Rabu, 26 Juli 2023

Dua Jenis Tirta Malukat Penetralisasi Bala, Air Laut Terbaik

 






Ida Peranda Gede Wayahan Wanasari (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, DENPASAR - Malukat merupakan prosesi pembersihan diri, yang biasanya menggunakan air. Selain menggunakan tirta, sumber air juga jadi tempat yang dicari.


Melukat berasal dari Ngelut atau Lukat, yang berarti pembersihan dari sebuah karma yang dibawa sejak lahir.



“Kita lahir di dunia karena ada sebuah karma, maka karma itulah kita perlu bersihkan, salah satunya dengan cara malukat,” terang Ida Peranda Gede Wayahan Wanasari ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di Kantor PHDI Bali, Jalan Ratna, Denpasar, pekan kemarin.


Dijelaskannya, segala bentuk karma yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, karya yang sedang dijalankan, dan karma yang akan dilewati, perlu diharmonisasikan. Dan, sebagai cara paling mudah dengan cara malukat sebagai mengharmonisasikannya, di samping dilengkapi juga dengan sesajen maupun lantunan doa-doa berupa mantra.

Ia juga mengakui dalam proses malukat sebagai bentuk pengembalian badan kasar dan badan halus. Tentu pengembalian secara niskala ke unsur air, badan dibersihkan oleh air. Sedangkan rohani akan dibersihkan kembali oleh puja dan mantra. Maka kedua badan tersebut kena dalam prosesi malukat tersebut.

Peranda Wayahan mengatakan, tempat yang baik untuk malukat pada tempat sumber air suci. “Semua tempat sangat baik, apakah itu di campuhan, pancuran, di air tritisan yang disucikan, atau dari trita panglukat yang dibuat oleh para sulinggih juga bisa. Makanya ada dua jenis, tirta panglukatan pangarga dan tirta panglukatan klebutan,” jelas pria asli Sanur tersebut.

Tirta pangarga adalah tirta yang digunakan untuk malukat, sengaja dibuat oleh sulinggih. Sedangkan tirta panglukatan klebutan secara langsung dari alam. Ia mencontohkan sumber mata air seperti klebutan dari tanah, pancuran yang berasal dari tebing, pertemuan dua sungai dan pertemuan air sungai dan air laut.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dikatakannya, tirta yang paling bagus digunakan untuk malukat adalah tirta yang ada di laut. Sebab dalam laut terdapat berbagai macam pertemuan sumber mata air. Sedangkan tirta yang sengaja dibuat oleh sulinggih juga terdapat dua jenis, yaitu tirta karena nuur oleh pemangku dan dibuat oleh sulinggih.

“Fungsi dari malukat untuk membersihkan diri dari kekotoran, apakah itu kena kepapaan, maupun musibah yang menimpa,” jelasnya.

Tak disanggahnya tidak jarang ada seorang dibayuh beberapa kali, tetapi penyakit atau sifat keraksasaan masih saja melekat pada diri seseorang tersebut. Semua itu, lanjutnya, bahwa orang tersebut masih membawa karmanya yang terdahulu. Sehingga pada masa kehidupannya yang sekarang berapa kali dibayuh akan tetap kelakuannya seperti itu.

Dijelaskannya, terdapat tiga jenis duka yang dibawa sejak lahir. Terdiri atas adiatmika duka, bautika duka, adi mika duka. Ia menyebutkan ada sakit karena bawaan, sakit karena ulah kita sendiri, dan sakit yang tidak tahu penyebabnya. Maka dengan demikian perlu sekali-kali malukat untuk membersihkan diri.

Ditambahkannya, jika malukat di rumah bisa dilakukan di sumur, di depan perantenan, ada juga diklebutan (sumber mata air). Jika anak kecil harus berawal dari sumur terlebih dahulu. Baru dilanjutkan malukat ke depan perantenan. Karena menurutnya, ketika di rumah tempat tersebutlah sumber mata air.

“Karena pada zaman dulu orang belum mengenal pompa air, tahunya sungai, pancuran, dan di rumah sendiri ya sumur sebagai sumber air. Airnya juga ditampung pada sebuah gebeh di dapur. Kalau malukat di dapur yang ditunas adalah Sang Hyang Brahma untuk membersihkan diri,” urainya. Malukat juga tergantung kepada siapa untuk nunas karahayuan, namun pada intinya kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan segala prabawanya. Salah satunya pada dewa-dewa sebagai manifestasinya.

Pada tempat yang berbeda, seoarang walaka, Ida Bagus Puja mengaku sering ngalukat panjaknya, baik itu pada merajan gria sendiri ataupun pada merajan seseorang yang melakukan otonan pabayuhan.

“Kalau melakukan panglukatan di merajan, terdapat dua jenis tirta, yakni dari proses pembuatan dan berasal dari sumber mata air. Entah itu pancuran dengan berjumlah sesuai urip tegak otonan, maupun pada sebuah klebutan,” bebernya.

Dikarenakan setiap orang hari lahirnya berbeda-beda, lanjutnya, maka ketika otonannya harus menggunakan tirta dari pancuran dengan mencari juga jumlah pancuran sesuai uripnya.

" Panglukatan sebagai pembersih jiwa dan raga seseorang. Selain dapat menyegarkan badan kasar,juga menyegarkan jiwa rohani seseorang," pungkasnya.



(bx/ade/rin/yes/JPR)

Selasa, 25 Juli 2023

penggunaan simbol-simbol dalam keterkaitannya dengan energi

 

Nah, akhirnya bisa lanjut bahas mengenai penggunaan simbol-simbol dalam keterkaitannya dengan energi.
Simbol sendiri secara sederhana adalah bentuk yang mewakili suatu maksud tertentu. Jika merujuk secara arti teks maka : Simbol (serapan dari bahasa Belanda: symbool) artinya melempar bersama-sama, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau gagasan objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Sementara dalam KBBI : simbol/sim·bol/ n lambang. Tapikan kita tidak perlu membahas ini secara mendalam.
Dalam praktik supranatural, simbol biasa disebut dengan rajah, sigil, segel, dan lain sebagainya. Pakem yang digunakan juga beragam, ada yang dari dalam negeri sampai mancanegara. Bahkan beberapa film/anime/dsb mengadopsi simbol ini dalam serial mereka terutama jika bertema magic/sihir.
Bagaiaman sih konsep kerja rajah ini? Kita melakukan pendekatan dari sudut pandang ilmiah terlebih dahulu.
0. Konsep Hukum Tarik Menarik, Law Of Attraction.
1. Konsep Mind Power, gelombang otak, gelombang pikiran, kekuatan pikiran.
2. Konsep Bawah Sadar, sadar tidak sadar otak kita selalu memproses apa yang kita liat.
Jika anda mendapat pemahaman bahwa rajah dengan bentuk segi 6 sebagai bentuk/alat perlindungan. Maka saat anda membawa/memiliki rajah dengan simbol yang sama (segi 6) bawah sadar anda menggerakan gelombang otak untuk menyebarkan energi bahwa anda terlindungi. Anda aman dari bahaya dan segala hal negatif. Ini berlanjut ke hukum tarik menarik bahwasanya benar anda akan selamat dan terlindungi.
Contoh lainnya bila pemahaman anda bentuk hati akan meningkatkan aura/kharisma. Saat anda membawa rajah dengan simbol itu, bawah sadar menangkap artinya, lalu diteruskan ke gelombang pikiran dimana anda auranya bagus, bersih dan menyebar ke sekitar. Efek paling cepat adalah anda jadi percaya diri dan mulai membuka obrolan dengan sekitar.
Lalu bagaimana jika dilihat dari sudut pandang mistis Mas Bli?
Nah kalo ini kita bahas besok ya, biar ada yang saya posting besok. 😅

Tanaman Andong

 


Andong
Cordelyna fructicosa
Dracéna kiwi, palmita roja, palmita polynesia.
Tanaman yang disebut andong ini namanya berasal dari kata han juang (China). Tehnya biasa digunakan sebagai obat wasir.
Tapi menurut para botanist ia berasal dari India, Selandia Baru, Polynesia dan Australia.
Andong jg bisa dijadikan minuman seperti teh
Baya kaon simbul Agni Sarwa barak
Om swastyastu,
Om awignamastunamosidyam
Kenyataan lni Sebagai Alasan Kenapa Banten Bayakaon Pakai Daun Andong Abang( merah).
------------------------------------------------------------------
Saya Jro Mangku Sumbu mencoba menulis artikel moga ada manfaatnya – Hampir di setiap upacara yadnya, menggunakan banten Beakala atau Bayakaon. Entah itu Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya hingga Dewa Yadnya( PANCA YADNYA) .Penggunaan banten Beakala wajib ada sebagai sarana penyucian lahiriah.
Banten Bayakaon berasal dari kata Baya dan Kaon. Baya artinya segala sesuatu yang membahayakan. Marabahaya yang bisa terjadi pada setiap upakara yadnya, pralingga, badan manusia, yang menyebabkan gejolak negatif ketika berpikir, berucap dan berprilaku yang bersumber dari egoisme. Sedangkan kata Kaon artinya menghilangkan. Bahkan, dalam Lontar Rare Angon tersurat jelas : “Banten Bayakaon inggih punika maka sarana ngicalang sekancanin pikobet-pikobet sane nenten becik, dumugi sidha galang apadang.”
Maksudnya, banten Bayakaon berfungsi sebagai sarana untuk menghilangkan semua gejolak negatif yang bersumber dari egoisme.

Berdasarkan sastra/ weda saya JRO MANGKU SUMBU menjelaskan, sesuai dengan namanya banten Bayakaon mengandung makna simbolis, yakni bertujuan untuk menjauhkan kekuatan Bhutakala (kekuatan negatif) yang mengganggu umat manusia. “Banten Beakala berfungsi untuk menetralisasi sang Bhutakala. Itu bisa dikatakan sebagai lelabaan (santapan) Sang Bhutakala,”ujar Jro Mangku Sumbu buat umat sedharma dimanapun keberadaannya.
Jro Sumbu menyebut, banten Bayakaon dipergunakan sebagai manggala (upacara pendahuluan), selaku upacara penyucian, baik untuk unsur Bhuana Agung maupun Bhuana Alit. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara lahir dan bhatin. Secara niskala, untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan buruk Bhutakala serta mengembalikan ke sumbernya agar tidak mengganggu jalannya upacara.
Dikatakan Jro Mangku Sumbu, penyucian itu meliputi dua macam. Ada penyucian yang bermakna lahiriah dan ada penyucian yang bermakna rohaniah. Banten Byakala adalah banten yang melambangkan upacara penyucian lahiriah. Sedangkan upacara penyucian rohaniah dilaksanakan dengan menggunakan upakara atau banten Prayascitta. “Banten Bayakaon ini dipergunakan sebagai banten pendahulu, di semua jenis upacara panca yadnya. Itu wajib ada. Jika banten Bayakaon itu untuk penyucian lahiriah, maka penyucian rohanian mempergunakan banten Prayascita,” yang dapat saya terangkan sebagai bekal pencerahan di kemudian hari. Karena itu, saya lanjutkan, banten Prayascita ini selalu menyertai banten Bayakaon, agar penyucian secara jasmani dan rohani bisa dilakukan.
Menurut pandangan saya, ada beberapa komponen yang menyusun banten Bayakaon. Ada Sidi (ayakan bambu) yang di atasnya diletakkan Kulit Sasayut, Kulit Peras Pandan Berduri, Nasi Matajuh dan Matimpuh. Kemudian ada Lis Bayakaon, sampian Padma, Pabersian Payasan dan Sampian Nagasari dari daun Andong Merah berisi Plawa, Porosan, Bunga, Rampe dan Boreh Miyik.
Dikatakan Jro Mangku Sumbu, penggunaan Sidi atau ayakan ini sangat jelas fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Ayakan ini alat untuk menyaring tepung beras untuk mendapatkan tepung yang halus. Hal ini melambangkan tujuan banten Byakala ini adalah untuk menyaring wujud yang kasar menjadi lebih halus.
“Upacara Bayakaon itu untuk meningkatkan sifat-sifat Bhutakala dari yang kasar menjadi lebih halus, untuk membantu manusia dalam menangani berbagai perkerjaan dalam rangka beryadnya,” yang dapat saya jelaskan.
Di atas ayakan itu kemudian diletakan Kulit Sesayut. Kulit Sesayut dibuat dari daun janur yang masih hijau yang disebut Selepan. Jro Mangku Sumbu mengatakan, Sasayut memiliki arti menuju kerahayuan. “Dengan Kulit Sesayut itu telah tergambar bahwa tujuan banten Byakala itu adalah mengubah keadaaan dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Dari yang kotor menjadi bersih dan suci tahap demi tahap,” yang dapat saya terangkan kurang lebih.
Banten Byakala dilengkapi dengan Nasi Matajuh dan Nasi Matimpuh. Nasi ini dibuat dengan nasi dan garam dan lauk pauk lainya. Nasi kemudian dibungkus dengan daun pisang sedemikian rupa, sehingga ada yang berbentuk segi empat (Nasi Matajuh) dan Segi Tiga (Nasi Matimpuh).
“Membungkus nasi dengan lauk pauknya dalam dua bentuk tadi dengan menggunakan daun pisang,” yang dapat saya jelaskan. Nasi dalam dua bentuk itu, lanjutnya, melambangkan isi alam yang dibutuhkan oleh manusia sehari-hari. “Isi alam tersebut patut dilindungi dari pencemaran Bhutakala. Daun pisang yang dijadikan pembungkus itu lambang perlindungan dari pengaruh Bhutakala” dapat saya imbuhkan.
Banten Byakala juga menggunakaan Sampian yang disebut Lis Alit atau Lis Bebuu sebagai Lis Pabyakalaan. Sampian Lis Bebuu ini lambang alam dalam keadaan seimbang. Dalam Sampian Lis ini terdapat beberapa Sampian jejahitan seperti tangga menek, tangga tuwun, jan sesapi, ancak bingin, alang-alang, tipat pusuh, tipat tulud, basang wayah basang nguda, tampak, tipat lelasan, tipat lepas, dan yang lainnya.
“Menurut mantram, tujuan pernggunaan Lis Bebuu ini untuk menghilangkan Dasa Mala, yaitu sepuluh perbuatan yang kotor yang tidak layak dilakukan,” saya / Jro Sumbu jelaskan.
Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah penggunaan sarana daun Andong Merah yang wajib ada saat pembuatan banten Bayakaon. Jro Mangku Sumbu menyebut dalam konsep banten Bayakaon, daun Andong Merah merupakan simbol dari Dewa Brahma.
“Dalam Lontar Taru Pramana dijelaskan, jika daun Andong tersebut memang wajib ada di banten Bayakaon. Jika ada banten Bayakaon yang tidak terdapat panyeneng Andong Merah, maka banten tersebut bukanlah banten Bayakaon. Karena daun Andong tersebut berperan sebagai penolak bala,” saya tegaskan. Selain sebagai sarana upacara, daun Andong Merah, saya ungkapkan, sangat cocok ditanam di pekarangan rumah untuk menolak bala. “Daun Andong Merah cocok untuk penetralisasi pekarangan rumah, karena dapat menolak segala kekuatan negatif yang hendak menyerang rumah,” sebagai tambahan saya.Dan bilamana ada kekurangan penulisan/ penjelasan diatas buat senior saya mohon disempurnakan atas segala kekurangannya.
Penulis,JRO MANGKU SUMBU.


Kamis, 20 Juli 2023

Tempat Suci di Dalam Pekarangan Rumah




Tempat Suci didalam Pekarangan Rumah sangatlah penting dalam kaitannya dengan hubungan umat dengan Tuhan. Sering juga umat menanyakan bangunan/pelinggih apa saja yang mesti dibuat dalam pekarangan rumah tersebut. Menurut beberapa sumber, bangunan/palinggih yang harus ada didalam pekarangan rumah adalah sanggah dan tugu Pangijeng/penunggun karang. Berikut penjelasannya;

Sanggah/Merajan
tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu dan bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat Hindu di Bali disebut dengan merajan atau sanggah. Pembuatan sanggah/merajan tidak sekedar hanya hiasan belaka, namun didasari atas landasan sastra yang menaunginya. Landasan sastra dalam membangun sanggah atau merajan banyak terdapat dalam kitab suci, seperti dalam Bhagawad Gita yang menyebutkan:

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Samkaro narakayaiva
Kulaghnanam kulasya ca
Pantati pitaro hy esam
Lupta-pindodaka-kriyah. (Bhagawad Gita I. 42)
Terjemahan:

Keruntuhan moral ini membawa keluarga dan para pembunuhnya ke neraka, arwah moyang jatuh (ke neraka), semua terpana, air dan nasi tidak ada lagi baginya. (Pudja, 2005: 26).

Penjelasan dari arti sloka diatas:

Bahwa jika keluarga sudah hancur, maka kewajiban keluarga terhadap tradisi dan agama tidak terurus lagi, seperti upacara sradha, dimana dilakukan upacara mengenang jasa-jasa nenek moyang di pitra loka (tempat arwah mereka segera sesudah meninggal sebelum mencapai surga) dengan mempersembahkan sesajen yang terdiri dari makanan, buah-buahan dan lain-lain. Ini berarti bahwasanya adanya tempat suci untuk memuja leluhur sangat diperlukan untuk dapat memuja serta memuliakan arwah leluhur yang akan dan telah disucikan.

Sedangkan di dalam lontar Purwa Bhumi Kemulan antara lain disebutkan:

Yan tan semangkana tan tutug pali-pali sang dewapitra manaken sira gawang tan molih ungguhan, tan hana pasenetanya.

Terjemahan:

Bilamana belum dilaksanakan demikian (belum dibuatkan tempat suci) belumlah selesai upacara yang dewa pitra (leluhur) tidak mendapat suguhan dan tidak ada tempat tinggalnya.

Lebih lanjut di dalam lontar ini dijelaskan :

Apan sang dewapitranya salawase tan hana jeneknya.

Terjemahan:

Oleh karena sang dewa pitara (leluhur) tidak ada tempat menetapnya,

Dapat dijelaskan bahwa upacara ngunggahang dewa pitara (leluhur) adalah untuk menetapkan stana sementara dari dewa pitara (leluhur) pada bangunan pemujaan sebagai simbolis, bahwa dewa piatra telah mempunyai sthana tempat yang setara dengan dewa.

Begitu pula dijelaskan dalam Lontar Nagarakerthagama yang menyebutkan:

Ngka tang nusantarane Balya matemahan secara ring javabhumi, dharma mwang kramalawan kuwu tinapak adeh nyeki sampu tiningkah.

Adapun maksudnya kurang lebihnya menyebutkan bahwa apa yang diterapkan di Bali persis mengikuti keadaan di Jawa terutama berkaitan dengan bentuk bangunan candi, pasraman dan pesanggrahan atau rumah. Yang disebut candi tidak lain adalah parahyangan untuk memuja leluhur.

Begitu pula dijelaskan dalam Lontar Loka Pala yang menguraikan:

“…………….. seperti manusia yang sudah lupa dengan saya, Sayalah yang menyebabkan ada mereka, saya tiada lain adalah Sang Hyang Guru Reka, yang mengadakan seluruh isi jagat raya. Sayalah yang dipuja dengan sebutan Dewa Hyang Kawitan yang beraga Sang Hyang Uma Kala, dan saya jugalah yang dipuja dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ingatlah semuanya. Menjadi satu dalam Rong Tiga, dan sayalah yang mencipta, saya memelihara dan saya jugalah yang melebur ……………….”


BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu BaliKutipan di atas, apabila dipahami, maka berbhakti kepada leluhur melalui merajan dengan rong tiga adalah sebuah keharusan agar kita memperoleh keselamatan dan terhindar dari mara bahaya.

Berdasarkan atas beberapa sumber lontar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembuatan merajan tidak hanya sebatas asal buat saja oleh manusia, melainkan atas rujukan beberapaa sastra seperti yang diuraikan di atas. Hai ini disebabkan merajan adalah sebuah tempat suci untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dan juga para leluhur, beserta Tri Murthi. Seluruhnya adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan merupakan sebuah upaya manusia untuk menuju keadan yang sejahtera.

Secara konvensional, pendirian suatu bangunan, apakah nantinya disebut rumah ataupun palinggih telah diatur sedemikian rupa di lontar asta dewa, asta kosala-kosali dan asta bhumi. Jika mengacu pada petunjuk lontar tersebut, maka pembagian peruntukan lahan selalu berpijak pada ajaran tri hita karana, dimana akan disediakan lahan untuk menghubungkan diri dengan tuhan (uttama mandala) dalam bentuk pendirian sanggah/merajan. Lahan untuk menghubungkan dengan antar sesama (madya Mandala) dalam bentuk perumahan. Dan lahan untuk berinteraksi dengan alam lingkungan (nista mandala) dalam bentuk teba lengkap dengan tanaman dan ternak peliharaan.

Pitra puja yaitu pemujaan kepada leluhur merupakan kewajiban bagi umat hindu sebagai pelaksanaan ajaran pitra yadnya dan erat kaitannya dengan adanya pitra rna.

Secara fisik, terutama bagi umat hindu di bali dan sekarang sudah pula dibawa konsepnya di luar bali, wujud nyatu ditandai denga dari pitra puja itu pendirian sanggah/merajan. Merajan inilah yang berfungsi sebagai tempat suci memuja roh suci leluhur yang telah menjadi dewa pitara (sidha dewata).

Diawal pembuatan sanggah, banyak umat yang menggunakan pepohonan, terutama pohon dapdap yang dipercayai sebagai taru sakti. Sanggah dari pohon dapdap ini sering juga sering disebut sanggah turus lumbung. namun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi maka didirikanlah sanggah permanen. Mengenai batasan waktu penggunaan turus lumbung memang secara mutlak tidak ada ketentuannya. sebab sesuai dengan sifat ajaran agama hindu yang luwes, pengalamannya selalu dikembalikan kepada umat yang bersangkutan, Terutama masalah kemampuan umat untuk membuat sanggah yang permanen atau tidak.

Menurut suratan lontar siwagama dengan tegas menyatakan bahwa setiap keluarga (hindu) dianjurkan untuk mendirikan sanggah kemulan sebagai perwujudan ajaran pitra yadnya yang berpangkal pada pitra rna, selanjutnya di dalam lontar purwa bhumi kemulan ditambahkan bahwa yang distanakan atau dipuja di sanggah kemulan itu tidak lain adalah dewa pitara atau roh suci leluhur.

Dengan berpijak pada 2 lontar diatas, jelas bahwa syarat minimal untuk membangun tempat suci di sebuah rumah tangga adalah adanya bangunan/palinggih kamulan yang secara fisikmerupakan bangunan merong telu (memiliki tiga ruangan). Namun menurut lontar asthabhumi, palinggih lengkap untuk tempat suci keluarga adalah padma sari, kemulan , taksu dan anglurah plus jika memungkinkan piyasan. Hanya saja dalam prakteknya padmasari tidak selalu didirikan.

Tetapi bagi masyarakat perantauan untuk tetap memelihara hubungan kekrabatan dengan keluarga induk, disamping dengan lahan memang sempit bias mendirikan palinggih padmasari saja.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Padmasari
adalah suatu bangunan/palinggih yang ditempatkan di timurlaut dimana pada bagian diatasnya dibuat terbuka dan pada bagian tabing mahkota dipahat lukisan/relief hyang acintya. Fungsi padmasari adalah sebagai tempat pengayatan (pemujaan) Hyang Widhi dan bhatara-bhatari. Dengan demikian Padmasari selain amat cocok bagi keluarga dengan lahan sempit, yang penting lagi wujud bakti kepada leluhur tetap bias dilaksanakan.

Sanggah Kemulan - Taksu
merupakan tempat berstananya bhatara hyang guru, yang juga merupakan tempat pemujaan/pengayatan Tri Murti. Ini sesuai dengan bunyi mantra saat muspa di hadapan rong tiga; “om brahma wisnu iswara dewam……” selain itu Fungsi sanggah kemulan adalah sebagai tempat suci untuk memuja Bhatara-bhatari leluhur atau dewa pitara, sedangkan kedudukanny sebagai pura kawitan yaitu tempat suci pemujaan dimana para penyungsungnya terikat dalam satu garis keturunan.

Selain sanggah kemulan, yang termasuk ke dalam pura kawitn yaitu pura paibon, panti dan pedarman. Bedanya, lingkup penyungsung sanggah kemulan lebih terbatas yaitu keluarga inti terdekat yang masih serumah atau senatah (beberapa rumah dalam satu halaman).

Sedangkan pura kawitan yang lain, dalam lontar siwagama disebutkan, apabila keluarga inti sudah berkembang menjadi 10 keluarga hendaknya mendirikan pelinggih hedong pertiwi, jika sudah menjadi 20 keluarga hendaknya mendirikan palinggih ibu, dan kalau sudah mencapai 40 keluarga membangun pura panti. Akhirnya pura kawitan (yang fungsinya sebagai pemersatu dari keluarga – keluarga yang satu sama lain memiliki ikatan keturunan meski berasal dari keturunan jauh sekalipun) disebut pura pedharman. Di pura pedharman inilah seseorang akan mengetahui bahwa walaupun dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak saling mengenal, ternyata mereka berasal dari keturunan yang sama. Ibarat ranting – ranting pohon yang tidak saling bersentuhan , tetapi kesemua ranting berpangkal pada akar yang sama (satu).

Palingih Penglurah atau Ratu Ngurah
merupakan linggih bhatara kala sebagai pengatur hidup dan penguasa ruang waktu. juga disebutkan sebagai stana sang catur sanak.

Palinggih Pangijeng/Panunggun Karang
Konsepsi ketuhanan dalam agama hindu membenarkan adanya pemujaan ista dewata yaitu manifestasi hyang widhi yang diinginkan kehadirannya dalam pemujaan pada suatu palinggih dan atau pura. Oleh karena itu, maka apa yang disebut tugu atau penunggu karang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari konsep tersebut. Sesuai dengan namanya, fungsi panunggun karang adalah sebagai penjaga karang atau palemahan beserta penghuninya agar senatiasa berada dalam lindunganNya, tentram, rahayu sekala niskala.

Mengenai pendirian palinggih yang disebut dengan tugu dengan berbagai jenisnya sesuai dengan lontar asta dewa, asta kosala-kosali dan asta bhumi, ternyata tidak selalu harus berada di lahan uttama mandala.

Setelah dicermati petunjuk lontar diatas, diketahui bahwa terdapat 5 jenis tugu;
yang apabila bentuk lahan mengarah timur-barat makan penempatannya 2 jenis tugu di lahan uttama mandala (areal sanggah/merajan) yaitu tugu penyarikan, di posisi tenggara menghadap ke barat, dan tugu anglurah sedan dengan posisi di baratlaut menghadap keselatan.
Di lahan madya mandala, juga terdapat 2 jenis tugu, yaitu tugu ajaga-jaga berkedudukan di pintu masuk bagian kanan menghadap ke barat dan tugu (surya) pangijeng natah berkedudukan di tengah-tengah natah (pekarangan) menghadap kebarat/selatan.
Dan akhirnya di lahan nista mandala terdapat jenis tugu yaitu tugu panunggun karang terletak di barat laut menghadap ke selatan.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Ki Balian Batur - Raja Leak di Pesisir Timur Bali




Grubug Agung Di Pesisir Timur Kerajaan Mengwi
Dikisahkan sekitar awal tahun 1700 M ada seorang termashyur kesaktiannya tentang ilmu hitam keturunan Sengguhu Bintang Danu, karena mendapatkan penugrahan Ida itu Hyangning Hulundanu Batur orang ini kemudian dikenal dengan nama Ki Balian Batur, bertempat tinggal di dusun Teledunginyah, di sebelah Barat desa Cau. Mempunyai asrama wilayah di desa Ketegan Alas Kedangkan di dekat abian timbul, sekarang dikenal dengan nama Banjar Rangkan Desa Ketewel Sukawati.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Sosok Ki Balian Batur seorang lelaki berambut panjang, dengan kebiasaan apabila mencuci rambutnya pergi ke Alas Rangkan untuk mengeringkannya. Ki Balian Batur banyak mempunyai sisya (murid), salah satu muridnya yang terkemuka adalah I Gede Mecaling.

Merasa dirinya ditantang oleh Kerajaan Mengwi yang dengan senjata lengkap memasuki wilayahnya, disamping karena adanya penghinaan prajurit kerajaan mengwi yang menghina Anaknya ditudah berdagang dengan menyebarkan ilmu leak dengan ilmu hitamnya, Ki Balian Batur memerintahkan semua muridnya melakukan penyerangan terhadap kekuasaan kerajaan Mengwi dibawah rajanya I Gusti Agung Putu yang juga bergelar Cokorda Sakti Blambangan.

Murid-murid Ki Balian Batur mulai melakukan penyerangan dengan menciptakan epidemi (grubug) di pesisir Timur kekuasaan kerajaan Mengwi, sehingga banyak rakyat Mengwi di desa Cau sampai ke desa Keramas seketika sakit dengan gejala-gejala muntaber dan berkahir dengan kematian tanpa putus-putusnya.

Sebab itu Anglurah Taro mempermaklumkan kepada Raja Mengwi. Mengetahui hal itu I Gusti Agung Putu menjadi murka. Kemudian Raja Mengwi bersama rakyat pilihannya dipimpin oleh Ki Gumiar Bandesa Mengwi kemudian bersiap – siap menyerang Ki Balian Batur dusun Teledunginyah. Di Desa Keramas, Raja Mengwi membuat kemah dan disana bersama – sama menyerang Ki Balia Batur

I Gusti Agung Putu beserta laskar Mengwi kebingungan menghadapi lawan yang bersifat gaib. Di dalam serangan ini, beberapa murid Ki Balian Batur berhasil dibunuh. Namun Ki Balian Batur tidak apat dibinasahkan. Terjadilah pertempuran sengit antara Ki Balian Batur dengan rakyat mengwi pimpinan Bendesa Gumiar dari Mengwi. Ketika itu Ki Balian Batur menyerukan kepada Raja Mengwi, bahwa ia tidak bisa dibunuh dengan keris pusaka milik Raja Mengwi.

Akhirnya terdengarlah suara di angkasa, yang memberitahukan I Gusti Agung Putu. Bahwa Ki Balian Batur hanya dapat ditundukkan dengan bedil Ki Narantaka dengan peluru Ki Seliksik milik I Dewa Agung Klungkung.


Mendengar wahyu tersebut I Gusti Agung Putu mundur dari pertempuran dan segera berangkat ke istana Smarajayapura Klungkung menghadap Dewa Agung Jambe, serta memberitahukan maksud kedatangannya. Dewa Agung Jambe berkenan memberikan Ki Narantaka dengan peluru Ki Selisik, tetapi mengutus Puteranya Dewa Agung Anom Sirikan untuk melaksanakan tugasnya membunuh Ki Balian Batur beserta para sisyanya. Dalam Persiapan penyerangan Dewa Agung Anom dibuatkan asrama di pinggir Alas Kedangkan.

Singkat cerita Dewa Agung Anom bersama Gusti Agung Putu dan Ki Bendesa Gumiar kembali menyerang Teledu Nginyah. Maka terjadilah pertempuran sengit antara Raja Mengwi melawan Ki Balian Batur.

Dengan tidak membuang kesempatan, beliau mengangkat bedil Ki Narantaka dan menembak kan peluru Ki Selisik tepat mengenai kuku ibu jari Ki balian Batur, tembus sampai ke kepalanya. Ki Balian Batur akhirnya gugur dengan meninggalkan pesan agar sebagian wilayah Mengwi diberikan kepada Dewa Agung Anom sebagai balas jasa kepada I Gusti Agung Putu. Apabila tidak maka sukma Ki Balian Batur tidak akan henti-hentinya membuat grubug di bumi Mengwi.
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Setelah Ki Balian Batur wafat, Cokorda sakti Belambangan mendirikan Perhyangan di Rangkan Sukawati diberi nama Arjakusuma. Selain itu raja juga membangun pesanggerahan bersama Jro Kangin. Lokasi perhyangan dengan Jro tersebut bersanding, kemudian perhyangan tersebut diberi nama Pura Penataran Agung tempat pemujaan raja Klungkung, Raja Mengwi, warga Brahmana, Rsi Siwa Buddha, para anglurah dan seluruh rakyat.

I Gede Mecaling setelah mendengar pesan dari Ki Balian Batur, I Gusti Agung Putu berangkat Ke Smarajayapura Klungkung memohon agar Dewa Agung Anom diperkenankan tinggal di Baturan, di desa Timbul menjadi pacek menduduki wilayah Mengwi dengan batas-batas:


Utara sampai pegunungan Batur,
Selatan sampai di laut,
Timur sampai di sungai Ayung, dan
Selatan sampai di sungai Pakerisan.
Permohonan Anglurah Mengwi ini juga dikabulkan oleh Dewa Agung Klungkung.

Adapun perjalanan beliau didampingi oleh beberapa orang, diantaranya terdapat tenaga yang cukup mahir, seperti:


I Dewa Babi, ahli di bidang ilmu pengiwa dan penengen
Kyai Batu Lepang, mahir di bidang politik dan strategi
Ki Pula Sari, ahli di bidang upakara
Diceritakan sekarang salah seorang murid terkemuka Ki Balian Batur bernama I Gede Mecaling, anak ke empat dari Dukuh Jumpung yang tinggal di Tegallinggah Banjaran Jungut, di desa Baturan. I Gede Mecaling memiliki sifat usil suka mengganggu orang yang datang ke desa Baturan dengan menggunakan kedigjayaan ilmu hitamnya.

Dewa Agung Anom mendengar hal tersebut memerintahkan kepada Dewa Babi dan Kyai Batu Lepang untuk menuntaskan membebaskan bumi Timbul dari ilmu hitam. Singkat cerita Dewa Babi dan I Gede Mecaling sepakat mengadu kesaktian, dengan menggunakan sarana Babi Guling. Ada dua pilihan tali, yaitu tali benang dan tali kupas (tali dari pohon pisang). Dewa Babi memilih tali benang dan I Gede Mecaling memilih tali kupas. Kaki belakang dan depan babi guling diikat lalu dipanggang sampai matang. Dewa Babi dan I Gede Mecaling sama – sama memusatkan pikiran, ternyata tali kupas putus sebelum Babi Guling matang. Berarti ini merupakan kekalahan I Gede Mecaling dan harus pergi meninggalkan bumi Timbul sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

Sebelum memenuhi perjanjian tersebut I Gede Mecaling menuju ke suatu tempat untuk meninjau daerah yang akan dituju. Tempat untuk melihat atau meninjau daerah yang akan dituju disebut Peninjoan sekarang. Dari tempat ini I Gede Mecaling melihat daerah tujuannya yaitu: desa Jugut Batu, Nusa Penida.

Demikianlah sekilas tentang Ki Balian Batur - raja Leak di pesisir Timur Bali. semoga bermanfaat.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Yadnya Yang Efektif, Efisien, Praktis dan Satwika





Yajna yang Efektif, Efisien, Praktis dan Sattvika

“Kramanya sang kuningkin akarya sanista, madya, uttama. Manah lega dadi ayu, aywa ngalem druwenya. Mwang kemagutan kaliliraning wwang atuha, away mengambekang krodha mwang ujar gangsul, ujar menak juga kawedar denira. Mangkana kramaning sang ngarepang karya away simpanging budhi mwang krodha”
artinya:
Tata cara bagi mereka yang bersiap-siap akan melaksanakan upacara kanista, madya atau uttama. Pikiran yang tenang dan ikhlaslah yang menjadikannya baik. Janganlah tidak ikhlas atau terlalu menyayangi harta benda yang diperlukan untuk yajna. Janganlah menentang petunjuk orang tua (orang yang dituakan), janganlah berprilaku marah dan mengeluarkan kata-kata yang sumbang dan kasar. Kata-kata yang baik dan enak didengar itu juga hendaknya diucapkan. Demikianlah tata-caranya orang yang akan melaksanakan yajna. Jangan menyimpang dari budhi baik dan jangan menampilkan kemarahan. (Sumber: Lontar Dewa Tattwa)

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Yajna dalam bahasa Sanskerta adalah suatu bentuk persembahan yang didasarkan atas keikhlasan dan kesucian hati. Persembahan tersebut dapat berupa material dan non-material. Ketika manusia mempersembahkan sesuatu tentunya membutuhkan pengorbanan, seperti waktu, finansial, pemikiran,dan benda atau harta yang lainnya. Itulah sebabnya mengapa Yajna sering dikatakan sebgai pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas. Persembahan yang berwujud dapat berupa benda-benda material dan kegiatan, sedangkan persembahan yang tidak berwujud dapat berupa doa, tapa, dhyana, atau pengekangan indria dan pengendalian diri agar tetap berada pada jalur Dharma. Persembahan dikatakan suci karena mengandung pengertian dan keterkaitan dengan Brahman. Dalam Rgveda disebutkan bahwa “Sang Maha Purusa (Brahman) menciptakan semesta ini dengan mengorbankan diriNya sendiri. Inilah yang merupakan permulaan tumbuhnya pengertian bahwa Yajna yang dilakukan oleh manusia adalah dengan mengorbankan dirinya sendiri”. Sehingga setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan semestinya ditujukan semata-mata hanya untuk Brahman, karena sesungguhnya apa yang ada ini adalah milikNya.

Dalam Bhagavadgita XVII.11-13, disebutkan bahwa untuk dapat mewujudkan sebuah Yajna yang memiliki kwalitas yang sattvika, maka perlu diperhatikan beberapa hal yaitu:

Sraddha: yajna harus dilakukan dengan penuh keyakinan
Aphala: Tanpa ada motif untuk mengharapkan hasil dari pelaksanaan yajna yang dilakukan karena tugas manusia hanya mempersembahkan dan dalam setiap yajna yang dilakukan sesungguhnya sudah terkandung hasilnya.
Gita: ada lagu-lagu kerohanian yang dilantunkan dalam kegiatan yajna tersebut.
Mantra: pengucapan doa-doa pujian kepada Brahman.
Daksina: penghormatan kepada pemimpin upacara berupa Rsi yajna
Lascarya: yajna yang dilakukan harus bersifat tulus ikhlas
Nasmita: tidak ada unsure pamer atau jor-joran dalam yajna tersebut.
Annaseva : ada jamuan makan – minum kepada tamu yang datang pada saat yajna dilangsungkan, berupa Prasadam/lungsuran, karena tamu adalah perwujudan Brahman itu sendiri ) “Matr deva bhava Pitr deva bhava, athiti deva bhava daridra deva bhava artinya; Ibu adalah perwujudan Tuhan, Ayah adalah perwujudan Tuhan, Tamu adalah perwujudan tuhan dan orang miskin adalah perwujudan Tuhan.
Sastra: setiap yajna yang dilakukan harus berdasarkan kepada sastra atau sumber sumber yang jelas, baik yang terdapat dalam Sruti maupun Smrti.


Di samping sumber di atas, dalam Manavadharmasastra VII.10 juga disebutkan bahwa setiap aktivitas spiritual termasuk yajna hendaknya dilakukan dengan mengikuti;
Iksa: yajna yang dilakukan dipahami maksud dan tujuannya
Sakti: disesuaikan dengan tingkat kemampuan baik dana maupun tingkat pemahaman kita terhadap yajna yang dilakukan sehingga tidak ada kesan pemborosan dalam yajna tersebut.
Desa: memperhatikan situasi dimana yajna tersebut dilakukan termasuk sumber daya alam atau potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut.
Kala: kondisi suatu tempat juga harus dipertimbangkan baik kondisi alam, maupun umat bersangkutan.
Tattva: dasar sastra yang dipakai sebagai acuan untuk melaksanakan yajna tersebut, dalam Manavadharmasastra II.6 ada lima sumber hukum hindu yng dapat dijadikan dasar pelaksanaan yajna, yaitu: Sruti, Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastusti.Jadi beryajna tidak mesti besar dan megah, apalah artinya kemegahan dengan menghabiskan banyak dhana tapi tidak dilandasi oleh prinsip yajna yang telah tetuang pada susastra Veda. Kecil, sederhana dan segar, bila dilandasi oleh kemurnian; yajna seperti inilah yang harus dilakukan dan disosialisasikan terus. Beryajna tidak mesti membuat upakara / sesajen, sesuai dengan pesan Shri Krshna dalam Bhagavadgita IV.28 ditegaskan bahwa beryajna dapat dilakukan dengan: Beryajna harta milik/kekayaan (drveya), dengan mengendalikan seluruh indria (tapa), dengan pengetahuan (brahma/jnana), dengan doa-doa dan bimbingan kerohanian (yoga), dan dengan menggunakan tubuh ini sebagai arena pemujaan dan pelayanan (svadhyaya) serta memeberikan perlindungan kepada mahluk yang lebih lemah (abhaya).

