Senin, 14 Agustus 2023

TUMPEK KUNINGAN

 


Tumpek Kuningan jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan, Tumpek ini merupakan satu satunya yang paling
“ SPESIAL ” karena dalam melaksanakan upacara harus selesai dilaksanakan sebelum “ TENGAI TEPET ” atau jam 12.00 siang. Bandingkan dengan Tumpek Landep, Tumpek Wariga,Tumpek Krulut,Tumpek Uye dan Tumpek Wayang sama sekali tidak ada aturan harus selesai sebelum jam 12.00
Mengapa demikian?
Tumpek Kuningan ini adalah hari terakhir di Wuku Kuningan dan besoknya sudah memasuki WUKU LANGKIR , tepatnya Redite Umanis Langkir. LANGKIR adalah wuku yang dilindungi oleh BHATARA KALA, Sesuai dengan namanya, KALA adalah WAKTU, beliau adalah SANG PENGUASA WAKTU DALAM KEHIDUPAN.
Sujatinya itulah yang menyebabkan sebisa mungkin kita seharusnya selesai sebelum jam 12.00 , Karena tujuannya adalah untuk menghormati beliau BHATARA KALA , KALA atau WAKTU adalah hal yang paling susah ditebak ( Relative).
Jika kita menggunakan waktu dengan baik maka akan menjadi BHATARA KALA sedangkan kalau kita tidak
menggunakan waktu dengan baik maka akan menjadi BHUTA KALA .
Leluhur kita mengajarkan dan
mengingatkan kita agar selalu
memanfaatkan / mengelola waktu dengan baik ( Time Management ), Optimalkan waktu dalam hidup
sehingga kita dapat mengatur ;
• Kapan waktu untuk beragama / upacara,
• Kapan waktu untuk bekerja / usaha
• Kapan waktunya untuk istirahat /
social life.
Sehingga menghasilkan keseimbangan dalam hidup baik dalam Bhuana Agung maupun Bhuana Alit.
Sebagai Tonggak Pemujaan Khusus, Kuningan bahkan lebih “RUMIT ” dan “ RIMIT ” dibandingkan dengan Galungan.
Seperti sarana ;
• TEBOG ,
• SELANGI ,
• CENIGA, dengan daun kayu
sedikitnya lima macam,
• TAMIANG,
• TER,
• ENDONGAN,
• SAMPIAN GANTUNG,
• TUMPENG KUNING ,
• NASI KUNING ,
• SODAN,
• SEGEHAN , dll.
Dan semua sarana tersebut sebelum dihaturkan mesti dikuningkan dan disucikan dengan sarana Gerusan /
Tumbukan DAUN INTARAN dan KUNYIT yang diisi air.

Dalam SUNARIGAMA ,
Pada hari Saniscara Kliwon wara Kuningan Sang Hyang Mahadewa diikuti oleh para Dewa dan Pitara (Leluhur) turun dari “Kayangan” menuju “Mercapada” untukMesuci dan Amukti Sarining Banten”.
Oleh karena itu, Sang Gama Tirtha di Mercapada menyambut kehadiran “Bhatara” dan “Pitara” dengan persembahan Pesucian, Canang wangi, disertai “Selangi”, “Tebog”, Haturan sesaji, dan Segehan, sebagai simbol TAPA dan KETULUSAN memuja Hyang Maha Suci untuk memohon AMERTA, KEMAKMURAN , KEPRADNYANAN / KEBIJAKSANAAN.
Pada hari Kuningan bangunan agar “Mesawen” dipasangi “Tamiang” ( Tameng / Pelindung) sebagai tanda kemeriahan dan keindahan menyambut kehadiran Bhatara dan Pitara di Mercapada.
“Tamiang” dan “Ter” juga sebagai simbol memohon perlindungan dan
keselamatan kehadapan Bhatara dan Pitara.
Sang Gama Tirtha juga melaksanakan “Prayascita”memohon penyucian diri kehadapan Betara dan Pitara dengan Sesayut Prayascita disertai ;
HENING “ADNYANA ” / BHATIN .
1. TAMIANG memiliki dua makna simbolik yaitu :
• Sebagai PERLINDUNGAN atau
PERTAHANAN dari berbagai
serangan.
• Sebagai Perputaran Waktu atau
Roda Waktu yang terus berputar
untuk mengungkap kebenaran.
Memiliki Karakter yang Baik, selalu bersikap Tenang, tanpa mengeluh, Disiplin dengan menyadari Perputaran
Roda Waktu dan memiliki Rasa Syukur dan Bhakti yang tinggi adalah senjata yang terbaik . Siapapun yang memiliki ini akan mengalami kesuksesan .
2. TER adalah simbol PANAH atau SENJATA. Makna simboliknya adalah untuk Selalu Siaga menggunakan
modalitas di dalam diri manusia seperti Pengetahuan, Kebijaksanaan, Pikiran, Kecerdasan, Perasaan, Intuisi dan Modalitas diri lainnya.
3. ENDONGAN adalah simbolLOGISTIK . Berbagai perlengkapan dalam perang yang tentunya dalam konteks ini bermakna untuk selalu siaga melawan musuh dengan memperkuat ketahanan diri. Musuh dimaksud adalah ADHARMA atau KETIDAK-BENARAN, utamanya lagi untuk memerangi musuh-musuh yang ada di dalam diri sendiri.
Endongan yang UTAMA adalah memiliki, BHAKTI dan JNANA, serta KARAKTER yang mulia.
4. SAMPIAN GANTUNG merupakan makna simbolik dari PENOLAK BALA . Alam buana alit (microcosmos) dan
alam buana agung (macrocosmos), kedua-duanya dalam kemurnian. Penolak bala yang dimaksud adalah untuk meletakkan komitmen diri untuk selalu menjaga dengan penuh Kesadaran, Kelestarian, Karakter diri, Lingkungan Fisik, Sosial dan Budaya yang baik.
TAMIANG , TER , KOLEM dipasang pada semua Palinggih, Bale, dan Pelangkiran, sedangkan ENDONGAN dipasang hanya pada Palinggih dan Pelangkiran.
Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna PUTIH diganti dengan Tumpeng berwarna KUNING yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan KUNYIT yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun
PANDAN HARUM
WARNA KUNING yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna ;
• KEBAHAGIAAN,
• KEBERHASILAN, dan
• KESEJAHTERAAN.
Pahamilah juga anak anakKu sekalian ...... !!!
Bahwa SANGHYANG SIWA menjadi KLIWON , dan saat itu juga IBUMU diikuti oleh para KALA dan DENGEN
yang berupa JOTI . Jika pada saat itu AKU tidak datang , tidak mungkin lagi berubah wujud menjadi DURGGA ,
saat itu Kliwon , NAWA SUJI juga bertemu dengan HYANG BRAHMA sehingga menjadi KAJENG KLIWON .
Jika ada yang yang berdoa ......
Semoga BERHASIL apa yang ia lakukan.
KLIWON sebagai JALANNYA : D E W A Dan juga BHUTA KALA DENGEN
®Warih Mula Keto


Jumat, 11 Agustus 2023

Fungsi Kahyangan Tiga Dalam Desa Adat

 







Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Het Godsdienstig Karakter Der Balische Dorpsgemeenschap”, R. Goris mencatat bahwa ciri religius dari desa adat di Bali dibentuk oleh tiga unsur fundamental yaitu:
Sejumlah tempat suci desa (Pura-Pura desa) sebagai tempat pemujaan;
susunan kepengurusan desa (prajuru desa) yang selalu dikaitkan dengan fungsi-fungsi keagamaan;
Berbagai upacara seremonial (upakara)yang konsisten dilakukan oleh desa.

Sejak awal, Maharesi Maharkadia telah memberikan pedoman pada masyarakat Bali bahwa di tempat utama desa seyogyanya dibangun tempat suci desa untuk memuja Tuhan (…tur hana kahyangan patut pauluaning desa-desa) selanjutnya ditegaskan desalah yang wajib mengurus tempat suci desa (desa ika ne wenang mikukuhin parhyangan desa).

Dicatat oleh Goris, pada mulanya pembentukan sebuah desa adat selalu ditetapkan tiga tempat secara khusus yakni :
suatu tempat untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan dan roh-roh leluhur pendri desa;
sebuah tempat untuk melaksanakan penguburan dan upacara kematian beserta kompleks pemujaan terhadap roh-roh yang masih kotor (dalam wujud pirata);
suatu tempat untuk melakukan pertemuan baik bagi pengurus desa maupun bersama-sama warga desa.


Untuk tempat yang pertama selalu diusahakan suatu tempat yang lebih tinggi dari desa. Tempat ini merujuk ke arah gunung atau kaja. Di sinilah kemudian dibuat tempat suci pusat atau asal yang difungsikan untuk memuju Tuhan dalam perwujudannya sebagai dewa pelindung alam dan para roh suci leluhur yang telah menjadi Dewa. Tempat suci inilah kemudian disebut “Pura Puseh”, dan merupakan “tempat suci alam atau (Upper Worldly Temple).

Bagi tempat yang kedua dimana pada tempat itu digunakan untuk prosesi kematian (setra) dan tempat suci untuk memuja Tuhan dalam perwujudan sebagai dewa kematian, akan selalu dicari tempat yang lebih rendah dari desa atau sering disebut ke arah laut (kelod). Tempat suci ini kemudian disebut pura Dalem, yang merupakan tempat suci alam bawah (Nether Worldly Temple). Pura Dalem difungsikan untuk melakukan penyucian terhadap roh (Sang Hyang Dalem).

Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, Roh tidaklah secara serta merta menjadi suci setelah manusia mati. Begitu manusia meninggal dipercaya bahwa roh atau jiwanya masih berada pada alam bawah dalam bentuk Pirata. Baru setelah dilakukan proses upacara penyucian di Pura Dalem rohnya akan menjad| suci dan terangkat dari alam bawah menuju alam atas. Di Tempat Suci (Pura Dalem) ini yang dipuja adalah Dewa penguasa Kematian yang akan memberi restu (panugrahan) untuk menyucikan roh-roh dari warga desa yang telah meninggal.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Untuk tempat pertemuan desa, warga desa (Krama Desa) memilih tempat di tengah-tengah dari wilavah koloni desa, misalnya sering ditemui dekat persimpangan jalan atau tempat dimana Pasar Desa terletak, tempat ini berupa pavilion (Balai, Bale) dimana pada masa yang lalu dipergunakan untuk tempat mangkal pemuda pemudi desa (Truna-Truni), tempat menginap bagi para pelancong luar desa. Di samping itu digunakan juga sebagai tempat pengukuhan (inisiasi) menjadi krama desa. Pusat desa yang memiliki multi fungsi ini, berkembang menjadi Tempat suci yang disebut “Pura Bale Agung”, sebagai tempat melakukan pertemuan. V.E Korn menggambarkan Pura ini sebagai “the sacral men’s house”.

Pada desa-desa tua hampir seluruhnya memiliki tiga jenis tempat suci ini. Hanya saja dalam penempatannya terdapat beberapa variasi. Misalnya Pura Puseh ditempatkan sebagai bagian dari Pura Bale Agung atau sebaliknya. Di daerah Buleleng Pura Puseh dan Pura Bale Agung dijadikan satu kesatuan ke dalam Pura Desa.

Pada tipe Pura Dalem yang sangat tua terdapat bangunan (Pelinggih) yang diperuntukkan bagi roh-roh warga desa yang baru meninggal, tipe ini terdapat di desa-desa pegunungan sekitar danau batur (Desa wintang danu batur). Demikian juga Pura Puseh, awalnya adalah tempat pemujaan yang sangat sederhana. Pada tempat suci ini sering terdapat arca batu besar (Paica, Taulan). Pada Pura Bale Agung dicirikan oleh adanya balai pertemuan yang besar (Bale Agung) ditambah beberapa bangunan suci lainnya.

Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung sering ditemui besar dalam ukurannya, tetapi senantiasa sederhana dalam disainnya. Pura-pura ini mengalami perubahan arsitektur selama berabad-abad. Perubahan itu datang sebagai hasil dari paham Hindu yang secara perlahan-lahan disaring dari karajaan Hindu. Pada masa kerajaan Hindu di Bali, tempat suci kerajaan disebut “Pura Pamerajan”. Pemerintah kerajaan memiliki dua tempat suci yakni : Pura Penataran sebagai pura kerajaan atau pura pemerintahan dan pura prasada (candi) sebagai tempat pemujaan bagi eluhur kerajaan.

Dalam pura penataran, kesatuan kerajaan melakukan peringatan meminta berkah kemasyuran, perlindungan, kekuatan untuk memerintah yang kesemuanya dilaksanakan dengan cara-cara religius. Di pura Prasada keluarga raja mencoba mencari hubungan dengan para leluhurnya mohon doa restu.

Dalam perkembangan kemudian pura penataran menjadi suatu pura yang besar di dalamnya berisi altar, bangunan pemujaan (pelinggih), tempat persembahan, balai pertemuan, balai gong, dapur suci, dan bangunan balai-balai lainnya. Prasada unsur utamanya adalah suatu susunan batu besar (candi). Unsur batu digunakan untuk keseluruhan disain pura ini, apakaha itu untuk altar, maupun bangunan penunjangnya.

Mengikuti contoh-contoh pura kerajaan ini, maka pura-pura desa lambat laun (juga arsitekturnya) kena pengaruh pola kerajaan Hindu. Pura Bale Agung yang terdapat di desa mengikuti pola pura penataran kerajaan dan pura dalem mengikuti pola pura Prasada. Persolannya kemudian, kerajaan memiliki dua tempat suci (Penataran dan Prasada) sedangkan desa memiliki tiga pura (puseh, Bale Agung dan Dalem ) lalu bagaimana gambaran hubungan kedua jenis pura tersebut.

Di dalam pura penataran yang disembah adalah Tuhan penguasa wilayah, (bumi, tanah). Dan sebagai tempat pertemuan keagamaan dari kerajaan. Hal ini merupakan karakteristik dari pura Puseh dan Pura Bale Agung pada tingkat Desa. Sedangkan Pura Prasada sebagai tempat untuk melakukan hubungan dengan para Dewa, leluhur kerajaan adalah sama fungsinya dengan pura Puseh, Desa. Fungsi pura dalem adalah sebagai tempat memuja leluhur yang belum menjadi dewa (masih dalam bentuk pirata) tidak ditemukan dalam kerajaan.

Para leluhur kerajaan selalu disucikan dan distanakan dalam sebuah candi. Proses penyucian roh leluhur raja-raja tidak diijinkan untuk ditangguhkan. Keseluruhan rangkaian upacara kremasi ini berakhir di dalam candi (Prasada). Demikianlah idealnya menurut konsepsi masyarakat Bali Hindu, dimana upacara pengabenan segera mungkin dapat dilakukan.


Akibat kontak yang konstan antara pihak kerajaan dengan orang-orang Bali pedesaan dan tiadanya penyegaran pengaruh India dan Jawa (Hindu), maka kerajaan dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, dengan kekuatan (power) dan perlengkapan yang dimiliki, pihak kerajaan akan membuat dengan segera candi atau prasada bagi raja yang meninggal. Kedua, mulai merasakan dan berpikir lebih sebagai seorang Bali sehingga dirasakan perlu untuk membangun Pura Dalem kerajaan. Biasanya sebutan pura ini mengacu pada nama kerajaan yang bersangkutan. Misalnya Pura Dalem Koripan, Pura Dalem Segening, Pura Dalem Gelgel dan sebagainya.

Dengan cara seperti ini terjadilah kesatuan arsitektur antara pura penataran, pura bale agung dan pura puseh. Di satu pihak dengan pura dalem, pura prasada dan pura dalem kerajaan di pihak yang lain. Sekarang ini dapat dilihat pada candi kurung mengingat kepada jalan utama menuju pura penataran dan candi bentar mengingatkan kepada susunan utama pura candi atau pura prasada. Dewasa ini tak terhitung pura yang mempunyai kedua tipe gerbang tersebut.

Setelah datangnya Mpu Kuturan di Bali (awal abad 11), Pura-pura Desa tersebut mendapat penataan melalui konsep “Tri Murti” yakni paham teologis yang menjabarkan kemaha kuasaan Tuhan dalam bentuk trinitas. Dalam penataan Pura Desa itu, Pura Bale Agung difungsikan sebagai tempat pemujaan Tuhan pencipta(brahma), Pura Puseh sebagai tempat suci untuk memuju Tuhan pelindung (Wisnu) dan Pura Dalem tempat memuja Tuhan pelebur (Siwa). Tiga pura milik desa ini kemudian disebut Kahyangan Tiga. Desa dengan ciri kahyangan tiga ini sekarang lebih populer dengan sebutan Desa Adat atau Desa Pakraman.

Di samping tiga pura utama tersebut, untuk desa-desa yang terletak dekat pantai umumnya memiliki pura segara, demikian juga desa-desa yang terletak di perbukitan biasanya terdapat pura bukit. Pada sejumlah desa di Bali pura-pura kepunyaan desa adat tidak hanya tiga melainkan bisa lebih dari itu sesuai dengan latar belakang historis, geografis dan sosiologis dari desa yang bersangkutan.


Berbagai Sumber | Google Images | Youtube

Kunci Suksesnya Suatu Yadnya Umat Hindu, Ini Penjelasannya

 







SERATI: Serati adalah salah satu dari tiga kunci yadnya umat Hindu. (ISTIMEWA)





Dalam pelaksanaan aktivitas ritual Agama Hindu, ada tiga komponen penting yang berperan dalam acara tersebut. Karena tanpa adanya peran serta ketiga komponen tersebut, maka upacara tersebut tidak bisa berlangsung, karena dalam prosesnya ketiga komponen ini memiliki kaitan yang tidak bisa dipisahkan.


Adapun ketiga komponen tersebut dikatakan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, disebut dengan Tri Manggalaning Yadnya, yang terdiri dari Sang Sulinggih, Sang Tapuni dan Sang Yajamana. “Ketiga komponen ini sering kali disebut dengan Tri Manggalaning Yadnya, dan ketiga komponen ini harus ada dalam pelaksanaan aktivitas ritual,” ungkapnya.




Adapun fungsi dari ketiga komponen ini dikatakan Ida Rsi antara lain, Sang Sulinggih atau juga yang sering disebut Sang Wiku, yaitu orang yang bertugas untuk memuput atau sebagai pengantar upacara sehingga upacara tersebut bisa disebut selesai. Selanjutnya adalah Sang Tapini atau yang juga dikenal dengan nama Serati Banten ialah orang yang memiliki kemampuan dalam mempersiapkan upakara untuk upacara, sehingga upacara tersebut memiliki nama sesuai dengan upakara yang disiapkan oleh Sang Tapini.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dan yang ketiga adalah Sang Yajamana atau Sang Adruwe Karya adalah orang-orang yang menyelenggarakan upacara atau dengan kata lain seseorang yang bertanggung jawab atas aktivitas upacara yang dilaksanakan. “Tugas dari Sang Yajamana ini adalah sebagai penggagas serta membiayai semua upacara yang diselenggarakan,” lanjut.

Namun disamping ketiga komponen tersebut, menurut Ida Rsi sebenarnya ada satu komponen lain yang tidak kalah penting dari ketiga komponen tersebut. Karena komponen ini sangat berperan dalam mensukseskan suatu upacara, baik itu ipacara agama upacara adat.

Adapun komponen yang dimaksud adalah prajuru adat, baik prajuru ini berupa keluhan banjar adat, maupun sebagai Jro Bendesa Adat. “Karena fungsi dari Prajuru adat ini adalah sebagai saksi dilangsungkannya suatu aktivitas ritual, khususnya dalam aktivitas upacara yang bersifat adat, seperti perkawinan dan kematian,” tambahnya.


Kenapa dalam daksina ada kelapa dan telur .....

 





menurut lontar Aji Sangkhya :kelapa dlm daksina sbg simbol alam semesta yg terdiri dari 14 lapis, tujuh lapis bgian bawah yg disebut dgn sapta patala (pertiwi), dan tujuh lapis bgian atas yg disebut dgn sapta loka (aksa).
Telur merupakan simbol bulan/ardha candra yg merupakan cerminan dari ida sang hyang widhi. Telur terdiri dari 3 lapis, yaitu kuning telur sbg lmbng Antah karana sarira, Putih telur sbg lmbng Suksma Sarira, dan kulit telur sbg lmbng stula sarira.
Kenpa terbuat dari janur, pertama scr logika janur sangt mudah dicari, kedua scra filosofi wakul daksina yg terbuat dari jnur melingkar melambngkan hukum tuhan yg abadi (hukum rta), apakh isi daksina hrus sma, secra konteks sastra yg membhs tentang upakara wajib isi daksina sama, namun tdk lepas dari situasi dan kondisi diman orang itu berada, jika berada dibali ya wajib isinya sma krn mash mudah dicari/dibeli bhan2nya, klo diluar bali yg jls intinya yg hrus sma adalah , asa beras, tapak dara, kelapa, telur, porosan (Isi yg lain menyesuaikan dgn tempat dmn mereka berada jika diluar bali).

Selasa, 08 Agustus 2023

POHON BUAT NGUSIR SIHIR

 


Manfaat Daun Bidara dan Cara Menggunakannya
Pohon bidara merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia, salah satu yang populer adalah bidara arab. Manfaat daun bidara arab yang paling populer adalah dapat mengusir jin. Namun, di luar kepercayaan tersebut, ternyata terdapat juga berbagai manfaat daun bidara untuk kesehatan dan juga kecantikan. Berikut adalah manfaat daun bidara dan cara menggunakannya!
1. Menjaga kesehatan jantung
Manfaat daun bidara dan cara menggunakannya yang pertama dikonsumsi langsung atau dalam bentuk jus untuk menjaga kesehatan jantung. Penyakit jantung bermacam jenisnya dan juga penyebabnya. Salah satu yang paling memengaruhi adalah gaya hidup kita. Maka dari itu, kita harus memiliki gaya hidup yang seimbang dan konsumsi daun bidara dipercaya dapat mencegah dan mengatasi gangguan jantung.
2. Mempercepat penyembuhan luka
Manfaat daun bidara dan cara menggunakannya yang kedua adalah diaplikasikan pada luka untuk mempercepat penyembuhan luka. Daun bidara dipercaya memiliki sifat antiinflamasi dan antibakteri yang dapat membantu penyembuhan luka seperti luka sayatan, lecet, atau akibat goresan.
Selain itu, daun bidara juga dipercaya memililki senyawa yang dapat membantu menyembuhkan luka bakar dan mencegah luka bakar meninggalkan bekas pada kulit. Manfaat daun bidara untuk menyembuhkan luka lebih cepat juga berasal dari kemampuan daun bidara untuk mempercepat regenerasi kulit.
3. Mengatasi gangguan tidur
Manfaat daun bidara arab selanjutnya adalah dapat mengatasi gangguan. Cara menggunakannya adalah dengan cara mengonsumsi teh daun bidara. Teh daun bidara memiliki kandungan saponin sehingga dipercaya dapat memberikan efek menenangkan sehingga dapat mengatasi masalah insomnia dan meningkatkan kualitas tidur Anda.

4. Baik untuk sistem pencernaan
Manfaat buah bidara dan daunnya selanjutnya adalah untuk memelihara sistem pencernaan. Manfaat daun bidara dan cara menggunakannya untuk kesehatan pencernaan adalah dapat dikonsumsi secara langsung, dengan cara meminum rebusan daunnya, makan buahnya, ataupun dengan mengonsumsi teh daun bidara.
Bidara dapat membantu mengeluarkan berbagai racun dalam pencernaan sehingga mampu untuk mencegah terjadinya infeksi pada saluran pencernaan. Berbagai risiko gangguan pencernaan pun dapat diatasi.
5. Menurunkan risiko diabetes
Manfaat daun bidara dan cara menggunakannya yang lain adalah meminum air rebusan daun bidara secara rutin untuk menurunkan kadar gula darah. Penderita diabetes diharuskan untuk mengurangi konsumsi karbohidrat dan gula lainnya untuk menstabilkan gula darah.
Selain mengatur pola makan, penderita diabetes umumnya juga menjadikan herbal sebagai salah satu cara untuk mengontrol kadar gula darah. Daun bidara dapat menjadi salah satu pilihan obat herbal tersebut.
6. Mengobat wasir
Manfaat daun bidara yang keenam adalah dapat mengatasi wasir. Penyakit yang satu ini memang bukan penyakit mematikan, tapi tetap saja amat mengganggu dan juga menyiksa penderitanya. Cara menggunakan daun bidara untuk wasir dapat dengan meminun air rebusannya secara rutin dan juga dengan cara mengaplikasikan daun bidara secara langsung pada bagian anus yang membengkak.
7. Menjaga kesehatan dan kecantikan kulit
Manfaat daun bidara dan cara menggunakannya selanjutnya adalah dengan membuat masker daun bidara yg d campur dng daging daun lidah buaya untuk memelihara kulit wajah. Kandungan antibakteri dalam lidah buaya mampu untuk membantu mengatasi jerawat.
Selain itu, bidara juga mampu membantu meremajakan kulit dan memberi perlindungan kulit dari sinar UV. Daun bidara juga membantu membersihkan wajah dengan lebih maksimal sehingga kebersihan dan kecantikan kulitpun terjaga.
8. Melancarkan haid
Manfaat daun bidara yang penting untuk wanita adalah dapat melancarkan haid. Daun bidara dapat membantu menyeimbangkan hormon yang dapat menjadi penyebab dari siklus haid menjadi tidak teratur. Cara untuk mendapatkan manfaat daun bidara adalah dengan meminun ekstrak daun bidara.
9. Membersihkan tubuh
Daun bidara juga dapat membersihkan tubuh dengan lebih maksimal. Hal inilah yang membuat daun bidara sering dijadikan sebagai bahan utama sabun. Selain itu, daun bidara juga dipercaya dapat membantu mengatasi masalah keputihan yang dialami wanita.
Manfaat daun bidara untuk membersihkan daerah kewanitaan kemungkinan tidak berbeda jauh dengan manfaat daun sirih. Pada dasarnya daun bidara memang dapat dijadikan sebagai antiseptik, sehingga tidak heran jika terdapat anjuran untuk membersihkan tubuh dengan daun bidara.
10. Menurunkan berat badan
Konsumsi daun bidara secara rutin juga diklaim dapat membantu menurunkan berat badan. Daun bidara membantu menurunkan berat badan dengan cara memberikan rasa lapar lebih lama dan juga membantu dalam pembakaran lemak. Cara menggunakannya adalah dengan meminun air rendaman daun bidara yang direndam semalaman atau dengan konsumsi teh daun bidara.
11. Merawat rambut
Manfaat daun bidara yang terakhir adalah untuk perawatan rambut. Cara menggunakan daun bidara untuk perawatan rambut adalah dengan cara menjadikan air rebusan daun bidara sebagai hair tonic. Daun bidara dapat membuat rambut lebih kuat dan dapat mencegah rambut dari kerusakan dan kerontokan.
Itu dia berbagai manfaat daun bidara untuk kesehatan dan kecantikan, serta cara untuk menggunakannya. Daun bidara yang diklaim mampu untuk mengusir jin, ternyata memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan. Sayangnya, manfaat daun bidara arab ini masih belum banyak dibuktikan secara ilmiah.
Masih sangat terbatas jumlah penelitian tentang manfaat daun bidara. Meskipun begitu, penggunaan daun bidara dapat dikatakan relatif aman.


Sapi Menurut Hindu

 


Di Desa Gegelang, Karangasem, Bali, ada tradisi mengarak sapi jantan berkeliling desa. Prosesi yang disebut "mejaga-jaga" ini merupakan ritual adat tahunan bertujuan menetralisir segala hal buruk dalam kehidupan.
Sementara yang diarak adalah "sapi cula", yang sebelumnya disucikan dan telah dikebiri.
Dalam kitab "Catur Weda", kitab suci umat Hindu, sapi adalah hewan yang diagungkan. Ia adalah ibu, pelindung bagi banyak orang.
Sapi tidak dituhankan atau dipuja, tapi karena sebagai tunggangan "Dewa Siwa", sapi mendapat kehormatan besar ketimbang kuda atau unta misalnya. Dua ritual ini adalah contoh, perlakuan umat Hindu Bali terhadap sapi. Sebab di Bali, terdapat dua jenis sapi, "sapi suci" dan "sapi caru" atau kurban.
Sesungguhnya tak semua sapi dianggap suci. Sapi berjenis "lembu" berbeda dengan jenis "banteng". Lembu umumnya berwarna putih dan tipe banteng berwarna merah atau gelap.
Di Desa Taro, sapi-sapi putih yang disakralkan dirawat penuh rasa hormat oleh warga desa. Warga percaya bibit lembu ini dibawa "Maharsi Markandeya" ketika pertama kali datang ke Bali dari Gunung Raung, Jawa Timur.
Hewan suci dalam tafsir, baik di "Catur Weda" maupun "Upanisad" yang memuat ajaran filsafat, meditasi dan konsep ketuhanan sapi sakral yang dimaksud berjenis lembu. Sapi putih kerap dimanfaatkan sebagai sarana pelengkap upacara adat.

Homa dlm kekawin Arjuna Wiwaha dan Sutasoma.

 


Arjuna berujar ;
“hampir diseluruh waktu kehidupan saya, saya gunakan sebagai tindakan yasa dan hampir diseluruh waktu kehidupan saya selalu merasa " wirya " ( bersemangat ).
Tatkala saya bertindak yasa dan wirya saya mampu menerobos dunia yang berwujud dan juga dunia bayang-bayang ( halusinasi ), saat itu saya merasa berada pada dunia yang sejati yakni "tyaga" ; hidup menjadi bagian dari kedua dunia tersebut.
Tyaga adalah sikap yang merasa dirinya juga tubuh saudara-saudaranya, tubuh masyarakat lain, kendati saudara dan masyarakat berada jauh dari jangkauan pandangannya, dalam sastra dikenal “ vasudeva kutumbhakam “.
Tyaga dilandasi dengan pencapaian kehidupan sunyata yakni dunia perbatasan antara dunia berwujud dan dunia bayang-bayang, sehingga dunia ini tidak ada yang mampu menguasainya, terkecuali mereka yang telah sempurna pada yoga samadhi, dalam ajaran leluhur dikenal JAMBHALA SAMADHI.
Jambhala Samadhi adalah sebuah payogaan atau samadhi yang dilaksanakan dedepan sebuah bentuk segi empat yang dikenal AGNI MANDALA, dengan API sebagai pusat kendali bathinnya, dikenal HOMA, bersumber pada ajaran Bhatara Ghana.
Ajaran Ghana adalah ajaran rahasia dikenal dalam sastranya, ajaran yang penuh dengan misteri, namun sarat dengan mamfaat hidup yang paling sempurna, karena merupakan puncak dari pencapaian yoga yakni RAJAYOGA.
Puncak dari homa adalah " sepi ".
Sepi adalah pencapaian perjalanan spiritual seseorang, dan pada sepi itulah muncul “ hukum absolut “ atau rta yang sesungguhnya.
Sepi juga tindakan akhir sebuah ritual apapun, dan sepi juga adalah akhir kehidupan manusia yang dinamis....karena sepi sejatinya awal kehidupan bagi mereka yang sedang hidup dalam dunia kasunyataan dalam ajaran tyaga.

Makna istimewa dari ajaran ini yang juga merupakan hadiah dewata kepada leluhur untuk selalu menjalankan homa jambhala samadhi dengan candra yantra sebagai formasi ritualnya, dikutip dalam sebuah kekawin Arjuna Wiwaha seperti berikut ;
“Bayangan Bulan tampak pada tempayan yang berisi air pada kondisi tenang *)
Setiap yang memiliki kondisi tenang, ibarat air dalam tempayan pasti mampu melihat bayangan bulan *)
Pribadi yang tenang dan damai itu hanya ada pada mereka yang melakukan yoga *)
Jelaslah sudah Tuhan berada pada setiap mahluk yang melakukan yoga *)
Para leluhur yang dipimpin oleh raja dan para purahita merasa ada yang kurang dalam melaksanakan homa, maka didatangkanlah seorang guru kerohanian yang berlatarbelakang Budha Paksha (MPU Astaphaka yg mampu mewujudkan sikap tyaga bukan hanya hapal mantra), sebagai pemimpin homa saat itu.
Mampu melihat api ditengah kayu bakar, walaupun belum dinyalakan *)
Mampu melihat minyak, walaupun masih berwujud santan *)
Dimanapun dilaksanakan homa, diatas api homa selalu hidup seekor laba-laba dan membangun rumah jaringnya sebagai lambang hukum atau rta telah terbangun pula.
Puncak dari ajaran Ghana ( Mpu Ghana ) dalam lontar lontar Prakampa Jayeng Kertaning Bhumi adalah “homa “ merupakan landasan membangun monumen kejayaan Kerajaan Bali.