Kamis, 25 Juli 2024

Bhuta Basang-basang

 


Bhuta Basang-basang, adalah salah satu mahkluk halus dalam kepercayaan masyarakat Bali yang dikenal cukup menyeramkan, dan juga menjijikan, Dalam bahasa Bali kata "Bhuta" bisa diartikan sebagai mahkluk halus, dan "Basang-basang" berarti usus, sesuai dengan namanya wujud hantu ini berupa bentangan usus atau organ dalam manusia, di Jawa mahkluk halus ini dikenal dengan sebutan Memedi Usus.
Di Bali, mahkluk halus ini memiliki dua versi wujud, yang pertama berwujud bentangan usus manusia yang berjalan menggeliat seperti ular, serta meninggalkan jejak darah ditanah, dan yang kedua berwujud mahkluk halus yang terdiri dari kepala yang menyeramkan dan organ dalam yang menggantung. Bhuta Basang-basang suka menghuni rumpunan pohon bambu dan juga mengemban tugas sebagai "Ancangan Setra" yaitu penjaga kuburan, hal ini tak lepas dari asal-usul terciptanya sang hantu usus ini.
Menurut beberapa lontar kuno di Bali, ketika Dewi Parwati murka menjadi Dewi Durga, beliau menggunakan usus mayat sebagai selendang, dan tengkorak sebagai tasbih, Dewi Durga pun mengubah seluruh isi kuburan menjadi mahkluk halus yang dijadikan sebagai pengikut beliau, dari mayat yang ususnya terurai dan selendang usus beliau, terciptalah sesosok mahkluk halus yang dikenal sebagai Bhuta Basang-basang yang ditugaskan menjadi penjaga kuburan bersama mahkluk halus serupa lainnya.
Bhuta Basang-basang sangat jarang menampakan dirinya kepada manusia, kecuali orang tersebut berbuat yang tidak benar sebelumnya atau berbicara kotor saat melintasi tempatnya ia tinggal.

KONSEKWENSI PELINGGIH TANPA PEDAGINGAN / PANCA DATU

 


Mepedagingan / Panca datu, atau sering disebutkan dalam istilah loka drestanya mepulang Pancer. Akibat dari minimnya pengertian masyarakat setempat tentang pedagingan, Sering kita temui disuatu daerah, pelinggih tersebut langsung meplaspas saja, tanpa pedagingan dianggap sampun pragat, ketika melaspas itulah kemudian sudah dianggap odalan untuk hari hari selanjutnya. di sebutkan dalam Gama Widdhi sastra, bila dalam kondisi seperti ini pelinggih tersebut keni ke durmangalan/musibah, sebaiknya pelinggih ini segera di prelina segera selekas mungkin, agar tidak memakan korban lebih lanjut.
Bila kahyangan, apalagi pelinggih Prelinggan pare dewa durung mepedagingan durung mepulang pancer, meskipun pedagingan alit, madya, muang utama, dudu iku kahyangan dewa, dadi umahin bhuta kumandang. Kasarnya kahyangan tersebut bukan stananya para dewa tetapi yang berstana di pelinggih tersebut meparab, buta kumandang, dadi keracuan buta wisesa, Akibatnya para penyiwi pelinggih tersebut tan pegat gegeringan, keni kakening mala petaka upadrawa, tan pegat pegat meyegan tan trepti maring pesanakan, akhirnya tujuan rumah tangga sering terhambat dalam menjalani kehidupan.

Ciri khas yang lain pelinggih yan durung mepedagingan durung ngenteg linggih, sering para penyiwi mengalami salah ton ( melihat penampakan yang aneh-aneh) se wewengkon pelinggih maupun kahyangan tersebut. karena karena dimasuki buta pisaca, dadi pesaban sapujagat, itulah para bhuta dari petelon agung yg disebut butha sapujagat, masuk kekarang tersebut dan menampakan dirinya bermacam macam peristiwa aneh, muang buthakala Mretyu- kematian, demikian halnya, para butha bhuti yang ada di pura desa, di salu panjang datang dengan leluasa menempati stana yg durung mepedagingan, akhirnya itulah yang kita sembah. Terkadang ada suatu kepercayaan sebelumnya di upacarai diisi dulu dengan duri-durian, shg ybs enggan untuk menempati pelinggih tsb.
MUPUK PEDAGINGAN. ( Re Charga ) Pedagingan memberikan perlindungan maksimal 30 tahun ( satu generasi ) mulai dari 20 tahun, 25 tahun, sampai maksimal 30 tahun inilah waktu yang pas untuk mupuk pedagingan yang sering disebutkan dengan istilah “NEMU GLANG” Jadi setiap generasi polih ngaturang yadnya melakukan Penyegaran kembali panca datu tersebut. sekaligus ada penambahan silsilah keluarga. disitulah akan nampak jelas, ri wekas siapa siapa saja pendahulu (leluhur kita) setiap generasi akan mungguh dalam silsilah tsb dalam urutan Nemu Glang.
Demikian kojar widhi sastra sang “gama widhi sastra”, untuk itu segeralah berpikir bagi pelinggih dan mrajan kita sane durung mepedagingan, itu jelas tidak dibenarkan oleh sastra apapun alasannya. Untuk itu manfaatkanlah inti sari sesuluh inti puniki dari Gama Widhi sastra.
Selanjutnya ikuti postingan berikutnya Isi Panca datu, dan dimana diletakan ( genahnyane )
IPM Agra Agra Dwijananda

