Minggu, 21 Mei 2023

Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan



Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.





Hari raya Galungan merupakan hari suci agama hindu berdasarkan pawukon, deperingati setiap 210 hari (6 bulan) sekali yaitu pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan. Hari raya Galungan juga disebut hari Pawedalan Jagat mengandung makna untuk pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa karena telah diciptakan dunia dengan segala isinya. Selain itu juga Galungan merupakan hari kemenangan dharma melawan adharma. Hari raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sudah sejak abad XI. Hal ini didasasarkan antara lain :


Kidung panji malat rasmi dan pararaton kerajaan Majapahit. Perayaan semacam ini di India dinamakan hari raya Sradha Wijaya Dasami.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Di Bali sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan galungan pernah tidak dilaksanakan, oleh karena itu raja-raja pada jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat pendek-pendek. Kemudian setelah Sri Haji Jaya Kusunu baik tahta dan juga setelah mendapatkan pawarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya, maka Galungan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada Galungan Buwung atau tidak ada galungan batal.


Rangkaian Upacara Hari Raya Galunagan


1# Tumpek Wariga


Yaitu 25 hari sebelum Galungan yang jatuh pada hari sabtu kliwon Wuku Wariga. Tumpek wariga ini juga disebut dengan nama Tumpek Pengatag, pengarah, Bubuh, dan uduh, yang intinya mohon keselamatan pada semua jenis-jenis tumbuh-tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna dan dapat memberikan hasil bekal merayakan Galungan.


2# Hari Sugihan Jawa



Sugihan Jawa dilaksanakan setiap dua ratus sepuluh hari pada hari Kamis Wage wuku Sungsang yaitu 6 hari sebelum hari raya Galungan. Perayaan ini bermakna memohon kesucian terhadap bhuana agung(alam semesta). Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, jadi Hari Sugihan Jawa tersebut bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari jawa pasca bubarnya Majapahit. Maksud sebenarnya adalah pembersihan Bhuana Agung - sekala-niskala. Dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.


3# Hari Sugihan Bali


Sugihan Bali dilaksanakan setiap 6 bulan skali pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu 5 hari sebelum perayaan Galungan. Perayaan ini bertujuan untuk memohon kesucian terhadap diri pribadi (bhuana Alit), sesuai dengan lontar Sundarigama: "Kalinggania amrestista raga tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.


4# Hari Penyeban


Penyekeban jatuh pada hari minggu/radite Paing Wuku Dunggulan yaitu 3 hari sebelum Galungan. Hari ini merupakan awal Wuku Dungulan yang bermakna patutu waspada, karena para bhuta kala (Sang Tiga Wisesa) mulai turun menggoda kemampuan dan keyakinan manusia dalam wujud bhuta Galungan. Dalam lontar sundarigama di sebutkan “anyengkuyung Jnana Sudha Nirmala” agar terhindar dari godaan-godaannya. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang (biu) atau tape untuk bebantenan saja.


5# Hari Penyajaan Galungan


Hari penyajaan Galungan jatuh pada hari Senin Pon Wuku Dungulan, 2 hari sebelum hari raya Galunga. Hari ini dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan. Juga dimaksudkan sebagai hari-hari yang patut diwaspadai terhadap godaan sangkala Tiga Wisesa dalam wujud Bhuta Dungulan. Hari penyajaan bermakna sebagai hari kesungguhan hati untuk menyambut dan merayakan Galungan. Pada hari ini umat mengadakan Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajaan dalam lontar Sundarigama disebutkan : "Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.


6# Hari Penampahan Galungan


Penampahan Galungan jatuh pada hari Selasa Wage Wuku Dungulan yaitu sehari sebelum prayaan Galungan. Pada hari ini dilaksanakan untuk memotong hewan, membuat sate dan lawar untuk perlengkapan sesajen. Pada hari ini juga patut diwaspadai, karena merupakan hari terakhir bagi Sang Kala Tiga dalam wujud sebagai Amangkurat untuk menggangu manusia. Hindarkan diri dari pertengkaran agar terhindar dari godaannya. Bagi ibu-ibu dan remaja putri saat ini dipergunakan untuk mengatur sesajen yang akan dipersembahkan besoknya, sedangkan pada sore hari setelah selesai memasak diselenggarakan upacara Mabyakala yakni untuk memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat hewani tersebut.


Ini sesuai dengan lontar Sundarigama yaitu ; "Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri. Hari Penampahan Galungan inilah yang pada dewasa ini paling kehilangan makna spiritualnya yang paling penting. Konsentrasi kebanyakan keluarga membuat makanan yang enak-enak. Padahal ada upakara penting di Madya Mandala untuk Memohon Tirta dari Luhuring Akasa dalam rangka me-nyomia Buta Kala di Bhana Agung dan Alit yang sering terlewatkan. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri. Dan setelah itu dan lanjut para bapak-bapak atau pemudannya mulai memasang penjor.




7# Hari Raya Galungan


Galungan jatuh pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan, merupakan puncak upacara peringatan kemenangan dharma melawan adharma sebagai hari Pawedalan Jagad dengan mempersembahkan upacara sesajen pada setiap tempat-tempat suci dilanjutkan dengan tempat sembahyang, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.


8# Manis Galungan


Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara mesima krama dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran kebenaran adalah dengan Satyam Vada yaitu mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.


9# Hari Pemaridan Guru


Pemaridan Guru jatuh pada hari Sabtu Pon Wuku Dungulan, hari terakhir Wuku Dungulan. Pada hari ini dipergunakan sebagai hari penyucian diri dan dilanjutkan dengan memohon keselamatan ditandi dengan memakan sisa yajna berupa tumpeng guru secara bersama-sama sekeluarga. Maknanya pada hari ini dilambangkan dengan kembalinya Dewata-dewati, pitara-pitari, para leluhur ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan dengan sarana banten "tegen-tegenan" yang berisi hasil bumi berupa padi, buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke sunya loka.


Pengertian Kuningan


Hari Kuningan merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setip 6 bulan sekali atau 210 hari sekali, yaitu setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, 10 hari setel;ah hari raya Galungan, dan Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditunjukan pada para dewa agar turun melaksanakan penycian serta mukti atau menikmati sesajen-sesajen yang dipersembahkan. Penyelenggaraan upacara kuningan disyaratkan supaya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong kebarat. Semua upacara sebagai simbul kesemarakan, kemeriahan, terdiri dari berbagai macam jejahitan yang mempunyai simbolis sebagai alat-alat perang yang diperadegkan seperti tamiyang kolem, ter, endogan, wayang-wayang, dan lain sejenisnya. Tujuan pelaksanaan upacara Kuningan ini adalah untuk memohon kemerosotan, kedirgahyun serta perlindungan dan tuntunan lahir batin.



RELATED:
Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati
Pengertian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu
Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu
Makna Hari Suci Galungan


Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’ yang artinya menang atau unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.


Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.



Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan. Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku Sungsang yang sering disebut Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta.



Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan. Perayaan ini biasanya diakukan persembahyangan di pagi hari dan setelah itu semua orang keluar ke jalan dengan berpakaian baru yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan, sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.


Makna Hari Suci Kuningan


Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya Kuningan yang suci ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga.


Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.



Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat manusia atas anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini mengingatkan manusia pada hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi.



Seluruh umat Hindu yang ada di Bali melakukan upacara adat Hari Raya Kuningan ini tidak di wajibkan melaksanakannya di pura, apa lagi bila jarak pura terlalu jauh dari tempat tinggal. Pelaksanaan upacara ini bisa dilakukan juga dirumah mengingat waktu nya yang terlalu singkat, kebiasaaan ini menjadi salah satu adat yang terus dilestarikan hingga saat ini, Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta bumi dan alam seisinya. Dengan demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari. Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon keselamatan, kemakmuran,kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan terlaksana seijin Hyang Widhi.

Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu



Setiap orang yang lahir di dunia ini harus menyadari bahwa dirinya diciptakan oleh Sanghyang Widhi Wasa dan mempakan pancaran dari sinar suci-Nya. Sementara dalam kehidupannya, ia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan di mana mereka hidup, karena koderatnya sebagai mahluk sosial (homo socious) selalu harus berhubungan dengan dunia luar dan dunianya sendiri selaku individu. Di samping itu manusia juga dibelenggu oleh hukum kerja, karena itu mereka wajib melaksanakan tugas hidupnya walaupun harus menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang menimpa dirinya.



Di dalam menjalani kehidupannya, setiap orang harus berusaha menemukan kembali jati dirinya yang suci murni sebagai bagian yang menyatu dengan kepribadian-Nya. Namun kenyataan yang sering terjadi adalah betapa sulitnya manusia menemukan kesadaran untuk membebaskan dirinya dari belenggu dunia maya ini yang membuat dia lalai terhadap hakikat tujuan hidupnya. Dunia maya selalu menawarkan kenikmatan hidup yang seakan akan terasa langgeng, tetapi sering kali justru menambah beban masalah di dalam kehidupannya sehingga kehidupan yang damai makin sulit diwujudkan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sehubungan dengan itu Agama Hindu mengajarkan Tapa Brata Sivaratri. sebagai petunjuk bagi umatnya untuk mencapai kesempurnaan hidup, membebaskan diri dari jerat maya, serta menemukan kebahagiaan dan kedamaian.


Foto: Mutiarahindu.com

Ajaran Tapa Brata Sivaratri

Tapa brata Sivaratri termuat di dalam berbagai pustaka suci agama Hindu, baik di dalam Itihasa Mahabharata dan Purana, maupun Nibanda. Di Indonesia, seorang pujangga bernama Empu Tanakung telah menggubah sebuah ceritra Lubdhaka yang ditulis dalam pustaka Sivaratrikalpa pada akhir jaman Majapahit, tentu dengan tujuan untuk meyakinkan umatnya agar dengan penuh keyakinan dapat melaksanakan brata Sivaratri yang ditetapkan dalam Veda.

