis saat hari Saraswati untuk memuliakan Sang Hyang Aji Saraswati yang memberikan anugerah ilmu pengetahuan kepada umat manusia. Begitu juga pantangan bertransaksi tunai atau sehari tanpa uang saat hari Buda Wage Kelawu untuk menghormati dan memuliakan Sri-Sadhana yang menganugerahkan kemakmuran berupa dana (uang). Bahkan, manusia Bali menandai pergantian tahun Saka dengan menghentikan segala aktivitas melalui catur brata penyepian dalam Nyepi. –sumber


Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

 

Ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan “Tiga Kerangka Dasar”, di mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi dan merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.

Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah:

  1. Tattwa (Filsafat)
  2. Susila (Etika)
  3. Upacara (Yadnya)

Tattwa (Filsafat)

Sebenarnya agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akal dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana. Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok yang disebut Tri Pramana. Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam Hindu, sradha disarikan menjadi 5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha.

Berbekal Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.

Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah- istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu yang telah disarikan dari sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Susila (Etika)

Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. Ia akan memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.

Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.

Kata Susila terdiri dari dua suku kata: “Su” dan “Sila”. “Su” berarti baik, indah, harmonis. “Sila” berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.

Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.

Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.

Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya

Panca Yama dan Niyama Brata
5 Kebaikan yang harus dilakukan dan 5 keburukan yang harus dipantang.

Tri Mala
3 sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan diredam sampai sekecil- kecilnya.

Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi.

Catur Asrama
4 tingkat kehidupan manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan tahapan- tahapan jenjang kehidupan yang mempengaruhi prioritas kewajiban menunaikan dharmanya.

Catur Purusa Artha
4 dasar tujuan hidup manusia

Catur Warna
Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang.

Catur Guru
4 kepribadian yang harus dihormati oleh setiap orang Hindu.

 

Upacara (Yadnya)

Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:

  1. Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
  2. Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
  3. Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing- masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
  4. Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.

PEMBAGIAN YADNYA

Untuk memudahkan pembahasan, yadnya dibagi- bagi sebagai berikut

  1. Menurut tingkat pelaksanaannya
  2. Menurut jenisnya (panca yadnya)
  3. Menurut waktu pelaksanaannya
  4. Menurut cara menjalankannya (panca marga yadnya)

sumber


Mahakali : Menyeramkan Namun Penuh Kasih

 


Dewi yang paling ditakuti adalah Mahakali, yang merupakan perwujudan kemarahan Dewi Parvati atau Dewi Uma. Kali merupakan shakti Dewa Shiwa yang diyakini sebagai penghuni tempat kremasi atau setra.

Dewi Kali adalah penguasa waktu, berasal dari bahasa sansekerta Kaal yang berarti waktu. Kehadiran Dewi Kali tidak bisa dihindari karena merupakan bagian dari perjalanan waktu.

Kali digambarkan sebagai sosok dewi yang menggunakan kalung tengkorak manusia dengan aksesorisnya, sementara senjatanya adalah tri sula dengan menghunus pedang untuk siap menebas segala kejahatan dunia.

Mahakali dalam sastra Hindu diwujudkan sebagai kemarahan Dewi Parvati. Munculnya kekuatan Kali yang setara dengan Dewa Siwa tidak ada yang bisa mengalahkan. Mahakali dengan kemarahannya menumpas kejahatan para asura atau kaum raksasa.


Disisi lain, Mahakali dengan wujud bengis menyeramkan merupakan sosok yang mahakasih. Memuja Mahakali diharapkan manusia mampu menumpas segala macam kejahatan dalam diri.

Mahakali penganugerah keselamatan  bagi pemuja-Nya. Wujud Mahakali dikisahkan kembali dari kemarahannya ketika Dewa Siwa yang tiada lain adalah suaminya berserah diri dengan penuh pengorbanan untuk diinjak oleh Mahakali.

Setelah tahu bahwa yang diijak adalah suaminya, Mahakali menjadi sangat bersedih dan merasa bersalah sehingga kembali berwujud Parvati. Pengorbanan Dewa Siwa sebagai simbol pengorbanan kasih mengembalikan kemarahan menjadi kasih dan juga simbol pengorbanan suami melayani istri. (SB-Skb)  –sumber