Jumat, 13 September 2024

MENGAPA ORANG HINDU JARANG HAFAL KITAB WEDA ?


Pertanyaan ini sering sekali diajukan oleh penganut agama lain kepada penganut Hindu, sementara di internal Hindu justru jarang dibahas. Proses pengajaran agama Hindu mirip seperti air, ia mengalir saja sembari memberi hidup dan kesuburan pada semua yang dilaluinya.
Menghafal Weda memang tidak menjadi budaya dalam agama Hindu. Sebagai agama tua yang tidak terseret perdebatan kitab palsu atau asli, penganut Hindu tidak merasa perlu membuktikan bahwa kitabnya asli dan tidak berubah sedikitpun, dengan mengajukan bukti banyaknya penghafal Weda. Sebaliknya, penganut Hindu secara jujur mengakui bahwa Weda yang ada sekarang yang jumlahnya 20.724 ayat itu mungkin hanya 1/4 (seperempat) atau bahkan kurang dari keseluruhan yang pernah diterima oleh para Maharsi ribuan tahun sebelum masehi. Apa yang ada sekarang adalah hasil kodifikasi Maharsi Vyasa dari begitu banyak Maharsi sebelumnya. Tuhan yang begitu luas dan serba maha, rasanya memang sulit dirangkum dengan 1 (satu) juta ayat sekalipun. Kesadaran ini penting agar kita tidak mudah jumawa, sombong, yang justru berlawanan dengan tujuan spiritual.
Lalu apa yang diajarkan kepada penganut Hindu ? Ajaran Hindu terdiri dari 3 (tiga) kerangka : upakara (ritual), susila (etika) dan tattwa (filsafat). Ibarat telur, kulitnya adalah upakara, putihnya adalah susila, dan kuningnya adalah tattwa. Maka yang diajarkan kepada siswa umum adalah sari-sarinya, perasan tafsirnya, dari ketiga aspek tersebut. Selain melalui buku-buku pelajaran agama, ajaran-ajaran tersebut disampaikan lewat kidung/geguritan yang digemari masyarakat.


Dalam hal filsafat, umat Hindu sudah diajarkan Panca Sradha sejak SD. Terus diajarkan diulang-ulang sampai universitas dengan tingkat kedalaman yang berbeda. Ada juga Sad Dharsana (enam aliran filsafat) yang mulai diperkenalkan di tingkat pendidikan tertentu.
Yang paling banyak diajarkan justru adalah etika dan kebajikan (virtues). Konsep Tat Twam Asi (aku adalah kamu), ahimsa (tidak menyakiti), yoga (penyatuan dengan sang diri), Tri Kaya Parisudha (pikiran, perkataan dan perbuatan suci), Catur Paramitha (empat perbuatan luhur), dan banyak lagi. Dalam pengajaranpun tidak pernah disebutkan sikap ini untuk orang seagama dan sikap itu untuk orang yang berbeda agama. Tat Twam Asi yang menjadi landasan utama sudah mengajarkan : perlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan. Kita semua adalah jiwa yang sama dalam badan dan ikatan karma yang berbeda. Agama, suku, ras adalah identitas administratif bagi badan, bukan bagi sang jiwa. Di alam jiwa, kita semua adalah Atman yang merupakan pancaran Brahman. Tidak ada beda antara sinar matahari yang menerpa dedaunan, yang masuk ke kamar tidur melalui jendela, atau yang menjamalah pelataran pura.
Selain ajaran-ajaran etika dan kebajikan tersebut, diajarkan pula hambatan-hambatan yang menjadi penghalang perjalanan sang Atman menuju Brahman. Uniknya, ajaran ini biasanya justru melihat kedalam diri, bukan menyalahkan hal-hal diluar diri. Sad Ripu (enam musuh dalam diri), Sad Atatayi (enam kekejaman), Sapta Timira (tujuh kegelapan), dan banyak lagi. Semuanya adalah “godaan dari dalam” yang perlu dikendalikan dengan meningkatkan kesadaran. Manusia disebut “dewa ya, bhuta ya”: dalam diri manusia ada sifat-sifat dewa (kebaikan, kemuliaan) dan juga sifat-sifat bhuta (kegelapan). Evolusi kesadaran melalui berbagai usaha dalam jutaan kelahiranlah yang membedakan kadar mana yang lebih dominan.
Dalam ratusan tahun perjalanan Hindu (Bali), metode pengajaran itu terbukti efektif. Orang Hindu Bali tumbuh menjadi individu-individu yang spiritual sekaligus toleran. Karena tidak membaca ayat per ayat dari Weda, kita hampir tidak pernah bertengkar urusan tafsir kitab suci. Kesadaran kita umumnya adalah kesadaran kolektif berbasis hukum karma : ala ulah ala tinemu, ayu kinardi ayu pinanggih. Ini hukum universal yang bisa menegasikan semua perbedaan. Maka bahkan ketika Amrozi datang membawa bom meluluh lantakkan kita dalam berbagai aspek sambil meneriakkan nama Tuhannya, kita tidak beranjak dari sikap toleran dan keyakinan akan hukum karma. Kita lagi-lagi melihat kedalam, mulat sarira, melakukan upacara pembersihan alam dan diri, lalu kembali menata hidup.
Tapi belakangan, karena kemajuan jaman dan kemudahan akses teknologi, sebagian kita mulai membaca-baca kitab suci. Menafsir-nafsirkan. Memperdebatkan. Ini adalah kemajuan yang baik, memberi kita kesempatan untuk menggali Weda lebih dalam. Tetapi sebagaimana semua hal dalam hidup, hukum rwa bhinneda berlaku : semakin besar kebaikan, semakin besar resiko yang mengikuti. Maka selain kita menjadi semakin “melek weda”, kita juga mulai mendengar orang menggugat tradisi ini itu sebagai “tidak sesuai weda”. Kita mulai menemukan orang yang mempertanyakan “otoritas tuhan lokal” dan membanding-bandingkan dengan nama lain yang termaktub di kitab suci, seolah-olah Tuhan ada banyak dan yang terbaik adalah “tuhan impor”. Kita mulai mendengar orang yang mengutip satu ayat lalu membuat kesimpulan atau memvonis sesuatu, seolah-olah sudah memahami keseluruhan konteks. Kita mulai terbiasa mendengar silang pendapat dan pertengkaran karena ayat.
Ya, anggap saja kita sedang bercerita tentang kehidupan di desa. Dulu desa ini tenteram dengan hamparan pertanian, dihuni orang-orang tua yang bijak dan pemuda-pemuda serta gadis-gadis desa yang enerjik dan mempesona. Lalu kemajuan mulai menjamah desa ini, banyak pendatang membawa uang, jalan-jalan diaspal, tiang listrik berjejer-jejer menjanjikan terang. Tapi bersamaan dengan itu, desa mulai tidak aman. Kadang pertengkaran, kadang pencurian. Lalu orang-orang desa inisiatif belajar ilmu silat, lalu banyak sabuk putih bermunculan. Samsak digantung di banyak tempat untuk dipukuli. Kadang, pertengkaran terjadi diantara sesama murid perguruan.
Kini, kita harus mendesain ulang hidup kita dan cara berpikir kita. Kita tidak bisa menolak roda jaman. Semua berputar tanpa menunggu persetujuan kita. Kita tidak bisa lagi berandai-andai bila saja desa ini tetap terisolasi. Atau berandai-andai tidak ada pemuda yang belajar silat. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah terima kenyataan ini. Terima kenyataan bahwa jaman berubah dan kita perlu menyesuaikan diri. Kita perlu jalan aspal, kita perlu mobil-mobil berlalu lalang sebagai pertanda kemajuan, kita perlu belajar silat, dan kita perlu banyak hal lainnya. Diatas itu semua, kita perlu menyadari, bahwa hal yang paling kita butuhkan adalah kebijaksanaan. Kurangi menuntut keluar, dan perbanyak memperbaiki diri. Untuk yang satu ini mudah-mudahan kita bisa berandai-andai : bila saja mayoritas kita melakukan ini, maka desa ini dapat memiliki keduanya : kemajuan dan sekaligus kedamaian.
Satyam Eva Jayate.
Dharma Raksati Raksitah.
OM Shanti.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar