Sabtu, 16 Maret 2024

NYEPI

 


Oleh : ipmagradwijananda@gmail.com
Hari raya Nyepi merupakan hari besar keagamaan umat Hindu untuk menyambut datangnya tahun baru Icaka (1946) rangkaian kegiatan penyepian sebagai berikut:
1. Kegiatan Pemelastian (Anyuntaken laraning jagat paklese letuhing buwana) MeList, Melasti, Mekiyis
2. Kegiatan Tawur Kesanga
3. Kegiatan ritual Penyepian (Catur Brata Penyepian)
4. Ngembak Geni
5. Dharma santhi
Hari Nyepi itu jatuh pada Tilem ke Sanga dimana menurut perhitungan Matahari satu siklus tahun Caka dimulai dari Matahari berada di Equator berrotasi ke utarayana (arah Utara) lintas Utara kembali ke Equator diteruskan ke Daksinayana dan kembali ke Equator inilah yang disebut saktu siklus tahun Icaka.
Tahun baru di mulai dari tanggal ping siki (setelah tilem sasih ke sange) dimana diawali dengan kegiatan tawur kesanga yang berarti kita melakukan suatu yadnya yang bertujuan untuk pelestarian alam semesta didalam Hindu dikenal dengan penyelarasan hubungan kepada tiga unsur.
1) unsur alam semseta beserta isinya,
2) unsur sesama manusia dalam artian tidak membedakan keyakinan, derajat,
pangkat dan sebagainya
3) Unsur Hyang Maha Tunggal sebagai pencipta alam semesta ini.
Penyelarasan hubungan ini sering disebut dengan “TRI HITA KARANA”
Nyepi berarti “HENING” dan hening berarti 0 (Zerro) secara factual badan kasar kita ini adalah alat untuk pencapaian suatu tujuan, agar alat ini betul betul selaras, peka, sensitip, balance dalam pencapaian tujuan maka pada hari raya Penyepian inilah perlu di Zero Calibration.
Nyepi / Hening / Zerro juga merupakan “THE BEST TEACHER”
Karena dari kosong inilah otak / alam pikiran kita diajak berpikir secara cermat, selectif, effective sehingga kita isi kekosongan ini menjadi ada, contoh perut kita kosong pasti kita akan berusaha lebih giat lagi bagaimana caranya agar kosong ini bisa terisi.
Contoh yang lain lagi dalam dunia safety “ZERRO ACCIDENT” untuk pencapaian target ini, bermacam macam program / agenda safety kita terapkan, safety layer, sebagai prevention agar tercapainya sasaran safety Zerro accident.
Demikian pula ada suatu ceritra rakyat klasik di Bali yaitu ITAMTAM dengan pertanyaan yang menjebak putrid Adnyaswari, menanyakan apa sesungguhnya isi dari pada kosong itu ? (sane telas tunas titiang) sehingga putri raja inipun menyerah takluk pada Tamtam sang penakluk.
Tawur kesanga tadi salah satunya adalah penyelarasan hubungan terhadap alam semesta, yang didahului dengan PEMELASTIAN, yaitu penyucian diri terhadap alam semesta beserta isinya (Anyuntaken laraning jagat paklese letuhing buwana) diantaranya kita manusia sebagai mahluk yang takterlepas dari kehilafan.
Dalam lontar Sundarigama juga disebutkan bahwa pelastian berarti
“Amet sarining amerta kamandalu ritelengin samudra”
Doa Khusus adalah sebagai berikut :
Semoga gangguan terhadap bumi dan langit berakhir,
Semoga alam smesta memberikan kedamaian kepada kami,
Kedamaian adalah dambaan setiap mahluk hidup, Kedamain sejati sumbernya adalah “BERSATUNYA ATMAN DENGAN BRAHMAN”

Didalam penyelarasan hubungan terhadap sesama manusia diawali dengan tahun baru nyepi ini biasanya umat hindu melaksanakan internal introspeksi dengan ciri khas kegiatan adalah dengan melakukan “CATUR BRATA” penyepian diantaranya:
1) AMATI GENIi, bila dilihat secara simbolis umat hindu tidak mempergunakan api secara nyata tetapi hirarki dari pada tidak mempergunakan api adalah tidak membangkitkan api akrodha (marah), “SELF CONTROL” mengontrol diri jgn sampai menimbulkan amarah / krodha.
2) AMATI LELUNGAAN, berarti tidak melakukan berpergian dalam artian diam ditempat untuk melakukan introspeksi diri, dimana introspeksi ini lebih banyak melihat kebelakang apa yang sudah dilakukan, yang jelek kita tinggalkan yang baik kita lanjutkan dalam menuju tujuan hidup yaitu Mokshartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”  suka tanpawali Dukhita (inilah tujuan hidup yang sebenarnya dari umat Hindu) Dalam istilah kekiniannya sering disebutkan dengan analysa “SWOT”
 STRENGHTs : artinya kita perlu mengetahui apa yang menjadi kelebihan/kekuatan dalam diri kita yang perlu kiranya dipertahankan
 WEAKNESS :juga perlu diketahui apa yang menjadikan kelemahan diri ini sehingga terfokus untuk improvement
 OPPORTUNATIES: perlu membaca peluang yg bisa kita raih,sesuai dengan kompetensi, karena setiap seseorang sudah pasti memiliki talenta tentunya menciptakan sebuah kesempatan yg luar biasa.
 THREATS, Ancaman artinya kita perlu mengetahui dalam hidup ini sesungguhnya apa yang menjadikian hambatan untuk mencapai tujuan hidup ini.
3) AMATI LELUNGAAN berarti tidak berpesta pora / mengumbar hawa nafsu dalam hal kesenangan duniawi. Yang dimaksudkan disini dihari raya nyepi yang hening ini tidaklah layak untuk melakukan suatu kesenang-kesenangan yang bersifat duniawi karena diharapkan lebih banyak introspeksi diri, dan juga diikuti dengan Upawasa (puasa)
4) AMATI KARYA, yaitu tidak melakukan kegiatan / bekerja.
Makna dari tapa brata ini adalah umat hindu melakukan sumerah diri kepada sang maha Pencipta dengan melakukan lebih banyak menyebutkan smaramaranam (nama Tuhan), karena semua yang ada, akan ada dan telah ada akan kembali kepada Sang maha Pencipta (Manunggaling Kawula Kalawan Gusti) bak setitik titik embun berusaha untuk berupaya menyatu dengan samudra “SEKADI PEMARGAN TOYO NE SAKING GUNUNGE PACANG KE SEGARA” berbagai rintangan yang menghadang dijalan, namun tujuannya tetap menyatu dg samudra luas “I SEGARE TAN PETEPI”
Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan:
orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran).
Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit mendapatkannya. Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa.
Dipenghujung penyepaian ada suatu acara yang sangat khas, yaitu Dharma-Santhi ataupun sering kita dengan istilah Sila-Krama, saling berkunjung antara yang satu dengan yang lainnya, mengucapkan selamat atas keberhasilannya dalam melaksanakan brata Penyepian, dengan tanpa membedakan martabat dari setiap insani, dalam Reg Veda X 1912 mengemukakakn sebagai berikut:
“Wahai umat manusia, engkau seharusnya berjalan bersama-sama, berbicara bersama-sama dan berpikir yang sama, seperti halnya pendahulumu bersama-sama membagi tugas mereka, begitulah semestinya engkau memakai hakmu”


MELASTI - DALAM RENUNGAN

 


”Melasti ngaran amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara. ” Maksudnya: Dengan Melasti mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudra.
Dua kutipan Lontar ini, sudah amat jelas makna ritual Melasti itu sebagai proses untuk mengingatkan umat manusia akan makna tujuan hidupnya di bumi ini. Tuhan telah menciptakan berbagai sumber alam sebagai wahana dan sarana kehidupan bagi umat manusia hidup di bumi ini. Untuk hidup di bumi ini hendaknya menggunakan sari-sari alam ciptaan Tuhan. Ini artinya hendaknya dihindari mengeksploitasi sumber alam ini secara berlebihan. Untuk melakukan hal itu, umat manusia dimotivasi dengan ritual sakral tiap tahun dengan Upacara Melasti. Dari kutipan Lontar tersebut di atas, maka Melasti itu ada empat sasarannya yaitu:
1. Ngiring Prawatek Dewata. Artinya membangun sikap hidup untuk senantiasa menguatkan sraddha bhakti serta patuh pada tuntunan para Dewata sinar suci Tuhan. Umat Hindu di Bali melakukan Upacara Melasti dengan melakukan pawai keagamaan yang di Bali disebut mapeed untuk melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut dan sungai atau mata air lainnya yang dianggap memiliki nilai sakral secara keagamaan Hindu. Saat perjalanan suci dengan mapeed itu umat diharapkan melakukan bhakti pada Dewata manifestasi Tuhan dengan simbol-simbol sakral yang lewat di depan rumahnya atau sembahyang bersama saat sudah di tepi laut atau sungai.

2. Anganyutaken Laraning Jagat. Ini artinya dengan Upacara Melasti umat dimotivasi secara ritual untuk membangkitkan spiritual kita untuk berusaha menghilangkan Laraning Jagat (Sosial care). Istilah Laraning Jagat ini memang sulit sekali mencari padanannya agar ia tidak kehilangan makna. Kata Lara dan Jagat sudah sangat dipahami oleh umat Hindu di Bali. Lara ini agak mirip dengan hidup menderita. Hanya yang disebut dengan Lara tidaklah semata-mata orang yang miskin materi. Banyak juga orang kaya, orang berkuasa, orang yang berpendidikan tinggi, keturunan bangsawan hidupnya Lara. Orang kaya menggunakan kekayaannya untuk membangkitkan kehidupan yang mengumbar hawa nafsu. Kekuasaan dijadikan media untuk mengembangkan ego untuk bersombong-sombongria, atau menggunakan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi bukan untuk mengabdi pada mereka yang menderita. Demikian juga banyak ilmuwan menjadi sombong karena merasa diri pintar. Banyak juga orang yang meninggi-ninggikan kewangsaannya. Sifat-sifat yang negatif itulah yang akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Jadinya menghilangkan Laraning Jagat hendaknya diaktualisasikan untuk menghilangkan sumber penderitaan masyarakat baik yang bersifat Niskala maupun yang bersifat Sekala.
3. Anganyutaken Papa Klesa. Para Pinandita maupun Pandita dalam mengantarkan Upacara Keagamaan Hindu selalu mengucapkan Mantram: "Om Papa Paklesa Winasanam".
Mantram ini hampir tidak pernah dilupakan. Arti Mantram tersebut adalah: Ya Tuhan semoga Papa Klesa itu terbinasakan. Hidup yang ”PAPA” disebabkan oleh sifat-sifat klesa yang mendominasi diri pribadi manusia. Mengenai Klesa sebagai lima kekuatan negatif yang dibawa oleh Unsur Predana sudah diterangkan di bagian depan dari tulisan ini. PANCA KLESA (Awidya, Asmita, Raga, Dwesa dan Abhiniwesa) inilah yang harus diatasi agar jangan hidup ini menjadi papa. Hidup yang papa itu adalah hidup yang berjalan jauh di luar garis Dharma yang membawa orang semakin jauh dari Tuhan.
4. Anganyuntaken Letuhing Bhuwana. Yang dimaksud dengan Bhuwana yang ”LETUH” adalah alam yang tidak lestari. Letuh artinya kotor lahir batin. Atau dalam istilah Sarasamuscaya disebut ABHUTA HITA artinya alam yang tidak lestari. Bhuta artinya unsur yang ada. Bhuta itu ada lima sehingga disebut Panca Maha Bhuta. Lima Bhuta tersebut adalah: pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa. Lima unsur alam itulah yang wajib kita jaga kesejahteraannya. Jangan lima unsur Bhuta itu diganggu kelestariannya. Jadinya Upacara Melasti itu adalah untuk menanam nilai-nilai filosofis tersebut, sehingga setiap orang termotivasi untuk melakukan tiga langkah tersebut dalam hidupnya secara sadar dan terencana sebagai wujud bhakti pada Tuhan.
Tentunya Upacara Melasti akan menjadi SIA-SIA (99) kalau bhakti kita pada Tuhan tidak diwujudkan untuk membenahi diri dengan menjadikan informasi agama sebagai kekuatan melakukan transformasi diri menghilangkan Panca Klesa. Dari diri yang berubah itulah, kita meningkatkan kepedulian kita pada perbaikan sosial (Sosial Care) yang disebut ”Anganyutaken laraning jagat”. Selanjutnya Melasti untuk memotivasi umat melakukan upaya pelestarian alam lingkungan serta AMANTUK AKEN PREMANING JAGAT
Dalam Rangakaian pelaksanaan hari Raya Nyepi, umat Hindu biasanya melaksanakan upacara melasti. Upacara melasti, mekiyis atau melis, intinya adalah penyucian Bhuana Alit (diri kita masing-masing) dan Bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara.
Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa.
Sesungguhnya, pesan moral yang disampaikan oleh upacara ini adalah hendaknya setiap orang dapat menata diri membangun kesadaran untuk tidak ikut memberi kontribusi timbulnya penyakit masyarakat, mengotori dan merusak lingkungan, termasuk laut. Sebab, laut merupakan sumber kehidupan sebagian umat manusia, kalau laut tercemar bukan saja dapat mengurangi bahkan melenyapkan semua potensinya. KEKAYAAN LAUT SANGGUP UNTUK MENGHIDUPI SELURUH MAHLUK HIDUP DI ALAM SEMESTA INI, akan tetapi, TIDAK SANGGUP UNTUK MENGHIDUPI SEORANG MANUSIA YG TIDAK PERNAH BERSYUKUR AKAN ANUGRAH HYANG WIDHI WASA ( Hyang Baruna )
Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.
dari GRIYA KASEWAN BUMI BANTEN -Serang mengucapkan selamat atas suksesnya melaksanakan CATUR BRATA PENYEPIAN, semoga Tapa Brata Ini menjadikan diri kita semakin dekat dg Hyang Maha Kawiya. RAHAYU.


Jumat, 15 Maret 2024

Wewaran, Ekawara hingga Dasawara beserta Urip dan Dewatanya

 


Wewaran disebutkan membawa manfaat masing-masing, dan merupakan gelombang minor dari pawukon. Sehingga apapun yang dikatakan oleh sifat wewaran, akan kalah dominan dengan apa kata pawukon. Sedangkan untuk memberi arti atau nilai pada masing-masing hari dalam wewaran digunakanlah urip atau neptu. Ada 10 jenis wewaran atau ritme hari, yaitu sebagai berikut.
1. Ekawara
- Luang (tunggal, kosong) memiliki urip 1. Dewatanya Sanghyang Taya, dan letaknya di barat laut.
2. Dwiwara
- Menga (terbuka) memiliki urip 5. Dewatanya Sanghyang Kalima, dan letaknya di timur.
-Pepet (tertutup) memiliki urip 4. Dewatanya Sanghyang Timira, dan letaknya di utara.
3. Triwara
- Pasah atau Dora (tersisih) memiliki urip 9. Dewatanya Sanghyang Cika, dan letaknya di selatan.
- Beteng atau Waya (Makmur) memiliki urip 4. Dewatanya Sanghyang Wacika, dan letaknya di utara.
- Kajeng atau Biantara (tenakan yang tajam) memiliki urip 7. Dewatanya Sanghyang Manacika, dan letaknya di Barat.
4. Caturwara
- Sri (kemakmuran) memiliki urip 6. Dewatanya Bagawan Bregu, dan letaknya di timur laut
- Laba (berhasil atau pemberian) memiliki urip 5. Dewatanya Bagawan Kanwa, dan letaknya di barat daya.
- Jaya (unggul) memiliki urip 1. Dewatanya Bagawan Janaka, dan letaknya di barat laut.
- Menala (lingkungan) memiliki urip 8. Dewatanya Bagawan Narada, dan letaknya di tenggara.
5. Pancawara
- Umanis memiliki urip 5. Dewatanya Sanghyang Iswara, dan letaknya di timur.
- Paing memiliki urip 9. Dewatanya Sanghyang Brahma, dan letaknya di selatan.
- Pon memiliki urip 7. Dewatanya Sanghyang Mahadewa, dan letaknya di barat.
- Wage memiliki urip 4. Dewatanya Sanghyang Wisnu, dan letaknya di utara.
- Kliwon memiliki urip 8. Dewatanya Sanghyang Siwa, dan letaknya di tengah.

6. Sadwara
- Tungleh (bohong, sementara) memiliki urip 7. Dewatanya Sanghyang Indra, dan letaknya di barat.
- Aryang (lupa, kurus) memiliki urip 6. Dewatanya Sanghyang Baruna, dan letaknya di timur laut.
- Urukung (ceroboh, punah) memiliki urip 5. Dewatanya Sanghyang Kuwera, dan letaknya di timur.
- Paniron (palsu, gemuk) memiliki urip 8. Dewatanya Sanghyang Bayu, dan letaknya di tenggara.
- Was (kekhawatiran, kesembuhan) memiliki urip 9. Dewatanya Sanghyang Bajra, dan letaknya di selatan.
- Maulu (pitam) memiliki urip 3. Dewatanya Sanghyang Erawan, dan letaknya di barat daya.
7. Saptawara
- Redite (Minggu) memiliki urip 5. Dewatanya Sanghyang Baskara, dan letaknya di timur.
- Soma (Senin) memiliki urip 4. Dewatanya Sanghyang Candra, dan letaknya di utara.
- Anggara (Selasa) memiliki urip 3. Dewatanya Sanghyang Angkara, dan letaknya di barat daya.
- Buda (Rabu) memiliki urip 7. Dewatanya Sanghyang Udara, dan letaknya di barat.
- Wraspati (Kamis) memiliki urip 8. Dewatanya Sanghyang Sukra Guru, dan letaknya di tenggara.
- Sukra (Jumat) memiliki urip 6. Dewatanya Sanghyang Bregu, dan letaknya di timur laut.
- Saniscara (Sabtu) memiliki urip 9. Dewatanya Sanghyang Wasu, dan letaknya di selatan.
8. Astawara
- Sri (makmur dan pengatur) memiliki urip 6. Dewatanya Sanghyang Sri, dan letaknya di timur laut.
- Indra (indah dan penggerak) memiliki urip 5. Dewatanya Sanghyang Indra, dan letaknya di timur.
- Guru (tuntunan) memiliki urip 8. Dewatanya Sanghyang Guru, dan letaknya di tenggara.
- Yama (adil) memiliki urip 9. Dewatanya Sanghyang Yama, dan letaknya di selatan.
- Ludra (peleburan) memiliki urip 3. Dewatanya Sanghyang Ludra, dan letaknya di barat daya.
- Brahma (pencipta) memiliki urip 7. Dewatanya Sanghyang Brahma, dan letaknya di barat.
- Kala (nilai dan peneliti) memiliki urip 1. Dewatanya Sanghyang Kala, dan letaknya di barat laut.
- Uma (pemelihara) memiliki urip 4. Dewatanya Sanghyang Uma, dan letaknya di utara.
9. Sangawara
- Dangu memiliki urip 5. Dewatanya Sanghyang Iswara, dan letaknya di timur.
- Jangur memiliki urip 8. Dewatanya Sanghyang Maheswara, dan letaknya di tenggara.
- Gigis memiliki urip 9. Dewatanya Sanghyang Brahma, dan letaknya di selatan.
- Nohan memiliki urip 3. Dewatanya Sanghyang Rudra, dan letaknya di barat daya.
- Ogan memiliki urip 7. Dewatanya Sanghyang Mahadewa, dan letaknya di barat.
- Erangan memiliki urip 1. Dewatanya Sanghyang Sangkara, dan letaknya di barat laut.
- Urungan memiliki urip 4. Dewatanya Sanghyang Wisnu, dan letaknya di utara.
- Tulus memiliki urip 6. Dewatanya Sanghyang Sambu, dan letaknya di timur laut.
- Dadi memiliki urip 8. Dewatanya Sanghyang Siwa, dan letaknya di tengah.
10. Dasawara
- Pandita memiliki urip 5. Dewatanya Sanghyang Surya, dan letaknya di timur.
- Pati memiliki urip 7. Dewatanya Sanghyang Kala Mertyu, dan letaknya di barat.
- Suka memiliki urip 10. Dewatanya Sanghyang Semara, dan letaknya di atas.
- Duka memiliki urip 4. Dewatanya Sanghyang Durga, dan letaknya di utara.
- Sri memiliki urip 6. Dewatanya Sanghyang Amerta, dan letaknya di timur laut.
- Manuh memiliki urip 2. Dewatanya Sanghyang Kala Lupa, dan letaknya di bawah.
- Manusa memiliki urip 3. Dewatanya Sanghyang Suksam, dan letaknya di barat daya.
- Raja memiliki urip 8. Dewatanya Sanghyang Kala Ngis, dan letaknya di tenggara.
- Dewa memiliki urip 9. Dewatanya Sanghyang Darma, dan letaknya di selatan.
- Raksasa memiliki urip 1. Dewatanya Sanghyang Maha Kala, dan letaknya di barat laut.

 

Kamis, 14 Maret 2024

Hindu (Sanatana Dharma)

 


Om Awighnamastu (adalah salam yang umum dipakai pada tradisi tulis menulis di Bali)

Om Swastiastu, Om Namaste

Hindu (Sanatana Dharma),
Spiritual dan Ilmu Pengetahuan senantiasa tak terpisahkan dan saling mendukung.

“Ilmu Pengetahuan dan Agama akan bertemu dan berjabat tangan. Puisi dan filsafat akan menjadi kawan. Ini akan menjadi Agama masa depan, dan apabila kita dapat mewujudkannya, kita dapat yakin bahwa itu akan terjadi untuk selama-lamanya dan bagi semua orang.”
-Svami Vivekananda-

Hindu adalah sebenarnya bukan agama sehingga akan sulit dikategorikan sebagai satu agama sebab kenyataanya adalah agama-agama ada dalam Hindu. Hindu dapat diibaratkan sebagai sebuah kampus besar dimana didalamnya terdapat berbagai fakultas-fakultas yang secara mengkhusus mempelajari ilmu pengetahuan. Dimana oleh fakultas-fakultasnya ini ilmu pengetahuan umum dijadikan sebagai disiplin ilmu terpisah sehingga otomatis tampak yang dimana sebenarnya ilmu ini adalah tunggal adanya terlihat berbeda-beda. Adalah tidak mungkin apabila ilmu pengetahuan untuk dipelajari semuanya karena kecenderungan manusia sendiri adalah juga beragam; rupa beragam, pemikiran beragam….maka beragam pula kecocokan, motifasi dan tujuannya meskipun dikatakan goalnya adalah sama. Kampus besar ini Bernama Hindu yang dimana Weda atau Science atau Ilmu Pengetahuan ini dipelajari secara mengkhusus dan dijadikan sebagai sebuah disiplin yang tersistem sehingga inilah yang disebut agama-agama (the agamas) pada Hindu. Karena agama itu adalah sebuah system atau sekolah (school) sehingga ketika berisi garis perguruan dan suksesinya maka disebut sampradaya.

 



Jadi yang disebut sect atau sekta di Hindu adalah yang dilabeli agama dan atau sampradaya tersebut dan itulah istilahnya bila diterjemahkan. Religion sendiri artinya juga setali tiga uang dengan agama yaitu sebuah system, lebih tepatnya system kepercayaan. Hindu adalah bukan sebuah agama yang tersentralisasi, bahkan lebih mirip disebut seperti system cryptocurrency yang sistemnya tidak terpusat tapi systemnya mengkhusus (peer to peer) terangkai kokoh meski tidak terpusat. Jadi sebenarnya system tak terpusat cryptocurrency yang peer to peer inilah mungkin dapat disetarakan dengan istilah desa-kala-patra. Hindu tidak memiliki garis Parampara tapi agama dan sampradaya didalamnya memilikinya. Sehingga Hindu tidak bisa dikaitkan pada satu tokoh Guru, tidak pula dapat dikaitkan kepada suatu wilayah sebagai pusat meskipun nama Hindu sendiri merujuk lokasi geografis Jambu Dwipa dan memang kebudayaan Weda ini berasal dari sana. Dimanapun wilayah Weda diagungkan maka itu adalah pusatnya sekaligus tanah sucinya. Sehingga yang disebut “Tanah Suci” di Hindu sendiri tidak merujuk satu lokasi tertentu. Karena di Hindu tidak ada tokoh yang paling sentra sebab semua tokoh sucinya adalah tokoh sentra maka juga tidak diketahui siapa gerangan pencetus Hindu paling awal.

