Rabu, 13 Maret 2024

Keutamaan Trithayatra

 

HARI-hari belakangan ini banyak orang membicarakan tentang tirthayatra. Setidaknya ada dua sebab. Pertama, Kejaksaan Negeri Denpasar mengusut kasus tirthayatra yang berpotensi korupsi yang dilaksanakan PHDI Kab Badung (tapi ini PHDI bodong menurut PHDI Bali). Dana tirthayatra itu melalu hibah dari Pemda Badung. Kasus sedang berjalan.
Yang kedua, Pemda Provinsi Bali punya program memberangkatkan puluhan, atau mungkin sudah ratusan, pemangku ke India dengan biaya dari APBD. Sudah dua rombongan yang berangkat, konon disertai sulinggih. Program ini kabarnya setiap tahun. Jadi secara teori semua pemangku akan diberangkatkan, termasuk sulinggih.
Saya menyambut gembira program ini. Saya belum pernah ke negeri Bharata itu karena belum punya biaya. Setiap ada tabungan pasti ada keperluan yang lebih mendesak. Kalau Pemda Bali tetap dengan program yang juga memberangkatkan dua sulinggih ini setiap tahun, barangkali saya dapat giliran seratus tahun lagi. Itupun kalau saya masih hidup. Maklum saya tak punya posisi apa-apa.
Yang penting dalam tirthayatra adalah niat. Kalau ada niat tetapi tidak bisa melakukannya karena berbagai batasan, apakah itu karena kesehatan atau biaya, maka keutamaan tirthayatra sudah sebagian kita miliki. Tirtha berarti air. Segala hal bisa disucikan dengan air karena air adalah sarana terpenting dalam penyucian itu. Yatra berarti kegiatan untuk melakukan perjalanan. Tirthayatra berarti melakukan suatu perjalanan suci untuk membersihkan diri. Tentu bukan saja bersih secara phisik tetapi bersih secara rohani.
Jadi, melakukan tirthayatra tidak harus jauh-jauh. Perjalanan untuk mencari kesucian bisa dilakukan di tempat yang dekat. Para leluhur kita di Bali mencari mata air karena itu banyak mata air yang dibangun pura di atasnya. Misalnya Tirtha Empul, Magening, Tirtha Gangga, Tirtha Petung dan banyak lagi. Lalu pencarian air itu semakin luas, tidak hanya pada mata air tetapi juga di danau dan pertemuan dua atau lebih sungai. Pertemuan dua sungai (dviveni) dan pertemuan tiga sungai (triveni) di Bali disebut campuan. Air di campuan ini dianggap bertuah.
Dalam pengertian yang luas tirtha itu juga berarti “patirthan” tempat yang suci untuk memohon tirtha. Maka pura adalah “patirthan” tempat umat untuk memohon tirtha yang bisa membersihkan diri kita. Bersih secara rohani. Mengunjungi pura, bersembahyang atau melakukan japa di sana, kemudian pulang membawa tirtha dari pura itu, kegiatan ini yang digolongkan sebagai tirthayatra. Dalam kitab Rgweda ada mantram yang terjemahannya: “Ya Tuhan Yang Maha Esa, penguasa air, lenyapkanlah segala kesalahan dan dosa-dosa kami, meski pun kami telah mengetahui bahwa perbuatan itu tidak benar. Sekarang kami menerjunkan diri ke dalam air, kami menyatu dengan kekuatan yang menjadikan air ini. Semoga kesucian yang tersembunyi dalam air ini menyucikan dan memberikan kekuatan kepada kami.” (Rgweda 1.23)
 
.
Kitab-kitab Dharmasutra menyebutkan, tirthayatra yang baik bisa juga dilakukan dengan perjalanan ke gunung, tentu dengan maksud di lereng gunung itu biasa ditemukan mata air. Atau ke danau, menyusuri sungai dan ke tempat tinggal para Rsi. Yang terakhir ini membekas pada umat Hindu di Bali di mana masih banyak umat yang memohon tirtha di griya (tempat tinggal sulinggih). Jadi sesungguhnya mengunjungi sulinggih di griyanya dan pulang membawa tirtha adalah juga perjalanan suci yang disebut tirthayatra. Jangan sampai jauh-jauh pergi ke India dan menceburkan diri di Sungai Gangga tetapi tidak pernah mandi di Tirtha Empul dan tak pernah datang ke griya sulinggih.
Adakah prioritas mana yang lebih dulu dikunjungi? Tidak disebutkan dalam kitab-kitab agama karena sekali lagi yang menjadi inti adalah niat. Berkunjung tanpa niat tentulah tidak bagus, apalagi ini kunjungan suci. Namun dalam pengalaman saya melakukan tirthayatra, saya selalu mengunjungi yang terdekat untuk pergi ke tempat yang “lebih jauh lagi”. Setelah berkunjung di Bali, misalnya, ke Jawa untuk mengunjungi peninggalan leluhur kita di masa Majapahit. Banyak sekali peninggalan itu. Lalu ke tempat yang lebih jauh, misalnya, ke Kutai untuk melihat peninggalan Hindu di sana. Karena Hindu masuk ke Nusantara di abad ke 4 ini justru dimulai di Kutai, Kalimantan. Namun urut-urutan itu tidak mesti, tergantung orangnya. Ada yang berkali-kali ke India tetapi tidak pernah ke Pura Dalem Balingkang. Tak apa-apa juga, ke India itu penting, apalagi pulangnya membawa oleh-oleh, asal jangan mau mengubah budaya Bali karena Hindu di manapun menyerap budaya lokal. (*)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar