Kamis, 22 Februari 2024

SUGIHAN DALAM PANDANGAN VAJRAJNANA

 



Para leluhur memang memiliki kualitas dalam mewariskan konsep hidup buddha kepada generasinya dengan tradisi yang sangat luhur, penuh dengan kualitas makna bahasa sastra yang mendalam sebagai alunan budhiluhur.
Seperti kata " sugihan " yang memiliki kata dasar ' sugi ' yang memiliki makna pembersihan. Jadi sugihan mengandung arahan ajaran dalam rangka membersihkan buwana, baik itu buwana alit ( sugihan bali / vali / diri ) begitupula buwana agung yang dikenal sugihan java / jaba / luas.
Hari suci sugihan baik bali maupun java merupakan arahan lelaku spirit maupun laku fisik sebelum masyarakat akan melaksanankan hari raya besarnya yang dikenal Galungan dan Kuningan, dan diantaranya dikenal Pemacekan Agung. Ketiga hari raya besar ini seseungguhnya bersumber dari ajaran budha yang sangat luhur yakni sarvaka, pacceka dan samboddhaya.
Begitu banyak kekeliruan pandangan masyarakat pada ajaran murninya, dikarenakan mereka tidak memahami bahkan mengerti makna sastra jnana sebagai warisan leluhur yang sejatinya adalah para empukawi yang sangat sempurna dalam laku kesusatraan. Yang pada akhirnya banyak sekali penyimpangan - penyimpangan ajaran yang dikarenakan oleh buta sastra ini, bahkan sudah menjadi kebenaran masyarakat dikarenakan telah menjadi bahasa " mule keto "
Semoga dengan kembali dan bangkitnya ajaran buddhi luhur sebagai penguat masyarakat beragama standar seperti pada saat ini, dan semoga pula disadarkan melalui pengertian pada sastrajnananya.
Selamat hari suci sugihan kepada masyarakat sebagai persiapan akan melaksanakan hari raya Galungan dan Kuningan.

SUGIHAN JAWA



Wrahaspati Wage wuku Sungsang disebut Sugihan Jawa berasal dari kata:
SUGI , memiliki arti bersih, SUCI.
JAWA / JABA yang artinya LUAR.
Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung).

Sundarigama.
Sungsang, rehaspati wage ngaran parerebwan, sugyan jawa kajar ing loka, katwinya sugyan jawa ta ngaran, apan pakretin bhatara kabeh arerebon ring sanggar mwang ring parhyangan, dulurin pangraratan, pangresikan ring bhatara, saha puspa wangi. Kunang wwang wruh ing tatwa jana, pasang yoga, sang wiku anggarga puja, apan bhatara tumurun mareng madyapada, milu sang dewa pitara, amukti banten anerus tekeng galungan.
Pakreti nikang wwang, sasayut mwang tutwang, pangarad kasukan ngaran
Translate ;
Kamis Wage Sungsang disebut dengan Parerebon atau yang lebih dikenal dengan Sugihan Jawa. Dinamakan sugihan jawa karena merupakan hari suci bagi para Bhatara untuk melakukan REREBU di Sanggah dan Parahyangan, yang disertai Pangraratan dan Pembersihan untuk Bhatara dengan Kembang Wangi.
Orang yang memiliki kemampuan dalam hal tatwa akan melakukan YOGA SEMADHI , Pandhita akan melakukan Pemujaan Tertinggi, karena Bhatara pada hari ini turun ke dunia diiringi oleh para Dewa Pitara untuk persembahan hingga Galungan nanti.
Sesajennya yaitu Sesayut Tutuan atau Pangarad Kasukan.
Rerebu atau Marerebon ini bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif yang ada pada Alam Semesta atau Bhuana Agung.
Ong Rahayu

Jumat, 16 Februari 2024

Ngaben Shiva Sumedang “Sebuah Pilihan Bijak”

 