PRANAYAMA GAYATRI MANTRA

 



HANYA 15 MENIT MELAKUKAN PRANAYAMA GAYATRI MANTRA DUA KALI SEHARI UNTUK MENDAPATKAN KESEHATAN YANG PRIMA.

Tidak perlu kemana mana lakukan dirumah saja dg baik dan benar niscaya akan mampu mencegah dan menyembuhkan penyakit, begitulah kebenaran dan fakta nya.
Pranayama Gayatri mantra disabdakan dalam Regveda X,137,3 untuk usadha. Ini Kitab Suci bukan dikarang sendiri dibuat sendiri. Sebagai seorang pemeluk Hindu semestinya memahaminya jangan sebaliknya meragukan kebenaran nya.
KALAU SUDAH MELAKUKAN PRANAYAMA GAYATRI MANTRA BELUM MENDAPATKAN MANFAAT YANG PARIPURNA PENYEBAB NYA ADALAH PELAKSANAAN NYA BELUM BAIK DAN BENAR, begitulah arif menyikapi nya.

Rabu, 24 Juli 2024

Makna Sanggah Surya dan Tawang dalam Upacara Hindu di Bali

 




BALI EXPRESS, DENPASAR – Umat Hindu di Bali secara tidak langsung memberikan posisi penting bagi salah satu dari 33 Dewa yang tertuang dalam Rg. Weda, yakni Dewa Surya. Hal ini dibuktikan dengan menempatkan Sanggah Surya dalam aktivitas Yadnya, minimal dalam posisi tinggi yang menggambarkan linggih atau kehadiran Dewa Surya.

Sanggah Surya di beberapa daerah di Bali, juga sering disebut dengan Sanggah Agung. Keduanya bermula dari dua kata, yakni Sanggah yang mengandung arti sumber, sedangkan Agung menekankan kewibawaan Sang Hyang Siwa Raditya yang tak lain adalah Dewa Surya.

Ukuran Sanggah Surya biasanya lebih tinggi dari pinggang manusia, bahkan ketika dilaksanakannya upacara Yadnya, sanggah ini dibuat lebih tinggi dari dasar bangunan tempat dilaksanakannya upacara Yadnya.

Menurut Budayawan Kota Denpasar, I Gede Anom Ranuara, Sanggah Surya dibuat dengan menggunakan empat batang bambu yang ditancapkan di sisi Timur Laut atau arah kaje kangin. Posisi ini mengacu kepada pembagian pekarangan berdasarkan Asta Kosala- kosali. Di mana arah kaje Kangin merupakan pertemuan antara utama dengan utama, sehingga sering disebut arah Dewata. Untuk diketahui bahwa Sanggah Surya hanya memiliki satu ruangan saja dan dibatasi menggunakan ancak saji.

Lebih lanjut Anom mengatakan, Sanggah Surya sangat penting ketika pelaksanaan upacara yadnya, khususnya yang menggunakan banten Bebangkit yang dipuput oleh seorang Sulinggih. Ketika tidak ada Sanggah Surya yang merupakan stana Sang Hyang Siwa Raditya, maka dikatakan suatu upacara yadnya belum lengkap. Hal ini sesuai dengan prabhawa Sang Hyang Surya sebagau Upasaksi. Kebiasaan ini bisa dilihat ketika hendak melaksanakan Panca Sembah, di mana setelah pelaksanaan sembah puyung dilanjutkan menggunakan bunga putih sebagai persembahan kepada Dewa Surya sebagai saksi dari persembahyangan. “Begitu halnya upacara yadnya, Panca Sembah kan juga yadnya, namun skalanya lebih kecil,” jelas pria asal Kesiman ini kepada Bali Express (Jawa Pos Group) Denpasar.

Selain Sanggah Surya, di Bali juga dikenal dengan adanya Sanggah Tawang. Kata Sanggah berarti sumber, dan Tawang memiliki penekanan arti awing-awang yang dapat diartikan sebagai kesunyian atau sepi. Jadi, Sanggah Tawang dapat diartikan sebagai sumber kesepian, di mana kesepian dan kesunyian tak lain adalah Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Sanggah Tawang dibuat dari bambu berbentuk segi empat panjang yang memiliki pinggiran yang disebut dengan ancak saji. Sama halnya seperti Sanggah Surya, Sanggah Tawang tidak menggunakan atap, namun terdiri dari tiga ruang atau rong telu yang merupakan simbol Dewa Surya dalam tatanan Tri Sakti , yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Penggunaan Sanggah Tawang ini biasa dijumpai ketika dilaksanakannya upacara dengan tingkatan Utama. Beberapa di antaranya yakni Tawur Agung, Padudusan Agung.

Dengan demikian, Sanggah Tawang mempunyai makna sebagai simbol stananya Sang Hyang Widhi sebagai simbol manifestasinya yang merupakan permohonan umat Hindu dalam suatu upacara agama. Dalam Pustaka Bhuwana disebutkan kosa 1.2.10 ‘Sunyasca Nirbhanadhika, Siwanga Twe Raniksyate, Kutah Tad Wakyama Tulam, Srutwa Dewo Watista, yang artinya ada alam sunia yang dianggap sakti, itulah yang disebut dengan Sang Hyang Siwa.

Dengan melihat sloka tersebut, dapat diartikan bahwa Sanggah Tawang yang menggunakan tiga ruangan sebagai simbol Tri Purusa, yakni Siwa, Sadhasiwa, dan Paramasiwa.

“Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan Tri Sakti dan Tri Murti,” pungkasnya.

(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber

Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu



Setiap orang yang lahir di dunia ini harus menyadari bahwa dirinya diciptakan oleh Sanghyang Widhi Wasa dan mempakan pancaran dari sinar suci-Nya. Sementara dalam kehidupannya, ia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan di mana mereka hidup, karena koderatnya sebagai mahluk sosial (homo socious) selalu harus berhubungan dengan dunia luar dan dunianya sendiri selaku individu. Di samping itu manusia juga dibelenggu oleh hukum kerja, karena itu mereka wajib melaksanakan tugas hidupnya walaupun harus menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang menimpa dirinya.



Di dalam menjalani kehidupannya, setiap orang harus berusaha menemukan kembali jati dirinya yang suci murni sebagai bagian yang menyatu dengan kepribadian-Nya. Namun kenyataan yang sering terjadi adalah betapa sulitnya manusia menemukan kesadaran untuk membebaskan dirinya dari belenggu dunia maya ini yang membuat dia lalai terhadap hakikat tujuan hidupnya. Dunia maya selalu menawarkan kenikmatan hidup yang seakan akan terasa langgeng, tetapi sering kali justru menambah beban masalah di dalam kehidupannya sehingga kehidupan yang damai makin sulit diwujudkan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sehubungan dengan itu Agama Hindu mengajarkan Tapa Brata Sivaratri. sebagai petunjuk bagi umatnya untuk mencapai kesempurnaan hidup, membebaskan diri dari jerat maya, serta menemukan kebahagiaan dan kedamaian.


Foto: Mutiarahindu.com

Ajaran Tapa Brata Sivaratri

Tapa brata Sivaratri termuat di dalam berbagai pustaka suci agama Hindu, baik di dalam Itihasa Mahabharata dan Purana, maupun Nibanda. Di Indonesia, seorang pujangga bernama Empu Tanakung telah menggubah sebuah ceritra Lubdhaka yang ditulis dalam pustaka Sivaratrikalpa pada akhir jaman Majapahit, tentu dengan tujuan untuk meyakinkan umatnya agar dengan penuh keyakinan dapat melaksanakan brata Sivaratri yang ditetapkan dalam Veda.

Ceritra Lubdhaka ini hampir sama dengan mithologi Nishada di dalam Padma Purana yang ditulis sekitar 1500 tahun S.M. Namun yang terpenting dari mitologi itu ialah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa tentang keutamaan brata Sivaratri. Dialog itu antara lain berbunyi sebagai berikut :


"Tuanku Raja dengarkanlah, saya akan menerangkan kepada tuanku tentang brata Sivaratri, yaitu brata yang paling utama sebagai jalan menuju Sivaloka. Malam ke 14 yang gelap, pada bulan Magha atau Palguna (Purwanining Tilem Kapitu) haruslah disadari sebagai "malam Siva" yang akan membebaskan semua dosa ("sarva papa paharini"). Mereka yang berpuasa dan tetap tidak tidur sambil memetik daun Bilwa selama malam itu untuk berbhakti kepada Siva, maka akan mencapai identitas Siva. Janganlah dibeberkan sembarangan walaupun oleh tuanku sendiri. Brata Sivaratri adalah brata yang paling istimewa, ibarat Mahamerunya pegunungan, Matahari dari yang bersinar, Guru dari para mahluk, Gayatrinya mantra, Amritanya cairan, Visnunya lelaki dan Arundhatinya wanita. Sivaratri yang dikaitkan dengan "bhavani" (bhakti yang murni), begitu terjadi kontak akan segera membakar bahan bakarnya dosa. Brata Agung Sivaratri ini adalah seperti yang telah diajarkan sebelumnya oleh Mahadeva kepada sinar-Nya.


Demikianlah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa. Dikatakan pada pengelong 14 bulan Magha yang merupakan malam tergelap dalam satu tahun, Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasi Siva Mahadeva yang maha pengasih, penyayang, pelindung alam semesta, melakukan Yoga guna melebur dosa -dosa insan yang taat dan pasrah berbhakti kepadafNya.

Kemudian di dalam pustaka suci Mahabharata (Santi Parva) terdapat ajaran tentang brata Sivaratri yang diajarkan oleh Maharsi Bhisma kepada Yudhistira putra Pandu, dengan kisah kehidupan seorang pemburu bernama Susvara dari Varanasi, yang dalam penjelmaannya kemudian, mereka hidup sebagai Maharaja bernama Chitrabhanu.

Adapun ketentuan tentang pelaksanaan Tapa brata Sivaratri tercantum di dalam Lontar Aji Brata, yang pelaksanaannya mencakup tiga kegiatan secara bersamaan, yaitu : Mauna, Upavasa dan Jagra, dimulai pada pukul 06.00 ketika fajar menyingsing.


Mauna : berarti diam, berdiam diri tanpa suara, tanpa ucapan kata, dan mendiamkan pikiran dari obyek indera. Ini dilakukan selama 12 jam.

Upavasa : berarti mengendalikan hawa nafsu, tidak menikmati makanan, minuman dan sebagainya, selama 24 jam.


Jagra : berarti melek, tidak tidur sebagai latihan untuk meningkatkan kewaspadaan dan. kesadaran rohani, dilakukan selama 24 jam sampai 36 jam.

Di dalam melaksanakan Tapabrata Siwaratri di gunakan simbol-simbol suci atau praktika antara lain "Dalung" sebagai simbol kolam suci tempat munculnya Siva-Lingga, pohon beringin sebagai simbol pengganti pohon Bilva, Kwangen dan berbagai Upakara lainnya yang tidak dibicarakan pada naskah ini.

Bagi umat yang melaksanakan brata Sivaratri, kegiatannya diawali dengan persembahyangan, kemudian memasukkan Kwangen ke dalam Dalung, kemudian duduk menghadapi cawan berisi air dan 108 daun beringin serta Dupa yang menyala, bermeditasi melakukan "Nama smaranam" mengagungkan nama suci Siva sang pelebur "papa" dan pembawa "punia" memohon tuntunan dan sinar suciNya agar dijauhkan dari kelalaian yang membawa derita hidup.

Monabrata diakhiri pada petang hari (pukul 18.00 wib) sedangkan Upawasa diakhiri ketika fajar menyingsing yang diawali dengan persembahyangan "Lebur Brata" dilanjutkan mengambil Kwangen didalam Dalung dan memercikkan airnya ke ubun ubun, dengan harapan agar Hyang Widhi selalu menuntun kesucian pikirran dan perasaan hatinya.

Setelah upacara Lebur Brata maka "Jagra" dapat dilanjutkan dengan kegiatan TirthaYatra yaitu perjalanan ke tempat suci atau Pura sampai waktu Jagra itu berakhir. Berikut tinjauan filosofis dari hari suci Sivaratri

Hakikat Kelahiran Manusia

Manusia adalah salah satudari berjuta juta jenis ciptaan Sanghyang Widhi Wasa yang selalu berupaya membebaskan dirinya dari penderitaan hidup dan mencari kebahagiaan.

Lubdhaka, Nishada, Susvara adalah merupakan sosok "sang pencari" yang meniti kehidupannya dengan penuh bhakti kepada Yang Maha Kuasa. Dengan bhakti itulah ia menemukan hakikat dinnya.

Veda mengajarkan bahwa setiap insan dapat hidup karena ada inti hakikat yang menghidupinya.

"Eko devas sarva bhutesu gundhas sarva vyapi sarva bhutantaratma karmadhyaksas sarva bhutadhivasas sakti ceta kevalo nirgunasca" (Svetasvatara Upanisad .VI .11)

("Satu sinar suci Tuhan yang tersembunyi dalam setiap insan, menjadi jiwa bathin semua ciptaan itu, Raja yang menyinari semua perbuatan dan menjadi saksi agung yang bersemayam di dalam hati.")

Inti hidup itu disebut "Atman" sedangkan Sanghyang Widhi Wasa sebagai penciptanya disebut "Parama Atman" atau Brahman. Pada hakikatnya Atman dan Brahman itu tunggal, yang di dalam Aitarya Upanisad disebut: "Brahman Atman aikhyam". Ibarat matahari dengan sinarnya, ibarat air samudera dengan setetes embun, demikianlah hakikat Brahman. dengan Atman yang menyinari Jiwa manusia itu. Kemudian ketika manusia lahir, maka sang J iwa dipengaruhi oleh bakat sifat dari "wasana karmanya".


Di dalam hidup ini setiap manusia akan terkena oleh pengaruh sifat alam yang disebut "Guna". Ada tiga guna yang selalu mangikuti dan mempengaruhi segala aktivitas manusia dalam hidupnya, yaitu: "Sattvam, Rajas, Tamas"; ketiganya disebut "Tri Guna". Sattvam ialah sifat sifat tenang, suci, benar dan sadar.

Rajas ialah sifat lincah, energik dan dinamis. Tamas ialah sifat -sifat lamban, malas dan statis.

Pengaruh Tri Guna itu masing masing berbeda untuk setiap orang, bergantung dari bakat sifat kelahirannya dan aktivitas latihan rohani sepanjang perjalanan hidupnya. Kecenderungan kecenderungan yang sering kita jumpai adalah dominasi pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud "Sadripu" (Kama, Lobha, Kroda, Mada, Moha, Matscarya) yaitu enam musuh utama yang menyelimuti pikiran manusia menjadi gelap dan bodoh atau linglung, sehingga manusia itu terperangkap oleh jerat Maya, yang membawa penderitaan bagi dirinya.


Demikianlah kecenderungan pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud Sadripu itu pada diri manusia sehingga kita seling menemukan suatu kenyataan hidup, bahwa dalam keadaan apapun, serta di manapun mereka ditempatkan seakan-akan kegelisahan senatiasa mengikutinya. Di tengah tengah kecukupan mereka masih merasa miskin, selalu merasa kekurangan, bahkan pada suasana gembira pun mereka masih merasa kekurangan sesuatu. Keadaan seperti itu adalah merupakan "Kerinduan Jiwa kepada Tuhan", karena sang Jiwa (Atman) memang mempunyai hakikat yang sama dengan penciptanya, Brahman Seru sekalian alam.

Selama jiwa ini terpisah dari sumbernya maka ia tak akan merasa tenang. Kebahagiaan sejati hanya terjadi bilamana Jiwa telah bersatu dengan sumbernya. Namun bila Jiwa terpisahkan dari Tuhannya maka ia akan mudah terperangkap ke dalam jerat Maya, kemudian menjadi budak dari pikirannya sendiri, sehingga ia tidak menemukan kebebasan. Jiwa itu menderita, yang keadaannya tidak lebih baik dari keadaan seorang istri yang hidup terpisah dari suaminya.

Walaupun diberikan segala kemewahan kepadanya namun mereka akan tetap murung dan sedih, bahkan tidak dapat terhibur. Kesedihannya itu akan berakhir bila ia bertemu dengan suaminya, memikat hatinya dan menjadikannya sebagai milik satusatunya. Begitulah Jiwa ini, akan tetap menderita selama belum bertemu atau menyatu dengan sumbernya, Sang Maha Sattvam, Siva sang pelebur dosa, Sanghyang Widi Wasa.

Demi melenyapkan kerinduan Jiwa, mendapatkan pancaran kasih dan menyatu dengan hakikat Atman, maka manusia harus melakukan latihan rohani.

Latihan Rohani

Sanghyang Widhi Wasa menciptakan manusia dengan memberikan organ tubuh yang sama, inti hidup yang sama dan hakikat Jiwa yang sejati sama dengan Dia. Apabila manusia tidak memelihara dirinya, membiarkan pikirannya dipengaruhi dan dijerat oleh ikatan Maya, maka sesungguhnya mereka telah menodai kemuliaan

Sanghyang Widhi, karena itu mereka terjerumus ke lembah dosa yang membawa duka dan nestapa. Mereka lupa bahwa Sang Pencipta bersemayam di dalam dirinya sebagai "Isvara", berada dimana-mana, memenuhi tempat yang tiada terbatas. Mereka juga lupa bahwa manusia tidaklah hanya terdiri dari segumpal darah dan daging, melainkan merupakan gudang harta karun dari ratna mutu manikam yang paling berharga, sebagai Kuil Tuhan, Brahma Wihara, Har Mandir, Pura Sanghyang Widhi Wasa, mikrokosmos tubuh yang mencakup seluruh alam semesta yang telah dirancang dengan sempurna. Karena itulah maka tubuh ini harus dirawat dan dijaga dengan penuh perhatian agar dapat diketahui rahasianya, dipecahkan misterinya, serta dikenal kodrat dan tujuannya.

Untuk menemukan jati diri manusia sebagai Pura Sanghyang Widhi Wasa, maka setiap orang harus melakukan latihan rohani melalui pengendalian pikiran dan idera, melaksanakan Upavasa, menundukkan pengaruh Sadripu, sehingga selalu sadar dan waspada terhadap jerat Maya yang mengakibatkan penderitaan Jiwa. Dalam hal ini pustaka suci Manu Smerti II sloka 88 menyebutkan: "Indriyanamvacaratam visayasvapacharesusanyameyatman alishe dvidvamyanteva vajinam" (Seperti halnya seorang kusir mengendalikan kuda kereta, begitulah orang yang berjiwa bijak berusaha mengendalikan inderanya dari pengaruh fantasi duniawi yang menyebabkan dirinyabuas).

Pengendalian indera ini menurut pustaka suci Sarasamuccaya harus dilakukan dengan cara mengendalikan pikiran, karena sesungguhnya pikiran itulah yang merupakan sumber penggerak keinginan yang kemudian akan menimbulkan tindakan baik dan buruk. Sloka 81 kitab suci Sarascamuscaya menyatakan: "Beginilah keadaan pikiran itu, selalu bimbang, jalannya tidak menentu, banyak yang diangan angankan, kadangkala berkeinginan, kadangkala ragu; bila ada orang yang mampu mengendalikan pikirannya, maka mereka itu pasti akan memperoleh kebahagiaan, baik di dunia ini, maupuh dalam dunia yang lain (Niskala)".

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Sifat pikiran memang mudah terpengaruh oleh ilusi duniawi (Mayapada), karena phenomena alam selalu merangsang dengan berbagai hal yang indah, sedap, lezat, nikmat, sehingga naluri keinginan (Kama) bangkit dan menutupi kesadarannya. Justru itulah setiap orang harus melatih diri secara bertahap mengurangi berbagai jenis makanan yang kurang bermanfaat bagi tubuhnya, mengatur makanan agar bermanfaat bagi kesehatan, disiplin menjalani pantangan seperti yang dilakukan pada hari suci Sivaratri ini.

Dengan mengendalikan pikiran, mengekang kemauan pikiran terhadap phenomena alam, maka indera ini dapat dikendalikan dari rangsangan jerat Maya, sehingga secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan.

Karma Penebusan Dosa

Pengamalan Tapa Brata Sivaratri (Jagra, Upavasa dan Mauna), selain bermakna sebagai latihan rohani, juga mengandung nilai spiritual yang sangat tinggi yakni sebagai karma penebusan dosa yang dilakukan di dunia ini. Pengertian "penebusan dosa" ialah menebus kesalahan dan kelalaian(Asubhakarma) karena kebodohan (Awidya), dengan cara melakukan karma yang positif (Subhakarma) yang bernilai "plus", sehingga karma itu akan bergerak seimbang ke titik nol (Sunya). Pada kondisi Sunya itulah Jiwa akan terbebas dari belenggunya, ia mencapai "Jnana" kesadaran murni dalam "Samadhi", bersatu dengan hakikatnya yang sejati, Jiwanya menyatu dalam pengabadian penuh kepada Brahman yang abadi, maha pengasih dan maha suci.

"Tad buddhayas tad atmanas, tanisthas tat parayanah, gacchanty apunara writtim, jnana nirdhuta kalmasah" (Karma Samnyasa Yoga 17) '

(Bila pikiran hanya tertuju padaNya, menyerahkan seluruh Jiwa kepada-Nya, memuja hanya kepadaNya, dan menjadikan-Nya sebagai tujuan utama, maka dosanya akan dihapus oleh Jflana, kesadaran sejati, kemudian mereka akan pergi tak kembali lagi).

Upaya pencapaian pembebasan inilah yang dilambangkan dalam pelaksanaan Tapa Brata pada Hari Suci Sivaratri.



A. Lubdhaka, Nishada dan Susvara melambangkan manusia yang diliputi avidya, hidupnya papa namun patuh pada petunjuk Yang Maha Kuasa (Veda) dan melaksanakan svadharmanya dengan baik.

B. Kwangen sebagai simbol “Ongkaramrta” adalah lambang suci Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhava Siva yang digambarkan hadir dalam air kehidupan (Dalung) dan selalu menganugrahkan kasih-Nya kepada penyembah yang sradha dan bhakti.

C. Duduk tenang bermeditasi menghadapi Cawan berisi air dan 108 daun Bilva atau Beringin serta Dupa harum yang menyala melambangkan semangat mencari "kebenaran Sejati", menuju pembebasan diri dari belenggu Maya dengan mempelajari Veda Rahasyam yang berjumlah 108 Upanisad dan melaksanakan "8" bagian Yoga (Astangga Yoga) untuk menebus karma hingga mencapai titik "O" (sunya) serta Jiwa menemukan kesadaran murni dalam Samadhi mencapai yang "1" yaitu mencapai keadaan "Moksaka", dimana Jiwatman manunggal dengan sifat Brahman.


D. Kegiatan Tirthayatra dalam Jagra Sivaratri bermakna memelihara kesucian hati dan kesadaran Jiwa yang telah dicapai agar tidak jatuh dan terseret kembali oleh jerat Maya. Sesungguhnya Tirthayatra atau perjalanan suci itu harus dilakukan selama masa hidup ini agar kesadaran mental selalu terpelihara dan kelalaian tak bersemi lagi.

Demikianlah Tapa Brata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebus dosa. Karena itu makna filosofis Tapa Brata ini harus direalisasikan ke dalam pengabdian selama hidup melalui svadharma, yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.

Kesimpulan dan penutup

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Setiap manusia memiliki inti hidup (Atman) yang merupakan pancaran sinar suci yang sifat hakikatnya sama dengan Brahman. Hakikat kelahirannya membawa pengaruh karma. Ia terbungkus dan dipengaruhi oleh Tri Guna dan Maya sehingga semakin jauh dari sumbernya, serta mengakibatkan jiwanya menderita.
Pikiran sangat menentukan nasib manusia, oleh karena itu harus dikendalikan melalui pengekangan kemauan pikiran terhadap phenomena alam dan pengendalian indera dari rangsangan jerat maya. Dengan demikian secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan.
Tapabrata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa serta harus disadari sebagai pengabdian suci kepada Sanghyang Widhi Wasa melalui pelaksanaan svadharma yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.
Mari kita hayati dan laksanakan tapa brata Sivaratri ini sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa menuju kesempurnaan hidup, serta menumbuh suburkan kesadaran sradha dan bhakti demi keagungan Sanghyang Widhi Wasa.

Mari kita sadari pula bahwa sradha adalah tanaman yang sangat berharga dalam kehidupan ini, namun sebuah tiupan angin Mayapada akan menjadikannya layu. Karena itu jangan dibiarkan lahan hati yang subur menjadi tandus dipenuhi duri dan rumput nafsu. Mari kita oleh lahan hati ini dengan aliran kasih yang sejati dan taburkan benih nama Tuhan, sembari mencabut rumput-rumput keserakahan. Awasilah tanaman yang tumbuh dengan kesadaran Jiwa dan pagari lahan hati dengan tapabrata. Semoga bunga bunga bhakti dalam wujud cinta kasih yang murni akan menghasilkan buah kebahagiaan (Anandam), dimana Jiwa lebur ke dalam N ya, mencapai pembebasan.

Media Hindu Edisi Januari-Februari 2003, hal 26-29
https://www.mutiarahindu.com/2019/03/makna-filosofis-hari-suci-siwaratri.html.

Selasa, 23 Juli 2024

TUMPEK LANDEP

 


1. APA ITU TUMPEK LANDEP.
Mengambil referencies dari Sundarigama tentang filosofis, esensi Tumpek Landep: 'Tumpek landep pinaka landeping idep.' Artinya, Tumpek Landep pada hakikatnya bertujuan untuk mengasah ketajaman pikiran (landeping idep). Mendekatkan diri, serta memulyakan Sang Maha Pencipta Hyang Siwa Pasupati, beserta ciptaanya
2. KAPAN TUMPEK LANDEP ITU tahun ini tanggal 27-Juli -2024.
Rahina Tumpek Landep jatuh setiap enam bulan sekali atau 210 hari sekali, yang dihitung berdasarkan kalender Bali. Tumpek landep dilaksanakan pada saniscara kliwon (Sabtu Kliwon) wuku landep. Yang sesungguhnya masih berkaitan dengan rangkaian hari raya Saraswaty, Sanisscara Umanis Watugunung, yang esensinya Pengetahuan Mengalir (saras) diasah agar menjadikan tajam ( landep) kemudian di implementasikan dalam perjuangan memerangi untuk memenuhi kebutuhan hidup selaras dengan tujuan hidup.


3. BAGAIMANA IMPLEMENTASI TUMPEK LANDEP.
Saat Tumpek Landep, bermula dari kata “Landep”, meskipun esensinya adalah ketajaman WIWEKA, muncul interprestasi segala sesuatu yang TAJAM terutama alat alat yang berasalkan dari logam, sehingga umat Hindu menyucikan benda-benda berbasis logam, terutama benda benda pusaka, Keris Tombak, pedang, sampai dengan peralatan sehari hari termasuk industry pertanian.
Belakangan ini sudah mulai terjadi pergeseran ke Era perindustrian, shg segala pra-sarana yang digolongkan bisa melancarkan & menunjang perjuangan Hidup seperti alat, electronic Mobil lainnya, yang Nampak paling menonjol lewat Mobil kebanggaannya, sehingga kesannya ngotonin mobil, Tumpek Landep sarat simbol sebagaimana hari suci umat Hindu di Bali lainnya. Adapun, pelaksanaan Tumpek Landep bukan berarti menyembah Mobil, logam atau besi, serta Upacara terhadap berbagai senjata maupun produk teknologi itu bertujuan untuk memohon Wara Nugraha dari Hyang Siwa Pasupati agar keberadaannya berguna bagi kehidupan sehari-hari manusia yg didedikasikan kehidupannya untuk Dharma
4. Tip Tip untuk melaksanakan tumpek landep yg effective dan efficient
Sebaiknya dilaksanakan secara tinambulan (bersama) dg satu paket upakara, sebaiknya semua fasilitas di kumpulkan di Parking area Pura, lakukan persembahyangan bersama maring utama mandala, lakukan penatabam Pasupati, serta lungsur tirtanya dedikasikan pada fasilitas lainnya yang tidak bisa dibawa ke Pura, siratin ring rumah masing masing selesai. rahajeng Rahayu sinamian.

Minggu, 21 Juli 2024

UPACARA SAMADHI SEBELUM MASUK JHANA

 


Upacara samadhi adalah praktik meditasi mendalam yang bertujuan mencapai keadaan kesadaran yang tinggi dan pencerahan spiritual.
Pengertian Samadhi
Samadhi berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "konsentrasi penuh" atau "penyerapan mendalam." Dalam tradisi spiritual seperti Hindu, Buddha, dan Jain, samadhi adalah keadaan meditasi yang sangat dalam di mana individu merasakan kesatuan dengan objek meditasi dan melampaui kesadaran individu.
Tujuan Samadhi
Tujuan utama dari upacara samadhi adalah untuk mencapai kedamaian batin, pemahaman mendalam tentang diri dan alam semesta, serta kebebasan dari siklus kelahiran dan kematian (moksha atau nirvana).


Tahapan Samadhi
1. **Dhyana (Meditasi):** Proses ini dimulai dengan meditasi untuk memusatkan pikiran dan mengurangi gangguan eksternal. Praktisi duduk dalam posisi yang nyaman dan stabil, seperti posisi lotus atau setengah lotus, dengan tulang punggung lurus.
2. **Pratyahara (Penarikan Indra):** Pada tahap ini, praktisi menarik indra dari objek eksternal dan mengarahkan perhatian sepenuhnya ke dalam.
3. **Dharana (Konsentrasi):** Konsentrasi difokuskan pada satu titik atau objek, seperti napas, mantra, atau citra dewa. Tujuannya adalah untuk menstabilkan pikiran dan mencegah gangguan.
4. **Samadhi (Penyerapan Penuh):** Ketika konsentrasi mendalam tercapai, praktisi memasuki keadaan samadhi, di mana perasaan dualitas hilang dan ada perasaan persatuan dengan objek meditasi. Pikiran menjadi tenang dan stabil, dan praktisi mengalami kebahagiaan dan kedamaian mendalam.
Setelah proses ini jika meditator semakin mendalam maka akan masuk ke jhana satu.
Jenis-Jenis Samadhi
1. **Savikalpa Samadhi:** Dalam tahap ini, masih ada kesadaran tentang dualitas dan objek meditasi. Pikiran tetap tenang dan terfokus, tetapi belum sepenuhnya menyatu dengan objek meditasi.
2. **Nirvikalpa Samadhi:** Ini adalah tahap samadhi yang lebih tinggi di mana semua bentuk dualitas hilang. Praktisi merasakan kesatuan total dengan objek meditasi, dan tidak ada lagi kesadaran individu.