Selasa, 16 April 2024

Sejarah Pura Luhur Uluwatu

 

Pura Luhur Uluwatu merupakan salah satu pura penyungsungan jagat (sad kahyangan) yang menawarkan vibrasi kesucian dan keindahan tersendiri.

Letaknya di ujung bukit Pecatumenggambarkan adanya pertemuan gunung dan laut. Di sinilah, masyarakat Pecatu dan Bali pada umumnya meyakini tempat jejak terakhir Danghyang Dwijendra sebelum akhirnya moksa mencapai surga.

Dikiisahkan “Pada suatu hari yakni pada Anggara Kliwon, Wuku Medangsia, Danghyang Dwijendra menerima wahyu sabda Tuhan  bahwa ia pada
hari itu mesti berangkat ke sorga.

Pendeta Hindu asal Jawa Timur yang juga menjadi bhagawanta (pendeta kerajan) Gelgel pada masa keemasan Dalem Waturenggong sekitar 1460-1550, merasa bahagia karena saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Namun, pendeta yang juga memiliki nama Danghyang Nirartha itu masih menyimpan satu pusataka yang bakal diberikan kepada putranya.Sejarah Pura Luhur Uluwatu Yang Terpancar Keindahan2


Di bawah ujung Pura Uluwatu, tampak seorang nelayan bernama Ki Pasek Nambangan. Danghyang Dwijendra meminta agar Ki Pasek Nambangan mau menyampikan kepada anaknya, Empus Mas di desa Mas bahwa Danghyang Dwijendra menaruh sebuah pustaka di Pura Luhur Uluwatu.

Ki Pasek Nambangan pun memenuhi permintaan Danghyang Nirartha. Sementra Ki Pasek Nambangan pergi, Danghyang Dwijendra melakukan yoga samadhi. Akhirnya, sang maharsi pun moksa ngeluhur, cepat sebagai kilat terbang ke angkasa. Ki Pasek Nambangan hanya melihat cahaya cemerlang mengangkasa”.

Begitulah sekelumit kisah yang tertera dalam Lontar Dwijendra Tatwa seperti ditulis IGB Sugriwa dalam bukunya berjudul Dwijendra
Tatwa (1991). Kitab ini memang menceritakan perjalanan suci Danghyang Dwijendra hingga ia moksa di Pura Luhur Uluwatu. Kisah dalam lontar inilah yang mendasari keyakinan warga Desa Pecatu maupun masyarakat Bali perihal moksa-nya Danghyang Dwijendra di pura ini. Saat moksanya Danghyang Dwijendra diperingati sebagai pujawali di Pura Goa Lawah, yakni saban Anggarakasih Medangsia.Sejarah Pura Luhur Uluwatu Yang Terpancar Keindahan4
Tidak diketahui secara jelas kapan pura yang berada di ujung selatan bukit Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung didirikan. Jro Mangku Gde Ktut Soebandi memang menyebut pura ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakreta pada masa pemerintahan suami-istri Sri Msula-Masuli pada sekitar abad XI. Hal ini, menurut Jero Mangku Soebandi seperti ditulis dalam buku Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali (1983) termuat dalam lontar Usana Bali.

Namun,ada fakta menarik dari tinggalan historis di Pura Luhur Uluwatu. Tinggalan kuno di pura ini berupa candi kurung atau kori gelung agung yang menjulang megah membatasi areal jaba tengah dengan jeroan pura, diprediksi pura ini sudah ada
sejak abad ke-8. Candi kuno itu menatahkan hitungan tahun Isaka dengan candrasangkala gana sawang gana yang berarti tahun Isaka 808 atau sekitar 886 Masehi. Jadi, sebelum datangnya Mpu Kuturan ke Bali.Sejarah Pura Luhur Uluwatu Yang Terpancar Keindahan5
Yang pasti, Pura Luhur Uluwatu hingga kini memegang peranan penting sebagai Istadewata di Bali. Dalam padma bhuwana Bali, pura ini berada di arah Barat Daya (nriti), tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dealam manifestasi Rudra. Tradisi di Pecatu menyebut dengan nama Ida Bhatara Lingsir.

Pura ini juga kerap dipilih sebagai tempat melaksanakan upacara nyegara gunung, maajar-ajar, seusai upacara mamukur atau pun piodalan besar di desa. Hal ini dikarenakan posisi geografis pura ini yang mengisyaratkan pertemuan antara gunung dan laut secara langsung seperti halnya Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung.
Sejarah Pura Luhur Uluwatu Yang Terpancar Keindahan6
Selain posisi geografis, keunikan lain dari Pura Luhur Uluwatu adalah arah pemujaan yang menuju Barat Daya. Lazimnya, di parhyangan-parhyangan lainnya, arah pemujaan menuju Timur atau Utara. Pelinggih-nya juga tidak begitu banyak. Di jeroan hanya ada meru tumpang tiga (bertingkat tiga) menghadap ke timur laut, di depannya berdiri dua pengapit. Bagian jeroan ini dibatasi kori gelung agung berarsitektur kuno yang juga menjadi ciri khas pura ini.

Di areal jaba tengah berdiri Pura Luhur tempat berstananya Ida Batara Lingsir Siwa-Rudra. Di luar pagar pembatas sebelah kiri berdiri Pura Tirtha. Di jaba sisi, sebelah kiri pintu masuk barulah terdapat Pura Jurit. Di tempat inilah diyakini Danghyang Dwijendra mencapai moksa.


Tat Twam Asi, Tri Hita Karana dan Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari hari







PENERAPAN ETIKA PADA TAT TWAM ASI , TRI HITA KARANA , DAN TRI KAYA PARISUDHA
“Om Swastiastu”

Pada postingan ini saya akan berbagi mengenai “Penerapan Etika Pada Tat Twam Asi, Tri Hita Karana, dan Tri Kaya Parisudha di dalam kehidupan sehari hari”

Tat twam asi
Dilihat dari arti kata, Tat Twam Asi terdiri dari tiga kata, yaitu Tat berarti itu (dia), Twam berarti kamu, Asi berarti adalah. Jadi,
Tat Twam Asi artinya itu/dia adalah kamu/engkau, dan juga saya adalah kamu. Tat Twam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang mengajarkan kesusilaan tanpa batas. Pada dasarnya semua mahluk adalah sama, sama-sama diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tat twam asi (itu adalah kamu), yaitu tidak saling menyakiti kepada semua mahluk. Kita di agama hindu meyakini bahwa setiap mahluk hidup memiliki jiwa atau atma yang merupakan sumber kehidupan pemberian Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Oleh karena itu sudah tentu kita dilarang untuk menyakiti sesama mahluk ciptan-Nya. Implementasi tat twam asi pada kehidupan sehari –hari yaitu misalnya setiap orang tua selalu mengajarkan dan menyarankan kepada anak-anaknya untuk tidak saling menyakiti kepada sesama makhluk. ataupun selalu menghormati
Tri hita karana
Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “Tiga hal yang menyebabkan terciptanya kebahagiaan dan kedamaian”. Tri Hita Karana adalah tiga hubungan atau interakasi yang harus di seimbangkan dan diselaraskan agar kebahagiaan dan kesejahteraan dapat tercapai dengan baik. Adapun bagian-bagian dari Tri Hita Karana yaitu:
1) Prahyangan
yaitu hubungan manusia dengan sang pencipta, agar hubungan manusia dengan Hyang Widhi (Parahyangan) selalu harmaonis maka wujud nyata yang dapat dilakukan yaitu dengan minimal sembahyang (Tri Sandya) tiga kali sehari serta selalu melakukan dan mengikuti kegiatan-kegiatan Bhakti lainnya,

2) Pawongan
yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia, agar keharmonisan hubungan manusia dengan sesama manusia (Pawongan) selalu terwujud maka diperlukan sikap yang saling harga-menghargai dan sikap saling hormat-menghormati atau yang biasa kita sebut dengan istilah toleransi antar sesama dengan demikian, keharmonisan itu akan dapat tercapai
3) Palemahan
yaitu hubungan manusia dengan lingkungan atau alam, agar keharmonisan hubungan manusia dengan alam (Palemahan) dapat terjaga maka kita sebagai manusia yang merupakan sentral dari pelaksana ajaran Tri Hita Karana agar selalu dapat menjaga lingkungan kita, agar tetap selalu bersih dan selalu melestarikannya tanpa hanya memanfaatkan sumber daya alamnya saja.
Tri kaya parisudha
Tri Kaya Parisudha berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Kaya” berarti perilaku atau perbuatan, dan “Parisudha” yang berarti baik, bersih, mulya, suci atau disucikan. Jadi Tri Kaya Parisudha artinya tiga perilaku manusia berupa pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik dan benar yang dilandaskan pada ajaran Dharma. Tri Kaya Parisudha dapat juga diartikan sebagai tiga dasar prilaku manusia yang harus disucikan, yaitu manacika, wacika, dan kayika. Manacika berarti berfikir yang baik, wacika berarti berkata yang baik, dan kayika berarti perbuatan yang baik. Adanya pikiran yang suci, bersih dan baik akan mendasari perkataan yang baik, sehingga terwujudlah perbuatan yang baik pula.

Tiga macam implementasi pengendalian pikiran (manacika) dalam usaha untuk menyucikannya yaitu:
1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak layak atau halal. Hal yang dimaksud adalah selalu berusaha untuk mendapatkan segala sesuatu dengan cara yang baik dan benar.
2. Tidak berpikiran negatif terhadap makhluk lain. Kita sering kali berfikir negatif berdasarkan sesuatu yang baru saja kita lihat. Tentunya hal itu bukanlah jaminan, akan jauh lebih baik dan bijak jika kita selalu mengutamakan pemikiran yang positif dibandingkan dengan pikiran negatif.
3. Tidak mengingkari hukum karma phala. Hukum karma adalah hukum yang mengikat seluruh makluk hidup yang ada di dunia ini, hal yang paling gampang utnuk dibuktikan adalah ketika kita menanam jambu maka jambulah yang akan kita panen dimasa depan, bukan jeruk atau buah lainnya. Begitu pula dengan pebuatan kita, jika kita selalu berbuat baik dan iklas tentu saja kebaikan dan kedamaian yang akan kita temui, dan begitu pula sebaliknya.

Terdapat empat macam perbuatan melalui perkataan (wacika)yang patut di kendalikan, yaitu:
1. Tidak suka mencaci maki.
2. Tidak berkata-kata kasar pada siapapun.
3. Tidak menjelek-jelekan, apalagi memfitnah makhluk lain.
4. Tidak ingkar janji atau berkata bohong.




Terdapat tiga macam perbuatan fisik (kayika) yang harus dikendalikan yaitu:
1. Tidak menyakiti, menyiksa, apalagi membunuh-bunuh makhluk lain.
2. Tidak berbuat curang, sehingga berakibat merugikan siapa saja.
3. Tidak berjinah atau yang serupa itu.

Didalam kehidupan sehari hari, Wujud sembah bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan cara mengamalkan ajaran Tri Hita karana yang dilandaskan dengan sikap Tri Kaya Parisudha serta ajaran Tat Twam Asi sangatlah menentukan tingkat kebahagiaan hidup seseorang. Jika setiap Umat hindu mau dengan tulus iklas melaksanakannya, niscaya kedamaian, kebahagiaan dan ketentraman akan selalu menyertai.

Pada intinya, hal yang datang kepada kita atau hal yang kita dapatkan, baik itu hal yang mulia maupun hal yang buruk tergantung dari diri kita sendiri. jika kita ingin mendapatkan hal yang baik, maka mulailah melakukan perbuatan kebaikan yang berlandaskan Dharma. Semoga artikel ini bisa menjadi motivasi dan bimbingan buat kita semua.

“Om Shanti, Shanti, Shanti Om”

http://banggajadihindu.blogspot.com/2014/11/tat-twam-asi-tri-hita-karana-dan-tri.html –sumber


Senin, 15 April 2024

Rajapatni Gayatri Sang Ibu Negeri

 

Kematian Jayanegara menghempaskan mimpi sebagian orang di putaran lingkup kelompok Pamalayu. Jayanegara belum memiliki keturunan. Kerajaan sebesar Majapahit tidak mungkin membiarkan dampar kencananya kosong.
Tak ada yang lebih berhak selain Sang Rajapatni Prameswari Gayatri, beliau yang di gambarkan sebagai sosok tiga jaman mulai dari Kertanegara, Kertarajasa dan Jayanegara.
Di era ayahanda Kertanegara , Gayatri adalah seorang putri yang memiliki kecerdasan dan rasa ingin tahu yang sangat luar biasa , bagi Kertanegara , Gayatri adalah teman diskusi soal visi sang Kertanegara “Mandala Dwipantara”, sebuah gagasan penyatuan Nusantara. Gayatri yang mencatat semua “wejangan “ mimpi dari visi besar sang Ayahanda . Namun semesta berkehendak lain tiba tiba laskar Jayakatwang datang menyerbu dan membumihanguskan Kutaraja Singasari, jadi abu tanpa tersisa .disaat kekuatan Militer Singasari sedang pada titik “ terlemah “ karena sebagian besar Pasukan Singasari sedang melakukan ekspedisi Pamalayu .
Ketika Singasari disergap tanpa ampun oleh pasukan Kediri sehingga menewaskan kedua orang tuanya. Gayatri yang sedang berada di kaputren dalam luput dari pembantaian. dengan kecerdasan seorang wanita yang tanggap sasmitha akan situasi yang dihadapi. Segera menyadari kekisruhan yan terjadi dalam keraton , Gayatri muda melepas seluruh pakaian kebesaran seorang Putri Raja dan mengganti dengan pakaian anak seorang abdi dalem istana.
Untuk menyamarkan dirinya Gayatri berganti nama menjadi Ratna Sutawan, putri seorang abdi dalem Pekaktik istana , yang kemudian digiring menuju Kediri sebagai tawanan .
Saat itu Lembu Sora , juga melepas segala atributnya sebagai seorang senapati Singasari , karena kaget melihat kenekatan Putri Gayatri yang bergabung dengan para abdi dalem dan langsung bergabung untuk memastikan keselamatan si Bontot , putri kinasih sang Kertanegara yang terkenal keras kepala , bersama mereka ikut diboyong ke Kediri menjadi tawanan dan ditempatkan di bangsal perempuan Keraton Kediri.
Sebelum meninggalkan istana, ia mengjak Lembu Sora melihat jasad kedua Orang tuanya yang telah gugur , untuk memberi sembah terakhirnya dan melakukan sumpah setia akan melanjutkan cita cita sang Kertanegara .
Dengaan kecerdasanya dan keberaniannya Gayatri , mengumpulkan informasi inteljen tentang kekuatan pasukan Jayakatwang . dan Lembu Sora lah yang bertugas sebagai Pengelasan yang melaporkan semua kepada sang Raden Wijaya .
Ketika Pangeran Wijaya masuk ke Kediri sebagai laskar yang menyerah, dalam sebuah arak-arakan, Gayatri ada diantara para kawula yang menyabut laskar yang telah dsarankan untuk “menyerah” oleh Sang putri . Agar dapat membangun kekuatan dari dalam benteng Kediri. Itu jauh lebih baik daripada terus bergerilya di tengah hutan tanpa kejelasan persenjataan dan logistik.
Dan cinta diantara keduanya memang bersemi di tengah pahitnya perjuangan mewujutkan cita cita membangun sebuah kerajaan baru dari puing puing kehancuran Singasari , demi kawula dan martabat sebagai warga Singasari .

Dan kelak Kertarajasa menitahkan untuk menuliskan semua itu dalam prasasti, atas pengakuan akan cintanya pada istri istri beliau terutama sang Rajapatni di tahun 1296 di desa Sukamerta yang menceritakan perkawinan dan perjuangan Raden Wijaya selama pelarian dari pengejaran oleh Pasukan Jayakatwang .
Kemudian untuk mengambarkan secara lebih romantis tentang kecintaan dan kegaguman beliau pada seorang Gayatri maka diperntahkan untuk menuliskan bahwa kisah kasih asmara mereka adalah Dewa Siwa dan Dewi Uma sebagai Prasasti kertarajasa tahun 1305 di desa Balawi .
Dan diera Jayanegara , Prameswari Gayatri juga tak tinggal ,diam meredam setiap gejolak yang ditimbulkan ulah kekanak kanakan an Kala Gemet , selama berkuasa , Bahkan Ra Kuti sejatinya tidak bisa menguasai Kedaton Wilwatikta secara utuh . Karena Istana Gayatri tidak tersentuh tangan tangan pemberontakan Ra Kuti.
Jika beliau menjadi Ratu rasanya jauh dari pada sekedar pantas. Prapanca mengambarkan sosok sang Putri sebagai berikut kepada Pritha sahabatnya
“ Adalah watak Rajapatna Gayatri yang agung, sehingga mereka menjelma pemimpin besar dunia, yang tiada tandingannya. Putri, menantu, dan cucunya menjadi raja dan ratu. Dialah yang menjadikan mereka penguasa dan mengawasi semua tindak tanduk mereka (Negarakertagama, bab 48).”
Hingga di malam seperti yang dijanjikan kepada Mentri Mada , yang datang menghadap sang Putri , sebelum peristiwa kematian Kala Gemet . Dengan kawalan abdi dalem menuju sebuah ruang yang teramat rahasia , sebuah ruang yang berada di puser Kedaton Kediri . Ruangan yang tidak sembarang orang bisa memasukinya , abdi dalem dari kelompok Kalachakra yang telah disumpah mati oleh kutuk pastu bila khianat., berdinding panel yang berukiran Surya Majapahit dalam ukiran sangat indah , berhiaskan kepulauan Nuswantara terpahat sisana, yang dapat digeser sebagai tameng rahasia dan pelindung bila ada sergapan musuh dan terhubung ke bebetapa lorong rahasia .
" Mada apa yg kau sampaikan semalam sudah kami pelajari secara seksama"
selanjutnya sang Bukan siapa Siapa yang akan menjelaskan secara lebih terperinci , dan rasanya tak pantas aku bicara keliwat duniawi " lirih suara sang Putri Gayatri.
"Baiklah , atas titah dan restu Yang MuliaTuan Putri ,hamba ambil alih seluruh tanggung jawab mulai sekarang"
" Mada, engkau lelaki terhornat dan memiliki kehormatan seorang prajurit Majapahit"
" sendiko Bopo...
“Ingatkah kau saat masih seorang bocah kabur keanginan , kau terdampar di pertapaan Gunung kawi, dan kau bertemu seoeang Wanita yang menjelaskan panjang lebar tentang sebuah ajaran Mandala Dwiparna. Penyatuan pulau pulau nuswantara ?
“ hamba bopo, hal tersebut yg membuat hamba bertekat mengabdi menjadi seorang prajurit yang memiliki tekat untuk ikut mengawal menyatukan Nuswantara menjadi satu di bawah panji Singasari pada waktu itu. Sesuai yang diajarkan oleh seorang “ibu” yang sangat Bijkasana yang ajarannya begitu meresap di hati hamba hingga saat ini, hingga menjadi cita cita yang rasanya jika diberi kesempatan akan hamba upayakan terwujud bagaimanapun caranya.”
“ Namun hamba tidak ingat siapa beliau , karena hamba tak berani menatap wajahnya, saat itu tak pantas rasanya sebagai kawula yang kabur keanginan , menatap kepada seorang wanita yg terlihat sangat agung dan bijaksana”
" Menteri Mada , atas perkenan beliau yang kini berada dihadapan mu , beliaulah wanita agung tersebut “ tegas sang Bukan siapa Siapa
Tergagap Mada , sontak memberi penghormatan degan meredahkan kepala ke bhumi, memohon belas ampunan dan pangestu, kepada sosok guru yang telah lama ia cari. Yang membentuk karakternya selama ini , teryata adalah sosok yang ia dan seluruh kawula Majapahit cintai dan hormati , Sang Rajapatni Gayatri.
"Mada , bangkitlah , anggap smua itu adalah “ Cakra Manggilingan owah gingsir gilir gumanti", kehidupan ini senantiasa berputar, berubah, berkembang, berganti situasi-dinamis. Sesuatu Manifestasi dari Cakra Manggilingan inilah yang kemudian disebut sebagai wolak-walike zaman ini semua adalah berkat restu Sang Murbeng Jagad, agar kawula mampu Memayu Hayuning Bawana.”. dan tugas kami disini adalah memastikan arah negeri Majapahit melangkah kedepan sebagai sebuah kerajaan yang bisa mengayomi , seluruh kawulanya menjadi sebuah bhumi pertiwi yang Gemah ripah Lohjinawi Tata Titi Tentrem Kerta Rajasa , sambil menyiapkan kelahiran Sang Surya Majapahit . demi cita cita wangsa Kertarajasa mewujutkan Mandala Dwiparna dan kami menyebut diri kami adalah Kalachakra penjaga semangat Mandala Dwiparna.
“ Dan Menteri Mada . kini kau telah lebih dari cukup untuk mengetahui rahasia ini , kau adalah sekutu atau musuh terbesar kami saat ini “ tegas Sang Bukan siapa siapa
dua keplokan tangan Sang Bukan siapa siapa ,
membuat dinding berukir bergeser , 20 orang berkelebat keluar dari balik panel berukir dari kayu jati , menghunus belati di kedua tanganya. mengarah ke Mada.
" AKU MADA BERSEDIA HIDUP MATI ATAS SEMANGAT MANDALA DWI PARNA DAN MENJADI BAGIAN DARI KSATRIA KALACHAKRA "
Pasukan mundur menghilangdan seolah tak pernah terjadi apa apa di ruang tersebut.
Dan Putri Gayatri dan Sang bukan siapa siapa , menerima sembah bekthi dari Sang Menteri Mada yang berjanji Prasetya , untuk mengabdi kepada Majapahit.
Putri Tribuwana Tungga Dewi bergelar Sri Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.. naik taktha mengantikan Jayanegara menjadi ratu Majapahit di tahun 1329 , sebagai perwujutan bakthi seorang anak kepada Ibundanya yang sangat beliau cintai dan hormati Gayatri dan kelak Gajah Mada menuliskan pada prasasti Gajah Mada pada tahun 1351 di Singasari.
Semua Kawula Majapahit mengadakam pesta selama tujuh hari tujuh malam atas pengakatan Ratu mereka yang baru . Ratu dari wangsa Kertarajasa yang diberkati oleh “ Ibu” kawula Majapahit sang Rajapatni Gayatri . yang sangat mereka hormati dan cintai. Pesan damai didengung dengungkan oleh para pemuka agama dan para Narapraja atas perintah Putri Gayatri yang mengajak seluruh kawula Majapahit untuk bersatupadu membangun negeri mereka.
Putri Gayatri sang Rajapatni atau pendamping raja , tidaklah gelar kosong Mulai Kerta negara sang Ayahnda, Kertarajasa sang kekasihnya, Jayanegara sang Anak tirinya , Tribuwana Tunnga dewi anak Kandungnya dan Hayam Wuruk sang cucu kesayanganya , Semua merasakan “sentuhan “ ilham yang semestawi dari seorang putri tang tidak saja memiliki kecantikan dan kecerdasan yang paripurna namun sang putrid diberkati dengan kemampuan sasmitha yang weruh sang durunge winarah . beliau mampu menerjemahkan Visi menjadi sebuah bentuk keputusan yang “ tepat “ dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapi orang orang disekitarnya , Dialah Pamomong yang bekerja di balik layar kesuksesan Majapahit. Putri Gayatri adalah sosok yang digambarkan sebagai Prajnaparamita adalah seorang dewi dengan kedudukan tinggi dalam Buddhisme Tantra Mahayana; dia dianggap sebagai “sakti “ atau pendamping, dari Buddha tertinggi; Prajnaparamita : wanita yang memiliki pengetahuan dan kebijksanaan yang Paripurna atau gambaran seorang wanita nareswari./ wanita utama yang dianngap sebagai “ibu” bagi Majapahit secara keseluruhan dan ialah Sang Rajapatni Sri Rajendra Dyah Dewi Gayatri
Boyolangu2024
PEKIKHENING


Rabu, 10 April 2024

KEMULAN PENUNGGUN KARANG

 

Ajaran Langit di Ajarkan oleh Bhatara Siwa bergelar Bhatara Guru melinggih di Pelinggih Kemulan perwujudan Purusha.
Sedang Ajaran Bumi di Ajarkan oleh Bhatari Durgha bergelar Durgha Manik melinggih di Pelinggih Penunggu Karang perwujudan Predana.

Ajaran Bhatara Siwa bernama Trisula Weda yaitu :
1. Weda
2. Weda Angga
3. Weda Sirah
Pengetahuan untuk memahami tentang Kelahiran , Kehidupan dan Kematian sehingga Pandangan menjadi Terang ( terbukanya mata ketiga ).

Ajaran Bhatari Durgha bernama Kanda Pat yaitu :
1. Kanda Pat Butha
2. Kanda Pat Sari.
3. Kanda Pat Atma
4. Kanda Pat Dewa
5. Kanda Pat Budha di kenal dengan nama Kanda Sanga.


Ajaran Kanda Pat yaitu Pemurnian Unsur Tubuh dengan Metode Somia Butha menadi Budha sehingga di tingkat Budha Bathin menjadi Bersih dan Ketika Butha Sanga berubah menjadi Dewata Sanga maka Bathin menjadi Bercahaya ini di namai Kanda Sanga.

Ketika Ajaran Siwa dan Durgha manunggal maka Pandangan menjadi Terang dan Bathin Bercahaya ini yang di sebut Mencapai Ke _ Budha _ an yaitu Tercerahakan Sempurna.

Dari Rumusan Angka Samkya Trisula Weda mewakili angka 3 dan Kanda Pat mewakili angka 4 dan ketika 3 + 4 maka menjadi 7 oleh sebab itu mereka yang mencapai Ke_ Budha _ an bisa Menembus Sapta Petala dan Sapta Lokha karena Sapta Atma ( 7 Cakra ) di Penuhi oleh Cahaya dari Sapta Surya.
Ida Bodhi 


Ida Pedanda Ngoerah

 


Ida Pedanda Ngoerah adalah salah satu contoh Brahmana yang masih menerapkan tradisi Brahmana Weda dimana Beliau melakukan perjalanan suci.
Beliau menyadari bahwa sebagaimana tersirat dan tersurat pada Kidung Yadnyeng Ukir ada tujuh gunung yang ada di dalam diri (sapta parwwatĕ minusti haneng garbbha), tujuh sungai suci (sapta gangga), tujuh danau (sapta ranu), hingga tujuh tingkat kasunyatan (sapta sunya). Dengan kekuatan jnyana, amerta diturunkan dengan gagelaran wisarga dan nungswara. Maka menyadari hal tersebut sejatinya penyucian dilakukan di dalam sarira.
===
Pada tahun 1919 dalam Tirta Yatra Beliau ke Bali utara dengan pengiring yang membawa bedil yang dipinjam dari seorang tokoh di Desa Wanagiri oleh karena akan melintasi hutan malam hari, Beliau turun dari Gobleg sampai di Banjar dan kemudian melanjutkan perjalanan lewat laut ke Pulaki lalu terus ke arah barat. Terekam dalam kidung perjumpaan Ida Pedanda Ngoerah dengan tiga ekor Harimau Bali saat sampai di Banyuwedang.


===
Dari Banjar Beliau menaiki perahu ke Pulaki dan di segara “laut”, Ida Padanda Ngoerah menyaksikan jajaran keindahan giri “gunung‟ (katon kalangwaning ukir). Berbagai gunung yang dilihat di sepanjang perjalanan disebutkan oleh Ida Padanda Ngoerah seperti Gunung Gondhol, Gunung Patas, Gunung Malang, Gunung Candi Bunga, Gunung Rebuk, hingga akhirnya tiba di Gunung Pulaki.

Di Pulaki, Ida Padanda Ngurah menguraikan keindahan pegunungan dengan sangat mempesona. Gunung itu seperti bersinar ketika diterangi oleh matahari. Di puncaknya ada dua batu besar yang bercahaya bagaikan candi bentar. Batu di pinggir jurang yang tinggi bagaikan pendeta suci yang kata-katanya utama dan nirmala.

Ida Pedanda Ngoerah kemudian berkonsentrasi pada tujuh gunung yang ada di dalam diri (sapta parwwatĕ minusti haneng garbbha), termasuk pula tujuh sungai (sapta gangga), tujuh danau (sapta ranu), hingga tujuh tingkat kasunyatan (sapta sunya). Dengan kekuatan jnyana, amerta diturunkan dengan gagelaran wisarga dan nungswara. Maka, penyucian dilakukan di dalam sarira.

Lalu Ida Pedanda melanjutkan perjalanan ke Barat merekam berbagai telaga suci yang ditemui dari sekitar wilayah pemuteran ke barat. Ketika sampai di Banyuwedang tengah malam dan air laut surut, rombongan Ida Pedanda tersentak melihat di dalam hutan ada tirta yang berkilau karena disinari Hyang Sitangsu (Bulan). Ketika air suci itu hendak diambil saat itu terlihat Tiga Ekor Harimau yang sedang berendam ditengah telaga.

Hana rakwa tinon dhening wadwanning ngwang, mrĕggha natta ya katriṇi, ring saṇdhinging sĕndhang, sigra yā umintar (Kidung Yajnyeng Ukir, bait 315).

Terjemahan.

Ada yang dilihat oleh pengiringku, yaitu tiga ekor harimau, di tengah telaga, dengan segera mereka pergi.

Mreggha natta disini bermakna Samong atau Harimau kendaraan dari Bhatari Durga.

Melihat sempat ada Harimau di sekitar telaga itu, para pengiring Beliau melarang Ida Pedanda Ngoerah untuk menyucikan diri di telaga tersebut. Ida Pedanda tetap teguh untuk menyucikan diri di tempat itu. Ketika menyentuhkan kaki untuk pertama kalinya di air, beliau terperangah karena airnya ternyata panas. Sesuai dengan nama wilayahnya, tirta itu memang Banyu Wedang: Tirta/Air Panas. Ida Padanda Ngoerah sangat meyakini air panas tersebut dapat mengobati berbagai penyakit.
Silakan
Sumber Putu Eka Guna Yasa Tatkala.co