Ceritra Lubdhaka ini hampir sama dengan mithologi Nishada di dalam Padma Purana yang ditulis sekitar 1500 tahun S.M. Namun yang terpenting dari mitologi itu ialah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa tentang keutamaan brata Sivaratri. Dialog itu antara lain berbunyi sebagai berikut :


"Tuanku Raja dengarkanlah, saya akan menerangkan kepada tuanku tentang brata Sivaratri, yaitu brata yang paling utama sebagai jalan menuju Sivaloka. Malam ke 14 yang gelap, pada bulan Magha atau Palguna (Purwanining Tilem Kapitu) haruslah disadari sebagai "malam Siva" yang akan membebaskan semua dosa ("sarva papa paharini"). Mereka yang berpuasa dan tetap tidak tidur sambil memetik daun Bilwa selama malam itu untuk berbhakti kepada Siva, maka akan mencapai identitas Siva. Janganlah dibeberkan sembarangan walaupun oleh tuanku sendiri. Brata Sivaratri adalah brata yang paling istimewa, ibarat Mahamerunya pegunungan, Matahari dari yang bersinar, Guru dari para mahluk, Gayatrinya mantra, Amritanya cairan, Visnunya lelaki dan Arundhatinya wanita. Sivaratri yang dikaitkan dengan "bhavani" (bhakti yang murni), begitu terjadi kontak akan segera membakar bahan bakarnya dosa. Brata Agung Sivaratri ini adalah seperti yang telah diajarkan sebelumnya oleh Mahadeva kepada sinar-Nya.


Demikianlah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa. Dikatakan pada pengelong 14 bulan Magha yang merupakan malam tergelap dalam satu tahun, Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasi Siva Mahadeva yang maha pengasih, penyayang, pelindung alam semesta, melakukan Yoga guna melebur dosa -dosa insan yang taat dan pasrah berbhakti kepadafNya.

Kemudian di dalam pustaka suci Mahabharata (Santi Parva) terdapat ajaran tentang brata Sivaratri yang diajarkan oleh Maharsi Bhisma kepada Yudhistira putra Pandu, dengan kisah kehidupan seorang pemburu bernama Susvara dari Varanasi, yang dalam penjelmaannya kemudian, mereka hidup sebagai Maharaja bernama Chitrabhanu.

Adapun ketentuan tentang pelaksanaan Tapa brata Sivaratri tercantum di dalam Lontar Aji Brata, yang pelaksanaannya mencakup tiga kegiatan secara bersamaan, yaitu : Mauna, Upavasa dan Jagra, dimulai pada pukul 06.00 ketika fajar menyingsing.


Mauna : berarti diam, berdiam diri tanpa suara, tanpa ucapan kata, dan mendiamkan pikiran dari obyek indera. Ini dilakukan selama 12 jam.

Upavasa : berarti mengendalikan hawa nafsu, tidak menikmati makanan, minuman dan sebagainya, selama 24 jam.


Jagra : berarti melek, tidak tidur sebagai latihan untuk meningkatkan kewaspadaan dan. kesadaran rohani, dilakukan selama 24 jam sampai 36 jam.

Di dalam melaksanakan Tapabrata Siwaratri di gunakan simbol-simbol suci atau praktika antara lain "Dalung" sebagai simbol kolam suci tempat munculnya Siva-Lingga, pohon beringin sebagai simbol pengganti pohon Bilva, Kwangen dan berbagai Upakara lainnya yang tidak dibicarakan pada naskah ini.

Bagi umat yang melaksanakan brata Sivaratri, kegiatannya diawali dengan persembahyangan, kemudian memasukkan Kwangen ke dalam Dalung, kemudian duduk menghadapi cawan berisi air dan 108 daun beringin serta Dupa yang menyala, bermeditasi melakukan "Nama smaranam" mengagungkan nama suci Siva sang pelebur "papa" dan pembawa "punia" memohon tuntunan dan sinar suciNya agar dijauhkan dari kelalaian yang membawa derita hidup.

Monabrata diakhiri pada petang hari (pukul 18.00 wib) sedangkan Upawasa diakhiri ketika fajar menyingsing yang diawali dengan persembahyangan "Lebur Brata" dilanjutkan mengambil Kwangen didalam Dalung dan memercikkan airnya ke ubun ubun, dengan harapan agar Hyang Widhi selalu menuntun kesucian pikirran dan perasaan hatinya.

Setelah upacara Lebur Brata maka "Jagra" dapat dilanjutkan dengan kegiatan TirthaYatra yaitu perjalanan ke tempat suci atau Pura sampai waktu Jagra itu berakhir. Berikut tinjauan filosofis dari hari suci Sivaratri

Hakikat Kelahiran Manusia

Manusia adalah salah satudari berjuta juta jenis ciptaan Sanghyang Widhi Wasa yang selalu berupaya membebaskan dirinya dari penderitaan hidup dan mencari kebahagiaan.

Lubdhaka, Nishada, Susvara adalah merupakan sosok "sang pencari" yang meniti kehidupannya dengan penuh bhakti kepada Yang Maha Kuasa. Dengan bhakti itulah ia menemukan hakikat dinnya.

Veda mengajarkan bahwa setiap insan dapat hidup karena ada inti hakikat yang menghidupinya.

"Eko devas sarva bhutesu gundhas sarva vyapi sarva bhutantaratma karmadhyaksas sarva bhutadhivasas sakti ceta kevalo nirgunasca" (Svetasvatara Upanisad .VI .11)

("Satu sinar suci Tuhan yang tersembunyi dalam setiap insan, menjadi jiwa bathin semua ciptaan itu, Raja yang menyinari semua perbuatan dan menjadi saksi agung yang bersemayam di dalam hati.")

Inti hidup itu disebut "Atman" sedangkan Sanghyang Widhi Wasa sebagai penciptanya disebut "Parama Atman" atau Brahman. Pada hakikatnya Atman dan Brahman itu tunggal, yang di dalam Aitarya Upanisad disebut: "Brahman Atman aikhyam". Ibarat matahari dengan sinarnya, ibarat air samudera dengan setetes embun, demikianlah hakikat Brahman. dengan Atman yang menyinari Jiwa manusia itu. Kemudian ketika manusia lahir, maka sang J iwa dipengaruhi oleh bakat sifat dari "wasana karmanya".


Di dalam hidup ini setiap manusia akan terkena oleh pengaruh sifat alam yang disebut "Guna". Ada tiga guna yang selalu mangikuti dan mempengaruhi segala aktivitas manusia dalam hidupnya, yaitu: "Sattvam, Rajas, Tamas"; ketiganya disebut "Tri Guna". Sattvam ialah sifat sifat tenang, suci, benar dan sadar.

Rajas ialah sifat lincah, energik dan dinamis. Tamas ialah sifat -sifat lamban, malas dan statis.

Pengaruh Tri Guna itu masing masing berbeda untuk setiap orang, bergantung dari bakat sifat kelahirannya dan aktivitas latihan rohani sepanjang perjalanan hidupnya. Kecenderungan kecenderungan yang sering kita jumpai adalah dominasi pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud "Sadripu" (Kama, Lobha, Kroda, Mada, Moha, Matscarya) yaitu enam musuh utama yang menyelimuti pikiran manusia menjadi gelap dan bodoh atau linglung, sehingga manusia itu terperangkap oleh jerat Maya, yang membawa penderitaan bagi dirinya.


Demikianlah kecenderungan pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud Sadripu itu pada diri manusia sehingga kita seling menemukan suatu kenyataan hidup, bahwa dalam keadaan apapun, serta di manapun mereka ditempatkan seakan-akan kegelisahan senatiasa mengikutinya. Di tengah tengah kecukupan mereka masih merasa miskin, selalu merasa kekurangan, bahkan pada suasana gembira pun mereka masih merasa kekurangan sesuatu. Keadaan seperti itu adalah merupakan "Kerinduan Jiwa kepada Tuhan", karena sang Jiwa (Atman) memang mempunyai hakikat yang sama dengan penciptanya, Brahman Seru sekalian alam.

Selama jiwa ini terpisah dari sumbernya maka ia tak akan merasa tenang. Kebahagiaan sejati hanya terjadi bilamana Jiwa telah bersatu dengan sumbernya. Namun bila Jiwa terpisahkan dari Tuhannya maka ia akan mudah terperangkap ke dalam jerat Maya, kemudian menjadi budak dari pikirannya sendiri, sehingga ia tidak menemukan kebebasan. Jiwa itu menderita, yang keadaannya tidak lebih baik dari keadaan seorang istri yang hidup terpisah dari suaminya.

Walaupun diberikan segala kemewahan kepadanya namun mereka akan tetap murung dan sedih, bahkan tidak dapat terhibur. Kesedihannya itu akan berakhir bila ia bertemu dengan suaminya, memikat hatinya dan menjadikannya sebagai milik satusatunya. Begitulah Jiwa ini, akan tetap menderita selama belum bertemu atau menyatu dengan sumbernya, Sang Maha Sattvam, Siva sang pelebur dosa, Sanghyang Widi Wasa.

Demi melenyapkan kerinduan Jiwa, mendapatkan pancaran kasih dan menyatu dengan hakikat Atman, maka manusia harus melakukan latihan rohani.

Latihan Rohani

Sanghyang Widhi Wasa menciptakan manusia dengan memberikan organ tubuh yang sama, inti hidup yang sama dan hakikat Jiwa yang sejati sama dengan Dia. Apabila manusia tidak memelihara dirinya, membiarkan pikirannya dipengaruhi dan dijerat oleh ikatan Maya, maka sesungguhnya mereka telah menodai kemuliaan

Sanghyang Widhi, karena itu mereka terjerumus ke lembah dosa yang membawa duka dan nestapa. Mereka lupa bahwa Sang Pencipta bersemayam di dalam dirinya sebagai "Isvara", berada dimana-mana, memenuhi tempat yang tiada terbatas. Mereka juga lupa bahwa manusia tidaklah hanya terdiri dari segumpal darah dan daging, melainkan merupakan gudang harta karun dari ratna mutu manikam yang paling berharga, sebagai Kuil Tuhan, Brahma Wihara, Har Mandir, Pura Sanghyang Widhi Wasa, mikrokosmos tubuh yang mencakup seluruh alam semesta yang telah dirancang dengan sempurna. Karena itulah maka tubuh ini harus dirawat dan dijaga dengan penuh perhatian agar dapat diketahui rahasianya, dipecahkan misterinya, serta dikenal kodrat dan tujuannya.

Untuk menemukan jati diri manusia sebagai Pura Sanghyang Widhi Wasa, maka setiap orang harus melakukan latihan rohani melalui pengendalian pikiran dan idera, melaksanakan Upavasa, menundukkan pengaruh Sadripu, sehingga selalu sadar dan waspada terhadap jerat Maya yang mengakibatkan penderitaan Jiwa. Dalam hal ini pustaka suci Manu Smerti II sloka 88 menyebutkan: "Indriyanamvacaratam visayasvapacharesusanyameyatman alishe dvidvamyanteva vajinam" (Seperti halnya seorang kusir mengendalikan kuda kereta, begitulah orang yang berjiwa bijak berusaha mengendalikan inderanya dari pengaruh fantasi duniawi yang menyebabkan dirinyabuas).

Pengendalian indera ini menurut pustaka suci Sarasamuccaya harus dilakukan dengan cara mengendalikan pikiran, karena sesungguhnya pikiran itulah yang merupakan sumber penggerak keinginan yang kemudian akan menimbulkan tindakan baik dan buruk. Sloka 81 kitab suci Sarascamuscaya menyatakan: "Beginilah keadaan pikiran itu, selalu bimbang, jalannya tidak menentu, banyak yang diangan angankan, kadangkala berkeinginan, kadangkala ragu; bila ada orang yang mampu mengendalikan pikirannya, maka mereka itu pasti akan memperoleh kebahagiaan, baik di dunia ini, maupuh dalam dunia yang lain (Niskala)".

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Sifat pikiran memang mudah terpengaruh oleh ilusi duniawi (Mayapada), karena phenomena alam selalu merangsang dengan berbagai hal yang indah, sedap, lezat, nikmat, sehingga naluri keinginan (Kama) bangkit dan menutupi kesadarannya. Justru itulah setiap orang harus melatih diri secara bertahap mengurangi berbagai jenis makanan yang kurang bermanfaat bagi tubuhnya, mengatur makanan agar bermanfaat bagi kesehatan, disiplin menjalani pantangan seperti yang dilakukan pada hari suci Sivaratri ini.

Dengan mengendalikan pikiran, mengekang kemauan pikiran terhadap phenomena alam, maka indera ini dapat dikendalikan dari rangsangan jerat Maya, sehingga secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan.

Karma Penebusan Dosa

Pengamalan Tapa Brata Sivaratri (Jagra, Upavasa dan Mauna), selain bermakna sebagai latihan rohani, juga mengandung nilai spiritual yang sangat tinggi yakni sebagai karma penebusan dosa yang dilakukan di dunia ini. Pengertian "penebusan dosa" ialah menebus kesalahan dan kelalaian(Asubhakarma) karena kebodohan (Awidya), dengan cara melakukan karma yang positif (Subhakarma) yang bernilai "plus", sehingga karma itu akan bergerak seimbang ke titik nol (Sunya). Pada kondisi Sunya itulah Jiwa akan terbebas dari belenggunya, ia mencapai "Jnana" kesadaran murni dalam "Samadhi", bersatu dengan hakikatnya yang sejati, Jiwanya menyatu dalam pengabadian penuh kepada Brahman yang abadi, maha pengasih dan maha suci.

"Tad buddhayas tad atmanas, tanisthas tat parayanah, gacchanty apunara writtim, jnana nirdhuta kalmasah" (Karma Samnyasa Yoga 17) '

(Bila pikiran hanya tertuju padaNya, menyerahkan seluruh Jiwa kepada-Nya, memuja hanya kepadaNya, dan menjadikan-Nya sebagai tujuan utama, maka dosanya akan dihapus oleh Jflana, kesadaran sejati, kemudian mereka akan pergi tak kembali lagi).

Upaya pencapaian pembebasan inilah yang dilambangkan dalam pelaksanaan Tapa Brata pada Hari Suci Sivaratri.



A. Lubdhaka, Nishada dan Susvara melambangkan manusia yang diliputi avidya, hidupnya papa namun patuh pada petunjuk Yang Maha Kuasa (Veda) dan melaksanakan svadharmanya dengan baik.

B. Kwangen sebagai simbol “Ongkaramrta” adalah lambang suci Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhava Siva yang digambarkan hadir dalam air kehidupan (Dalung) dan selalu menganugrahkan kasih-Nya kepada penyembah yang sradha dan bhakti.

C. Duduk tenang bermeditasi menghadapi Cawan berisi air dan 108 daun Bilva atau Beringin serta Dupa harum yang menyala melambangkan semangat mencari "kebenaran Sejati", menuju pembebasan diri dari belenggu Maya dengan mempelajari Veda Rahasyam yang berjumlah 108 Upanisad dan melaksanakan "8" bagian Yoga (Astangga Yoga) untuk menebus karma hingga mencapai titik "O" (sunya) serta Jiwa menemukan kesadaran murni dalam Samadhi mencapai yang "1" yaitu mencapai keadaan "Moksaka", dimana Jiwatman manunggal dengan sifat Brahman.




D. Kegiatan Tirthayatra dalam Jagra Sivaratri bermakna memelihara kesucian hati dan kesadaran Jiwa yang telah dicapai agar tidak jatuh dan terseret kembali oleh jerat Maya. Sesungguhnya Tirthayatra atau perjalanan suci itu harus dilakukan selama masa hidup ini agar kesadaran mental selalu terpelihara dan kelalaian tak bersemi lagi.

Demikianlah Tapa Brata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebus dosa. Karena itu makna filosofis Tapa Brata ini harus direalisasikan ke dalam pengabdian selama hidup melalui svadharma, yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.

Kesimpulan dan penutup

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Setiap manusia memiliki inti hidup (Atman) yang merupakan pancaran sinar suci yang sifat hakikatnya sama dengan Brahman. Hakikat kelahirannya membawa pengaruh karma. Ia terbungkus dan dipengaruhi oleh Tri Guna dan Maya sehingga semakin jauh dari sumbernya, serta mengakibatkan jiwanya menderita.
Pikiran sangat menentukan nasib manusia, oleh karena itu harus dikendalikan melalui pengekangan kemauan pikiran terhadap phenomena alam dan pengendalian indera dari rangsangan jerat maya. Dengan demikian secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan.
Tapabrata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa serta harus disadari sebagai pengabdian suci kepada Sanghyang Widhi Wasa melalui pelaksanaan svadharma yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.
Mari kita hayati dan laksanakan tapa brata Sivaratri ini sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa menuju kesempurnaan hidup, serta menumbuh suburkan kesadaran sradha dan bhakti demi keagungan Sanghyang Widhi Wasa.

Mari kita sadari pula bahwa sradha adalah tanaman yang sangat berharga dalam kehidupan ini, namun sebuah tiupan angin Mayapada akan menjadikannya layu. Karena itu jangan dibiarkan lahan hati yang subur menjadi tandus dipenuhi duri dan rumput nafsu. Mari kita oleh lahan hati ini dengan aliran kasih yang sejati dan taburkan benih nama Tuhan, sembari mencabut rumput-rumput keserakahan. Awasilah tanaman yang tumbuh dengan kesadaran Jiwa dan pagari lahan hati dengan tapabrata. Semoga bunga bunga bhakti dalam wujud cinta kasih yang murni akan menghasilkan buah kebahagiaan (Anandam), dimana Jiwa lebur ke dalam N ya, mencapai pembebasan.

Media Hindu Edisi Januari-Februari 2003, hal 26-29
https://www.mutiarahindu.com/2019/03/makna-filosofis-hari-suci-siwaratri.html.

Minggu, 14 Mei 2023

Arak dan Brem, Miras (Alkohol) yang Juga Bahan Upakara di Bali




Ceramah agama dari para sulinggih/pendeta dan dari buku-buku agama mengatakan bahwa arak dan berem (minuman beralkohol) adalah “minuman Bhuta Kala”, yang dapat meimbulakan kemabukan, dan bukankah mabuk merupakan salah satu dari sad ripu yg harus kita kendalikan?

Harus dipahami dulu apa itu Butha Kala,
Bhuta Kala berasal dari kata Bhuta yang artinya Kekuatan (Power), unsur-unsur alam kita ini. Bhuta dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu;

Pertiwi, yang merupakan unsur padat/tanah
Apah, merupakan unsur cair/air
Teja, merupakan unsur cahaya/api
Bayu, merupakan unsur angin/udara
Akasa adalah Ruang/eterLima unsur itulah yang membangun alam ini seperti planet-planet yang bertebaran di kolong langit ini. Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan matahari. Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim. Waktu dalam bahasa Sanskerta adalah Kala.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

"Bhuta Kala adalah Ruang dan Waktu"

Manusia hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu tertentu itu. Ruang dan wakru itu dapat menjadi sahabat manusia dapat pula menjadi musuh yang menyusahkan manusia. Dalam persahabatan ini manusialah yang semestinya aktif menjalin persahabatan dengan ruang dan waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami peredaran ruang dan waktu itu dan segala potensi yang dikandung dalam peredaran tersebut. Bila kekuatan yang tidak pada tempatnya atau dengan kata lain Butha (Power) ini hadir pada Kala (waktu) yang tidak tepat maka timbul musibah : Tanah lonsor, Tsunami, Kebakaran besar, dll

Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut gendut dengan sikap garang. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi para seniman dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta Kala yang digambarkan di atas.

Agar alam itu selalu dapat bersahabat dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia. Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan secara positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta Kala tidak lagi mengerikan.


Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali ada istilah “mecaru untuk nyomia Bhuta Kala”. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Jadi, untuk menjaga keseimbangan dari Butha (Power) ini maka diadakanlah upacara Butha Yadnya (korban suci yang tulus ikhlas) yang ditujukan pada kekuatan (Power) di bawah manusia baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Salah satu bentuknya dengan menghaturkan Segehan/Caru yang selalu dikaitkan dengan Arak dan Berem.

Semuanya menggunakan Arak/Berem (minuman keras) sebagai tetadahan (minuman) dari mereka, Arak/Berem ini tergolong minuman yang bersifat Tamasika. Bila diminum bisa menyebabkan kelembaman, inactivity.

Metoda untuk menghaturkannya adalah dengan menyiratkan/menuangkan secara simbolis, ini juga sangat bergantung kepada tradisi di daerah masing-masing.

Namun perlu diingat bahwa kita sebagai manusia (keturunan Manu=Manusia pertama) menggunakan “viveka jnana” (kemampuan untuk memilih dan mempertimbangkan) untuk memilih makanan. Secara umum makanan itu bisa dikatagorikan menjadi tiga:

Satwika : Bila dimakan memberikan ketenangan dan kekuatan
Rajasika : Bila dimakan membuat agresif dan aktif
Tamasika : Bila dimakan membuat lembam/malas.Minum Arak Berem (Tamasika) akan membuat malas/lembam, yang sangat tidak diinginkan dalam masyarakat, oleh karena itu maka kita menjauhi minum ini. Namun untuk pengobatan, nah itu tidak masalah sesuai dengan anjuran dokter.

"apapun yang digunakan/dilakukan/dimakan, apabila berlebihan sangatlah tidak baik"
jangankan arak berem, nasi-pun bila dimakan berlebihan akan berakibat buruk...

Sumber : cakepane.blogspot.com



SUNARI

  


Sunari di buat sebatang bambu
(bambu uri ) dan pada bambu tersebut di buatkan lubang- lubang yg berbentuk melengkung atau tegak lurus, sebagai simbul suci " ARDHA CANDRA ," kemudian memiliki lobang berbentuk lingkaran sebagai simbul suci " WINDHU," dan memiliki lobang berbentuk segitiga, sebagai simbul suci " NADHA", sehingga makna dari sunari secara utuh adalah sebagai simbul suci aksara " ONGKARA", sunari di gunakan bila ada pelaksanaan upacara Dewa yadnya dalam ukuran utama seperti KARYA NGENTEG LINGGIH di pemerajan, atau di pura-pura.


sunari ini biasanya dipasangkan pada utamaning mandhala di bagian arah timur laut, dan bila sunari itu di tiup angin maka akan keluar bunyi menyerupai lagu-lagu kesucian.
oleh karena itu sunari juga merupakan simbul-simbul suci dari sloka-sloka atau syair-syair
dari weda dan juga mantram, termasuk SAHA SANG PEMANGKU , KEKIDUNGAN, KEKAWIN yang di sampaikan oleh umat, sebagai kekuatan RELIGIOMAGIS untuk menarik kekuatan SANG HYANG WIDI beserta manifestasinya
maka dari itu sunari ini patut di lestarikan dgn menjaga kesakralannya.
sesungguhnya dengan adanya sunari ini , merupakan penjabaran dari ajaran ITIHASA RAMAYANA, yg intinya pada saat sang ANOMAN naik di pohon Trijata sambil bersenandung dgn tujuan, agar DEWI SITHA cepat keluar dari gedong batu agar sang Anoman dapat menunjukan sebuah cincin emas bermatakan mirah sebagai bukti bahwa dia adalah merupakan utusan dari SRI RAMA , serta dpt memberikan informasi kehadapan Dewi sitha bahwa sri rama masih di hutan dalam keadaan selamat , dan beliau akan siap menjemput -
( kekawin ramayana ).

Pisang jati

 



Sangku mekamen meudeng, serobong bagian bungax di udeng belakangx rambut (daun lontar dibentuk seperti gigi diiketin 10 benang item ujungx diiket pis bolong),
beras sejumput 5 pis bolong
Matah2 (tamas, beras, base tampel, pangi, tingkih, pesel gantusan, sampyan sodan, payasan),
4 celemik berisi beras merah n benang merah, beras n benang kuning, ketan n benang putih, injin n benang item
Peras tulung sayut, peras sodan n tipat nasi akelan, daksina, panak/bibit pisang

Men Tiwas Teken Men Sugih

 


Ada katuturan satua Men Tiwas teken Men Sugih. Men Tiwas buka adane Ia mula tiwas pisan. Gegaene tuah ngalih saang kaalase. Kerana Ia tuah megae ngalih saang, apa tuara gelahanga. Kadirasa baas lakar jakan jani Ia tuara ngelah.

Yadin Ia tiwas buka keto nanging solahne melah, demen ia matetulung, jemet maturan, lan setata mabikas sane beneh. Len pesan teken Men Sugih. Men Sugih mula saja buka adane Ia sugih pesan nanging bikasne jele. Sombong, demit, jail teken anak tiwas, miwah setata mabikas jele.

Sedek dina anu ritatkala Men Tiwas nyakan, ia tusing ngelah api. Kemu lantas Ia ka umah Men Sugihe ngidih api.

“Mbok mbok ngidih ja tiang apine” keto Men Tiwas makaukan

“Ngujang nyai mai ngdidih api? Kanti api nyai sing ngelah?” keto pasutne Men Sugih sada bangras pesu uling jumahan umahnee.

“Tiang lakar nyakan mbok nanging tusing ngelah api jumah”

“Nah lakar kebaang nyai api, kewala opin malu ngaliin kutu di sirah wakene. Aliin nganti kedas sirah wakene nyanan baanga ja upah baas acrongcong” keto pesautne Men Sugih. Nyak lantas Men Tiwas ngaliin kutune Men Sugih nganti tengai mare suud. Men Tiwas lantas baanga upah baas acrongcong teked jumahne baase ento jakana. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih nyiksikin sirahne lan bakatanga kutu aukud. Gedeg basange Men Sugih kerana makatang kutu aukud. Kemu lantas Ia ka umah Men Tiwase.

“Eh Nyai jelema tiwas, tolih ne wake makatang kutu aukud di sirah wakene. Mai jak baase ne baang wake busan!” keto Men Sugih ngomong neked jumahne Men Tiwas.


“Baase busan suba bakat jakan tiang mbok” Men Tiwas nyautin.

“Nah ento suba mai aba, kadong ja suba dadi nasi!” lantas Men Sugih nyemak baase ane lakar lebeng dadi nasi ento.

“Nyai masi busan ngidih api teken wake, jani saange ne misi api ene jemak wake aba mulih!” Men Sugih merondong nasine Men Tiwas ane makiken lebeng lan saange ane misi api abane ke umahne. Men Tiwas tusing ngidaang ngomong apa. Ia tuah ngidaang bengong ningalin tingkahne Men Sugih sambilanga naanang basangne seduk.

Buin manine Men Sugih nundenin Men Tiwas ngopin nebukang padi lan nyanjiang upah baas duang crongcong. Men Tiwas nyak nebukang padine Men Sugih. Nganti tengai mare ia suud lan baanga upah baas duang crongcong teken Men Sugih. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih maliin baasne lan bakatanga latah dadua. Gedeg pisan Men Sugih lantas Ia kemu ka umah Men Tiwase lakar nuntun Men Tiwas.

“Eh nyai Men Tiwas, mula saja nyai tusing bisa magarapan. Ibi tunden ngaliin kutu tusing kedas. Jani tunden nebuk padi, ne tolih wake maan latah dadua. Kerana nyai tusing melah nyemak gae, jani mai aba baase ane wake baang teken nyai I nuni semeng!” keto omongne Men Sugih dawa malemad.

“Kenkenang tiang nguliang mbok, baase suba jakan tiang lan mekiken lebeng” Men Tiwas mesaut.

“Nah ento suba mai aba!” Men Sugih merondong baase ane mekiken lebeng ke umahne. Men Tiwas engsek atine ningalin tingkah Men Sugihe buka keto. Sing kerasa ngetel yeh paningalane ngenehang basang seduk uli semengan tusing misi apa, jani buin kajailin olih Men sugih.

Sedek dina anu Men Tiwas kemu ka alase ngalih saang teken paku. Sedek iteha ngalih paku di bet-bete saget teka kidang kencana.

“Eh Men Tiwas, apa kaalih ditu?” keto Sang Kidang metakon. Men Tiwas makesiab nepukin ada kidang bisa ngomong.

“Tiang ngalih saang teken paku nika jero Kidang” pesautne Men Tiwas sada ngejer.

“Anggon gena ngalih keketo?”.

“Lakar adep tiang nika, yen ada sisa wawu ja anggen tiang jumah”.

“Eh Men Tiwas, yen nyai nyak nyeluk jit nirane, ditu ada pabaang nira  tekening nyai!”. Men tiwas lantas nyak nyeluk jit kidange ento. Mara kedenga limane bek misi emas. Kendel pesan Men Tiwas maan mas bek pesan. Mara konanga Men Tiwas lakar ngaturang suksma teken Sang Kidang, lautan Sang Kidang suba ilang.

Men Tiwas ngaba emase ento mulih. Prejani Men Tiwas dadi anak sugih. Ia teken pianakne mekejang nganggo bungah dugase mablanja ka peken. Men Sugih iri ningalin Men Tiwas lan pianakne makejang makronyoh nganggo mas. Kisi-kisi ia matakon teken Men Tiwas.

“Men Tiwas, dija nyai maan emas kene ebekne?”

“Kene mbok, ibi tiang ngalih saang teken paku. Saget teka kidang bisa ngomong nunden nyelek jitne. Nyak lantas tiang, mara kedeng adi bek limane misi emas” keto Men Tiwas nyatuaang undukne ibi. Ningeh satuane Men Tiwas buka keto, ngencolang ia mulih lan mapanganggo buka anak tiwas. Men Sugih lantas kemu ke alase lan manyaru buka anak tiwas. Teka lantas Sang Kidang lan nakonin Men Sugih.

“Eh jadma tiwas ngudiang nyai ditu krasak-krosok? Apa kaaliah?”.

“Uduh jero Kidang, tiang niki durung ngajeng. Awinan nika tiang driki ngalih saang lan paku lakar adep tiang lan pipisne anggon tiang meli baas” Men Sugih melog-melogin Kidang Kencana.

“Lamun keto lan seluk jit nirane, ditu ada pabaang nira”. Nyak lantas Men Sugih nyelek jit kidange ento. Kendel pesan kenehne kadenanga lakar maan mas. Nanging pas seluka jit kidange, Sang Kidang ngijemang jitne. Men Sugih paida abana ka dui-duine nganti awakne telah matatu.

“Uduh tulung tulung! Tiang kapok, tiang kapok!” keto Men Sugih makuuk kesakitan. Mare neked di pangkunge mare elebanga Men Sugih. Men Sugih tusing nyidaang naanang sakit lantas ia pingsan. Disubane ingetan megaang ia mulih. Teked jumahne ia gelem keras lantas ngemasin ia mati.

Yen iraga dadi manusa mangda ten sekadi Men Sugih. Bikasne jele, iri ati, demit, lan setata nyailin anak lacur. Yadin iraga sugih, nanging iraga tusing dadi mabikas serasa ngisi gumi. Patutne iraga eling lan setata matetulung teken anak sane lacuran mangda kasugihan iraga maguna. –sumber