Jika prinsip-prinsip yajna ini dapat dilakukan tentunya yajna tersebut akan mendatangkan manfaat yang besar bagi manusia dan mahluk yang lainnya, baik kaitannya dengan kehidupan jasmani maupun peningkatan kwalitas rohani umat yang Dharmika.
Avighnamastu !!

Oleh: I Wayan Sudarma (Shri Danu Dharma P), stahdnj.ac.id

Sabtu, 15 Juli 2023

Filosofis dan Persembahan Penuh Makna dari Segehan




Segehan merupakan salah satu ritual Bhuta Yadnya.
Kata segehan, berasal kata "Sega" berarti nasi (bahasa Jawa: sego).
Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Segehan artinya "Suguh" (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).

Bhuta Kala dari kaca spiritual tercipta dari akumulasi limbah pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, yang dipelihara oleh kosmologi semesta ini. Jadi segehan yang dihaturkan di Rumah bertujuan untuk mengharoniskan kembali kondisi rumah terutama dari sisi niskalanya, yang selama ini terkontaminasi oleh limbah yang kita buat. Jadi Caru yang paling baik adalah bagaimana kita dapat menjadikan rumah bukan hanya sebagai tempat untuk tidur dan beristirahat, tapi harus dapat dimaknai bahwa rumah tak ubanya seperti badan kita ini.

Segehan dihaturkan kepada aspek SAKTI (kekuatan ) yaitu Dhurga lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Segehan dan Caru banyak disinggung dalam lontar KALA TATTVA, lontar BHAMAKERTIH. Kalau dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam). dan menghaturkan persembahan ditempat tempat terjadnya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.

Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.

Macam - Macam Segehan :

Segehan Kepel Putih

Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. taledan = segi 4, melambangkan 4 arah mata angin.
Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan rwa bhineda
Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).
Diatasnya disusun canang genten.
Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.Segehan Kepel Putih Kuning
BACA JUGA
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di BaliSama seperti segehan kepel putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.


Segehan Kepel Warna Lima
Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun.
segehan kepelan manca warna, disamping di pakai dalam ritual bhuta yadnya saat kajeng klion, juga sering digunakan oleh krama bali yang menekuni ajaran kanda pat bhuta, yang merupakan tahap awal belajar tenaga dalam spiritual bali. khusus untuk banten segehan kepelan manca warna ini dibuat dengan cara khas, yakni dengan menggambil gegenggam nasi sesuai warna, yang kemudian dikepalkan sekuat tenaga, hanya dalam sekali kepalan saja, dan bagaimanapun hasil kepalannya, itulah yang dijadikan nasi kepal ini, sehingga kadang kala, hasil kepalannya kurang bagus, baik pecah ataupun agak hancur (rapuh). nasi kepal ini di buat dengan 5 warna, yang diupayakan menggunakan pewarna alami:

Putih - Ketan. atau nasi putih
Merah - Beras merah. atau nasi dengan pewarna dari campuran air parutan kunyit dengan sedikit kapur (pamor)
Kuning - Beras, atau nasi dengan pewarna dari air parutan kunyit
Hitam - Ketan hitam (injin). atau nasi dengan pewarna hitam/arang,
Panca Warna - Gabungan 4 warna beras diatas.Segehan Cacahan
segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih.
kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih;

5 Tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
1 Tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
1 Tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
Kemudian diatas disusun dengan canang genten.Kalau menggunakan 11 (sebelas) tangkih :

9 Tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin.
1 Tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
1 Tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
Kemudian diatas disusun dengan canang genten.Ke-empat jenis segehan diatas dapat dipergunakan setiap kajeng klion atau pada saat upacara – upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan.

Segeh Agung
Merupakan tingkat segehan terakhir. segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara bhuta yadnya yang lebih besar lainnya. adapun isi dari segeh agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara).

Adapun maksud simbolik banten ini yaitu :

Alasnya ngiru/ngiu, merupakan kesemestan alam
Daksina, simbol kekuatan Tuhan
Segehan sebanyak 11 tanding, merupakan jumlah dari pengider-ider (9 arah mata angindan arah atas bawah) serta merupakan jumlah lubang dalam tubuh manusia diantaranya; 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut, 1 lubang dubur, 2 lubang kelamin serta 1 lubang cakra (pusar).
Zat cair yaitu arak (putih/Iswara), darah (merah/Brahma), tuak (kuning/Mahadewa), berem (hitam/Wisnu) dan air (netral/siwa).
Anak ayam, merupakan symbol loba, keangkuhan, serta semua sifat yang menyerupai ayam
Api takep, api simbol dewa agni (baca: Agni Hotra versi Bali) yang menghancurkan efek negatif, dan bentuk + (tampak dara) maksudnya untuk menetralisir segala pengaruh negatif.Adapun tata cara saat menghaturkan segehan yang harusnya setiap Orang Bali Wajib Ketahui adalah

Pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep,
Kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, di taruh mengikuti arah mata angin,
Kemudian anak ayam di putuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi.
Telor kemudian dipecahkan, di”ayabin”
Kemudian ditutup dengan tetabuhan.

Sumber : cakepane.blogspot.com