Selasa, 24 Mei 2022

Upacara Napak Sithi

 



Pawetonan atau Otonan dan upacara turun ke tanah yang juga disebut Napak Sithi, merupakan kelanjutan dari pelaksanaan upacara tiga bulanan. Upacara ini dilaksanakan tepat saat bayi berusia 210 hari. Bagaimana sejatinya upacara ini?

Otonan atau pawetonan berasal dari bahasa Jawa kuna, yakni ‘wetu’ atau ‘metu’ yang artinya keluar, lahir atau menjelma. Dari kata ‘wetu’ menjadi ‘weton’ dan selanjutnya berubah menjadi ‘oton’ atau “’otonan’.

Demikian pula kata ‘piodalan’ dari kata ‘wedal’ berubah menjadi ‘odal’ atau ‘odalan’ yang juga mengandung makna yang sama dengan ‘weton’ . “Di dalam bahasa Sanskerta kata yang mengandung pengertian kelahiran adalah ‘janma’dan kata ‘janmadina’ atau ‘janmastami’ mengandung makna ‘hari kelahiran’ atau hari ulang tahun,” ujar Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (1/2).

Selain itu, ada juga yang mengatakan Otonan berasal dari kata ‘pawetuan’, yaitu peringatan hari lahir menurut tradisi agama Hindu di Bali yang didasarkan pada sapta wara, panca wara, dan wuku. Dalam kalender Bali otonan dirayakan setiap 210 hari (setiap 6 bulan).

Jadi, secara etimologi Otonan adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan sapta wara, panca wara dan wuku yang berbeda dengan pengertian hari ulang tahun pada umumnya yang didasarkan pada perhitungan kalender atau tahun Masehi. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu, yang datangnya setiap enam bulan sekali

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dalam menentukan hari Otonan yang harus dijadikan patokan adalah sistem kalender Saka-Bali. Yang mana dalam pergantian hari atau tanggal, yaitu ketika matahari terbit (sekitar jam 6 pagi).

Jika untuk bayi, Otonan pertama kali dilakukan ketika sudah berumur 105 hari atau tiga bulanan, karena organ tubuh dianggap sudah berkembang sempurna dan semua panca indra sudah aktif, di mana panca indra anak itu dapat membawa dampak positif dan negatif pada kesucian jiwa, sehingga harus dilakukan Otonan.

“Jika belum dilakukan Otonan atau diupacarai tiga bulanan, maka anak itu masih cuntaka atau belum suci,” imbuhnya.

Upacara Pawetonan atau Otonan untuk bayi memiiki dua sudut pandang. Sudut pandang sekala (duniawi) dan sudut pandang filsafat agama. Jika dipandang dari sudut duniawi, seoarang bayi boleh diturunkan ke tanah setelah menginjak umur enam bulan. Bayi tersebut belum dianggap penuh waktunya beradaptasi dengan alamnya, sehingga belum secara penuh mendapat kekebalan pada tubuhnya,

Dijelaskan lebih lanjut Mangku Satra, jika diteliti dari sudut pandang filsafat agama, pelaksanaan upacara pawetonan dan napak sithi menggunakan pedoman angka 210 hari. Angka tersebut merupakan petunjuk angka Samkhya, sebagai dasar tattwa dengan menjumlahkan angka tersebut, dari penjumlahan tersebut didapat angka tiga. Angka tiga merupakan simbol mulai aktifnya Tri Pramana (Bayu, Sabda dan Idep) bayi terhadap rangsangan dari luar. Sehingga, dalam keadaan demikianlah dimohonkan kepada Ida Sang Hyang Widi melalui pelaksanaan upacara Pawetonan dan Napak Sithi.

Jika dilihat dari kata enam bulan, akan mendapatka angka Samkhya, dengan angka enam yang mengandung makna sebagai simbol Sad Ripu. Dengan adanya sifat Sad Ripu yang dibawa bayi sejak lahir, maka upacara Pawetonan atau dan Napak Sithi harus dilaksanakan agar dapat meminimalisasi kekuatan Sad Ripu yang ada dalam diri si bayi.

Dalam upacara Otonan yang sederhana, sarana cukup banten pajati (untuk Bhatara Guru/Kemulan), dapetan (sebagai tanda syukur) dan sesayut pawetuan (untuk Sang Manumadi), segehan (untuk Bhuta) dan dapat diisi kue taart di atasnya dikasi canang sari dan dupa, kemudian didoakan.

Otonan tidak mesti dibuatkan upacara yang besar dan mewah, yang terpenting adalah nilai rohaninya, sehingga nilai tersebut dapat mentransformasikan pencerahan kepada setiap orang yang melaksanakan Otonan. Tidak ada gunanya Otonan yang besar, namun si anak tidak pernah diajarkan untuk sungkem dan hormat pada orang yang lebih tua. Akan sia-sia upacara Otonan itu, jika hanya untuk pamer kepada tetangga. Otonan harus dapat mengubah perilaku yang tidak benar menjadi tindakan yang santun, hormat, bijaksana dan welas asih, baik kepada orang tua, saudara, dan masyarakat. Otonan yang dilaksanakan dengan sadhana akan mengarahkan orang tersebut kepada realisasi diri yang tertinggi. Karena dalam upacara Otonan terkandung makna bahwa kita berasal dari Brahman dan harus kembali kepadaNya.

Dalam prosesi Otonan, terdapat sebuah simbolis, yaitu pemasangan gelang di tangan berwarna putih. Kenapa menggunakan benang? karena benang mempunyai konotasi ‘beneng’. Dalam bahasa Bali halus dapat diartikan dua hal, pertama, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Ini maksudnya agar hati yang Otonan selalu di jalan yang lurus dan benar. Kedua, benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang Otonan dan tidak mudah patah semangat. Khusus untuk bayi yang baru pertama kali melaksanakan upacara Otonan, biasanya menggunakan sarana banten yang lebih besar, yakni Udel Kurenan yang disertai upacara natab ke Bale Agung, dilanjutkan dengan madagang-dagangan, serta dilanjutkan dengan membopong bayi menyentuh tanah untuk pertama kalinya. Upacara inilah yang disebut Napak Sithi dan dipuput oleh pemangku.

Sarana upacaranya pun banyak, atara lain adalah menggunakan Rerajahan Badawang Nala yang merupakan simbol kekuatan pertiwi yang tak lain adalah pijakan semua mahluk hidup di bumi. Sangkar Ayam yang merupakn simbol akasa untuk memberikan kehidupan di alam semesta. Yuyu, ikan nyalian dan udang, merupakan simbol Tri Pramana. Pane dan air merupakan simbol angga sarira dan pikiran manusia. Megogo-gogoan merupakan cerminan permohonan kehadapan Sang Hyang Widi agar dianugerahkan kesempurnaan Tri Pramana.

“Khusus untuk ritual ini yang memangku sang bayi harus seorang anak yang belum maketus atau giginya belum tanggal, karena diyakini masih memiliki sifat Dewata dan pikiran yang bersih.” tutup Satra.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber







Madagang-dagangan dalam Otonan

 

Dalam upacara Otonan pertama bagi bayi di Bali, ada prosesi yang dinamai dengan madagang-dagangan. Aktivitas ini kebanyakan dilaksanakan di Bale Delod atau Bale Semenggon.

Upacara Otonan di Bali, hendaknya dilaksanakan di natar Mrajan atau Sanggah. Hal ini disebabkan karena bayi telah disucikan, sehingga dibenarkan masuk ke dalam merajan. “Pelaksanaan upacara di merajan mengacu kepada palinggih Bhatara Hyang Guru yang tak lain adalah leluhur kita yang manumadi atau reinkarnasi ke dalam diri si bayi, ” ujar Ida Pedanda Gede Manara Putra Kekeran.

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Selain itu, adanya pelaksanaan Madagang-dagangan adalah sebagai simbol permohonan kehadapan Sang Hyang Widi agar nantinya setelah bayi menjadi dewasa dianugerahkan kawigunan atau profesi. Dalam sastra agama dijelaskan bahwa setiap manusia lahir ke dunia, telah memiliki garis tangan atau wiguna yang banyaknya sepuluh wiguna. Yakni, Guna Resi, di mana seoarang mampu menjadi sulinggih atau brahmana.

Guna Wibawa adalah seseorang akan mampu menjadi pejabat pemerintahan. Guna Balian, di mana seseorang akan mampu menjadi dukun atau dokter. Guna Dagang, seseoarang akan mampu menjadi pedagang. Guna Pacul, di mana seseorang mampu menjadi seoarang petani.

Selanjutnya Guna Sastra, di mana seseorang akan mampu menjadi penulis. Kemudian, Guna Dalang, di mana seseoarang akan mampu menjadi dalang. Guna Pragina, dimana seseoarang akan mampu menjadi penari, penabuh atau pelawak. Guna Sangging, dimana seseorang akan mampu menjadi pematung, pelukis, dan pemahat. Guna Tukang, seseoarang akan mampu menjadi tukang, serati, dan ahli teknik. Dengan penjelasan tersebut, setiap manusia yang lahir ke dunia telah disiapkan sepuluh kewigunan untuk mencari amertha kehidupan,” tutup Ida Pedanda Gede Menara Putra Kekeran.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber



Senin, 23 Mei 2022

BANTEN CANE

  


Banten cane artinya sirih yang dihidangkan di dalam rapat. Namun, di dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena ternyata yang dimaksud cane tidak hanya sirih, walaupun unsur berupa sirih juga ada, yaitu berupa lekesan (sirih digulung terikat dengan benang). Secara lengkapnya cara pembuatan cane, antara lain sebagai berikut: Sebagai alasnya dipakai sebuah dulang yang kecil dihiasi dengan seseriyokan atau jaro dari janur berkeliling. Di tengah-tengah dulang ditancapkan batang pisang yang panjangnya disesuaikan dengan tinggi rendah yang dikehendaki. Di sekitarnya diisi perlengkapan lainnya, seperti bija, air cendana, burat wangi (lenga wangi), masing-masing dialasi dengan empat buah takir (mangkuk kecil). Selain itu terdapat pula kojong 4 buah yang berisi tembakau, pinang dan lekesan, yaitu dua lembar daun sirih dilengkapi dengan gambir dan kapur, kemudian digulung serta diikat dengan benang. Di samping itu pula atau ditambahkan dengan rokok 4 batang dan korek api. Dan untuk rokok malahan ada yang melengkapinya dengan jumlah bungkus disesuaikan dengan banyaknya peserta rapat yang hadir agar masing-masing memperoleh minimal sebatang setiap orangnya. Kemudian bunganya diatur melingkar ditancap pada batang pisang secara teratur berkeliling, sehingga menjadi indah dan paling atas diisi cili serta hiasan-hiasan lainnya.


Ada pun kegunaan cane ini adalah untuk melengkapi sesajen-sesajen yang agak besar, terutama pada waktu upacara melasti dijunjung mendahului pratima atau daksina. Namun dalam kehidupan sehari-hari dan terikat dengan acara paruman atau rapat-rapat di lembaga adat, keberadaan cane ini betul-betul diperlukan. Cane ini dipergunakan pada rapat paruman (pesangkepan) paripurna oleh lembaga-lembaga adat. Cane ini ditempatkan pada suatu tempat yang khusus atau di tengah-tengah rapat.
Ada pun tujuan memakai cane adalah untuk memohon agar pertemuan atau rapat berjalan, mendapatkan hasil yang diharapkan dan segala keputusan yang diambil dapat ditaati dengan penuh kesadaran. Di samping itu penggunaan cane pada pertemuan-pertemuan (rapat) juga bertujuan untuk mengingatkan, bahwa apa pun yang telah dicapai oleh seseorang adalah atas anugerah Ida Hyang Widhi Wasa melalui manifestasiNya.
Pemanfaatan cane sesuai dengan desa kala patra dan desa mawa cara, yaitu ada yang setelah rapat selesai baru cane itu di-lebar dan ada juga yang sebelum acara rapat dimulai yang pemanfaatannya setelah rapat selesai yakni, cane akan di-lebar, yaitu dengan jalan membagi-bagikan air cendana, bija, bunga serta perlengkapan lainnya termasuk diperciki tirta wangsuhpada Ida Bhatara. Pemakaian bija atau bunga adalah sebagai simbul telah mendapatkan anugerah dalam hal ini kiranya anugerah yang dimaksud adalah berupa hasil (keputusan-keputusan rapat). Jadi pemanfaatan cane itu sebelum atau setelah rapat, maknanya sama saja, yakni memohon rapat menghasilkan sesuatu yang baik.


Suci 9 tamas cenik ala bajra Tabanan

  


5 tandingan banten suci yi:
Tamas 1 paling atas:
Tipat kelanan
Tamas 2:
Clemik 6 yi; Kacang batu merah goreng, jagung brondong, kacang mentik, sambal nyuh, saur, kacang putih, takir rasmen ditengah.
Tamas 3:
6 clemik nasi misi paya mengseb
Tamas 4:
Peras putih kuning; kulit peras, raka, tumpeng putih kuning, kj rasmen, sampyan peras sep taledn metagel
tamas 5:
raka, celemik rasmen, celemik isi nasi kuning samuhan kuning n celemik isi nasi putih n samuhan putih, celemik pala bungkah pala gantung, celemik porosan n base tampelan
tamas 6:
raka, celemik rasmen, 2 celemik nasi samuhan putih n nasi kuning kuning, celemik pala bungkah pala gantung, celemik base gulung 1
Tamas 7:
raka, celemik rasmen, 2 celemik nasi samuhan putih n nasi kuning kuning, celemik pala bungkah pala gantung, celemik base gulung 2
Tamas 8:
raka, celemik rasmen, 2 celemik nasi samuhan putih n nasi kuning kuning, celemik pala bungkah pala gantung, celemik base gulung 3
Tamas 9:
Matah-matah 8 clemik isi; kacang komak, jagung, beras, sela, keladi, gula , tepung tawar kapas, porosan


Suci sari ida bgs sudarsana 3 tamas
Tamas 1:
Raka (biu, tape bantal lambang keteguhan, tebu lambang isap yi meresap, pelas lascarya, begina lambang surya, uli lambang chandra), 4 nasi sodan 5 clemik isi rasmen, timun tuung, uyah, telor bebek lebeng, gerang, sampyan plaus
Tamas 2
Raka, ceper panca pala (5 celemik tempel don bingin isi 5 macam buah bergantung), ceper palabungkah (5 clemik don bingin isi 5 umbi2an), ceper samuan putih, ceper 5 samuan kuning
Putih
Bungan temu simbul bajra aksara sucix sang
Klongkang simbul gada aksara sucix bang
Kekulub simbul nagapasa aksara sucix tang
Karna simbul cakra aksara sucix ang
Dedalas simbul yoni/padma aksara sucix ing
Kuning
Canigara simbul trisula aksara sucix wang
Kerang simbul dupa aksara sucix nang
Panji simbul danda aksara sucix mang
Kebeber simbul moksala aksara sucix sing
Dedalas kuning simbul yoni aksara sucix ing
Clekontong isi 2 biu n samuan yoni lambang rwa bhineda
Tamas 3
Raka, 2 ceper pala bungkah palagantung, 2 ceper isi 2 samuan putih n kuning isi masing2 2, ceper 5 celemik isi masing2 samuan putih n kuning, clekontong isi 2 biu tetukon (takir isi porosan beras benang pis bolong muncuk bingin) n samuan saraswati.
Suci cenik utk caru
Beli di pasar agung jl padma Penatih dentim
2 tamas:
Tamas 1;
Raka, 3 celemik samuan putih
Tamas 2;
Raka, 3 celemik samuan kuning
Ceper payasan
Ceper peras
Suci 5 tamas
Tamas 1
Pisang diiris garis 4 5 samuan nanas
5 tape 5 bantal 5 tebu 5 jaja uli putih 5 jaja uli kuning 1 begina
2 sugituman (ketan kelapa), 2 jaja apit putih kanan kuning kiri, irung, karna kanan kiri, mata 2
Kanan putih; kebeber 2, pecuk3 2, ratu megelung 2, kuluban 2, bungan teleng 2
Kiri kuning; kuluban 2, payasan 2, cinigara 2
Tamas 2
Biu diris garis 3, 4 samuan nanas 4 tape 4 bantal 4 tebu 4 uli putih 4 uli kuning 1 begina
Sugituman (beras kelapa) mewadah kojong, 1 clemik apit putih,
Kanan putih; ratu megelung, kuluban, bungan teleng, ong kebeber, pecuk3
Kiri kuning; payasan, kuluban, cinigara
Irung di clemik, karna di clemik kanan kiri, mata di clemik kanan kiri


Tamas 3
Biu iris 2, 3 nanas 3 tape 3 bantal 3 tebu 3 uli putih 3 uli kuning 3 begina 1 putih, irung diclemik, sugituman di kojong, karna 2 mata2 di clemik
Kanan putih; kuluban, kebeber, rt megelung, b teleng, pecuk3
Kiri kuning; kuluban, payasan cinigara
Jj saraswati canang genten
Tamas 4
Biu iris 1, 2 nanas, 2 tape bantal tebu uli putih uli kuning begina
Sugituman akojong, clemik irung, clemik karna 2, clemik mata 2, clemik apit
Kanan putih; b teleng, rt megelung, kebeber, kulubn, pecuk3
Kiri kuning; kulubn, payasan, cinigara
Jj taman canang genten
Tamas 5
Raka, sugituman kj, apit di clemik, irung, 2 karna, 2 mata,
Kanan putih; kulubn, rt megl, kebeber, b tleng, pecuk3
Kiri kuning; kulubn, cinigr, payasan
Canang base suci (5 lb base wadah lengis bunga)
Macam Suci
Suci Sari....
Suci berwarna
Suci tiburo....
Suci lekah......
Suci laksana.....
Lanjut catur





Sabtu, 21 Mei 2022

Madiksa, Prosesi Lahir Kedua Kalinya bagi Seorang Sulinggih

 

 Sulinggih, sebelum melaksanakan kewajibannya sebagai pemuput upacara, wajib melaksanakan upacara Madiksa yang juga disebut dengan ‘Divya jnyana.’

Penulis keagamaan, I Nyoman Kanduk Supatra mengatakan, ‘Divya jnyana’ adalah upacara untuk dapat menerima sinar suci ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk melenyapkan kegelapan pikiran agar mencapai kesempurnaan.

“Prosesi ini merupakan salah satu bagian dari saptangga dharma, yaitu dengan cara menjalankan upacara agar dapat menunggalkan diri dengan Tuhan,” ujar I Nyoman Kanduk Supatra kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Di Bali, lanjutnya, proses inisiasi ini dilakukan dengan cara seda raga untuk mengetahui jalan ke nirwana atau swah loka sehingga bila jadi Sulinggih, nanti bisa menuntun atma-atma yang diupacarai dalam prosesi upacara ‘pitra yadnya’.

Diksa disebutkan berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata ‘di’’ dan ‘’ksa’.’’Di’’ artinya divya Jnyana atau sinar ilmu pengetahuan, sedangkan ‘’ksa’ artinya ksaya atau melenyapkan, menghilangkan. Dengan demikian ‘’diksa’’ artinya divya jnana atau sinar suci ilmu pengetahuan yang melenyapkan kegelapan atau kebodohan.

Prosesi ‘Mati Raga’ adalah sebuah prosesi yang wajib dilakukan oleh seorang diksa. Hal ini dilakukan ketika ia hendak menjadi seorang Brahmana. Upacara ini akan menyebabkan yang bersangkutan muncul untuk kedua kalinya sebagai seoarang Vipra, Muni atau Sulinggih, dan menyandang gelar kebrahmanaan. “Sebab, untuk berdiri sebagai seorang Brahmana, maka seseorang harus lahir keduakalinya dari rahim kesucian, yakni ilmu pengetahuan,” imbuhnya

Lebih lanjut dijelaskannya, mereka yang telah melakukan ritual ini, disebut telah melakukan Dwijati atau secara harfiah berarti lahir untuk kedua kalinya. Pertama lahir dari rahim ibu biologis, kemudian lahir kedua kalinya dari ilmu pengetahuan. Tujuannya adalah untuk melebur segala kegelapan akibat kurangnya ilmu pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan menyucikan sukma sarira agar mampu menampung ilmu pengetahuan rohani. Prosesi ‘Mati Raga’ ini adalah bentuk usaha sadar yang dilakukan untuk membunuh semua musuh dalam manusia secara total, yakni Krodha (marah), Moha (bingung), Mada (mabuk).

 - JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Mabuk di sini berpusat pada sebuah pengertian yang luas. Mabuk karena nama baik, mabuk karena kekayaan, mabuk karena kekuatan, dan mabuk karena kepandaian jasmani. Seseorang yang telah melaksanakan upacara ‘mati raga’ ini adalah orang yang sudah benar-benar membinasakan musuh di dalam dirinya. “Maka, ketika lahir kedua kalinya, sifat mabuk tersebut sudah tidak ada sama sekali di dalam dirinya,” jelas Kanduk.

Jadi, seorang Brahmana tidak akan mudah terbakar emosi, tidak akan bingung oleh ilusi, dan tidak akan tinggi hati akibat musuh yang ada dalam dirinya. Dalam perjalanannya, prosesi ‘mati raga’ ini banyak sekali didasari atas teks, konteks, dan perjalanan leluhur manusia zaman dahulu. Dalam Kitab Wana Parwa (kitab ketiga dari 18 Parwa Mahabrata), seoarang Yaksa pernah bertanya kepada Yudistira di tepi Danau Manasa Sarovara. Yaksa tersebut adalah penjelmaan Sang Hyang Dharma.

Petanyaannya? “Dengan apa seseorang mencapai kelahiran yang kedua? Maharaja Yudistira kemudian menjawab, melalui pertapaan, maka seseoarang akan mencapai kelahiran kedua.”

Kontekstasinya, di mana kata pertapaan memiliki makna sebuah pengendalian diri dan ketaatan kita kepada sebuah Sadhana (disiplin rohani). Tanpa adanya pertapaan, maka ritual ‘mati raga’ hanya sebuah prosesi seremonial semata, tanpa makna dan hambar spiritual. Pertapaan yang paling utama adalah pengendalian pikiran, sebab pikiran adalah Raja Indria. Pikiranlah yang mengontrol semua kerja indra jasmani manusia bagaikan tali kekang dalam sebuah kereta kuda.

 - JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Pertapaan bukan hanya berarti bertapa untuk tidak makan dan tidak minum, melainkan juga tidak berbicara, tidak berbohong dan tidak terpikat akan kenikmatan sensual, serta senantiasa berpusat penuh pada realisasi Brahman. Hal inilah yang sangat sulit untuk dilakukan. Siapa yang telah berhasil mengalahkannya, dialah yang telah berhasil dalam tapa dan terlahir untuk kedua kalinya.

Dalam sesana pinandita disebutkan bahwa madiksa sebagai suatu upacara umat Hindu dipimpin oleh seorang Pedanda Nabe untuk meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan, karena lewat kesucian diri itulah manusia dapat berhubungan dengan Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada beberapa gelar kebrahmanaan, yakni, Ida Pedanda, Ida Pandita Mpu, Bhagawan, Sri Mpu, dan lain sebagainya tergantung dari soroh atau trah masing-masing.

Seseorang yang telah melaksanakan upacara Madiksa, berkewajiban agar setiap hari menyucikan diri dengan melakukan puja Parikrama atau Surya Sewana. “Mengenai waktunya adalah pagi, siang, dan sore hari. Maka dari itulah sang diksita atau wiku tidak kena cuntaka dan juga tidak nyuntakain. Kecuali wiku wanita yang sedang dalam keadaan haid,” tutup Kanduk.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber


Ilmu Sempengot

 


Sempengot adalah sebutan untuk sebuah penyakit dimana mulut seseoarang akan mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Salah satu contohnya adalah bagian mulut sebelah kiri tertarik ke bawah, sehingga orang tersebut terlihat aneh wajahnya. Gangguan syaraf ini banyak diyakini disebabkan oleh akibat terkena ilmu hitam atau black magic. Benarkah seperti itu?

Penulis Keagamaan, I Nyoman Kanduk Supatra tak menyanggah bahwa

banyak umat Hindu meyakini bahwa Sempengot disebabkan oleh gangguan black magic atau ilmu hitam.

Perkembangan cerita tersebut, lanjutnya, tak jauh hubungannya dari kondisi masyarakat yang kebanyakan menjadi petani. Di mana, ketika seseorang mencuri buah atau hasil kebun orang lain dan memakannya, maka tak jarang yang bersangkutan akan terkena penyakit yang dinamai Sempengot. “Hal ini diyakini umat Hindu bahwa petani yang memiliki ladang tersebut telah menyisipkan kekuatan black magic di dalam tanamannya agar yang mencuri terkena ganjaran melalui sempengot,” ujar I Nyoman Kanduk Supatra kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

 - JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dikatakannya, sejatinya penyakit Sempengot tersurat dalam lontar. Lontar Canting Mas koleksi Pusdok Bali menyebutkan adanya Dewa yang dapat dimintai bantuannya untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang senang mencuri hasil kebun orang lain. Biasanya, peringatan tersebut ditujukan untuk mulut si pencuri, karena mulutnyalah yang memakan hasil curian tersebut.

“Dalam lontar tersebut disebutkan sarana banten dan mantra yang digunakan untuk meminjam dan menghidupkan kekuatan gaib itu agar mampu memberi peringatan kepada orang yang senang mencuri di ladang atau kebun,” imbuhnya.

Kekuatan gaib tersebut berasal dari palinggih yang ada di sawah atau ladang. Beberapa palinggih yang sering dijumpai adalah Palinggih Panunggun Karang dan Palinggih Sedahan Abian, yang memiliki kekuatan untuk menjaga sawah atau ladang. Selain itu, di sawah juga merupakan stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan prabhawanya sebagai Dewi Sri dan menguasai seluruh pertanian dan perkebunan.

Dengan adanya kekuatan Dewa yang ada di sawah, maka petani sebagai pemuja akan senantiasa diberikan anugerah penjagaan hasil panen sawah atau kebun yang mereka miliki. “Jika diulas secara mendalam, adanya penyakit Sempengot sebenarnya mengajarkan kita untuk selalu berusaha sebelum menikmati hasil. bukan mendapatkannya dengan cara tidak baik, “ terangnya.

Dewa yang merupakan pelindung sawah atau ladang, lanjutnya, juga dapat menyebabkan orang yang berniat tidak baik menjadi bingung dan tak tau arah jalan pulang.

Di lain pihak, jika diteliti secara medis, penyakit Sempengot disebabkan oleh kerusakan syaraf di sekitar wajah, khusunya syaraf ketujuh. Syaraf ini mengalami gangguan yang menyebabkan otot bibir dan mata tertarik ke posisi yang tidak normal. Kerusakan syaraf ini dapat disebabkan karena yang bersangkutan jarang menggunakan helm saat berkendara jauh, hal ini dapat menimbulkan suhu dingin pada pipi dan menyebabkan penyakit Sempengot.

Diakuinya, memang sulit menyatukan dua persepsi ini, namun yang menjadi patokan masyarakat, khususya umat Hindu adalah apa yang dilakukan sebelum seseorang terkena Sempengot. Apakah setelah mencuri di ladang atau tidak? Jika ia, maka akan ditafsir penyakit tersebut merupakan ganjaran yang disebabkan oleh kekuatan gaib yang dimasukan ke dalam pohon atau diberikan oleh Dewa penjaga sawah atau ladang. Jika tidak, mungkin itu murni bersifat medis. Namun, pada zaman dewasa ini, penggunaan black magic di sawah atau ladang sudah sangat jarang.

“Selain karena memang lahan persawahan atau ladang sudah menipis, mayarakat sudah mulai enggan untuk melakukan itu,” tutup Kanduk.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber


Kamis, 19 Mei 2022

Candi Tebing, Jejak Yoga Markandhya di Sungai Wos

 


Di wilayah Gianyar terdapat beberapa candi maupun goa yang diyakini sebagai tempat bertapa pada zaman kerajaan dulu. Seperti Candi Tebing yang ada di Banjar Jukut Paku, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Gianyar.

Candi Tebing, menjadi salah satu tempat yang digunakan untuk bertapa oleh Maharesi Markandhya. “Pada zaman kerajaan dulu, beliau datang dari arah selatan melalui aliran Sungai Wos, dan membuat peristirahatan untuk beryoga di Candi Tebing ,” ujar salah seorang tokoh warga setempat, Ida Bagus Putra Pudharta, ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin di Gianyar.

Candi Tebing , lanjutnya, dibuat tepat berada di pinggir Sungai Wos, karena dari arah wilayah Singapadu akan menuju Pura Gunung Lebah yang berada di Ubud. “Mungkin saat itu rombongannya lelah dan memilih untuk beristirahat, sambil membuat tempat beryoga, berupa pertapaan yang di tengah-tengahnya ada candi. Bahkan, juga membuat beberapa tempat permandian berupa pancuran yang ada di pinggirnya. Setelah itu, baru menuju utara ke Pura Gunuh Lebah,” terang pensiunan Guru Agama Hindu ini.

Suasana di Candi Tebing sangat asri sekali, apalagi berada di pinggir sungai dengan bebatuan yang besar.

Untuk mencari Candi Tebing tidak susah, hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit jika berangkat dari Pusat Kota Denpasar. Susuri Jalan Payangan – Denpasar, dari Patung Barong Batubulan lurus ke utara. Sekitar enam kilometer akan menemukan pertamina di Desa Tebongkang, Singakerta. Bila sudah sampai, belok ke kanan menuju setra (kuburan) Desa Singakerta. Nah di Selatan setra akan terpampang papan nama bertuliskan Cagar Budaya Candi Tebing Jukut Paku.

 - JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dari papan nama tersebut, turun sekitar 60 meter, maka akan sampai di candi tersebut.

Ida Bagus Putra Pudharta mengatakan, Candi Tebing saling berkaitan dengan pura penataran yang ada di atas Candi Tebing.

Dikatakannya, Candi Tebing dulunya sebagai pasraman Maharesi Markandhya di sepanjang Sungai Wos.

Candi Tebing, lanjutnya, ada hubungan dengan Goa Raksasa di dekat Pura Gunung Lebah di sebelah barat Ubud. Selain erat terkait dengan Pura Tirta yang berdiri di Desa Negari, Singapadu, Sukawati. “Ketiganya saling berkaitan, merupakan satu jalur dilewati oleh Maharesi Markandhya saat itu. Sehingga sama persis letaknya di pinggir Sungai Wos,” papar pria 60 tahun tersebut.

Candi Tebing diyakini sebagai sthana Siwa Guru dan tempat pemujaan Ista Dewata. Dikarenakan Maharesi Markandhya yang menganut ajaran Siwa ke Bali, membuat Candi Tebing di sekitar aliran Sungai Wos . Dikatakannya, berdasarkan penelitian yang dilakukan ahli arkeologi, Candi Tebing yang berbentuk Wihara sudah didirikan pada abad ke 8 masehi. Wihara merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya karena arealnya sebagai pasraman. Selain itu, juga sebagai tempat pemujaan terhadap sasuhunan yang ada di Pura Penataran Agung Jukut Paku dan digunakan sebagai taman atau beji Pura Penataran.

“Air yang ada di pancuran areal Candi Tebing dapat digunakan untuk masuciang (pembersihan) Ida Sashununan yang ada di Pura Penataran,” ujarnya. Ditambahkannya, warga setempat dan warga dari luar desa juga nunas tirta ke sana.

Biasanya digunakan tirta pamayuh (air suci) untuk menyucikan seseorang dari mala petaka (semua keburukan) saat otonan (hari lahir). “Sering saya lihat, dari warga sini, bahkan ada juga dari luar Desa Singakerta yang nunas trita untuk tirta pamayuh. Mereka tahu dari cerita masyarakat, juga karena dianggap sebagai tempat untuk nunas panugerahan,” terang pria yang bersiap menjadi pedanda ini.

Orang yang suka spiritual pun, lanjutnya, kerap datang saat malam hari bermeditasi mohon diberkati petunjuk. Soal khasiat magis dari air di Candi Tebing, lanjut Gus Pudharta, hingga kini belum ada secara nyata, hanya digunakan sebagai tirta pamayuh saat pelaksanaan otonan saja. Ia juga menjelaskan, bahwa selama satu tahun dilaksanakan dua kali pacaruan untuk pembersihan kawasan suci . Pertama dilaksanakan pada saat menjelang piodalan pada Anggara Kasih Medangsia dan saat sasih kasanga.

Saat piodalan disungsung oleh seluruh banjar yang ada di Desa Adat Singakerta, yang terdiri atas enam banjar, sedangkan pangemponnya hanya dari Banjar Jukut Paku . Di tempat terpisah, Kelihan Dinas Jukut Paku, Desa Singakerta, Gusti Made Wijayana mengaku akan menata ulang areal Candi Tebing karena jalan menuju ke sana sangat miring. Sehingga dibuatkan jalan dengan lebar sekitar tiga meter dan panjangnya sekitar 60 meter. Yang berawal dari parkiran menuju depan Candi Tebing. “Karena belum ada bantuan dari pemerintah, kami hanya menggunakan dana swadaya saja dari warga.

 - JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Agar setiap pelaksanaan piodalan di sini bisa berjalan dengan baik, meski jalan yang kami buat seadanya saja,” papar pria 51 tahun tersebut. Made Wijayana juga mengaku sudah melaksanakan rapat dengan desa setempat. Terkait dengan pengelolaan candi tersebut, karena petugas kebersihannya sudah ada satu orang.

Namun, ia harapkan adalah bantuan dari pemerintah untuk menata dengan baik areal sekitar Candi Tebing karena bisa menjadi objek wisata. “Maunya dikelola sendiri dari desa, tetapi terkendala dana. Makanya fasilitas hanya seadanya ,” terang pria yang baru tiga tahun menjadi kelihan tersebut. Diakuinya ada beberapa orang spiritual yang secara rutin datang untuk bersemai dan malukat di pancuran yang seluruhnya ada 11 pancuran di areal candi tersebut.

Dirinya juga mengatakan, ada atau tidak bantuan dari pemerintah, masyarakat akan terus melaksanakan upakara yang sudah berjalan. “Masyarakat meyakini tempat tersebut memiliki pengaruh yang sangat baik terkait keadaan wilayah desa. Sehingga pacaruan tetap dilaksankan dua kali dalam setahun,” pungkasnya.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber