Jumat, 19 Januari 2024

Pentingnya Otonan dan doa – doanya

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Otonan atau hari kelahiran dalam weton Bali, seringkali dianggap sepele dan tidak dilaksanakan. Padahal, ‘ulang tahun’ yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali ini, sangat penting dengan rerentetan banten dan maknanya.

Setiap tahun kita semua merayakan ulang tahun pada tiap tanggal kelahiran. Namun, di Bali juga memiliki prosesi ritual untuk memperingati hari kelahiran. Dalam penanggalan Bali, weton tersebut biasanya jatuh setiap enam bulan sekali.

Sulinggih asal Mengwi, Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa, mengatakan, dalam Lontar Jyotisha dan Pawacakan disebutkan, pada saat weton kelahiran wajib mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, atas diberinya kesempatan sang atman untuk dapat bereinkarnasi kembali. “Otonan itu berasal dari bahasa Jawa kuna dari kata weton dan berubah konsonan menjadi oton yang artinya lahir atau menjelma,” urai Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin.

Nah, berdasarkan apa hari kelahiran ini? ” Dalam tradisi Hindu di Bali, menentukan Otonan harus menggunakan sapta wara, panca wara, dan wuku. Jadi, tidak bisa sembarangan, karena semua itu sangat memengaruhi perilaku serta jalan hidup seseorang,” ujarnya.



Secara etimologi, lanjutnya, Otonan adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali. Dalam lontar Pawacakan, Otonan memiliki makna mensyukuri, wara nugraha. “Kita diberikan anugerah dalam bentuk kesempatan untuk bereinkarnasi kembali membayar karma. Dalam upacara piotonan, terdapat byakala atau prayascita yang fungsinya untuk menyucikan diri, melenyapkan kekotoran batin, menjauhkan diri dari gangguan Bhutakala,” paparnya.

Diakuinya, prosesi Otonan ada kaitannya dengan catur sanak, sebagai simbolisasi atas rasa syukur. “Kita lahir ke dunia bersama empat saudara, yaitu darah, ketuban, placenta, dan ari – ari. Lewat Otonan kita berbagi dan mengingat mereka. Lalu bersyukur pada Tuhan atas hidup yang telah diberikan,” ujarnya. Dalam Otonan, beberapa perlengkapan upakara yang dapat digunakan adalah banten pajati, banten dapetan, sesayut pawetuan, dan segehan. “Banten pajati dihaturkan kepada Bhatara Guru di rong telu, sesayut pawetuan dihaturkan kepada yang manumadi atau numitis. Dan, segehan dihaturkan di bawah kepada Bhutakala,” ujarnya.


Mantram dan Doa Saat Otonan

Mantram Mabyakala atau Byakaon : Om shang bhuta nampik lara sang bhuta nampik rogha, sang bhuta nampik mala, undurakna lara roga wighnanya manusanya. Om sidhirastu Yanama Swaha.

Sesayut Bayu Rauh Sai:
Om sanghyang jagat wisesa,
metu sira maring bayu, alungguh maring bungkahing adnyana sandi
Om Om sri paduka guru ya namah. Om ung sanghyang antara wisesa, metu sira maring sabda,

Mantram Matebus Benang:
Om angge busi bayu premana maring angge sarire

Mantram Masesarik:
Kening : Om sri sri ya nama swaha. Bahu kanan : Om anengenaken phala bhoga ya nama swaha. Bahu kiri : Om angiwangaken pansa bhaya bala rogha ya nama swaha.Telapak tangan : Om ananggapaken phala bhoga ya nama swaha

(bx/tya/yes/JPR) –sumber


ALASAN MENGAPA DOA DOA KITA TIDAK DIKABULKAN !

 



Tuhan telah bersabda:
अनन्याश्चिन्तयन्तो मां ये जना: पर्युपासते ।
तेषां नित्याभियुक्तानां योगक्षेमं वहाम्यहम् ॥ २२ ॥
.—Ia yang selalu menyembah-Ku dengan bhakti tanpa tujuan yang lain dan selalu berpikir tentang-Ku, bekerja untuk-Ku — Aku bawakan apa yang dibutuhkannya, dan Aku memelihara apa yang dimilikinya.' (Bhagavad Gītā 9.22)
Kita telah berdoa dalam waktu yang cukup lama, dan Hyang Vidhi belum juga mengabulkannya, Bhagavad Gītā menjawabnya:
1. Bisa jadi Tuhan menghancurkan rencanamu agar rencanamu tidak menghancurkanmu. (Bhagavad Gītā 18.61)
2. Kalian hanya membaca Gītā, namun tidak ada perhatian untuk mengamalkan kandungannya. (Bhagavad Gītā 18.63)
3. Kalian mengatakan Śrī Rāma sebagai Maryādā Puruṣottama (Viṣṇu turun sebagai manusia paling ideal) namun kalian lebih tertarik pada karakter Rāhvaṇa. (Bhagavad Gītā 3.21)
4. Veda mengatakan Tuhan Śiwa adalah Antarātman (penghuni batin) bagi setiap dewa, bhūta, dan leluhur, namun kalian menganggap berkah-berkah sebelumnya itu berasal dari makhluk-makhluk itu. (Bhagavad Gītā 7.22 / Īśvara Gītā 11.91)

5. Kalian mengatakan mokṣa adalah tujuan, namun kalian tidak berusaha memahami hakikat pembebasan dari belenggu. (Bhagavad Gītā 2.72 / 18.2)
6. Kalian mengatakan surga dan neraka bukan tujuan namun kalian menggadaikan diri kalian menjadi penghuninya. (Bhagavad Gītā 9.21, 16.21)
7. Kalian sibuk dengan aib saudara-saudara kalian dan melupakan aib-aib kalian sendiri. (Bhagavad Gītā 12.13-14)
8. Kalian makan dari nikmat yang telah Tuhan berikan, namun kalian tidak mempersembahkan makanan itu terlebih dahulu kepada-Nya. (Bhagavad Gītā 3.13)
9. Disaat berbahagia kalian lupa dengan-Nya. Kalian berpendapat segala pencapaian berasal dari usaha kalian sendiri. Namun kendali apa pun yang kalian miliki, Tuhanlah yang memberi persetujuan. (Bhagavad Gītā 15.15)
10. KALIAN SIBUK MENGELUH DAN SIBUK MENYATAKAN AJARAN WEDA ITU MENYUSAHKAN.
.—'Aku mudah sekali dicapai oleh orang yang selalu ingat kepada-Ku tanpa menyimpang sebab dia senantiasa tekun dalam bhakti.' (Bhagavad Gītā 8.14)
📸: @wayan.yatika
Via @bali_punya_cerita

Cerita Kalarau dan Terjadinya Bulan Terang (Purnama) dan Bulan Mati (Tilem)

Kalarau


Berawal dari pemutaran Gunung Mandara Giri oleh para deva dan raksasa di Lautan Ksirarnawa. Pemutaran dilakukan untuk mendapatkan tirta amerta, air suci yang dapat membuat seseorang hidup abadi. Dalam pengadukan lautan susu tersebut, Deva Viṣṇu menjelma sebagai kurma (kura-kura). Beliau bertugas sebagai penyangga Gunung Mandara agar gunung tersebut tidak tenggelam. Naga Vasuki membelit gunung tersebut sebagai tali yang kemudian ditarik oleh para deva dan raksasa. Para deva memegang ekor sang naga, sedangkan para raksasa memegang kepalanya. Deva Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak melambung ke atas selama pemutaran gunung. Dengan semangatnya para deva dan raksasa berusaha mengaduk Lautan Ksirarnawa dengan memutar Gunung Mandara. Lautan menjadi bergemuruh dan gunung pun menyala. Setelah itu, keluarlah berbagai Devi, binatang, dan berbagai harta karun bertuah. Akhirnya, keluarlah Devi Dhanwantari membawa kendi yang berisi tirta amerta. Karena harta karun yang sebelumnya keluar telah diambil semua oleh para deva, para raksasa menuntut tirta amerta dimiliki oleh mereka. Tirta amerta pun kemudian dikuasai oleh para raksasa.


Image; Google

Melihat tirta amerta berada di tangan raksasa, Deva Viṣṇu menjadi khawatir dan memikirkan siasat untuk merebutnya. Deva Viṣṇu pun mengubah wujudnya menjadi seorang devi cantik bernama Mohini untuk memikat hati para raksasa. Mereka pun akhirnya terpikat oleh kecantikan Mohini dan menyerahkan tirta amerta tersebut kepadanya. Setelah mendapatkan tirta amerta, Devi Mohini pun lari sambil berubah wujud menjadi Deva Viṣṇu, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 96).


Melihat hal tersebut, para detya dan raksasa pun menjadi berang. Kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara para deva dengan raksasa. Deva Viṣṇu mengeluarkan senjata cakra dan menyambar-nyambar para raksasa. Mereka lari tunggang langgang karena mengalami kekalahan dari para deva dan tirta amerta pun dikuasai oleh para deva.


Di tempat tinggal Deva Viṣṇu (Viṣṇu loka), tirta amerta dibagi- bagikan kepada para deva sehingga mereka hidup abadi. Mengetahui hal tersebut, seorang raksasa yang merupakan anak sang Wipracitti dan sang Singhika bernama Kalarau mengubah wujudnya menyamar menjadi deva. Perilaku keduanya diketahui oleh Sang Hyang Aditya dan Sang Hyang Candra dan langsung diberitahukan kepada Deva Viṣṇu. Tepat ketika raksasa yang menyamar tersebut mendapat giliran meminum tirta amerta, betapa bahagianya dapat meminumnya. Akan tetapi, baru sampai tirta amerta tersebut di tenggorakannya, Deva Viṣṇu seketika menghempaskannya Deva Visnu kemudian mengeluarkan senjata cakranya dan membinasakan sang raksasa. Raksasa itu pun mati, tetapi kepalanya masih hidup karena tirta amerta telah menyentuh hingga tenggorokannya. Sang Raksasa pun menjadi marah kepada Sang Hyang Aditya dan Sang Hyang Candra karena mengacaukan penyamarannya Kalarau pun bersumpah akan memakan Sang Hyang Aditya dan Sang Hyang Candra pada saat pertengahan bulan (ngurahpandu). (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 97).



Terjadinya Bulan Terang (Purnama) dan Bulan Mati (Tilem)


Daksa adalah anak dari Deva Brahmā. Beliau mempunyai putri sebanyak dua puluh tujuh. Putri-putrinya dinikahkan dengan Candra. Rohini adalah istri Candra yang paling cantik dan sangat disayangi oleh Deva Candra. Karena cintanya kepada Rohini, Deva Candra menjadi pilih kasih dengan istri-istrinya yang lain. Kemudian, istri-istri Deva Candra yang lain mengeluh pada ayahnya, Sang Daksa. Daksa menjadi marah dan mengutuk Deva Candra,“ Hai Candra! Karena engkau tidak bisa adil dengan semua istri-istrimu, aku akan mengutukmu! Engkau akan merasakan sakit yang tidak dapat disembuhkan.”


Karena kutukan tersebut, dari hari ke hari kekuatan dan cahaya Deva Candra berkurang. Akhirnya, Deva Candra meminta perlindungan kepada Deva Śiva. “Oh, Deva Śiva, aku datang ke hadapan-Mu untuk memohon perlindungan atas kutukan yang telah Sang Daksa berikan.” Deva Śiva yang penuh kasih melegakan hati Candra yang sedang sakit dan menaruh Candra di kepala-Nya. Dengan berada di kepala Deva Śiva, Candra/Bulan menjadi kekal dan bebas dari segala bahaya. Mengetahui sang suami telah meninggalkan dirinya, putri-putri Daksa itu sedih dan menangis. Mereka datang menghadap sang ayah, Daksa. Putri-putri Daksa berkata,“ Oh, Ayah, dahulu kami mohon kepadamu agar kami mendapat berkah dari suami. Tetapi, kini bukan mendapat berkah darinya, melainkan dia telah meninggalkan kami.”


“Oh Ayah, meskipun kami memiliki mata, kami hanya menemukan kegelapan di mana-mana. Sekarang kami sadar bahwa suami adalah mata satu-satunya bagi wanita," (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 98).

“Mohon kembalikan suami kami. Anda adalah putra Deva Brahmā dan Anda cukup perkasa untuk menciptakan sendiri satu alam semesta.” Mendengar kata-kata dari semua putrinya itu, Daksa lalu pergi menghadap Deva Śiva. Deva Śiva bangkit dari tempat duduknya dan sujud menghormati Daksa. Daksa lalu memberkati Deva Śiva. Melihat perilaku Deva Śiva yang rendah hati, kemarahan Daksa menjadi hilang. Kemudian, Daksa berkata,“Oh Deva Śiva, mohon kembalikan menantuku yang dicintai oleh putri-putriku yang melebihi nyawanya sendiri. Anda juga adalah menantuku. Jika Anda tidak mengembalikan Candra kepadaku, saya akan ucapkan kutukan keras atas dirimu.”


Setelah mendengar Daksa bicara, Deva Śiva mengucapkan kata- kata yang terdengar lebih manis dari amrita. Deva Śiva berkata,“Anda boleh bakar saya jadi abu, atau ucapkan satu kutukan atas diriku sesuai kehendakmu, tetapi saya tidak dapat mengembalikan Candra (Bulan) yang telah berlindung kepadaku.”


Mendengar kata-kata Deva Śiva yang demikian, Daksa hendak mengucapkan kutukan atas Deva Śiva. Deva Śiva ingat Govinda. Pada saat itu pula, Sri Kṛṣṇa muncul di sana dalam wujud seorang Brahmāna tua. Baik Deva Śiva maupun Daksa sujud kepada Brahmāna tersebut dengan penuh hormat. Beliau memberkati mereka berdua dan berkata kepada Deva Śiva.


“Oh, Śiva, tidak ada apa pun yang lebih disayangi oleh semua makhluk hidup selain dirinya sendiri. Dengan merenungi hal ini, oh, penguasa para Deva, Anda hendaknya selamatkan dirimu dengan memberikan Candra kepada Daksa. Anda adalah tempat berlindung terbaik, Anda tenang, Anda adalah Vaisnava yang paling terkemuka dan Anda memperlakukan segala makhluk dengan cara yang sama, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 99).


Anda bebas dari tindak kekerasan dan kemarahan. Daksa adalah putra perkasa Deva Brahmā dan dia berwatak pemarah. Deva yang mulia, mengalah di hadapan yang sedang marah.”

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Deva Śiva tersenyum dan berkata, “Saya dapat mengorbankan pertapaan saya, kemuliaan saya, semua keberhasilan saya, kekayaan, dan bahkan nyawa saya sendiri. Tetapi, saya tidak bisa meninggalkan orang yang telah berlindung kepada saya. Dia yang telah mencampakkan seseorang yang telah berlindung kepadanya akan ditinggalkan oleh Dharma. Oh, Tuhanku, Anda tahu betul tentang Dharma. Mengapa Anda mengucapkan kata-kata yang dipengaruhi khayalan? Anda adalah pencipta dan pelebur segala sesuatu. Orang yang berbhakti kepada-Mu tidak takut kepada siapa pun.”


Brahmanayangmengetahuibetulperasaansetiaporang,mendengar kata-kata Deva Śiva dengan saksama. Kemudian, Beliau mengambil setengah bagian Candra (Bulan) yang sakit dan memberikannya kepada Daksa. Selanjutnya, Beliau mengambil setengah bagian Bulan yang sehat dan menaruhnya di kepala Deva Śiva.


Melihat setengah Bulan (Candra) yang sakit, Daksa kemudian berdoa kepada Sri Kṛṣṇa. Beliau lalu mengatur bahwa Bulan akan bercahaya penuh selama dua minggu dan tidak akan bercahaya selama dua minggu berikutnya. Demikianlah, setelah memberkati Deva Śiva dan Daksa, Sri Kṛṣṇa kembali ke tempat tinggal-Nya (Brahma-Vaivarta Purana Brahma-kAnda 9.49-53), (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 100).

Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/12/cerita-kalarau-dan-terjadinya-bulan.html

Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Selasa, 16 Januari 2024

Pura Campuhan Windhu Segara

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Pura Campuhan Windhu Segara, salah satu pura unik yang ada di Denpasar. Kawasan suci yang berlokasi di pinggir Pantai Padang Galak, Sanur ini, merupakan perpaduan dari beragam kultur dan aliran kepercayaan yang menyatu dalam satu tempat persembahyangan. Kenapa belakangan begitu mencuat namanya?

Pura Campuhan Windhu Segara diyakini sebagai tempat bagus untuk Malukat (membersihkan fisik dan nonfisik) dan memohon rezeki. Tak hanya pada hari tertentu, bahkan hampir setiap hari tempat ini penuh dipadati pamedek yang ingin sembahyang dan Malukat. Walaupun keberadaan pura ini tergolong cukup baru ( mulai dibangun 7 Juli 2005), namun tempat Malukat ini cepat dikenal. Mengapa begitu populer? Pemangku sekaligus pendiri pura, Jro Mangku Gede Alit Adnyana memaparkan, pura ini memadukan berbagai kultur aliran, seperti siwa dengan linggamnya, ada juga patirtaan Dewi Subadra dan palinggihan Dewi Nyai Roro Kidul.

“Mungkin karena menjadi perpaduan dari beragam aliran dan budaya itu, yang membuat banyak masyarakat yang tertarik,” papar Jro Mangku Adnyana kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), pekan kemarin.

Pura Campuhan ini terletak di tepi Pantai Padang Galak, karena campuhan sendiri berarti campuran. Campuran yang dimaksud adalah campuran atau pertemuan antara air laut dan sungai. Begitu juga dengan Pura Campuhan Windhu Segara yang lokasinya ada di pinggir pertemuan antara air laut Padang Galak dan air tawar yang mengalir dari aliran Sungai Ayung yang populer dengan atraksi rafting atau arung jeram.

Dikatakannya, pura ini berawal dari kisah dari seorang pemangku yang bernama Jro Mangku Gede Alit Adnyana, yang sempat menderita panyakit gagal ginjal. Upaya untuk berobat sudah dilakukan ke berbagai daerah, dan telah dilakukan dengan beragam cara. Namun, sakitnya tak kunjung sembuh, bahkan sempat putus asa dan pasrah.

Pemangku yang memiliki nama lain sebagai Mahaguru Hatria Narayanam ini, mengatakan,
pembangunan pura ini terjadi secara tidak sengaja, berawal saat ia mengalami putus asa akan kehidupannya.

Suatu ketika, Jro Mangku Adnyana menemukan sebatang kayu di pinggir Pantai Padang Galak, dan anehnya kayu tersebut mengeluarkan asap. Ia berkeyakinan api tersebut pertanda akan kebesaran Tuhan.

Setelah kejadian itu, ia juga mendapat pewisik (petunjuk gaib) untuk membangun parahyangan Ida Bhatara di tempat kayu tersebut ditemukan. “Saya berusaha untuk menyanggupi dan ajaibnya penyakit saya sembuh,” paparnya. Tempat ditemukan kayu tersebut kini digunakan sebagai tegak (tempat) mendirikan palinggih.

Setelah melalui perjuangan panjang, pada 7 Juli 2005 Pura Campuhan Windhu Segara akhirnya mulai dibangun. Dukungan dari berbagai pihak mengalir. Tidak hanya dari umat Hindu saja yang berpartisipasi, umat agama lain, seperti umat Islam, Budha dan Kristen turut memberikan sumbangan, sebagai wujud tolerenasi beragama .

“Nah di situ letak keunikannya. Selain pencampuran antara air laut dan air sungai, dan juga perpaduan kultur, di sini juga bebas dalam perpaduan keyakinan. Siapa saja boleh datang untuk malukat dan sembahyang. Yang penting mereka percaya. Siapapun di terima, tanpa harus membawa banten apa pun,” ujarnya.

Memang benar, tak hanya masyarakat lokal Bali yang memadati pura tersebut, masyarakat luar daerah serta tamu mancanegara pun datang untuk Malukat serta sembahyang.

Hal senada dipaparkan Rusmini, warga Klaten, Jawa Tengah ini datang untuk nyekar di Palinggih Nyai Roro Kidul yang terdapat di Pura Campuhan Windhu Segara.

Pura Campuhan Windhu Segara ini akhirnya dibuatkan prasasti, berisi tanggal berdiri pura, 7 Juli 2005 oleh Mahaguru Altreya Narayana yang sekaligus sebagai pangawit. Dan, selanjutnya diresmikan 9 September 2016 oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika dan diketahui juga oleh Ida Dalem Semaraputra sebagai wakil dari Puri Klungkung. Adapun palinggih yang ada di kawasan Pura Campuhan Windhu Segara adalah Palinggih Betara Wisnu, Padmasana, Rambut Sedana, Kanjeng Ratu, Dewi Kwam In, Pusering Jagat, Panglukatan, Ratu Bagus Padang Galak, Ratu Manik Segara, Ratu Gede Dalem Ped, Siwa Budha, Taksu Agung, Hyang Baruna, Tajuk Kiwa dan Tengen.


Selain pujawali ataupun piodalan di Pura Campuhan Windhu Segara, dilakukan juga beberapa upacara unik seperti masakapan pasih untuk merayakan pertemuan antara air laut dan air sungai. Selain itu, juga ada upacara matatah, seperti halnya upacara yang dilakukan kepada manusia.

“Sebenarnya tirta panglukatan di sini fungsinya sebagai tirta pangleburan mala. Biasanya buang sial, kekotoran dalam diri. Namun itu kembali lagi ke pribadi, ” urai Mahaguru yang seempat diciduk polisi hutan ketika melaksanakan tapa brata di hutan Buleleng, beberapa bulan lalu.

Dia mencontohkan, ada yang datang untuk nunas di Patirtan Dewi Badra , biasanya untuk mereka yang berjualan. Nah ada juga yang ingin memohon kesehatan. Banyak juga yang memohon jodoh, diberkati anak dan rezeki. Ingin Malukat?

Ada beberapa sarana yang diperlukan saat bersembahyang dan Malukat di Pura Campuhan Windhu Segara, pertama adalah banten pajati. Minimal satu buah pajati untuk di tempat panglukatan Ida Bhatara Wisnu dan satu buah bungkak (kelapa gading). Kalau membawa pajati lebih dari satu, bisa dihaturkan di tempat Malukat berikutnya, yaitu di Pura Beji dan Penataran Utama Pura.

Kelapa gading biasanya sudah dijual di lokasi dan sudah dibuka (kasturi). Namun, agar lebih aman karena bisa saja kehabisan, bungkak nyuh gading sebaiknya dibawa dari rumah dan siapkan pisau untuk membukanya.

Urutan Malukat di Pura Campuhan Windhu Segara

1. Panglukatan di tempat pemujaan Ida Sang Hyang Wisnu dengan sarana pajati dan nyuh gading. Pamedek akan dilukat (diruwat) oleh Jro Mangku dengan guyuran air suci, kemudian dilanjutkan malukat dengan bungkak kelapa (nyuh) gading.

2. Panglukatan berikutnya di Pantai Padang Galak, tepatnya di lokasi Campuhan atau tempat bertemunya air laut dengan air sungai.

3. Panglukatan di Pura Beji. Di pura ini ada tiga tahap penglukatan, yaitu di Tirta Darmada, Tirta Dewi Gangga, dan Tirta Linggam. Setelah selesai Malukat, pamedek melakukan persembahyangan di natar (halaman) Pura Beji.

Setelah proses Malukat di Pura Beji dan melakukan persembahyangan di natar Pura Beji, pamedek bisa ganti pakaian memakai pakaian kering atau tetap bisa memakai pakaian basah tersebut, untuk melanjutkan persembahyangan di natar utama Pura Campuhan Windhu Segara. Setelah selesai melakukan persembahyangan di Palinggih Utama Pura Campuhan Windhu Segara, selanjutnya melakukan persembahyangan di Palinggih Kanjeng Ratu di sebelah selatan (kanan) palinggih utama.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

Topeng Sidhakarya

  




Om Swastiastu. Saya berbagi pengalaman sedikit. jika dihitung, saya sudah menarikan sidhakarya sejak saya duduk dibangku kuliah, hingga sekarang. Menjadi Pregina Topeng Siddhakarya itu, tidak cukup paham dan mengerti Agem, tandang, tangkep, Takeh, Olah vokal, Babad, Wirama, Wirasa, miwah Wiraga. Dimana patut nanjek, ngalih angsel dan sebagainya. Tapi juga wajib Mawinten. Tarian ini sakral, dan bukan kesenian profan. Topeng Sidhakarya menyempurnakan yajna (Siddha) sehingga berhasil baik.