Dirangkum Moderator Lokakarya

Acharya Rishi Sadhu Giriramananda
SHIVA Sumedang - adalah salah satu dari 12 metode pengabenan tradisional yang mengadopsi “Lontar Local Genius Bali”. Pilihan pengabenan Shiva Sumedang ini di zaman now , sejatinya keputusan yang bijaksana, di tengah pengaruh kaum milineal , era 4.0 yang masif , dimana menuntut laku serba praktis, efektif dan efisien. Atas tuntutan itu mau tidak mau ada suatu motivasi melakukan suatu inovasi yang dikreasi berlandaskan plutuk basic dengan tanpa mengurangi esensi, hakekat mekanisme tatanan local genius Bali yang sudah diadopsi menjadi tradisi secara turun temurun itu. Menyimak jenis Pangabenan masih ada 11 jenis lainnya mengacu pada Kumpulan Weda Puja Pitra Shiva (Dinas Kebudayaan Bali 2001) yakni : 1. Sawa Prateka, 2. Sawa Wedhana, 3. Pranawa, 4. Swastha, 5. Pitra Puja, 6. Sawatandangmantri, 7. Utamaning atau Madyaning Mapranawa, 8. Supta Pranawa, 9. Swastya Bya, 10. Swasta Geni, 11. Pitra Tarpana. Lalu bagaimanakah hakekat Pengabenan Shiva Sumedang itu?
Shiva Sumedang khususnya meniti tatanan prosesi Pengabenan jalan (pemargi) Shiva yang gaib. Sumedang maknanya adalah gaib, niskala. Intinya, pola pengabenan Shiva Sumedang itu dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa dituntaskan (puput 5 jam). Dari persiapan ngeringkes di rumah, kemudian memprosesi badan wadah dengan ngaben di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi dengan sebelumnya dilakukan ngeroras di Segara yang ada Gunung. Namun sengaja dipilih tempat suci yang ada segara dan gunung dalam posisi menyatu. Seperti di Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu. Setelah ritual Nyegara Gunung itu tuntas, selanjutnya balik ke rumah sang lampus, dilakukan ritual Ngelinggihang menjadi Dewa Pitara di Rong Tiga, Mrajan genah rumah sang lampus sebelumnya. Nah.. demikian dirangkum “Semiloka Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu” Semiloka Nasional digelar Yayasan Veda Poshana Ashram Pusat dengan bekerjasama dengan Swargashanti dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI ) Provinsi Bali. Hadir pada seminar itu 285 peserta dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Jawa, 212 , Hotri, Pinandita dan termasuk 73 Sulinggih / Pandita Agni. Tampil sebagai Pembicaara Dharma Adyaksa PHDI Pusat , Ratu Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba, Ida Pandita Nabe Mpu Abra Baskara Mukti Biru Daksa, Ketua Sabha Walaka PHDI Bali Dr Made Suasti Puja, SE, M. Fil H, Hadir Juga memberikan wacana suci Ketua PHDI Bali Prof Dr . IGN Sudiana, M. Si, President World Hindu Parisad Dr Mangku Pastika dan Penangjawab Acara Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Agni Yogananda. Semiloka ini dimoderatori Ida Pandita Rsi Acharya Swi Rarendra Mahadharma (sesi pertama seminar) dan Ida Pandita Agni Acharya Rishi Sadhu Giriramananda (Sesi II Lokakarya)
Pilihan Bijak
Penanggungjawab acara Pandita Nabe Sri Bagawan Agni Yogananda, mengungkapkan perasaanya sangat bahagia, lebih lebih bertepatan dengan Hari Pawetuannya / otonannya. Dengan redah hati mengatakan kepada segenap hadirin yang dihormati sebagai jiwa jiwa mulia dan penuh cinta kasih. Menurutnya, Semiloka Pitra Yadnya dengan sub tema Shiva Sumedang ini, sebuah pilihan sangat bijak bagi umat Hindu di zaman now. Tema yang diangkat dalam semiloka ini bukan saja menantang bahkan sangat merangsang. Sehinga peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi. Di antara jenis jenis yadnya, Pengebenan ini sebetulnya ritual yang dilakukan sejak zaman Purba. Namun dalam aplikasinya warga sering mengalami kebingungan menempuh pilihan jenis serta rujukan referensi petunjuk pegelarannya, sehingga pilihan terakhir minta petunjuk balian. Relatif banyak mengabaikan sastra secara murni sebagai pedoman dominan. Nah kemudian hasilnya lain balian lain pula bawos pewisiknya. Maka parahnya kemudian bukan tidak mungkin akhirnya ngaben itu bisa diulang. Agar tidak muncul kejadian seperti itu, kalau tidak punya sradha / keyakinan mau tidak mau dituntut lebih bijak mempelajari sastra atau tatwa dari Pengabenan itu.
Namun di sisi lain ada fenomena penyelenggaran pitra yadnya ngaben itu dengan stigma “ngabehin” . Karena itu tidak salah menjadi suatu beban pihak pihak yang tidak memiliki dana memadai.
Sedangkan dari segi kuantitas prosesi ngaben itu dikelompokan menjadi 9 macam yakni: nistaning kanista, nistaning madya, nistaning utama, madyaning kanista, madyaning madya, madyaning utama, utamaning kanista, utamaning madya lan utamaning utama.
“Sesungguhnya yang mana saja dipilih, tidak ada yang salah. Terpenting sesuai dengan sradawan labate jnana - srada dan melalui pengetahuan itu menjadi keyakinan yang teguh,” tambah Ketua Veda Poshana Ashram Pusat itu.
Akan halnya prosesi Shiva Sumedang itu efektif , teknis nya dilakukan di zaman now, substansi mekanismenya, ada prosesi pemisahan stula sariran dan suksma, sekaligus sambil menunggu pengabenan sesi prosesi atma/ ngeroras jalan terus. Kemudian Puspalingga dan Sange diprosesi di segara , dengan nyegara gunung , selanjutnya Ngelinggihang Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Karena itu tidak aneh , jika durasi waktu yang diperlukan dari prosesi Shiva Sumedang itu jadi singkat.
Semoga Jadi Bhisama
Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, selaku Ketua PHDI Bali, mendukung penuh semiloka nasional Shiva Sumedang ini. Bahkan, hasil semiloka itu diharapkan bisa dikumpulkan, kemudian dipakai bahan dalam pesamuan nasional PHDI Pusat nantinya. “Nanti bisa dibawa ke pesamuan agung. Semoga bisa menjadi bhisama terkait pitrayadnya yang efektif dan efisien,” harap Rektor Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa itu.
Prof Dr IGN Sudiana, juga menegaskan dirinya secara pribadi sering turun terlibat pengabenan massal. Seperti di Muncan, PHDI bekerjasama dengan Telkomsel. Di masyarakat masih ada masalah berbagai hal pada umat hingga ada 7 keturunan belum diprosesi ngaben. Menurut , Yama Tatwa jika kurang setahun tidak diaben, banyak menjadi bute cuil. Pengabenan Shiva sumedang yang dilakukan ngelanus alias selesai sehari ini sangat bagus. Karena itu Seminar Lokakarya Nasional ini sangat strategis dan bijak sebagai salah satu pilihan ngaben. “Jadi banyak ada pilihan, manut eka struti binacara” Upacara Ngaben di Jawa, Kalimantan, Sulawesi satu jenis saja ada yang disebut Tiwah, Turan turan, Nyewu. Memang pilihan model pengabenan di Bali banyak ragamnya. “Namun semua jenis pengebenan itu sah - sah saja” tegas Prof IGN. Yang terpenting substansi upacara itu dilakukan dengan hati tulus las carhya dengan penuh sradha . “Karena itu rumuskan yang baik prosesi Ngaben Shiva Sumedang ini,” pinta IGN Sudiana menekankan.
Solusi Bijaksana
President World Hindu Parisad (WHP) , Dr Mangku Pastika, menyambut baik metode pengabenan Shiva Sumedang ini. Apalagi disemangati dengan suasana hati suci dan tujuan mulia. “Saya menyambut baik, Pengabenan Shiva Sumedang ini adalah salah satu solusi yang baik melakukan swadharma bhakti kepada orang tua yang ada menganggap sebagai beban. Agar umat Hindu tetap eksis mau tidak mau harus diselamatkan dengan cara solusi bijaksana, dimana beban yang dirasakan umat harus diringankan dan dikurangi secara perlahan. Tetapi sudah pasti tanpa mengurangi esensi, “ pinta Mantan Gubernur Bali itu.
Hindu sangat adaptif terhadap perubahan, sesuai Desa Kala Patra. Intinya Sanathana itu adalah Nutana abadi tetap remaja atau chiranjiwi. Jadi, kalau kita kaku, hanya berpendoman masa lalu, sering kemudian diapresiasi sebagai suatu yang ribet, menyulitkan sehingga jadi beban. “Perubahan secara bijak dan ideal harus dilakukan, namun bukan berarti menghilangkan budaya yang merupakan hasil cipta rasa karsa yang luhur. Perubahan itu menyusuaikan agar kita tetap survive, dan juga tidak ada konversi - pindah agama, “ ujar mantan Kapolda Bali dan Kalahar BNN itu.
Gerakan Veda Poshana Ashram Pusat, yang melakukan perubahan perubahan cerdas dan bijak sangat bagus. “Gerakan VPA Pusat ini saya sambut baik dan dukung, “ tambah salah satu anggota DPD Bali itu
Ada juga kelompok comportable - sudah ada di zone nyaman - mereka cenderung tidak mau berubah. Dan kemudian memberi pengaruh bagi umat itu, sehingga memunculkan alasan “takut” kepongor. Ada pula tidak masalah melakukan karena dalih “gengsi” sebagai motifnya. “Mestinya beryadnya itu landasannya bakti yang murni full keilklasan”
Yadnya itu pada hakekatnya ada dalam frame dasar triguna - satwika, rajasik, tamasik. Beryadnya yang ideal itu harusnya dengan rasa bakti penuh penyerahan diri tanpa pamerih.
“Kenyataanya sengaja membuat yadnya besar , supaya dibilang tidak nista. Diliput dijadikan berita besar dengan biaya Rp 3 miliar. Hal seperti itu tergolonng upacara rajasik, mereka itu inggin dibilang hebat,” tambahnya
Celakanya masyarakat tidak mau kalah. Maka kemudian apa yang terjadi, melakukan upacara pitra dengan cara berutang. Ada carik , sawahnya diiklaskan dijual, SK digadaikan di bank. Di sisi lain ada sebagian pihak ngalih bati - mencari untung- , “ upacara model itu tergolong tamasik. Dosa yang ngalih untung itu besar sekali. Karena itu, mana yang kita pilih ?. “Mari kita pilih sesuai semiloka ini , sebab ada suatu proses transformasi dari ritual ke spiritual, “ tambah lulusan terbaik Akpol itu. Karena itu kemudian dengan nada kritis Dr Mangku Pastika bertanya apakah yadnya ngaben itu ukurannya bebangkit?. Atau yadnya Utamaning utama ?. Banyak masih belum paham esensi yadnya itu. “Masih bagus belum ada yang nanyak. Apa makna itu, untuk apa substansinya ini,” kata Pastika yang disambut gerr hadirin.

“Setuju Pengabenan Shiva Sumedang itu sebuah pilihan yang bagus” yakin tetap pada substansi makna prosesi pitra yadnya, dari jasad, tulang, atma menjadi Dewa Pitara. Lalu bagimana halnya kalau ada memotoh, judi,, minum, narkoba. “Apakah mereka layak jadi Bhetara,” tanya Dr Mangku Pastika dengan kritis . Dia sendiri yang sudah berusia 69 ini, bertekad bulat memanfaakan sisa hidupnya, agar layak jadi bhetara. Layaknya kita semua menjadi bethara?
Dirikan Koperasi Ngaben
Ketua DharmaAdyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba yang berencana menggelar prosesi tingkat Diksa trijati di India, menyatakan pelaksanaan yadnya itu “roh” nya harus ada kesepakatan antara Sang Tapini, Pamuput, dan sane Medue Karya. Kesepakatan sarwa prani hitangkari. Kembali ke makanisme asal perlakuan, parikrama atau seremoni itu. Prosesi Ngaben , kalau umat percaya tidak masalah dilakukan dengan prosesi dibakar cara Homa Traya, Homa Yadnya, Agni Hotra dan lumrahnya dengan tradisi local genius Bali yang diwarisi secara turun temurun. Kata Ngaben itu seidentik sama tidak serupa dalam perlakuan vokal , p b m yang masih satu artikualasi dengan kata produksi Prapen, kemudian menjadi Ngaben bukan Paben. Terkait Ngaben itu, kita lihat utility - ketepat gunaan- Karena itu kita tidak perlu bertengkar. Misalnya ada yang memilih Ngaben dengan menggunakan Api Suci Homa Traya. Hal itu sesungguhnya tidak masalah. Sebab Pedanda, Sulinggih , Pandita menggunakan juga api yang disebut Pedamaran. Yadnya homa dilakukan diri kita atma kunda dalam proses Dagdi Karana. Biarkan kearifan lokal itu mengalir. Apa yang diaben/ apa yang dibakar, jenasah , tulang dgn atman - jiwa - perlakukan dengan ngaskara - satu jenasah dibakar kemudian Dewa Pitara dilinggihang di merajan.
“Dalam prosesi ritual itu semua jenis badan diprosesi suci. Baik itu stula sariranya dipreteka, suksma sariranya dengan ngewangun dan ngajum, atma dengan ngadegang sawa, Kita meyakini ada kehidupan di dimensi lain yakni rumah rong telu di Mrajan masing masing. Kalau ngaben dianggap wajib, maka kita manajemen dengan baik sejak dini sehingga pada saatnya tidak susah. Ayo kita nabung sedikit. “Mari kita buat Asuransi Ngaben, dalam wadah Koperasi. Mungkin dengan dana abadi Rp 5 juta. Kan sangat terjangkau. Dengan jaminan dikremasi tuntas di Mumbul dan kemudian Ngelinggihang. Ketika dimanejemen dengan bagus, jadi umat tidak ada masalah dengan dana , saat kelayusekaran dan pasti masuk sorga. “Hal itu penting diatensi, agar jangan hidup sudah susah, mati pun susah. Dengan ikut Koperasi, hidup bahagia swarga masuk ke Shivaloka . Mari bangun pola pikir yang bijaksana. Maka pastinya yang sulit akan jadi gampang. Yang gampang jadi terjangkau.
“Tidak ada yang salah. Harapan saya mari kita bersatu padu, untuk mewujudkan jagadhita dan moksartam. Dan membuat Koperasi Pengabenan, “ pinta Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba
Dari Kingkara Jadi Shankara
Sedangkan, Dr Made Suasti Puja, dengan rendah hati dirinnya mengatakan bahagia jadi pengayah. Ia mempercayai ada proses elevasi spiritual dari kesadaran Kinggarabala menjadi Shankara. Sebagai Mantan Ketua Swarga Shanti dan Mantan Ketua VPA, ia percaya pada saatnya menjadi Dewa Hyang / Dewa Pitara dan menyatu dengan Tuhan. Tujuan hidup kita adalah mewujudkan “Atmanah mosahrtam jagadhita ya ca. Karena itu,
Ketua Sabba Walaka PHDI Bali, itu mendorong kita harus terus menerus bershadana ekstra keras, berupaya mewujudkan atma saksatkara - realizasikan diri , jagadhita lahir dan bhatin. Fokus pada Kesadaran Atma widya / Brahma Widya , jnanaagni yang dapat membebaskan kita semua.

Jangan Ajum Amah Gengsi
Pembicara Utama Seminar itu tampil paling terakhir sebagai keynot specker, dan juga sekaligus pada Sesi II jadi Nara Sumber Loka Karya Siva Sumedang itu, adalah Ida Pandita Nabe Abra Bhaskara Mukti Biru Daksa. Suasana dibuat meriah , banyat tawa audensi mengapresiasi narasi narasi kocak dan guyonan segar sang orator top itu. Kepribadian Nabe Abra yang cerdas, kocak dengan juke juke menggitik, tidak pelak membuat audiens ketawa terpingkal pingkal. Namun juga Nabe Abra Bhaskara terkadang serius dengan pemaparan deskripsi Pangeban Siva Sumedang itu secara holistik, sistematis, terskruktur, karena Beliau telah memimpin upacara itu bukan lagi belasan tetapi puluhan kali. Menurutnya, dalam penyamaan visi Pengabenan ala Shiva Sumedang ini tetap harus menggunakan wiweka. Menentukan pilihan tentu berdasarkan Iksa, - pahami dulu, Sakti - ukur kesaktian dananya, kude isi kantonge, Desa — , tempat pelaksanaanya, dan Kala - waktu. Siapa berani dengan kala yang paling kejam itu. Kala tidak bisa diajak kompromi alias KKN. Karena itu idealnya begitu meninggal harus diupacarakan dengan baik walau simple tidak masalah. Hidup sebagai manawa ini punya utang pitra rnam. Utang itu menuntut dibayar, semaksimal mungkin harus diusahakan. Kita harus bayar pengorbanan orang tua yang sudah beryadnya kepada kita dengan tulus, bukan saja orang tua kita itu atulungurip, angupadyaya abelapati - demi sukses anak anaknya. Begitu besar pengorbanan orang tua. “Karena itu jangan pernah kita tidak membalas budi baik orang tua kita. Maka kalian wajib bayar utang itu, menghormati nya dengan cara memberi pengakuan dan yadnya yang pantas . Pitra yadnya sekala, menolong orang tua. Moksartham jagadhita — patru mitru wandanam “You must believe full” ujar Pembina VPA yang disambut terpingkal pingkal hadirin. Dan juga melakukan yadnya secara niskala. Lalu apa itu pitra yadnya niskala. Yadnya niskala itu merupakan satu paket prosesi dari tiga upacara sawa wedana - pengeringkesan , Asti wedana - nguyeh tulang ngayut ke pasih Atma wedana - memproses yang membungkus ngaskara penyekahan - apang tidak negul atma sarira budal ke sunya.
Sulinggih idelnya bukan saja sebagai konseptor yang baik. Sang Dwija juga wajib sebagai konselor dan juga Sang Pandita itu sekaligus sebagai motivator dan inovator. Dan terakhir serta terpenting sebagai eksekutor. Karena itu harus mampu mengeksekusi dengan baik.
Setelah prosesi Atma wedana - kemudian menjadi Dewa Pitara - sesuai tradisi kemudian ngelinggihang di Sanggah Rong Telu Kemulan. Sesungguhnya setelah prosesi atma sarira itu, sudah selesai karena sang Dwija dengan tantra, mantra, yantra dan mudranga mengantarkan pada jalan manjing ring Sangkan Paraning Dumadi. Lalu kenapa dilinggihkan di Sanggah Kemulan ?. Sudah tentu , agar pratisentanenya - keturunannya - ketika rindu inggin mengenang beliau cukup melalui Sanggah Kemulan.
Memang manarik salah satu metode Pengabenan itu yakni Shiva Sumedang ini diangkat dalam semiloka Nasional VPA , jika menilik etimologi nya memang serem / angker sekali . Shiva Sumedang itu terdiri dari Shiva dan Sumedang. Maknanya Dewa Shiva turun menggaibkan dengan bhisama puput/ selesai prosesinya hanya dilakukan di setra. Sebab, dalam prosesi Pengabenan itu sudah ada intervensi Shiva. Lalu kenapa harus ragu. Setelah Semiloka ini, jangan ragu ragu lagi. “Mari belajar memprosesi kematian dengan baik dari sekarang,” harap Srimpu Abra Baskara.
Tidak perlu menggunakan “bebangkit” dengan Shiva Sumedang ini.
Terkait pengabenan di Bali, dasar hukum sastranya memang banyak, jika dihitung lebih 50 lontar.
“Intinya prakerti itu kembali ke Bhuana Agung . Sedangkan Atma / Paramatma menyatu dengan Purusha ke Sangkan Paramaning Dumadi, “ tegasnya.
Lalu bagaimana ketika menghadapi kelayusekaran itu. Langkah pertama harus membentuk panitia kecil , kemudian menetapkan pilihan pada cara Pengabenan Shiva Sumedang. Jazad diringkes sesuai makanismenya, kemudian berangkat ke setra, yang belum natab penyambutan — mengetus - menghilangkah kedukaan, mapepegat - meperas jalan - bayar tol setiap perempatan. Selanjutnya saat iring iringan stana pitra dan yang paling belakang adalah sulinggih. Mungkin aneh, demikian lah model Siva Sumedang itu. Setelah di setra jenasah dibakar, pangadeg dibawa ke prajapati. Sulinggih munggah ngarga weda puja , kemudian ngaskara pengabenan, medyus kamaligi , melukat menjaga jaya menghadap ke surya dan mengundang dewa dewa terkait. Juga dilakukan penebusan ke prajapati, by pass margatiga. Setelah itu sembahyang mohon restu purwa daksina chantingkan om namah shiva , sulinggih di Bale Pawedan nguncarang mantra mantra Weda Pitra Puja. Selesai diproses itu ada peningkatan dari Pitra menjadi Pitara menggunakan mantra Saptaomkara Bhiseka, setelah itu Narpana , Semua dewa - dewa yang diundang pada saat mempersembahkan jemek dijemput Puspalingga Penyekahan. Selanjutnya Jemek dipralina ditaruh di atas jenasah yang dibakar. Saat itu prosesi nyekah tetap jalan sampai mapetik - puncak upacara penyucian - Dewa Pitara - kemudian Ngadegang Sangge , distanakan dan menjemput / ngundang Shiva Kailash agar puspalingga dan Sangge itu sungkem selanjutnya prosesi purwadaksina di sanggah cucuk - catur loka pala - lembu Nandini , kemudian munggah ke bale pyadnyan , Sangge, Puspalingga diayabang semua sentananya keluarga keturunanya “Ingat jangan tukang banten yang ngayabang. Wajib yang ngayabang itu yang punya yakni keluarganya. Para , sentanenya lah yang ngayab dan juga menyembahyangi,” tegas Mpu Abra Baskara. Setelah ngayab dan disembahyangi keluarganya. Puspalingga dan Sange diturunkan. Dewa Pitra dari Puspalingga dilinggihkan di Daksina linggih yang Baru dan Sangge juga baru. Sedangkan yang lama dibakar .. pembakaran di penyekahan nguleg tulang, Puspaasti pengabenan dan Puspaasti Penyekahan. Kemudian Dua Puspa Asti yang ditempatkan di Daksina Linggih yang baru mecaru di Pemuun mengucapkan terimakasih kemudian memargi ke Segara. Ketika berangkat ke Segara sedangkan di Mrajan saat itu juga dilakukan pecaruan. Kemudian segenap pecaruan itu sambehang ke pekarangan. Sedangkan di laut dilakukan prosesi dua Puspaasti, prosesi nganyut, nyegara Gunung dan meajar ajar dengan prosesi Pratista. Dasarnya tiga lontar, Purwa Bumi Kemulan,Lebur Sangsa dan Medang Kemulan.
Penyempurnaanya selalu kita wajib melakukan penghormatan sembah kepada laut dan darat karena itu dilakukan lah prosesi Nyegara Gunung itu sebelum Ngelingihan Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Puja kepada Bethara Darat nya Sang Giripati dan Sang Hyang Baruna , adalah lautnya. Intinya beragama itu sejatinya sradha - kepercayaan. Karena itu sampunang bobong apalagi ajum amah gengsi. Demikianlah benang merah Pamilaku/ Tatanan / Mekanisme yang terkuak dalam Seminar dan Loka Karya - Semiloka - Nasional Siva Sumedang dengan Subtema , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu, yang dilangsungkan di Gedung PHDI Bali Sabtu 7 Maret 2020 oleh Veda Poshana Ashram Pusat, bekerja sama dengan Swargishanti dan PHDI Provinsi Bali.

Dewi Saraswati , Sumber Pengetahuan Weda

 


Semoga Senantiasa Mengalirkan Parajnana
Kompilasi , Giriramananda
HARI Saraswati di Bali berotasi secara fixs setiap 210 hari sekali. Dengan perpaduan perhitungan panca wara, sapta wara dan pawukon maka hitungan satu bulannya diperoleh 35 hari jadi selama 6 bulan, maka totalnya sama dengan 210 hari. Maka hari suci Saraswati di Bali diperingati pada Saniscara, Umanis, wuku Watugunung. Nah .. Hari Suci Saraswati penuh berkah itu , hadir hari ini 28 Agustus 2021.
Hari Raya Saraswati itu dikhususkan untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasi sebagai ilmu Pengetahuan baik terkait ilmu yg teraplikasi duniawi maupun hal kesucian / niskala. Ilmu pengetahuan baik sekala dan niskala, dalam dinamikanya memang tak bisa dibendung siapapun. Ilmu pengetahuan atau Saraswati itu terus mengalir , menyingkirkan kebodohan. Nah .. Dewi pemberi berkah pencerahan itulah yang dinyasakan sebagi Saraswati.
Dewi Saraswati merupakan sakti dari Tuhan trinitas pecipta dalam manifestasi Brahma. Jika ditelusuri, keberadaan Dewi Saraswati itu, memiliki historis sangat suci dan penting. Dalam Pustaka Suci Weda, eksistensi Saraswati adalah sungai yang mengalir di gugusan Himalaya, melewati lembah Bandrinat, Dewa Prayag, Risikesh, bahkan hingga Triweni di Allahabad, Utarpradesh, yang disebut sanggam/ campuan atau dikatakan pertemuan tiga Sungai suci, Gangga, Yamuna dan Saraswati. Saat Sang Pandita ngarga tirta suci prosesi surya sevana, tiga sungai suci yang riil nya ada di India itu, diundang dengan sakralisasi mudra, mantra , tantra, kuta mantra, pranawa,
Walau saat ini secara fisik di Triweni , keberadaan aliran sungai suci Saraswati tidak ada, namun di dekat Badrinath ,Uttarkhand, India air sungai Saraswati masih mengalir, kendati sangat kecil. Saraswati juga merupakan salah satu batas dari Brahmavarta, asal Bangsa Arya yang dikaitkan dengan sungai itu. Selain itu , Saraswati dianggap sebagai dewi bahasa, dewiwiwak , Sang Dewi juga dipercaya sebagai sumber, penemu bahasa Sansekerta dan hurup Dewa Nagari, selain merupakan pelindung kesenian dan ilmu pengetahuan secara holistik
Lalu bagaimana halnya Saraswati diapresiasi masyarakat Bali?. Di Bali khususnya, Hari Saraswati ini menjadi piodalan/ pujawali besar. Segenap masyarakat Hindu merayakan tanpa kecuali. Bertepatan Hari Saraswati, semua buku buku, lontar lontar kuno, dibersihkan dan kemudian disembahyangi, pada pagi namun ada juga melakukan sore harinya.
Sedangkan pada malam harinya dilakukan dharma tula, rembug sastra, mekekawin, mewirama, dalam perayaan untuk memuliakan turunnya tatwa Jnana yang disimbolkan sebagai pengetahuan baik sekala maupun niskala.
Di Bali, juga ada pakem niskala terkait proses pembelajaran sastra, diyakini pengetahuan itu bisa lebih cepat transformasinya bila dilakukan prosesi pewintenan/ sakramen saraswati, dimana lidah dirajah karena dipangkal lidah dipercayai kedudukan, letak , stana sakti nya Dewa Brahma itu.
Dengan disucikan maka saraswati megenah, hidup, dan dipercaya dapat memberikan tuntunan secara benar baik sekala lan niskala.
Terkait dengan Weda asal katanya wid diasosiasikan dengan ilmu pengetahuan dan juga diyakini anadhi / tak lahir dan ananta/ tak ada batas akhirnya.

