BALI EXPRESS, DENPASAR – Umat Hindu di Bali secara tidak langsung memberikan posisi penting bagi salah satu dari 33 Dewa yang tertuang dalam Rg. Weda, yakni Dewa Surya. Hal ini dibuktikan dengan menempatkan Sanggah Surya dalam aktivitas Yadnya, minimal dalam posisi tinggi yang menggambarkan linggih atau kehadiran Dewa Surya.
Sanggah Surya di beberapa daerah di Bali, juga sering disebut dengan Sanggah Agung. Keduanya bermula dari dua kata, yakni Sanggah yang mengandung arti sumber, sedangkan Agung menekankan kewibawaan Sang Hyang Siwa Raditya yang tak lain adalah Dewa Surya.
Ukuran Sanggah Surya biasanya lebih tinggi dari pinggang manusia, bahkan ketika dilaksanakannya upacara Yadnya, sanggah ini dibuat lebih tinggi dari dasar bangunan tempat dilaksanakannya upacara Yadnya.
Menurut Budayawan Kota Denpasar, I Gede Anom Ranuara, Sanggah Surya dibuat dengan menggunakan empat batang bambu yang ditancapkan di sisi Timur Laut atau arah kaje kangin. Posisi ini mengacu kepada pembagian pekarangan berdasarkan Asta Kosala- kosali. Di mana arah kaje Kangin merupakan pertemuan antara utama dengan utama, sehingga sering disebut arah Dewata. Untuk diketahui bahwa Sanggah Surya hanya memiliki satu ruangan saja dan dibatasi menggunakan ancak saji.
Lebih lanjut Anom mengatakan, Sanggah Surya sangat penting ketika pelaksanaan upacara yadnya, khususnya yang menggunakan banten Bebangkit yang dipuput oleh seorang Sulinggih. Ketika tidak ada Sanggah Surya yang merupakan stana Sang Hyang Siwa Raditya, maka dikatakan suatu upacara yadnya belum lengkap. Hal ini sesuai dengan prabhawa Sang Hyang Surya sebagau Upasaksi. Kebiasaan ini bisa dilihat ketika hendak melaksanakan Panca Sembah, di mana setelah pelaksanaan sembah puyung dilanjutkan menggunakan bunga putih sebagai persembahan kepada Dewa Surya sebagai saksi dari persembahyangan. “Begitu halnya upacara yadnya, Panca Sembah kan juga yadnya, namun skalanya lebih kecil,” jelas pria asal Kesiman ini kepada Bali Express (Jawa Pos Group) Denpasar.
Selain Sanggah Surya, di Bali juga dikenal dengan adanya Sanggah Tawang. Kata Sanggah berarti sumber, dan Tawang memiliki penekanan arti awing-awang yang dapat diartikan sebagai kesunyian atau sepi. Jadi, Sanggah Tawang dapat diartikan sebagai sumber kesepian, di mana kesepian dan kesunyian tak lain adalah Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Sanggah Tawang dibuat dari bambu berbentuk segi empat panjang yang memiliki pinggiran yang disebut dengan ancak saji. Sama halnya seperti Sanggah Surya, Sanggah Tawang tidak menggunakan atap, namun terdiri dari tiga ruang atau rong telu yang merupakan simbol Dewa Surya dalam tatanan Tri Sakti , yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Penggunaan Sanggah Tawang ini biasa dijumpai ketika dilaksanakannya upacara dengan tingkatan Utama. Beberapa di antaranya yakni Tawur Agung, Padudusan Agung.
Dengan demikian, Sanggah Tawang mempunyai makna sebagai simbol stananya Sang Hyang Widhi sebagai simbol manifestasinya yang merupakan permohonan umat Hindu dalam suatu upacara agama. Dalam Pustaka Bhuwana disebutkan kosa 1.2.10 ‘Sunyasca Nirbhanadhika, Siwanga Twe Raniksyate, Kutah Tad Wakyama Tulam, Srutwa Dewo Watista, yang artinya ada alam sunia yang dianggap sakti, itulah yang disebut dengan Sang Hyang Siwa.
Dengan melihat sloka tersebut, dapat diartikan bahwa Sanggah Tawang yang menggunakan tiga ruangan sebagai simbol Tri Purusa, yakni Siwa, Sadhasiwa, dan Paramasiwa.
“Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan Tri Sakti dan Tri Murti,” pungkasnya.
(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar