Minggu, 22 September 2024

Rahina Tumpek Landep

 



Hari Raya Tumpek Landep jatuh pada Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau 14 hari setelah Hari Raya Saraswati. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari. Saat itu umat Hindu di Bali memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Dewa Siwa atau Sang Hyang Siwa Pasupati di hari raya ini.
Menurut Dosen Program Studi Agama Hindu di Universitas Hindu Indonesia (Unhi), I Kadek Satria SAG MPdH, tumpek adalah akhir dari panca wara yaitu kliwon. Sedangkan saniscara adalah akhir dari sapta wara. Akhir inilah yang disebut sebagai puncak. Puncak yang dimaksud adalah kondisi di mana umat harus mengingat begitu sampai pada perjalanan akhirnya. Umat harus mengingat bagaimana perjuangannya hingga mencapai puncak, dan pasti menggunakan banyak piranti untuk mencapainya. Pada titik itulah umat merunduk untuk memuja Sang Penguasa Ketajaman yaitu Sang Hyang Siwa Pasupati.

Jadi Tumpek Landep inilah dijadikan sebagai momen umat Hindu untuk memohon ketajaman tersebut, agar berguna dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Mempersembahkan Banten Pasupati yang harus dirangkai (Ditanding). dan kunci utama yang sesungguhnya adalah pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati di Sanggah Kemulan. Kenapa?
Karena Sang Hyang Siwa bersifat purusha dan pradhan. Inilah cikal bakal dari kemulan dan taksu. Purusha kita puja pada kemulan, dan Pradhana kita puja pada taksu yang memberikan kita penguatan atas kehidupan ini.
"Setelah melakukan pemujaan, sebaiknya umat nunas (Mengambil) lungsuran atau sarin amertha yang kita mohonkan sebagai penguat jasmani dan rohani." ungkapnya
Namun hampir seluruh umat Hindu di Bali membuatkan upacara untuk kendaraan bermotor. Kadek Satria mengungkapkan, bahwa hal tersebut kurang tepat. Sebab menurutnya, kendaraan bermotor dapat diartikan sebagai simbol kemakmuran. Sehingga sebaiknya dibuatkan upacara pada saat Tumpek Kuningan atau Hari Raya Kuningan.

Sabtu, 21 September 2024

Pura Goa Raja Besakih

 



Pura Goa Raja ini terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.

.
Masih berada sangat dekat dengan Kompleks pura Besakih. Pura Goa Raja merupakan stana dari Ida Batara Rambut Sedana.
.
Di pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah goa besar. Tapi sekarang goa tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor pada saat Gunung Agung meletus 1962.
.
PASAMUHAN SANG HYANG NAGA TIGA
Pura Goa Raja diyakini merupakan tempat bertemunya Sang Hyang Naga Tiga yaitu Hyang Naga Ananthaboga, Sang Hyang Naga Basuki dan Sang Hyang Naga Taksaka.
.
Di dalam Lontar Prekempa Gunung Agung ditulis Sang Hyang Tri Murti untuk menjaga bumi menjelma menjadi Sang Hyang Naga Tiga.
.
Dimana Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. dan Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka.
.
Naga Basuki bagian kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menjadi hujan, Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan.
.
Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja.

.
STANA BHATARA RAMBUT SEDANA
.
Pura Goa Raja merupakan stana dari Ida Batara Rambut Sedana atau Bhatara Sri Sedana. Ide dipuja sebagai Dewi Kesejahteraan
.
Ide diyakini sebagau yang menganugerahkan harta kekayaan. emas-perak (sarwa mule), permata dan uang (dana) kepada manusia.
.
Piodalan di pura Goa Raja pada hari Buda Wage Klawu atau Buda Cemeng Klawu pada hari itu masyarakat Hindu sesuai tradisi Bali (entah yang sudah gengsi mempraktikkan Bali) melakukan pemujaan kepada Tuhan sebagai wujud syukur atas harta yang diberikan sebagai hasil kerja keras yang sudah dilakukan.
Fb.wayan abian

Siwa Nataraja Tarian Kosmis Dewa Siwa

 


Dewa Siwa yang diberi gelar Mahadewa sebagai dewa tertinggi tidak hanya dikenal sebagai Dewa yang memiliki tugas prelina (dalam Tri Murti), tetapi juga sebagai dewa tarian kosmis yang dibergelar Siwa Nataraja.

Secara harafiah, Siwa Nataraja sendiri berarti Siwa sebagai raja, Nata artinya raja. Siwa Natha raja yang menggambaran tarian kosmis merupakan bentuk kesadaran Siwa dalam aspek kesenian spiritual yang di dalamnya terdapat unsur Sattwam, Siwam dan Sundaram.

Sattwam merupakan kebenaran, dimana menujukan kesenian sebagai bentuk pengejewantahan kebenaran yang diwujudkan dalam sebuah tarian. Siwam berarti kesucian yang merupakan wujud kosmis sebagai kekuatan Siwa Mahasuci, dan Sundaram berarti keindahan dimana Siwa Nataraja yang memiliki unsur sattwam, siwam sehingga memunculkan keindahan kosmis.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Siwa Nataraja dalam aspek ini dalam kegiatan berkesenian khususnya tari juga dijadikan sebagai pedoman dalam mewujudkan sattwam, siwam, sundaram itu. Siwa Natharaja dipuja dan dihormati sebagai dewa tarian.

Siwa Nataraja dalam berkesenian di Bali juga disimbolkan dalam bentuk lambang Pesta Kesenian Bali yang digelar dalam pergelaran kesenian sebulan penuh oleh Pemerintah Provinsi Bali. Ini menujukan Siwa Nataraja sebagai bentuk kesenian tertinggi yang dipuja dan dihormati dalam berkesenian. (SB-Skb) –sumber


Jumat, 13 September 2024

Siwa sebagai Nawa Sanggha

 



▪️ *Siwa sebagai Nawa Sanggha* :
Om Siwa Iswara ya Namaha di Timur
Om Siwa Maheswara ya Namaha Tenggara
Om Siwa Prajapati ya Namaha di Selatan
Om Siwa Rudraa ya Namaha Barat Daya
Om Siwa Mahadewa ya Namaha di Barat
Om Siwa Sangkara ya Namaha Barat Laut
Om Siwa Pasupate ya Namaha di Utara
Om Siwa Sambhu ya Namaha di Timur Laut
Om Siwa Isyaana ya Namaha di Tengah
▪️ *Siwa sebagai Panca Dewata*
Om Siwa Sadyojata ya Namaha di Timur
Om Siwa Bamadewa ya Namaha di Selatan
Om Siwa Tatpurusa ya Namaha di Barat
Om Siwa Aghora ya Namaha di Utara
Om Siwa Isyaana ya Namaha di Tengah


▪️ *Siwa sebagai Panca Aksara*
Na-Ma-Si-Wa-Ya.
Menyebut-nyebut sampai 10 putaran aksamala nama Dewa Siwa, japa "Om Nama Siwa Ya" meditasi dengan membayangkan 8 wujud Dewa Siwa dalam wujud Linggam, akan mencapai pembebasan (moksa).
Oleh karena itu, pada setiap Maha Sivaratri mesti ada Lingga Yoni (Linggam) untuk diabisekam.
Saat Maha Sivaratri, mesti ada:
1. Tantra
2. Yantra
3. Mantra
Pada saat pemujaan sehari-hari bagi penganut Siwaisma mesti juga memuja Keluarga Siwa dengan mengunakan Gayatri Mantram.
1. Dewi Durgha
2. Dewa Siwa
3. Dewa Ganesha
4. Dewa Kartekia
5. Nandi
Di Alam Kematian [Mrityun Loka] yaitu dimensi halus Alam Marcapada.
Atman di alam ini berbadan Lingga Sarira.
Setelah sadar bahwa kita sudah mati, secepatnya mencari jalan untuk menuju Alam-alam Suci, karena tidak banyak waktu agar terhindar dari kemungkinan buruk.
Kemungkinan buruk yang dialami Atman di Alam Kematian [Mrityun Loka] ini, karena kebodohan (Avidya) Sang Atman, artinya Sang Atman tidak memiliki pengetahuan dharma dan tidak memiliki pengetahuan tentang kematian.
Menyebabkan Atman terombang-ambing di Alam Kematian [Mrityun Loka]].

Ada 3 (tiga) kemungkinan buruk yang terjadi pada Sang Atman:
1. Atman menjadi *hantu* dalam *waktu* *lama*
Penyebabnya:
(1). Tidak menyadari bahwa dirinya sudah mati.
(2). Menyadari dirinya mati, tetapi tidak rela mati karena masih memiliki ikatan duniawi yang sangat kuat.
Ada menjadi hantu sampai puluhan bahkan ratusan tahun.
2. Atman ditangkap orang jahat yang memiliki kekuatan supranatural
Karena kebodohan Sang Atman, menyebabkan Atman dengan mudah ditangkap oleh orang jahat yang memiliki kekuatan supranatural.
Di Alam Kematian [Mrtyun Loka] ini, valamnya sangat liar dan bebas. Di alam ini berlaku hukum rimba, siapa kuat itu yang berkuasa.
Atman yang tertangkap ini dijadikan budak atau diperalat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan niskala (gaib) yang jahat.
3. Atman ditarik masuk ke Alam Bawah untuk dijadikan budak
Bila tidak ada ajaran Dharma, tidak ada ajaran Siva, tidak ada ajaran Tantra-Yantra-Mantra, dan tidak ada ajaran Dharma, atau orang tidak begitu paham ajaran Dharma yang mendalam, maka di tempat itu akan ada banyak hantu atau makhluk-makhluk liar alam bawah.
Atman dipancing dengan suara dari orang-orang yang dicintainya, sehingga Atman bergerak ke arah itu, lalu dijerumuskan ke alam bawah untuk dijadikan budak


MENGAPA ORANG HINDU JARANG HAFAL KITAB WEDA ?


Pertanyaan ini sering sekali diajukan oleh penganut agama lain kepada penganut Hindu, sementara di internal Hindu justru jarang dibahas. Proses pengajaran agama Hindu mirip seperti air, ia mengalir saja sembari memberi hidup dan kesuburan pada semua yang dilaluinya.
Menghafal Weda memang tidak menjadi budaya dalam agama Hindu. Sebagai agama tua yang tidak terseret perdebatan kitab palsu atau asli, penganut Hindu tidak merasa perlu membuktikan bahwa kitabnya asli dan tidak berubah sedikitpun, dengan mengajukan bukti banyaknya penghafal Weda. Sebaliknya, penganut Hindu secara jujur mengakui bahwa Weda yang ada sekarang yang jumlahnya 20.724 ayat itu mungkin hanya 1/4 (seperempat) atau bahkan kurang dari keseluruhan yang pernah diterima oleh para Maharsi ribuan tahun sebelum masehi. Apa yang ada sekarang adalah hasil kodifikasi Maharsi Vyasa dari begitu banyak Maharsi sebelumnya. Tuhan yang begitu luas dan serba maha, rasanya memang sulit dirangkum dengan 1 (satu) juta ayat sekalipun. Kesadaran ini penting agar kita tidak mudah jumawa, sombong, yang justru berlawanan dengan tujuan spiritual.
Lalu apa yang diajarkan kepada penganut Hindu ? Ajaran Hindu terdiri dari 3 (tiga) kerangka : upakara (ritual), susila (etika) dan tattwa (filsafat). Ibarat telur, kulitnya adalah upakara, putihnya adalah susila, dan kuningnya adalah tattwa. Maka yang diajarkan kepada siswa umum adalah sari-sarinya, perasan tafsirnya, dari ketiga aspek tersebut. Selain melalui buku-buku pelajaran agama, ajaran-ajaran tersebut disampaikan lewat kidung/geguritan yang digemari masyarakat.


Dalam hal filsafat, umat Hindu sudah diajarkan Panca Sradha sejak SD. Terus diajarkan diulang-ulang sampai universitas dengan tingkat kedalaman yang berbeda. Ada juga Sad Dharsana (enam aliran filsafat) yang mulai diperkenalkan di tingkat pendidikan tertentu.
Yang paling banyak diajarkan justru adalah etika dan kebajikan (virtues). Konsep Tat Twam Asi (aku adalah kamu), ahimsa (tidak menyakiti), yoga (penyatuan dengan sang diri), Tri Kaya Parisudha (pikiran, perkataan dan perbuatan suci), Catur Paramitha (empat perbuatan luhur), dan banyak lagi. Dalam pengajaranpun tidak pernah disebutkan sikap ini untuk orang seagama dan sikap itu untuk orang yang berbeda agama. Tat Twam Asi yang menjadi landasan utama sudah mengajarkan : perlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan. Kita semua adalah jiwa yang sama dalam badan dan ikatan karma yang berbeda. Agama, suku, ras adalah identitas administratif bagi badan, bukan bagi sang jiwa. Di alam jiwa, kita semua adalah Atman yang merupakan pancaran Brahman. Tidak ada beda antara sinar matahari yang menerpa dedaunan, yang masuk ke kamar tidur melalui jendela, atau yang menjamalah pelataran pura.
Selain ajaran-ajaran etika dan kebajikan tersebut, diajarkan pula hambatan-hambatan yang menjadi penghalang perjalanan sang Atman menuju Brahman. Uniknya, ajaran ini biasanya justru melihat kedalam diri, bukan menyalahkan hal-hal diluar diri. Sad Ripu (enam musuh dalam diri), Sad Atatayi (enam kekejaman), Sapta Timira (tujuh kegelapan), dan banyak lagi. Semuanya adalah “godaan dari dalam” yang perlu dikendalikan dengan meningkatkan kesadaran. Manusia disebut “dewa ya, bhuta ya”: dalam diri manusia ada sifat-sifat dewa (kebaikan, kemuliaan) dan juga sifat-sifat bhuta (kegelapan). Evolusi kesadaran melalui berbagai usaha dalam jutaan kelahiranlah yang membedakan kadar mana yang lebih dominan.
Dalam ratusan tahun perjalanan Hindu (Bali), metode pengajaran itu terbukti efektif. Orang Hindu Bali tumbuh menjadi individu-individu yang spiritual sekaligus toleran. Karena tidak membaca ayat per ayat dari Weda, kita hampir tidak pernah bertengkar urusan tafsir kitab suci. Kesadaran kita umumnya adalah kesadaran kolektif berbasis hukum karma : ala ulah ala tinemu, ayu kinardi ayu pinanggih. Ini hukum universal yang bisa menegasikan semua perbedaan. Maka bahkan ketika Amrozi datang membawa bom meluluh lantakkan kita dalam berbagai aspek sambil meneriakkan nama Tuhannya, kita tidak beranjak dari sikap toleran dan keyakinan akan hukum karma. Kita lagi-lagi melihat kedalam, mulat sarira, melakukan upacara pembersihan alam dan diri, lalu kembali menata hidup.
Tapi belakangan, karena kemajuan jaman dan kemudahan akses teknologi, sebagian kita mulai membaca-baca kitab suci. Menafsir-nafsirkan. Memperdebatkan. Ini adalah kemajuan yang baik, memberi kita kesempatan untuk menggali Weda lebih dalam. Tetapi sebagaimana semua hal dalam hidup, hukum rwa bhinneda berlaku : semakin besar kebaikan, semakin besar resiko yang mengikuti. Maka selain kita menjadi semakin “melek weda”, kita juga mulai mendengar orang menggugat tradisi ini itu sebagai “tidak sesuai weda”. Kita mulai menemukan orang yang mempertanyakan “otoritas tuhan lokal” dan membanding-bandingkan dengan nama lain yang termaktub di kitab suci, seolah-olah Tuhan ada banyak dan yang terbaik adalah “tuhan impor”. Kita mulai mendengar orang yang mengutip satu ayat lalu membuat kesimpulan atau memvonis sesuatu, seolah-olah sudah memahami keseluruhan konteks. Kita mulai terbiasa mendengar silang pendapat dan pertengkaran karena ayat.
Ya, anggap saja kita sedang bercerita tentang kehidupan di desa. Dulu desa ini tenteram dengan hamparan pertanian, dihuni orang-orang tua yang bijak dan pemuda-pemuda serta gadis-gadis desa yang enerjik dan mempesona. Lalu kemajuan mulai menjamah desa ini, banyak pendatang membawa uang, jalan-jalan diaspal, tiang listrik berjejer-jejer menjanjikan terang. Tapi bersamaan dengan itu, desa mulai tidak aman. Kadang pertengkaran, kadang pencurian. Lalu orang-orang desa inisiatif belajar ilmu silat, lalu banyak sabuk putih bermunculan. Samsak digantung di banyak tempat untuk dipukuli. Kadang, pertengkaran terjadi diantara sesama murid perguruan.
Kini, kita harus mendesain ulang hidup kita dan cara berpikir kita. Kita tidak bisa menolak roda jaman. Semua berputar tanpa menunggu persetujuan kita. Kita tidak bisa lagi berandai-andai bila saja desa ini tetap terisolasi. Atau berandai-andai tidak ada pemuda yang belajar silat. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah terima kenyataan ini. Terima kenyataan bahwa jaman berubah dan kita perlu menyesuaikan diri. Kita perlu jalan aspal, kita perlu mobil-mobil berlalu lalang sebagai pertanda kemajuan, kita perlu belajar silat, dan kita perlu banyak hal lainnya. Diatas itu semua, kita perlu menyadari, bahwa hal yang paling kita butuhkan adalah kebijaksanaan. Kurangi menuntut keluar, dan perbanyak memperbaiki diri. Untuk yang satu ini mudah-mudahan kita bisa berandai-andai : bila saja mayoritas kita melakukan ini, maka desa ini dapat memiliki keduanya : kemajuan dan sekaligus kedamaian.
Satyam Eva Jayate.
Dharma Raksati Raksitah.
OM Shanti.

 


Senin, 09 September 2024

Ritual Tarian Sanghyang Deling, Sekitar Danau Batur, Kintamani, Bangli, 1969.

 

Sanghyang Deling adalah tarian yang ada di Kintamani dan di desa sekitar Danau Batur.

Tari ini ditarikan oleh dua gadis dengan membawa deling (boneka dari daun lontar) ini dianggap dapat kemasukan roh suci lalu diarak sambil menari.

Boneka tersebut didekatkan pada dua gadis yang bersimpuh, nyanyian diperdengarkan, kemudian sang pria mulai kesurupan.

Tangan mereka gemetaran, membuat boneka yang mereka pegang berayun di tali yang menggantungnya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Karena sang pria semakin kuat mengayunkan bonekanya, boneka tersebut terlihat melompat dan saling bertabrakan.

Gadis penari yang bersimpuh pun mulai pusing dan akhirnya pingsan, mulai kesurupan dan mulai menari. Sanghyang Deling dulu terdapat di sekitar danau Batur.

Gamelan (musik) yang dipergunakan sangat sederhana yaitu hanya seruling dan gendang.

Sekarang tarian ini sudah tidak dijumpai lagi di tempat tersebut.

Namun demikian tarian yang hampir sama dengan Sanghyang Deling dapat dijumpai di Tabanan dan diberi nama Sanghyang Dangkluk.

Tari Sanghyang ada beberapa jenisnya antara lain Sanghyang Dedari, Sanghyang Dewa, Sanghyang Dangkluk, Sanghyang Penyalin, Sanghyang Celeng, Sanghyang Medi, Sanghyang Bumbung, Sanghyang Kidang, Sanghyang Janger, Sanghyang Sengkrong dan Sanghyang jaran
Via @sejarahbali
📸
 National Geographic


NGEREBONG TRADISI ASLI DENPASAR SEJAK TAHUN 1937

 


Terdapat sebuah tradisi unik yang ada di Bali, yaitu Tradisi Ngerebong Bali. Ngerebong adalah salah satu tradisi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Bali, khususnya oleh masyarakat yang ada di Desa Kesiman, Denpasar. Tidak hanya itu, tradisi ini juga menjadi daya tarik lain para wisatawan. Ngerebong sendiri merupakan bahasa Bali yang memiliki arti berkumpul. Pada saat tradisi Ngerebong diadakan, dipercaya jika para dewa sedang berkumpul. Tradisi Ngerebong akan diadakan setiap 6 bulan sekali sesuai dengan penanggalan Bali, yaitu setiap 8 hari setelah Hari Raya Kuningan, pada hari Minggu / Redite Pon Wuku Medangsia.
Pusat diadakannya Tradisi Ngerebong Bali berada di Pura Petilan, yang terletak di daerah Kesiman. Sebelum dimulainya acara puncak, biasanya masyarakat sudah memenuhi area acara. disana juga sudah terdapat beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam tempayan cantik, serta penjor-penjor.

Ngerebong adalah sebuah pangilen yang dilaksanakan di Pura Agung Petilan untuk menciptakan keseimbangan dunia,” ujar salah satu tokoh sekaligus budayawan Desa Kesiman, I Gede Anom Ranuara. Lebih lanjut dijelaskannya, tradisi ini sudah dipatenkan sejak tahun 1937, namun telah dilaksanakan dengan kapasitas yang lebih kecil di area Kerajaan atau Puri Kesiman. Ada beberapa rangkaian yang wajib dilaksanakan sehubungan dengan Ngerebong. Yakni Ngerebek yang dilaksanakan pada Umanis Galungan, dilanjutkan dengan Pamendakan Agung pada Paing Kuningan, dan terakhir adalah Ngerebong.
Dalam pelaksanaan Ngerebong, yang unik adalah Keris, Ngurek dan Penjor yang megah. Dalam tradisi ini, sejumlah pamedek trance (kasurupan) dengan menusukkan keris ke tubuhnya. Bahkan ada yang menusukkan di bagian matanya.
Kutipan Selengkapnya di kesimanpetilan.denpasarkota.go.id