Maka dipentaskan juga tidak sembarangan. Urutannya begini, ketika Ida Sulinggih sampun munggah ring pawedan, barulah Topeng dan Wayang Lemah mulai. Tidak dibenarkan mendahului sulinggih, dan Ketika sudah "ngayab", maka sebaiknya Siddhakarya juga nganteb banten sinarengan. Bukan sebaliknya. Setelah Ida Sulinggih wusan ngayab, wusan masegeh, topeng masih bebondresan. Ini agak kurang pas. Sebab Ida Sulinggih adalah representasi akasa, dan Sidhakarya adalah representasi Bumi. Maka topeng ini tarian sakral. Nah, kalau urutan pementasannya begini.
1. Panglembar Keras
2. Panglembar Tua
3. Panglembar monyer (situasi)
4. Pensara dan Wijil
5. Dalem Harsawijaya
6. Tokoh Dukuh atau Pedanda
7. Bondres
8. Siddhakarya. Puput.
.... Adnyana

SARANA UPACARA BHUTA YADNYA.

 




Pada pelaksanaan Upacara Bhuta Yadnya juga mempergunakan Uparengga sebagai pelengkap upacaranya...

1. SANGGAH CUCUK
Sanggah Cucuk di buat dari bambu , di buat anyaman dgn dasar memiliki lima buah lubang dan memiliki bentuk segi empat sama sisi sebagai dasarnya, sedangkan atapnya berbentuk segi tiga serta memiliki dua penampang pada kiri dan kanannya.
Sanggah Cucuk ini memiliki satu tangkai sebagai penyangganya, biasanya di pergunakan pada waktu pelaksanaan Upacara Pecaruan.
KENAPA DI SEBUT SANGGAH CUCUK ...
Kata Cucuk berasal dari kata, "CUTA", agar memiliki suatu pengertian serta dapat di jadikan Budaya maka, kata CUTA menjadi kata "CUNTAKA", yg dapat di berikan arti, "MALA".
(Kamus Kawi Bali).
Cucuk juga berarti dicucuk atau di tumpu dgn Satu tiang/penyangga.
Melihat dari bentuk Sanggah Cucuk yg berbentuk segitiga, mengandung Nyasa "TRI MALA PAKSA", yaitu : kayika Mala paksa, Wacika Mala paksa, dan Manacika mala paksa.
Adanya Tri Mala paksa adalah akibat dari mamurtinya Bhuta yg di sebut Bhuta Bucari, kala mamurti di sebut kala Bucari, dan pemurtian Dhurganya di sebut , Dhurga Bucari.
Oleh karena itu pemurtian tersebut di simbulkan dgn sikap "MASUKU TUNGGAL", sehingga Sanggah Cucuk memakai satu tiang penyangga.



2. PENIMPUG
Uparengga Penimpug , di buat dari tiga batang bambu yg masih mengandung ruas sebanyak tiga batang, dan penimpug ini di pergunakan setiap ada upacara keagamaan bagi pemeluk agama Hindu .
Satu rangkaian penimpug ini terdiri dari tiga batang bambu yg masih ruasnya, dan perhitungan tiga ini sebagai simbul suci "TRI BHUANA", baik untuk di Bhuana agung maupun di Bhuana alit.
Bagi Bhuana agung Tri Bhuana adalah , Bhur Loka, Bhuwah Loka, dan Swah Loka, sedangkan di Bhuana alit adalah Bayu, Sabda dan Idep .
Mengenai makna dan fungsi penimpug adalah untuk menetralisir kekuatan kala Bhucari yg bersemayam pada Bhur loka atau Sabda, Bhuta Bhucari yg bersemayam pada Bwah loka atau Bayu, dan Dhurga Bhucari yg bersemayam pada Swah loka atau Idep, agar menjadi kala Hita , Bhuta Hita dan Dhurga Hita, sehingga keseimbangan , keselarasan dan keserasian Bhuana alit terhadap Bhuana Agung tetap dapat di lestarikan .