Hindu juga memiliki lebih dari satu kitab suci, lebih dari satu kitab acuan aturan atau hukum yang disebut dharmasastra, lebih dari satu nama dan sebutan Tuhan, dst. Jadi sebenarnya tidak ada kriteria baku untuk seseorang dikenali sebagai penganut Hindu selain daripada kesepakatan dan pengakuan bahwa memang Hindu berdasarkan tradisi, rujukan naskah suci, dan sebagainya yang ternyata bersumber dari Hindu. Hindu juga tidak memiliki tradisi dan aturan tatacara konversi dan kerabat penulis sendiri ada yang perkawinannya tanpa melewati upacara konversi sebab itu terjadi sebelum tatacaranya dimatangkan. Karena upacara perkawinan pada tradisi Hindu di Bali sendiri sudah bermakna konversi salah satu mempelai untuk memeluk tradisi (dresta) dan Kuladewata keluarga pasangannya.

Om Ano Badrah Kartawo Yantu Wiswatah
-Vajrapani-

 

 

Rabu, 13 Maret 2024

Pemangku (Jero Mangku)

 


Pemangku (Jero Mangku) atau juga disebut Pinandita adalah orang suci yang disucikan melalui proses Ekajati / mawinten yang mempunyai wewenang sebagaimana dijelaskan dalam kusuma dewa, sebuah lontar yang berisikan tentang :
Gegelaran pamangku yang meliputi kegiatan pamangku dalam urutan penyelesaian upacara yadnya di pura.
Dan untuk mengundang seorang pemangku untuk menyelesaikan (muput) sebuah upacara yadnya disebut dengan Banten Penguleman sebagai wujud penghormatan kepada beliau.
Selain faktor keturunan, pemilihan pemangku dengan proses nyanjan dapat dilakukan dengan menggunakan kewangen yang salah satunya diisi rerajahan Ongkara kemudian kewangen itu digunakan untuk memuja Ida Bhatara di Pura tersebut seraya mohon panugrahan.
Kisah mangku Kocong sebagai pemangku baru | dalam belajar mantra, bahwa semakin sering dipraktekkan semakin baik hasilnya.
Pemangku sebagai pelayan atau perantara antara manusia dengan Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dalam Keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke-2 tanggal 5 Desember 1968, seorang pemangku disebutkan :
Mereka yang telah melaksanakan upacara pewintenan sampai dengan adiksa Widhi tanpa ditapak dan amati aran.
Kata "pemangku" berasal dari kata“Pangku” yang yang sebagaimana disebutkan dalam kutipan sesananing pemangku atau pinandita disamakan artinya dengan
“nampa” ,
“menyangga"
“memikul beban” atau
“memikul tanggung jawab”.
Dengan sesana pinandita tersebut sebagai suatu batasan ugeran prilaku dan wiweka pemangku untuk dapat mengetahui hal yang salah dan benar dalam memikul beban atau tanggungjawab sebagai pelayan masyarakat atau perantara umat manusia dengan Sang Pencipta yang dalam menjalankan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam kutipan tersebut hendaknya berpedoman pada kitab Silakrama kepemangkuan atau kepanditaan.
Dalam lontar Raja Purana Gama, dibedakan menjadi dua belas jenis pemangku dilihat dari Swadharma maupun tempatnya melaksanakan tugas sehari-hari :
Pemangku Pura.
Pemangku Pamongmong.
Pemangku Jan Banggul.
Pemangku Cungkub.
Pemangku Nilarta.
Pemangku Pandita (sonteng dll).
Pemangku Bhujangga.
Pemangku Balian.
Pemangku Lancuban.
Pemangku Dalang.
Pemangku Tukang.
Pemangku Kortenu.
Kewenangan dan hak seorang pemangku sebagaimana dijelaskan dalam kutipan tersebut :
Wewenang pemangku dalam menyelesaikan upacara upakara (yajña) sepanjang tidak bersifat prinsipil dan atas seijin / petunjuk pandita atau nabe yang bersangkutan. Adapun mengenai tingkat upacara yang dilaksanakan
Terbatas pada tingkat pedudusan alit. 
 
Kewenangan lain yang ada pada seorang pemangku telah di eka jati yakni dalam upacara-upacara seperti :
Menyelesaikan upacara Bhuta Yajña, sampai dengan tingkat menggunakan Caru Panca Sata.
Menyelesaikan upacara Manusa Yajña, diberi wewenang dari mulai bayi lahir sampai dengan otonan, dan pawidhi widana tingkat kecil seperti melukat dll.
Di dalam menyelesaikan upacara Pitra Yajña, terbatas sampai dengan mendem sawa (mekingsan Gni).
Membuat tirtha panglukatan / pabersihan dll
Nganteb upakara piodalan pujawali di pura atau merajan yang diemongnya sampai batas ayaban tertentu.
Nganteb (bukan muput) upakara pada upacara yajña tertentu di lingkungan keluarga dengan tirtha pamuput dari pandita.
Membantu pelaksanaan yajña tertentu dari pemangku suatu pura dengan seijinnya,
Dalam menggunakan Genta,
Menggunakan mantra, dan mudra tertentu bila sudah mewinten dengan ayaban bebangkit serta sudah mendapat bimbingan dan ijin dari pandita / Nabe.
Busana adat Bali yang dipergunakan berikut perlengkapan dari seorang pemangku antara lain :
Rambut panjang atau bercukur.
Pakaian: destar, baju, udeng, saput (selimut), kain dalam melakukan upacara, semuanya berwarna putih.
Dalam melakukan pemujaan menggunakan: genta, dulang, pasepan, sangku (tempat air suci atau tirtha ) bunga, Gandaksata, genitri dll
Penghargaan yang menjadi hak pemangku / pinandita :
Bebas dari ayahan desa adat;
Menerima punia sesari;
Menerima hasil pelaba pura (bila ada).
Disiplin Pemangku:
Menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri (bathiniah) dengan cara setiap pagi mapeningan;
Berpakaian sesuai dengan sesana kepinanditaan / kepemangkuan
dll;
Aturan
Cuntaka bagi Pemangku;
Tidak kena cuntaka karena orang lain
Terkena cuntaka bila ada anggota keluarga yang serumah meninggal dunia
Pemangku istri terkena cuntaka bila haid
Bila kawin / melakukan pawiwahan harus mesepuh (mewinten ulang) dengan tingkat ayaban yang sama seperti sebelumnya, bersama-sama istrinya.
Pemangku yang kena hukum karena tindak pidana (kriminal) diberhentikan sebagai pemangku oleh warganya.
Sawa pemangku tidak boleh dipendem.
Tidak cemer.
Selalu dislipin untuk tidak membuat tirta apapun, kecuali hanya memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Larangan – larangan yang patut dipatuhi seorang pemangku seperti yang termuat dalam lontar Kusumadewa, "Tan wenang mangan ulam : bawi, sampi atau sapi" dll.
Dalam mewujudkan pamangku yang ideal, disebutkan hendaknya pemangku menguasai materi tattwa sehingga bila materi tattwa tersebut telah dipahami, maka pemangku itu dapat mulat sarira, ngeret indriya, serta dapat mengendalikan diri secara kadhyatmikan, kajnanan, kaprajnan, dan kawisesan sebagai Pemangku yang sejati.
Perihal tingkatan pawintenan kepemangkuan menurut girikusuma sebagaimana disebutkan ada tiga tingkatan yaitu :
Pawintenan Sari | upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku.
Pawintenan Mepedamel | dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara selaku Panabean.
Pawintenan Samkara Ekajati | sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus mencari Pandita – Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron.
Beberapa kutipan tuntunan pemangku di dalam melaksanakan upacara Dewa Yadnya :
Ngastawa Bajra, Sebelumnya bajra disiratin tirtha, ukup di dhupa, baru ngaskara.
Ngaksama
Nunas Waranugraha, untuk memohon anugerah dalam berbagai macam wujud dan bentuk.
Panca Aksara Stawa, untuk memohon karunia tersendiri dalam menyelamatkan jiwa.
Ngurip Tirtha, melalui mantra weda yang mampu menumbuhkan perasaan dan atau pikiran suci.
Ngemargiang Pecaruan untuk keharmonisan dan keseimbangan alam ini.
Nganteb sesayut, dalam mendoakan
Upasaksi bertujuan untuk menyatakan kebenaran perbuatan seseorang
Nganteb banten antuk Tri Bhuwana Stawa.
Ngayab ke luhur.
Ngayabin Peras, "OM Ekawara, Dwiwara, Triwara Caturwara, Pancawara, Purwa pras prasiddha rahayu".
Ngaksama, selesai itu menghaturkan sembah, misalnya, Panca Sembah.
Lalu semua yang hadir diperciki tirtha dan diberi bija.
Setelah itu pemangku kembali menghaturkan Pengaksama
 

Keutamaan Trithayatra

 

