Selasa, 20 Juni 2023

Riwayat Kasta di Bali






Bhagawan Dwija dari Geria Tamansari Lingga, Singaraja

Om Swastyastu.
Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemu pertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok; mereka menamakan tatanan itu sebagai Casta. Tatanan itu kemudian berkembang di Eropa terutama di Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi casta di Eropa tumbuh subur karena didukung oleh bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) dan kehidupan agraris.

Para elit ketika itu adalah the king (raja), the prince (kaum bangsawan), dan the land lord (tuan/ pemilik tanah pertanian); rakyat jelata kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia disebut sebagai kaum proletar adalah kelompok mayoritas yang hina, hidup susah, dan senantiasa menjadi korban pemerasan kaum elit.

Lama kelamaan tatanan ini berubah karena tiga hal utama, yaitu:

Revolusi Perancis dan Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan monarki dan the land lord
Industrialisasi yang mengurangi peran sektor agraris
Pengembangan Agama Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang diantara umat manusiaWalaupun demikian casta tidak hilang sama sekali; ia berubah wujud sebagai “Class System” yang didefinisikan sebagai: a differentiation among men according to such categories as wealth, position, and power.

Class System ini dianalisis secara ilmiah oleh berbagai tokoh masyarakat; yang terkemuka adalah Karl Marx dengan teorinya: The relations of production; inilah embrio pemahaman sosialis komunis yang ingin meniadakan perbedaan kelas masyarakat, di mana pemerintah menguasai sumber-sumber kehidupan dan mengupayakan perimbangan income yang wajar diantara rakyatnya.

Peredaran zaman menuju ke abad 20 membawa Class Theory yang klasik seperti pemikiran Karl Marx berubah menuju era baru seperti apa yang disebut sebagai Class Mobility, yaitu pengelompokan sosial karena kepentingan profesi. Kini kita biasa mendengar kelompok-kelompok: usahawan, birokrat, intelektual, militer, dan rohaniawan; mereka kemudian mengikat diri lebih khusus kedalam organisasi-organisasi seperti: IKADIN, IDI, ICMI, ICHI, MUI, PHDI, dll.

India yang disebut dalam berbagai sumber sebagai asal Kasta Stelsel, sebenarnya mempunyai sekitar 3000 kelompok sosial masyarakat, namun pada umumnya dapat dibedakan menjadi empat. Pengelompokan ini di India tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang beragama Hindu saja, tetapi juga pada masyarakat yang beragama lain misalnya penganut Islam berkelompok pada: Sayid, Sheikh, Pathan, dan Momin; penganut Kristen berkelompok pada: Chaldean Syrians, Yacobite Syrians, Latin Catholics, dan Marthomite Syrians; penganut Budha berkelompok pada: Mahayana, Hinayana, dan Theravadi.

Istilah pertama yang digunakan di India bukan kasta tetapi “varnas” Bahasa Sanskerta yang artinya warna (colour); ditemukan dalam Rig Veda sekitar 3000 tahun sebelum Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan pemerintah), Vaishya (pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan).

Tiga kelompok pertama disebut “dwij” karena kelahirannya diupacarai dengan prosesi pensucian.



Dalam Bhagavadgita percakapan ke-IV sloka ke-13 ditulis:
CHATUR VARNYAM MAYA SRISHTAM,
GUNA KARMA VIBHAGASAH,
TASYA KARTARAM API MAM,
VIDDHY AKARTARAM AVYAYAM
artinya:
catur warna adalah ciptaan-Ku,
menurut pembagian kualitas dan kerja,
tetapi ketahuilah walaupun penciptanya,
Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku.

Warna adalah profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya; tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan karma dengan saling melengkapi.

Mantram-mantram dari Yajurveda sloka ke-18, 48 antara lain berbunyi:
RUCAM NO DHEHI BRAHMANESU,
RUCAM RAJASU NAS KRDHI,
RUCAM VISYESU SUDRESU,
MAYI DHEHI RUCA RUCAM
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para Ksatriya, para Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang tidak habis-habisnya kepada kami.

Yajurveda Sloka ke 30, 5 berbunyi:
BRAHMANE BRAHMANAM,
KSATRAYA, RAJANYAM,
MARUDBHYO VAISYAM,
TAPASE SUDRAM
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.

Profesi yang empat jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang suci, diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana Yajurveda sloka 31, 11 menyatakan:

BRAHMANO ASYA MUKHAM ASID,
BAHU RAJANYAH KRTAH,
BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Sistem Kasta di Provinsi Bali
Riwayat Kasta Di Bali

URU TADASYA YAD VAISYAH,
PADBHYAM SUDRO AJAYATA
artinya:
Brahmana adalah mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa,
Ksatriya lengan-lengan-Nya,
Vaisya paha-Nya,
dan Sudra kaki-kaki-Nya.

Selanjutnya doa yang mengandung harapan agar masing-masing profesi/ warna melaksanakan swadharma yang baik terdapat pada Yajurveda sloka 33,81:

PRAVAKAVARNAH SUCAYO VIPASCITAH
artinya: para Brahmana seharusnya bersinar seperti api, bijak, dan terpelajar;

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Yajurveda sloka 20,25:
YATRA BRAHMA CA KSATRAM CA,
SAMYANCAU CARATAH SAHA,
TAM LOKAM PUNYAM PRAJNESAM,
YATRA DEVAH SAHAGNINA
artinya:
di negara itu seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para Brahmana dan para Kesatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar melaksanakan persembahan (pengorbanan).

Kesimpulannya adalah Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia.


Warna seseorang tidak selamanya tetap apalagi turun temurun; misalnya seorang petani (berwarna sudra) karena ketekunannya berhasil menyekolahkan anaknya kemudian hari menjadi bupati maka anaknya sudah menjadi warna Ksatriya; demikian sebaliknya seorang keturunan Brahmana yang tidak lagi berprofesi sebagai Wiku tidak dapat disebut sebagai warna Brahmana.

Perubahan status pada seseorang bahkan dapat terjadi setiap saat menurut bidang tugasnya, misalnya seorang pesuruh di suatu Kantor yang merangkap menjadi Pemangku di Pura/ Sanggah Pamerajan; ketika bertugas sebagai pesuruh dia berwarna Sudra, tetapi jika bertugas nganteb piodalan di Pura dia berwarna Brahmana.

Warna yang diabadikan bahkan diwariskan turun temurun terjadi di India, sebagai usaha kelompok elit mempertahankan status quo, yang sebenarnya sudah sangat menyimpang dari ajaran suci Weda.

Gejala mengabadikan warna inilah yang dilihat oleh orang-orang Portugis sehingga timbullah istilah “casta” seperti yang diuraikan di atas.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Penerapan kasta stelsel di India menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat sehingga mereka saling bertikai. Dalam kondisi seperti ini jiwa nasionalisme pudar sehingga India mudah dipecah belah dan akhirnya dijajah Inggris.

Perjuangan Mahatma Gandhi membangkitkan nasionalisme India dibayar sangat mahal yaitu dengan jiwanya sendiri ketika dia ditembak oleh seorang fanatikus kasta.

Agama Hindu kemudian menyebar ke Indonesia lengkap dengan tatanan masyarakat menurut “warna” masing-masing. Mula-mula di Jawa tatanan masyarakat masih murni menurut Weda yaitu tatanan menurut profesi atau “Warna”.

Ketika Majapahit hendak meluaskan kerajaan dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya Gajahmada, maka Majapahit menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13.

Para “penjajah Majapahit” membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum elit itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Kesatria, dan Wesya. Semua penduduk Bali-asli yang dijajah, dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra.

Tujuan politik Gajahmada adalah agar kaum Bali-asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan pemerintahan Samprangan dapat berlanjut terus.

Sejak masa itulah “Warna” di Bali berubah menjadi “Wangsa” atau “Kasta” karena hak-hak kebangsawanan diturunkan kepada generasi seterusnya.

Setelah kerajaan-kerajaan di Bali runtuh, kemudian Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan mereka dengan sendirinya hilang. Namun demikian titel-titel nama depannya masih digunakan, sekedar untuk mengenang kejayaan masa lalu dan mungkin dengan alasan lain yaitu menghormati leluhur.

Sekarang tinggal masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang.

Tinggi rendahnya status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu.

Mereka yang bijaksana akan senantiasa menjauhkan perilaku feodalisme, karena feodalisme itu membodohi diri sendiri.

Sumber : cakepane.blogspot.com


Sejarah Singkat Pura Khayangan Jagat di Bali




Setelah mengungkap sekelumit asal usul Pura-pura Khayangan Jagat di Bali, berdasarkan sumber - sumber menuskrip tua, yang kini masih tersimpan di Bali. Hubungan Pura-pura Khayangan Jagat di Bali dengan Gunung Semeru, pengungkapannya mirip dengan kejadian pemindahan puncak gunung Mahameru (Himalaya) di India ke Tanah Jawa.

Dalam naskah sejarah Bali oleh Gora Sirikan, diceritakan bahwa “ Gunung – gunung dan Danau menjadi tempat pemujaan Dewa – Dewi. sebagai Gunung Mahameru yang dipindahkan dari Jambudwipa ke Bali oleh Dewa – Dewi itu, katanya terjadi pada tahun Saka 11 (’89 M). Perhitungan tahun saka itu dinyatakan dengan istilah “Candra Sangkala” yang berbunyi “Rudira Bumi”. baik perkataan “Rudira” maupun “Bumi”, masing – masing mempunyai nilai angka 1, sehingga kedua patah perkataan itu menujukan bilangan angka tahun saka 11. Semenjak itulah katanya keadaan Pulau Bali mulai sentosa,tiada bergoyang lagi karena adanya gunung – gunung itu. hal ini dapat diartikan bahwa semenjak itu masyarakat di Bali mulai mengalami perubahan karena desakan paham baru yang datang dari india.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dalam lontar Raja Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana, dikemukakan keadaan Balidwipa dan salaparangdwipa, masih sunyi senyap. Seolah-olah masih mengambang di tengah lautan yang luas, bak perahu tanpa kemudi, oleng kesana kemari, tak menentu arahnya. Pada waktu itu di Balidwipa hanya baru ada Gunung Lempuyang di bagian Timur. Disebelah selatan Gunung Andakasa. Di sebelah barat, Gunung Batukaru, disebelah utara Gunung Mangu dan Beratan. Sehingga Balidwipa pada waktu itu masih labil dan goyang.

Keadaan Balidwipa yang masih labil dan bergoyang terus, diketahui oleh Dewa Pasupati yang bersthana di Gunung Semeru. Agar Balidwipa menjadi stabil, Dewa Pasupati memerintahkan Sanng Badawangnala, Sang Naga Anantaboga, Sang Naga Basuki, Sang Naga Taksaka memindahkan bagian salah satu puncak Gunung Semeru ke Balidwipa.

Sang Badawangnala, menjadi alas bagian puncak Gunung Semeru yang dipindahkan ke Balidwipa, Naga Anantaboga dan Naga Basuki mengikat. Sedangkan Naga Taksaka, juga mengikat dan menerbangkan ke utara. Bagian-bagian puncak Gunung Semeru yang diterbangkan ke Balidwipa pada waktu itu, adapula bagian - bagian yang rempak dan jatuh tercecer di Balidwipa, menjadi gunung Batur, dan sebagian yang tidak tercecer menjadi Gunung Agung. kemudian setelah itu, keadaan Balidwipa menjadi stabil. Sejak itu pula di Balidwipa ada Sadpralinggagiri (enam sthana gunung), yakni Gunung Lempuyang, Gunung Andakasa, Gunung Watukaru, Gunung Pucak Mangu atau Gunung Bratan, Gunung Batur dan Gunung Agung.

Setelah keadaan Balidwipa menjadi stabil, kemudian Dewa Pasupati, memerintahkan tiga istadewata atau prabhawanya, yang dalam penghayatan Agama yang immanent, dikemukakan sebagai tiga putra-Nya. Ketiga Putra-Nya yang diberi bhisama agar bersthana di Balidwipa menjadi sungsungan Raja-raja dan Rakyat di Balidwipa, adalah

Hyang Gnijaya, bersthana di Gunung Lempuyang,
Hyang Putrajaya, bersthana di Gunung Agung
Hyang Bhatari (Dewi Danu), bersthana di Gunung Batur.Maka sejak itu, bagi Raja-raja dan Rakyat Balidwipa, telah ada sungsungan Trilinggagiri (tiga sthana gunung).

Agar keadaan Balidwipa menjadi sempurna, kemudian Dewa Pasupati di Gunung Semeru, memerintahkan lagi empat orang putranya untuk bersthana di Balidwipa yakni;

Bhatara (Hyang) Tumuwuh, bersthana di Gunung Watukaru,
Bhatara (Hyang) Manik Gumawang, bersthana di Gunung Bratan (Pucak Mangu),
Bhatara (Hyang) Manik Galang, bersthana di Pejeng,
Bhatara (Hyang) Tugu, bersthana di Gunung Andakasa.Sejak itu Balidwipa, dikenal adanya Saptalinggasari, tujuh gunung sebagai lingga, yang dalam penghayatan agama immanent selaras dengan konsep dan sistem ajaran Upaweda, sebagai sthana putra-putra Dewa Pasupati, yang bersthana di Gunung Semeru.



Dalam naskah Purana Bali yang disusun oleh Ida Peranda Gede Pemaron, Geria Agung Menara Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, dinyatakan sebagai berikut;

Sang Hyang Wisnu mengadakan Gunung Batur namanya dan lereng Gunung Batur, terus berkahyangan disitu di Toya Bungkah namanya di sebelah Gunung Batur itu. Danau Batur kahyangan Bhetari Uma, Danau Buyan kahyangan Bhatari Gangga, Danau Beratan kahyangan Bhatari Laksmi dan Danau Tamblingan kahyangan Bhatari Sri.
Hyang Pasupati menyuruh Hyang Putranjaya dan Dewi Danuh untuk menuju Benoa Bangsul (Pulau Bali) serta berkahyangan disana sebagai bhetara yang disembah oleh masyarakat disana (Bali). Hyang Putranjaya dan Dewi Danuh menuju Bali dengan merubah dirinya berwujud dua ekor burung perkutut yaitu Hyang Putranjaya menjadi Perkutut (titiran) Putih dan Bhatari Danuh menjadi Perkutut Brumbun. Sementara itu Hyang Pasupati terbang ke Bali dengan membawa dua buah keping gunung yang diambil dari Jambudwipa (Gunung Himalaya) yang dipegang dengan tangan kanan dan kiriNya. Kedua buah keping itu kemudian diletakkan di Bali yaitu keping yang dipegang dengan tangan kanan menjadi Giri Tohlangkir (Gunung Agung) sebagai stana Hyang Putranjaya dan keping yang dipegang dengan tangan kiri menjadi Gunung Batur sebagai kahyangan Dewi Danuh atau Bhatari Ulun Danu.Diterangkan pula dalam Lontar Usana Bali, bahwa “sesungguhnya aku adalah putra Dewa Pasupati dari Jambudwipa yang bersemayam di Gunung Mahameru. aku dititahkan oleh Dewa Pasupati untuk bersemayam di Bali, selanjutnya berstana di Pura Besakih yang merupakan tempat pemujaan Raja – raja di Bali, lagi pula aku dititahkan sebagai junjungan masyarakat di Bali dan sudah berganti nama. kini aku bernama Dewa Mahadewa dan adikku ini bernama Dewi Danuh”.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Diterangkan juga dalam lontar tersebut bahwa Gunung Agung di Bali pernah meletus pada tahun saka 13 (91M). perhitungan tahun saka itupun dinyatakan dalam istilah candra sangkala yang berbunyi “Geni Bhudara”. Geni mempunyai nilai angka 3, sedangkan Bhudara bernilai angka 1. cara membacanya harus terbalik, sehingga dibaca tahun saka 13. Akibat meletusnya Gunung Agung Itu, maka terjadilah gempa besar, disertai hujan lebat siang dan malam tiada henti – hentinya selama 2 bulan. kilat dan petir bersambung di udara, setelah itu turunlah Dewa dan Dewi dari kahyangan, Dewa itu masing – masing disebut Hyang Putranjaya, Hyang Gnijaya dan Dewi Danuh. Hyang Putranjaya dianggap paling tinggi derajatnya sebab itulah disebut juga Mahadewa yang berkahyangan di Gunung Agung. Hyang Gnijaya kemudian berkahyangan di Gunung Lempuhyang sedangkan Dewi Danuh dinyatakan berkahyangan di Gunung dan Danu Batur.

Tempat pemujaan untuk Dewi Danuh di daerah Gunung Batur kemudian dulu dikenal dengan nama Pura Tampurhyang yang letaknya di Desa Sinarata. tapi akibat meletusnya Gunung Batur pada tanggal 3 Agustus 1926, yang berakibat desa dan pura tersebut rata tertutup lahar panas, sehingga penduduk desa menyingkir ke sebelah selatan desa kintamani, yang kemudian daerah tersebut kemudian disebut Desa Batur. Di Desa batur inilah masyarakat membangun kembali Pura Tampurhyang yang selesai di plaspas pada hari Redite Pon Prangbakat tanggal 14 April 1935. Belakangan, karena keberadaan Pura Tampurhyang berada di wilayah Desa Batur, masyarakat Bali sering juga disebut Pura Ulun Danu Batur.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Mengenai Pura Lempuyang sedikit dijelaskan dalam naskah turunan prasasti Sading C yang disimpan di Geria Mandhara Munggu, yang isinya menyebutkan sebagai berikut " Pada tahun 1072 Caka (1150) bulan ke-9 hari tanggal 12 bulan paroh terang, wuku julungpujut, ketika hari itu beliau Paduka Çri Maharaja Jayaçakti, merapatkan seluruh pemimpin perang. Karena beliau akan pergi ke Bali karena disuruh oleh ayahnya yaitu Sang Hyang Guru yang bertujuan untuk membuat Pura (dharma) disana di Gunung Lempuyang, terutama sebagai penyelamat bumi bali, diikuti oleh Pendeta Çiwa dan Budha serta mentri besar. Beliau juga disebut Maharaja Bima, yaitu Çri Bayu atau Çri Jaya atau Çri Gnijayaçakti."

Selain itu didalam Lontar Kutarakanda Dewa Purana Bangsul lembar ke 3-5 koleksi Ida Pedande Gde Pemaron di Gria Mandhara Munggu Badung ada di singgung mengenai Lempuyang yang kutipannya kira-kira sebagai berikut " Demikianlah perkataan Sang Hyang Parameçwara kepada putra beliau para dewa sekalian, terutama sekali Sang Hyang Gnijayaçakti wahai ananda, anda-anda para dewa sekalian, dengarkanlah perkataanku kepada anda sekalian, hendaknya anda turun (datang) ke Pulau Bali menjaga pulau Bali, seraya anda menjadi dewa disana"

Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti "Gamongan" gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam lontar Kusuma Dewa dan sampai sekarang masyarakat sekitar tempat itu menyebutkan bahwa Pura Lempuyang terletak di Bukit Gamongan disebelah timur kota Amlapura. Suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan adalah didalam Pura Lempuyang luhur terdapat serumpun bambu jenis kecil. Setelah selesai menghaturkan bhakti batang pohon bambu itu dipotong oleh pemangku untuk mendapatkan tirta (disebut tirtha pingit) bagi setiap orang yang pedek tangkil ngaturang bhakti kesana. Tirta tersebut juga berfungsi sebagai Tritha Pengenteg-enteg yakni tirtha yang dipakai untuk Ngenteg Linggih baik di Pura-Pura, mrajan ataupun sanggah. Tetapi anehnya tidak selalu didalam batang bambu tersebut diketemukan air.

Pengungkapan pantheon Hindu, seperti yang dikemukakan di dalam Lontar Raja Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana, kalau disimak dan dikaji, ada titik temu dengan Lontar Usana Bali, yang ditulis oleh Danghyang Nirartha, atau di Bali lebih dikenal sebagai Ida Pedanda Shakti Bawu Rawuh, salah seorang Wiku Siwa yang datang dari Jawadwipa, sebagai wiku pembaharu sistem kehidupan sosial agama Hindu di Bali dan Lombok. Dalam karya tulisnya itu, ada dikemukakan Pelinggih Pura Catur Lokapala, yakni:

Ring Purwa (Timur), Gunung Lempuyang, dengan Pura Lempuyang Luhur, sthana Bhatara Gnijaya,
Ring Pascima, (Barat), Gunung Watukaru, dengan Pura Luhur Watukaru, sthana Bhatara Hyang Tumuwuh,
Ring Uttara (Utara), Gunung Mangu, dengan Pura Ulun Danu Bratan, sthana Bhatara Hyang Danawa,
Ring Daksina, (Selatan), Gunung Andakasa, dengan Pura Andakasa, adalah sthana Bhatara Hyang Tugu.
Ring Madya,adalah Gunung Agung, dengan Pura Besakihnya, pusat pemujaan Siwa Tri purusha (Prama Siwa, Sadasiwa dan Siwa), lengkaplah menjadi Pancagiripralingga (lima gunung sebagai sthana) lima Dewa.Demikian titik temu antara konsep Lontar Raja Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana dengan Lontar Usana Bali, yang telah dikemukakan. Selaras dengan konsep gunung sebagai tempat suci dan Candi Pralingga, di dalam buku upadesa, yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (sekarang) juga ada yang dikemukakan sembilan Khayangan Jagat, yang berlokasi secara kardinal di Balidwipa. Berlokasi di sembilan gunung dengan sembilan dewa-dewa yang bersthana di pura-pura Nawagiri yang kardinal, sebagai istadewata Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Atau dengan kata lain prabhawa kekuatan Hyang Widhi Yang Tunggal , yang dalam penghayatan agama yang immament di Bali, lebih dikenal sebagai Dewata Nawasanga.
Dewata Nawasanga, yang bersthana secara kardinal, disembilan penjuru mata angin, masing-masing adalah :

Gunung Lempuyang (Pura Lempuyang), ditimur tempat pemujaan istadewata Hyang Widhi, sebagai Dewa Iswara.
Gunung Andakasa, di Selatan (Pura Andakasa), tempat memuja Dewa Brahma.
Gunung Watukaru (Pura Luhur Watukaru), di Barat, tempat memuja Dewa Mahadewa.
Gunung Batur (Pura Ulundanu Batur), di Utara, tempat memuja Dewa Wisnu
Perbukitan Gua Lawah (Pura Gua Lawah), di Tenggara, tempat memuja Dewa Mahesora.
Bukit Pecatu (Pura Luhur Uluwatu), di Baratdaya, tempat memuja Dewa Rudra.
Gunung Mangu (Pura Ulun Danu Bratan), di Baratlaut, tempat memuja Dewa Sangkara.
Gunung Agung (Pura Agung Besakih) di Timur Laut, tempat memuja Dewa Shambu.
Pura Agung Besakih, merupakan Khayangan Jagat (di tengah) tempat pemujaan Dewa Siwa, Siwa Tripurusha (Paramasiwa, Sadasiwa, dan Si-wa) seperti yang telah dikemukakan.Dalam tradisi yang masih hidup sampai sekarang di Balidwipa, di Nawagiri (sembilan gunung) dengan masing-masing puranya, kalau dilaksanakan pemujaan dan persembahan di Pura-pura selalu melakukan Upacara Pemendak Tirtha, beberapa hari sebelum upacara berlangsung. Dan kalau pelaksanaan pemujaan dan persembahan telah selesai, akan dilanjutkan dengan Upacara Mancakarma, atau mejejauman ke Gunung Semeru, yang bermakna selaku Perwujudan angayubagya atau sejenis upacara perwujudan terima kasih kehadapan Dewa Pasupati, yang bersthana di Gunung Semeru.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Malam Kajeng Kliwon, Diyakini sebagai Hari Sangkep Leak, Kenapa?






Ilustrasi Leak (ISTIMEWA)


BALI EXPRESS, DENPASAR - Kajeng Kliwon adalah hari yang dikenal angker bagi sebagain besar umat Hindu di Bali. Pada hari itu juga diyakini sebagai hari pertemuan dan perkumpulan Leak untuk mengasah keilmuannya. Benarkah?


Kajeng Kliwon merupakan hari yang perhitungannya jatuh pada Tri Wara, yaitu Kajeng dan Panca Wara, Kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya. "Energi dalam alam semesta yang ada di Bhuwana Agung semuanya terealisasi dalam Bhuwana Alit atau tubuh manusia itu sendiri," ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (30/1).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Lebih lanjut dijelaskan Mangku Satra, rahinan Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali, dan dapat dibagi menjadi tiga, yakni, Kajeng Kliwon Uwudan, Kajeng Kliwon Enyitan, dan Kajeng Kliwon Pamelastali.

Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon yang jatuh setelah terjadinya purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setelah bulan mati atai Tilem. Sementara Kajeng Kliwon Pamelastali adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setiap hari Minggu pada Wuku Watugunung, dilaksanakan setiap enam bulan sekali.


Pada setiap hari kliwon, umat hindu di Bali mengadakan upakara di rumah maupun di beberapa tempat sesuai adat masing-masing. Ada pun penjelasannya diambil dari Lontar Cundarigama yang menyebut 'Mwah ana manut Pancawara Kliwon ngaran, samadhin Bhatara Siwa, kawenangnia anadah wangi ring sanggah, mwang luhuring haturu, meneher aheningana cita, wehana sasuguh ring natar sanggar mwah dengen, dening. Maksudnya, segehan kepel kekalih dadi atanding, wehana pada tigang tanding. Ne ring natar sambat Sang Kala Bhucari, ne ring sanggar sambat Sang Bhuta Bhucari, ring dengen sambat Durga Bhucari. 'Ikang wehana laba nangken kliwon, saisinia, dan sama hanemu rahayu, paripurna rahasya'. Yang artinya, pada hari pancawara, yakni setiap datangnya Hari Kliwon adalah saatnya beryoga Bhatara Siwa, sepatutnya pada saat yaang demikian, melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangi bertempat di pamerajan, dan di atas tempat tidur. Sedangkan yang patut disuguhkan di halaman rumah, segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut disuguhkan tiga tanding, yakni di halaman sanggar kepada Bhuta Bhucari, di dengen kepada Durga Bhucari, untuk di halaman rumah kepada Kala Bhucari. Adapun maksud memberikan laba setiap Kliwon, yakni untuk menjaga pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi bahagia.


'Kunang ring byantara kliwon, prakrtinia kayeng lagi, kayeng kliwon juga, kewala metambehing sege warna, limang tanding, ring samping lawang ne ring luhur canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, astawakna ring Hyang Durgadewi, ne ring sor, sambat Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, phalania rahayu paripurna wang maumah. Yen tan samangkana ring Bhatara Durgadewi angrubeda ring wang adruwe umah, angadeken gring mwang angundang desti, teluh, sasab mrana, amasang pamunah, pangalak ring sang maumah, mur sarwa Dewata kabeh, wehaken manusa katadah dening wadwanira Sang Hyang Kala, pareng wadwanira Bhatara Durga. Mangkana pinatuhu, haywa alpa ring ingsun. Maksudnya, lain lagi pada hari Kajeng Kliwon, pelaksanaan widhiwidananya, seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya tambahannya dengan segehan warna 5 tanding, yang disuguhkan pada samping kori sebelah atasnya, ialah canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa dan yang dipuja adalah Durgadewi. Yang disuguhkan di bawahnya, untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah. Sebab, kalau tidak dilakukan sedemikian rupa, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon lelugrahan kepada Bhatari Durga Dewi, untuk merusak penghuni rumah, dengan jalan mengadakan atau menyebarkan penyakit, dan mngundang para pangiwa, segala merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan, yang merajalela di rumah-rumah, yang mengakibatkan perginya para Dewata semua.



Dan, akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sanghyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatari Durga. "Demikianlah agar disadari, dan jangan menentang pada petunjuk kami," sarannya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama. Pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Pada Kajeng Kliwon hendaknya menghaturkan segehan mancawarna. Tetabuhannya adalah tuak atau arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. "Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi," imbuhnya.


Segehan dihaturkan di tiga tempat yang berbeda, yaitu halaman Sanggah atau Mrajan, atau di depan palinggih pengaruman, dan ini di tujukan pada Sang Bhuta Bhucari. Kemudian di halaman rumah atau pekarangan rumah tempat tinggal, ditujukan kepada Sang Kala Bhucari. Kemudian yang terakhir adalah dihaturkan di depan pintu gerbang pekarangan rumah atau di luar pintu rumah yang terluar. Ini ditujukan kepada Sang Durgha Bhucari .


Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha umat kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari. "Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar)," tandasnya.

Pada dasarnya, lanjutnya, Kajeng Kliwon merupakan hari yang sangat keramat karena kekuatan negatif dari dalam diri maupun dari luar manusia, amat mudah muncul dan mengganggu kehidupan manusia.Jadi, dapat diambil kesimpulan adanya peringatan dan upacara yadnya pada hari kajeng kliwon ini, dengan harapan bahwa baik secara sekala maupun niskala dunia ataupun alam semesta ini tetap menjadi seimbang.


Dikatakannya, sebagaimana dijelaskan pula bahwa saat malam kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkep (rapat) Leak di Bali. Pada malam Kajeng Kliwon ini para penganut aji Pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga, dan Bhairawi. "Ritual Kajeng Kliwon ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan atau uluning setra, pemuwunan, " tutup Satra.



(bx/gus /rin/yes/JPR)

Pura Kawitan - Pura Kahyangan Jagat







Purа Kаwіtаn ѕеmuа wаrgа Pаѕеk Sаnаk Sарtа Rѕі adalah di Lempuyang Madya.
Tарі ѕеѕuаі Bіѕаmа Idа Bhаtаrа Kawitan, ѕеmuа wаrgа Pаѕеk wаjіb jugа mеnуungѕung Purа Khayangan lаіnnуа уаng masih dіаntаrаnуа Pura Bеѕаkіh, Purа Dаѕаr Bhuana dan Purа Sіlауuktі.

Kеnара harus mеnуungѕung Purа-рurа tеrѕеbut…???

Mаrі kіtа kеmbаlі kе Babad Kаwіtаn. Ida Hyang Pаѕuраtі yang berstna dі Gunung Mahameru mеmеrіntаhkаn putra bеlіаu Hyang Gnіjауа Kе Bali untuk mеnаtа kembali kеhіduраn dіѕаnа. Hуаng Gnіjауа kemudian bеrѕtаnа dі Gunung Tоhlаngkіr berputra 5 orang.



• Idа Bhatara Kаwіtаn (Mpu Gnіjауа) уаng kemudian membangun Pesraman dі Tаmрurhуаng/Lеmрuуаng (Lеmрuуаng Madya)
• Ida Mрu Sеmеru уаng kеmudіаn membangun Pеѕrаmаn dі Besakih
• Idа Mрu Kuturаn yang kеmudіаn mеmbаngun Pesraman di Sіlауuktі
• Ida Mрu Ghana уаng kеmudіаn mеmbаngun Pesraman dі Dаѕаr Gelgel
• Idа Mрu Brаdаh tіnggаl dі Tаnаh Jawi.

Dаrі empat bersaudara уаng bеrtеmраt tіnggаl dі bаlі tersebut, hаnуа Idа Mpu Gnijaya ѕаjа уаng mеmіlіkі kеturunаn. Sеhіnggа Ida Bhаtаrа Kаwіtаn Mеnurunkаn Bisamanya agar tetap іngаt dеngаn Lеluhur dаn ѕаudаrа blіаu, dіаntаrаnуа dengan іngаt dan tеtар mеnуungѕung tеmраt раѕrаmаn dаrі ѕаudаrа-ѕаudаrа blіаu. Adарun Pаѕrаmаn tеrѕеbut kеmudіаn dibangun Pura, уаng kemudian dіjаdіkаn Purа Khayangan Jagat dаn ѕаmраі ѕеkаrаng wаjіb untuk kіtа ѕungѕung…

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mеnurut salah ѕаtu Bаbаd, ditemukan pula bаhwа Idа Mpu Sеmеru tіdаk memiliki рutrа biologis, tetapi beliau mеmіlіkі рutrа dаrі hаѕіl уоgа-ѕаmаdі bеlіаu, уаng kalau tіdаk ѕаlаh kemudian mеnurunkаn Pаѕеk Kеkауоn diantaranya Pasek Kауu Sеlеm dаn ѕаudаrа-ѕаudаrа bеlіаu…

Jаngаn bеrрutuѕ asa tеntаng kаwіtаn. Memuja kаwіtаn іtu perlu kаrеnа mеlірutі tіgа dari Pаnсаѕrаdа уаіtu: Widhi Tаttwа, Atmа Tattwa, dan Punarbhawa.

Sаmа seperti kіtа ѕеkаrаng, bаgаіmаnа ѕаkіt hаtіnуа jіkа аnаk kаndung kіtа tіdаk mеngаkuі kita sebagai ауаhnуа? аtаu tіdаk tаhu bаhwа kіtаlаh ауаhnуа?

Kаwіtаn berasal dаrі kаtа "Wit" аrtіnуа asal-usul. Bhіѕаmа leluhur yang dіmuаt di Prаѕаѕtі аntаrа lain bеrbunуі ѕbb.: (tеrjеmаhаn) ....."itulah" hukumnya bаgі оrаng-оrаng yang tіdаk tаhu kawitan; bаgі mеrеkа уаng dеmіkіаn іtu аkаn tеrtіmра kesusahan ѕереrtі "sabe asanak" (: bеrkеlаhі аntаr kеluаrgа), "tаnреgаt agering" (:ѕаkіt tеruѕ mеnеruѕ tanpa sebab уаng jelas), "kаtеmаh dеnіng bhuta kаlа dеngеn" (: diganggu pikiran уаng tіdаk pernah tеnаng), "ѕurud kаwіbаwааn" (: tіdаk рunуа wіbаwа/ khаrіѕmа), "surud kawisesan" (: bоdоh, mаlаѕ dаn kаtа-kаtаnуа tidak bеrаrtі), "kеlаngеnаn tаn genah" (: hidup boros ѕеhіnggа mеnjаdі miskin), "sedina аnаngun уudа nеng роmаhаn" (:tidak реrnаh rukun dеngаn аnаk-іѕtrі), "rаmе іng gawe kіrаng раngаn" (: bаnуаk kerjaan tеtарі hаѕіlnуа kurаng/ tidak mеmаdаі)

Tetaplah berbakti kepada Kаwіtаn, tіdаk berarti lalu membangkitkan fanatisme ѕоrоh. Ingаtlаh kita ѕаtu darah, ѕаtu Kаwіtаn.
Om Sаntі, Sаntі, Sаntі, Om....


Sumber : cakepane.blogspot.com

Minggu, 18 Juni 2023

Kanda Pat - Saudara Kandung Manusia







Kanda Pat yang merupakan saudara yang akan menemani manusia sejak lahir hingga meninggal nanti.

Kanda Pat adalah Empat Teman : Kanda = Teman, Pat = Empat, yaitu kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana.

Menurut Kitab Suci Lontar Tutur Panus Karma, nama-nama Kanda Pat berubah-ubah menurut keadaan/ usia manusia:

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI


Kanda Pat Rare :

Embrio; Karen, Bra, Angdian, Lembana.

Kandungan 20 hari; Anta, Prata, Kala, Dengen.


Kandungan 40 minggu; Ari-ari, Lamas, Getih, Yeh-nyom.

Lahir, tali pusar putus; Mekair, Salabir, Mokair, Selair.




Kanda Pat Butha :

Bayi bisa bersuara; Anggapati, Prajapati, Banaspati, Banaspatiraja.




Kanda Pat Sari :

14 tahun; Sidasakti, Sidarasa, Maskuina, Ajiputrapetak.

Bercucu; Podgala, Kroda, Sari, Yasren.





Kanda Pat Atma :

Meninggal dunia; Suratman, Jogormanik, Mahakala, Dorakala.




Kanda Pat Dewa :

Manunggal (Moksa); Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, Suniasiwa.





Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih dan yeh-nyom. Setelah mereka dikuburkan (segera setelah bayi lahir) maka perubahan selanjutnya adalah abstrak (tak berwujud) namun dapat dirasakan oleh manusia yang kekuatan bathinnya terpelihara.

Bagan di atas dapat juga dibaca terbalik dengan pengertian sebagai berikut:

Hyang Widhi mewujudkan diri menjadi empat manifestasi, kemudian keempatnya itu yaitu:


Hyang Siwa selanjutnya mewujudkan dirinya menjadi ari-ari
Hyang Sadasiwa mewujudkan diri sebagai lamas
Hyang Paramasiwa mewujudkan diri menjadi getih, dan
Hyang Suniasiwa mewujudkan diri menjadi Yeh-nyom.



Keempat teman yang abstrak ini menyertai terus sampai manusia mati dan rohnya menghadap ke Hyang Widhi. Mereka juga menjaga dan melindungi roh, serta mencatat sejauh mana atman (roh) terpengaruh oleh indria keduniawian. Semua pengalaman hidup di record oleh Sang Suratman yang dahulu berbentuk ari-ari.

Inilah catatan subha dan asubha karma yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh. Maka mereka perlu dibuatkan pelinggih berupa "pelangkiran" di kamar tidur, tempat bersemayamnya kanda pat ketika kita tidur pulas.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Bulan Dan Hari-Hari dalam Agama Hindu






Perputaran planet-planet pada porosnya memberikan perhitungan tentang hari, bulan, jam, dan detik. Dalam satu tahun atau awarsa, terdapat 12 bulan yang telah kita ketahui bersama. Dalam agama Hindu, terdapat nama-nama bulan yang disebut sasih. Sasih yang tertuang dalam kitab suci seperti; sravana, bhadrapada, asvina, kartika, margasira, pausa, magha, phalguna, chaitra, vaisakha, jyesta, dan ashada (Wikana, 2010: 110).


Baca: Pengertian Astronomi dan Nama-Nama Planet dalam Tata Surya Hindu


Bulan-Bulan Dalam Agama Hindu


Berikut nama-nama bulan yang menggunakan bahasa Sanskṛta, Kawi, dan bahasa Indonesia, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 89).





Sasih/bulan digunakan untuk menentukan jatuhnya hari raya, sering dipakai juga untuk menentukan musim dan keadaan iklim. Misalnya, pada sasih kapat sampai kasanga adalah musim penghujan. Pada sasih kadasa sampai katiga adalah musim kemarau, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 90).


Hari-Hari dalam Agama Hindu


Kita mengenal nama-nama hari. Dalam 1 minggu ada 7 hari. Nama hari akan mempermudah kita untuk mengetahui waktu. Perputaran pagi, siang, sore, dan malam akan terjadi secara berkelanjutan. Saat malam telah berlalu, akan datang pagi dan menunjukkan bahwa hari sudah berganti. Nama-nama hari dalam agama Hindu, yakni, Rawi, Soma, Manggala, Budha, Brihaspati, Sukra dan Sani (Wikana, 2010:116).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Hari-hari dalam satu minggu dalam bahasa Kawi, Sanskṛta dan bahasa Indonesia tertera dalam Tabel 4.2.








Referensi:

https://www.mutiarahindu.com/2018/12/bulan-dan-hari-hari-dalam-agama-hindu.html


Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.



Cetakan Ke-1, 2015

Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan




- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Diceritakan pada abad ke 17, sosok penguasa Nusa Penida, yakni, Ida Ratu Gede Mecaling sempat tinggal di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar. Selama tinggal disana Ia gemar melakukan semedi, agar tidak ada yang mengganggu maka ia menciptakan sebuah pagar gaib agar orang yang mendekatinya, menjadi ketakutan.

Hal ini membuat resah warga Batuan, maka I Dewa Agung Anom, Raja Sukawati kala itu mengutus Patih I Dewa Babi untuk mengusir I Gede Mecaling dari Desa Baturan. I Gede Mecaling menantang Dewa Babi untuk bertanding ilmu menggunakan sarana babi guling. Babi guling milik I Gede Mecaling kakinya diikat dengan tali pelepah pisang dan milik Dewa Babi diikat dengan tali benang. Guling siapa yang ikatannya putus pertama saat dipanggang maka harus meninggalkan Desa Batuan. Dalam adu ilmu tersebut, Ratu Gede Mecaling kalah dan akhirnya diusir dari Batuan dan kembali ke Nusa Penida.



Merasa dicurangi, Ratu Gede Mecaling mengutuk warga Batuan bahwa setiap Sasih Kelima (mulai besok) hingga Sasih Kepitu, pasukan mahkluk halus Ratu Gede Mecaling akan mencari tetadahan (tumbal) di Desa Batuan. Dan barangsiapa warga Batuan yang datang ke Nusa Penida dan mengaku dirinya dari Batuan akan celaka. Benar saja, setiap Sasih Kelima di Batuan ada saja yang meninggal tak wajar, Seorang Pemangku menyarankan pada sasih kalima sampai kesanga agar masyarakat tidur di bawah tempat tidur supaya dilihat seperti babi.

Lama-kelamaan warga merasa jenuh dengan bayang-bayang Ratu Gede Mecaling, Ida Bhatara yang berstana di Pura Desa Batuan memberikan bisikan kepada jro mangku untuk menyuguhkan tarian Rejang Sutri dan Gocekan sebagai penyambutan datangnya Ida Ratu Gede Mecaling bersama pasukan mahkluk halusnya ke Desa Batuan. Diharapkan dengan menonton tarian itu dapat meluluhkan dendam beliau.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali

Namun pada masa kini beberapa warga Batuan sudah sering melakukan persembahyangan ke Pura Dalem Ped Nusa Penida, tempat berstananya Ratu Gede Mecaling, dan tak terjadi apa-apa, semoga beliau melupakan kejadian masa lalu dan memberikan keselamatan kepada kita.