3. PRAKPAK/orob2
Prakpak ini terbuat dari daun kelapa yg sudah kering di ikat seperlunya, dan di pergunakan pada waktu pelaksanaan Upacara pemarlina Caru dgn cara mengelilingi pekarangan rumah atau pemrajan ke arah kiri dlm keadaan prakpak telah berisi api .
Mengenai makna dari prakpak ini adalah sebagai simbul suci dari kekuatan ," TEJA", serta memiliki fungsi sebagai penyomia , untuk mengembalikan kekuatan panca Maha Bhuta yg berasal dari unsur Teja .
Pengleburan dgn api dan asapnya..

4. KULKUL
Kulkul ini di buat dari batang bambu adalah sebagai simbul kekuatan Panca Maha Bhuta yg berasal dari unsur Akasa.beda dgn kulkul dr kayu..
Kulkul Dr bambu juga bermakna sebagai simbolis mengundang/membangunkan butabhuti untuk datang.

5. TULUD/LAMPIT/TENGALA
Tulud ini di buat dari bambu atau kayu adalah sebagai simbul suci dari kekuatan "BAYU" berfungsi untuk mengembalikan kekuatan panca maha bhuta , yg berasal dari unsur Bayu
Adlh simbolis alat pembersihan spt fungsi tulud itu sendiri

6 SAPU LIDI
Dalam melaksanakan meralina caru juga memakai sapu lidi berjumlah 12 helai dlh sebagai simbul suci dari kekuatan "PERTIWI" berfungsi untuk mengembalikan kekuatan panca maha bhuta , yg berasal dari unsur PERTIWI. Simbolis alat pembersihan sesuai fungsinya sebagai sapu angrapuhaken ikang Mala.

7 ARAK DAN BEREM
Arak dan Berem juga di pergunakan pada saat pelaksanaan upacara ini, dgn cara metabuh mengikuti yg lainnya , arak Berem ini merupakan simbul suci dari kekuatan "APAH" berfungsi untuk mengembalikan Panca maha bhuta yg berasal dari unsur Apah .
Adlh simbolis dr kekuatan matahari Dan bulan
Energy Panas dan dingin sebagai penetralisir kekuatan bhutakala.

8. SENGKUI
Adlh simbolik dr Tulang Manusia yg dianyam tengkurap memakai daun kelapa Di sesusikan dgn jumlah urip masing2 pengideran.

9.AYAM CARU
Adlh simbolik dr Rajas Dan Tamas. di jadikan olahan sate bayang2 peketengan biasanya sesuai urip pengideran.
begitu juga bulu ayam yg dipergunakan di sesuikan dgn warna2 arah Mara angin/pengideran.nyomya kekuatan rajas tamas menjadi satvika dr butahita mjd dewahita dlm buana alit dan buana agung sehingga menetap Dan menjadi sebuah Kekuatan sekala niskala . sebagai pengaktifasi kekuatan magis/gaib.
Caru artinya bagus, cantik, indah harmonis (dlm bhs sansekerta).
Jadi arti harfiahnya agar menjadi bagus/cantik/indah/Harmonis hubungan manusia dgn alam yg dsb Tri Hita Karana.
Bhuta adlh unsur dari alam yg dsb panca maha bhuta /Lima unsur Periwi Apah Teja Bayu Akasa.
Kala adlh perputaran dr planet2 matahari bulan Yg membuat perubahan musim Dan keadaan dsb juga waktu.
Jadi Bhuta kala adlh ruang dan waktu yg sewaktu2 bisa berubah2..
Seperti api dan Air bisa menjadi sahabat juga bisa menghsncurkan apabila manusia tidak berwiweka menggunakannya.
Adapun juga arti kata Bhutakala adlh waktu yg tak terlihat...
Yg tdk dapat dilihat oleh mata telanjang
Hanya dgn mata bhatinlah hal tersebut akan nampak dan bisa dirasakan.
Caru yg menggunakan ayam dsb caru Manca sata/amancaan.
Adapun caru2 yg lain Disesuikan oleh peruntukan besar kecilnya upacara tsb.
Kemungkinan ada perbedaan dlm pembuatan caru Di masing2 tempat sesuai dgn desa kala patra/dresta yg berlaku
Tidaklah dijadikan perdebatan..
Karna masing2 pemuput memiliki sumber yg berbeda2 sesuai dgn plutuk ataupun lontal yg ada..
Kalau ada kekurangan silakan di tambahkan