Dalam terminologi modern, terkait proses pembelajaran ada istilah long life education - kita wajib terus dan senantiasa belajar hingga akhir hayat— Weda itu merupakan jnana yang mengalir atau Saraswati itu, memang tidak ada awal dan tak ada ujung akhirnya. Maka boleh jadi atas alasan tersebut, ilmu pengetahuan itu selalu mengalir sepanjang masa selama hari Brahman ini.
Nah sekarang tugas kita , bagaimana mengaplikasikan aliran pengetahuan saraswati, yang bak air sangat deras itu demi hal produktif, konstruktif dan kebaikan untuk kita semua yang masih di maya pada ini, selain sebagai bekal untuk pulang ke sunia loka kelak.
Yang disebut kitab suci umat Hindu bagian dari Saraswati itu, adalah Catur Weda. Merupakan empat pokok kitab yang dirangkum dari wahyu Tuhan secara apurushesya yang diterima oleh tujuh Maharsi Agung.
Catur Weda itu terdiri dari Rg Weda yang berisi 10.552 mantram, Yayur Weda dengan 1.975 mantram, Sama Weda dengan 1.875 mantram dan Atharwa Weda dengan 5.987 mantram.
Bagaimana mungkin kita mempelajari ribuan mantram sebuanyak itu? Namun ada intisari-intisari mahawakya suci, bijaksara, eka sara, catur dasaksara dll yang diturunkan dari “kitab iduknya” ini. Mari kita baca dan kita resapi tentunya diamalkan dengan kemurnian hati, kesucian, ketulusan, semampu , yang bisa kita lakukan.
Nah bertepatan hari 28 Agustus 2021 yakni Saniscara Umanis Watugunung, disebut sebagai Hari turunnya dewi ilmu pengetahuan itu. Kita dengan penuh kesadaran, semangat, motivasi, mulai lebih tekun mempelajari Weda, smerti, lontar lontar Bali, sebagai ilmu pengetahuan suci yang dirumuskan para Maharishi Agung. Jadikan Kitab Suci Weda, sastra suci lainnya sebagai pegangan, tuntunan hidup yang baik di masyarakat.
Sudah barang tentu disesuaikan dengan kemampuan, bakat serta minat, motivasi. Intinya hari ini kita lebih khusuk memuja Dewi Saraswati dengan kesungguhan puja, kontemplasi pada Weda mata/ ibuWeda, sehingga anugerahnya mengalir menjadi penuntun kehidupan kita agar lebih, konstruktif
Para tetua kita di masa lalu menganjurkan sebelum membuka-buka Weda maka tubuh dan pikiran kita harus dibersihkan, disucikan lebih dahulu. Dari sini lahir apa yang disebut dengan sakramen suci, pewintenan saraswati. Selain itu, juga harus dibiasakan membaca , Weda, dan kitab suci lainnnya, yang lumrah disebut parayana setiap hari.
Entah itu membaca Sruti, Smerti, Itihasa, Purana, Lontar Lontar Kadyatmikan, Lontar Suci lainnya Bhuwana Kosa, Tatwa Jnana, Jnana Shidanta, Agastya Parwa, Ganapati Tatwa , BG, Yoga Wasistha, mungkin juga Kitab Jnana dari Ramana Maharsi, Bisa juga Sri Rudram- Namakam- Camakam, Purusha Suktam, Durga Suktam, Shivopasana Mantram, Ganesha Atharwashirsam, Narayana Upanisad, Surya Upanisad, Durga Suktam, dll
Starts today, ayo kita tekuni berikan waktu ekstra untuk baca Weda , Sruti, Smerti, Lontar Bali , sehingga literasi wawasan kita lenih luas, komprehensif terkait tatwa jnana. Di hari raya saraswati ini kita sucikan semua kitab - buku pelajaran, buku sastra, buku agama, lontar dan sejenisnya- dengan memberikan persembahan sesajen dan tirta , sehingga harapannya pembelajaran tatwa jnana bisa lebih meresap, jenek dalam diri
Dewi Saraswati adalah "sakti" dari Dewa Brahma,sang pencipta. “Sakti” dalam bahasa yang populer di Bali dalam paradigma umum di masyarakat sebagai istri Dewa Brahma. Eksistensi Dewa Brahma yang merupakan dewa pencipta, itu pada dasarnya mengejawantah karena mision pencerdasan jnana melalui ilmu pengetahuan tersebut.
Karena itu, segenap umat dianjurkan menuntut ilmu dengan penuh semangat dan semaksimal mungkin, dengan senantiasa ngarad, memohon anugerah Dewi Saraswati, agar bisa menciptakan karya karya fenomenal , penuh kreatif , inovatif dalam wujud apa pun sehingga bermanfaat bagi semua mahluk hidup.