HARI-hari belakangan ini banyak orang membicarakan tentang tirthayatra. Setidaknya ada dua sebab. Pertama, Kejaksaan Negeri Denpasar mengusut kasus tirthayatra yang berpotensi korupsi yang dilaksanakan PHDI Kab Badung (tapi ini PHDI bodong menurut PHDI Bali). Dana tirthayatra itu melalu hibah dari Pemda Badung. Kasus sedang berjalan.
Yang kedua, Pemda Provinsi Bali punya program memberangkatkan puluhan, atau mungkin sudah ratusan, pemangku ke India dengan biaya dari APBD. Sudah dua rombongan yang berangkat, konon disertai sulinggih. Program ini kabarnya setiap tahun. Jadi secara teori semua pemangku akan diberangkatkan, termasuk sulinggih.
Saya menyambut gembira program ini. Saya belum pernah ke negeri Bharata itu karena belum punya biaya. Setiap ada tabungan pasti ada keperluan yang lebih mendesak. Kalau Pemda Bali tetap dengan program yang juga memberangkatkan dua sulinggih ini setiap tahun, barangkali saya dapat giliran seratus tahun lagi. Itupun kalau saya masih hidup. Maklum saya tak punya posisi apa-apa.
Yang penting dalam tirthayatra adalah niat. Kalau ada niat tetapi tidak bisa melakukannya karena berbagai batasan, apakah itu karena kesehatan atau biaya, maka keutamaan tirthayatra sudah sebagian kita miliki. Tirtha berarti air. Segala hal bisa disucikan dengan air karena air adalah sarana terpenting dalam penyucian itu. Yatra berarti kegiatan untuk melakukan perjalanan. Tirthayatra berarti melakukan suatu perjalanan suci untuk membersihkan diri. Tentu bukan saja bersih secara phisik tetapi bersih secara rohani.
Jadi, melakukan tirthayatra tidak harus jauh-jauh. Perjalanan untuk mencari kesucian bisa dilakukan di tempat yang dekat. Para leluhur kita di Bali mencari mata air karena itu banyak mata air yang dibangun pura di atasnya. Misalnya Tirtha Empul, Magening, Tirtha Gangga, Tirtha Petung dan banyak lagi. Lalu pencarian air itu semakin luas, tidak hanya pada mata air tetapi juga di danau dan pertemuan dua atau lebih sungai. Pertemuan dua sungai (dviveni) dan pertemuan tiga sungai (triveni) di Bali disebut campuan. Air di campuan ini dianggap bertuah.
Dalam pengertian yang luas tirtha itu juga berarti “patirthan” tempat yang suci untuk memohon tirtha. Maka pura adalah “patirthan” tempat umat untuk memohon tirtha yang bisa membersihkan diri kita. Bersih secara rohani. Mengunjungi pura, bersembahyang atau melakukan japa di sana, kemudian pulang membawa tirtha dari pura itu, kegiatan ini yang digolongkan sebagai tirthayatra. Dalam kitab Rgweda ada mantram yang terjemahannya: “Ya Tuhan Yang Maha Esa, penguasa air, lenyapkanlah segala kesalahan dan dosa-dosa kami, meski pun kami telah mengetahui bahwa perbuatan itu tidak benar. Sekarang kami menerjunkan diri ke dalam air, kami menyatu dengan kekuatan yang menjadikan air ini. Semoga kesucian yang tersembunyi dalam air ini menyucikan dan memberikan kekuatan kepada kami.” (Rgweda 1.23)
 
.
Kitab-kitab Dharmasutra menyebutkan, tirthayatra yang baik bisa juga dilakukan dengan perjalanan ke gunung, tentu dengan maksud di lereng gunung itu biasa ditemukan mata air. Atau ke danau, menyusuri sungai dan ke tempat tinggal para Rsi. Yang terakhir ini membekas pada umat Hindu di Bali di mana masih banyak umat yang memohon tirtha di griya (tempat tinggal sulinggih). Jadi sesungguhnya mengunjungi sulinggih di griyanya dan pulang membawa tirtha adalah juga perjalanan suci yang disebut tirthayatra. Jangan sampai jauh-jauh pergi ke India dan menceburkan diri di Sungai Gangga tetapi tidak pernah mandi di Tirtha Empul dan tak pernah datang ke griya sulinggih.
Adakah prioritas mana yang lebih dulu dikunjungi? Tidak disebutkan dalam kitab-kitab agama karena sekali lagi yang menjadi inti adalah niat. Berkunjung tanpa niat tentulah tidak bagus, apalagi ini kunjungan suci. Namun dalam pengalaman saya melakukan tirthayatra, saya selalu mengunjungi yang terdekat untuk pergi ke tempat yang “lebih jauh lagi”. Setelah berkunjung di Bali, misalnya, ke Jawa untuk mengunjungi peninggalan leluhur kita di masa Majapahit. Banyak sekali peninggalan itu. Lalu ke tempat yang lebih jauh, misalnya, ke Kutai untuk melihat peninggalan Hindu di sana. Karena Hindu masuk ke Nusantara di abad ke 4 ini justru dimulai di Kutai, Kalimantan. Namun urut-urutan itu tidak mesti, tergantung orangnya. Ada yang berkali-kali ke India tetapi tidak pernah ke Pura Dalem Balingkang. Tak apa-apa juga, ke India itu penting, apalagi pulangnya membawa oleh-oleh, asal jangan mau mengubah budaya Bali karena Hindu di manapun menyerap budaya lokal. (*)