Dewi Saraswati , disimbulkan, memiliki lengan empat. Ada yang memegang kecapi, ada yang memegang aksamala atau genitri. Kemudian tangan lainnya memegang damaru atau semacam kendang di Bali, dan tangan satu lagi memegang buku. Ada merak dan angsa di sampingnya.
Semua itu sejatinya terkait simbol-simbol tentang ilmu yang tak habis-habisnya dipelajari dengan cara mencintainya. Ilmu yang akan memperindah budi, budi menyucikan jiwa, ketika jiwa tersublimasi optimal maka Atma saksatkara / kesadaran Atma terealisasi.
Selain itu Saraswati punya wahana angsa. Kenapa ada angsa? Angsa merupakan hewan sangat bijaksana, Hamsa. Dengan pedang wiwekanya, mampu membedakan yang buruk- baik, satya asatya, merthyu amritam, tamas jyotir, yang merupakan aspek dwa dwa terelasi dalam oposisi binnar.
Angsa binatang suci dan cerdas, ia bisa mencari makanan di lumpur, tetapi tak pernah ada lumpur yang masuk ke tubuhnya. Makanan itu disaring, lumpurnya dibuang, dengan bijak si Angsa itu memilah milah, sehingga makanan bersih masuk ke perut sebagai sumber kehidupan bermanfaat.
Begitulah sebaiknya ilmu itu diamalkan. Jika ada Ilmu mendorong , memicu kerusuhan, konflik, ketegangan, sudah seharuslah dibuang jauh jauh. Dan ilmu yang konstruktif, yang membuat kesejahteraan, kedamaian, cinta kasih, berujung sat cit ananda yang mestinya terus dipelihara.
Di Bali, Dewi Saraswati dipuja dengan sesajen khusus, tapi sudah banyak dijual di pasar-pasar. Harga termurah Rp 25 ribu hingga lebih. Coba diperhatikan dalam sesajen itu, ada ciri khas, yakni jajan yang melambangkan cecak.
Apa kira kira makna cecak itu. Cecak merupakan simbul keheningan. Suara cecak sering terdengar ketika kita sembahyang, dalam hening meditasi. Para lingsir kita sering mengingatkan, jika kita dalam keadaan puja khusuk, dan meditasi, lalu ada suara cecak maka itu diyakini sebagai pertanda baik.
Mari kita membaca Sruti Weda mulai hari ini, apakah itu Sruti, Smerti, Ithiasa, Purana termasuk lontar lontar suci Bali dan lontar kadyatmiakan Bali, atau tafsir-tafsir yang sudah dibuatkan dalam bentuk kekawin dan tembang alit.
Dan akhirnya mari kita berdoa bersama:
Om Saraswati namastu bhayam, warade kama rupini, sidharambhan kari syami, siddhir bhawantu me sada. Om Saraswati ya namah swaha.
Namaste shaarada devi kaashmir pura vaasini twaamaham praarthaye nityam vidyam daanam cha dehi me
Om Aim Saraswati namah
Om Aim bad vad vaagvaadini svaha
Om hreem Saraswatyai namah
Om aim vaagdevyai cha vidhmahe
Kamrajaayaa dhimahi
Tanno dewi prachodayaat
Om prathamaan bharati naam dwityam cha Saraswati trutiyam shaarada devi , chaturtham Hansavaahini . Panchamam Jagati khyataa , shashtam Vageseshwari tatha, Saptamam Kumudi proktaa, Ashtamam Bhrahmachaarine , navamam Buddhidarti cha, dashamam Varadaayini ekadasham Chandrakaanti, dwardasham Bhuvaneshwari, dwadashaitani naamaanu trisandhyam yah pathenaraha jivahgre vasate nityam Bhramarupa Saraswati.
Ampurayang para Maha Rishi, Guru , Nabe niki wantah sematra dari Giriramananda. kirang langkung aksamaang lan druwenang sareng sami.

Tantra Kadyatmikan dan Kwisesan

 


Dalam laku Tantra Kadyatmikan dan Kwisesan, Sanghyang Aji Saraswati tidak saja dipuja dalam sosok atau citra dewi tertentu, tetapi ditempatkan di dalam diri sebagai Sanghyang Aksara Jati atau Sanghyang Sastra Jati dalam wujud aksara yang sangat rahasia. Dimanakah beliau ditempatkan di dalam tubuh? Beliau mendiami beberapa tempat yang sangat rahasia di dalam diri. Saya akan menceritakan satu tempat saja.
.
Sanghyang Aji Saraswati menempati pangkal lidah (bogkoling jihwa). Di tempat itu beliau berdiam dalam wujud aksara yang sangat rahasia. Pangkal lidah atau Campuhan yang menghubungkan antara Sanghyang Tri Nadi dengan lubang hidung, kepala dan mulut. Pada titik itulah disebut Marga Tiga atau pertigaan tubuh dimana persipangan jiwa ketika jiwa akan terlepas dari raga. Konon, ketika jiwa akan terlepas dari raga, di pangkal lidahlah ia menunggu sari nafas atau prana untuk mendorong jiwa terlepas bisa melalui ubun-ubun, mata, mulut, hidung dan telinga. Semua itu bergantung niat.
.
Pada pangkal lidah pula disebut alam Anyastana, yakni batasan antara alam Bapa Akasa dengan alam Ibu Pertiwi. Alam Bapa Akasa dari langit-langit mulut ke atas dan alam Ibu Pertiwi dari cekok leher ke bawah. Pertemuan antara alam Bapa Akasa dengan alam Ibu Pertiwi di pangkal lidah sebagai simbol Sabda di mana Bayu bersatu dengan Idep. Olehnya, Sanghyang Aji Saraswati disebut sari-sari aksara atau sastra pengetahuan dalam bentuk sabda.

.
Jadi, para penekun Kadyatmikan dan Kawisesan ketika hendak belajar mati (kelepasan), mereka memanunggalkan Bayu ( energi ) dan Idep ( pikiran ) pada Sabda ( getaran ). Getaran ini menjadikan Tirtha Panca Pawitra yang berdiam di otak mengalir melalui Sanghyang Trinadi dalam Sabda Ang, Ung dan Mang. Kemudian, tirtha menyentuh ujung api yang menyala dari dasar tubuh. Ketika air bertemu dengan api, maka munculah asap atau kukus (Sang Atma). Asap atau kukus ini kemudian naik sampai di pangkal lidah dan di sana menyatu dengan sari nafas atau udara. Pada akhirnya di pangkal lidah terjadi campuhan antara asap, air atau tirtha dengan api dan udara atau angin. Setelah itu tinggal diniatkan asap yang sudah bercampur api, air dan angin hendak mengarah ke lubang pintu yang mana untuk terlepas.
.
Sebelum sampai pada itu, alami dan masuki tubuh untuk bertemu dengan kediaman Sanghyang Aji Saraswati di dalam diri. Untuk itu, Tantra Kadyatmikan dan Kawisesan mengarahkan kita untuk melampaui sosok atau citra Sanghyang Aji Saraswati, sebab sejatinya beliau bukan sosok tetapi aksara rahasia yang berdiam di pangkal lidah. Jadi, bisa saja aksara itu menakutkan, tidak sebagaimana sosok yang selama ini dicitrakan bahwa Dewi Saraswati itu cantik.
*Rahajeng Rahina Saraswati, semoga Sanghyang Aji Saraswati memberikan karunia sari aksara dan sastra pengetahuan.
~ sandi reka ~