Sabtu, 25 Juni 2022

istilah NARAKA


Avīci hell in Buddhism | KASKUS
istilah NARAKA itu sudah digunakan oleh kaum Buddha lebih dari 2600 tahun yang lalu,
secara leterlek NARAKA baik dalam Bhs Sanskerta & Pali berarti 'TERBAKAR',
istilah lain yang digunakan oleh kaum Buddha yang bersinonim dng NARAKA adalah NIRAYA yang terdiri dari 2 kata NIR + AYA.
Nir = TIADA
Aya = KEBAJIKAN
NIRAYA = TIADA KEBAJIKAN,
ajaran Buddha yang telah ada lebih dari 2600 tahun yang lalu mengajarkan adanya 31 DIMENSI ALAM KEHIDUPAN, berdasar pada sifat kehidupannya dikelompokkan ke dalam 2 kelompok alam besar, yaitu SUGATI dan DUGATI.
SU = akar kata dari kata SUKHA = KEBAHAGIAAN
DU = akar kata dari kata DUKHA = PENDERITAAN
GATI = akar katanya adalah GA = PERGI / MENUJU KE.
SUGATI = Pergi / menuju ke dalam ALAM KEBAHAGIAAN.
DUGATI = Pergi / menuju ke dalam ALAM PENDERITAAN.
yang meliputi SUGATI yaitu:
1] Empat Alam Tiada Wujud & Bentuk (Arupadhatu)
2] Enam Belas Alam Cahaya (Rupadhatu)
3] Enam Alam Kebahagiaan Inderawi (Surga-loka)
4] Alam Manusia (Manussa-loka)


yang meliputi DUGATI yaitu:
1] Alam Binatang (Tirancchana-loka)
2] Alam Para Raksasa/Jin (Asura-loka)
3] Alam Para Hantu (Peta-loka)
4] Alam Naraka (Naraka-loka)
naaah, karena itu di dalam di dalam naskah Tipitaka (Kitabnya kaum Buddha) NARAKA sering diartikan TERBAKAR KE DALAM API PENDERITAAN KARENA TIDAK ADANYA KEBAJIKAN.
===========
istilah SURGA sendiri juga berasal dari Bhs Sanskerta & Pali, yang terdiri dari 2 kata yaitu SU + ARGA (Pali: AGGA)
SU = akar kata dari kata SUKHA = KEBAHAGIAAN
ARGA (Pali: AGGA) = PUNCAK
dalam tatabahasa Sanskerta penggabungan SU+ARGA (SUARGA) penulisan aksaranya adalah SVARGA.
dalam tatabahasa Pali penggabungan SU+AGGA (SUAGGA) penulisan aksaranya adalah SAGGA.
SUARGA, SVARGA, SAGGA, SURGA = PUNCAK KEBAHAGIAAN.

Dagang Banten Bali


===========
SURGA dan NARAKA sesungguhnya adalah tentang
KEBAHAGIAAN dan PENDERITAAN.
Dua (2) kondisi yang saling bertolak belaka yang apa adanya menggerakkan hidup semua wujud diri yang ada dalam seluruh dimensi kehidupan ini, YANG AKHIRNYA 2 kondisi tersebut MEMPROYEKSIKAN segala jenis KESADARAN & PIKIRAN yang ada pada semua wujud diri yang ada di seluruh kehidupan ini.
jadi SURGA dan NARAKA itu adalah PROYEKSI dari KESADARAN dan PIKIRAN dari para wujud diri (makhluk) itu sendiri, BUKAN HASIL CIPTAAN untuk memberikan HUKUMAN atau BERKAH yang di dasarkan pada KEPUTUSAN KEHENDAK dari SUATU SATU DIRI TERTENTU, yang mana SATU DIRI TERTENTU TERSEBUT lantas dalam Kepercayaan Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam) dipanggil pake nama panggilan ALLAH.

Sistem Kasta di Provinsi Bali




Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi.

Banyak Orang terpengaruh terhadap propaganda pandangan orang-orang Barat tentang Kasta, padahal di Hindu (Veda) tidak ada kasta yang ada adalah "WARNA".

Apa itu Kasta ?

Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan, pemisah, tembok, atau batas.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".

Empat Kasta tidak sama dengan Catur Warna dalam Weda. Kasta tidak pernah ada dalam tradisi Hindu baik Zamannya Wayang Mahabaratamaupun Zaman Majapahit. Kasta mulai ada di India semenjak kedatangan Bangsa Arab dan Kristen, Bangsa Arab dan Kristen terbiasa dengan perbudakan (baca Imamat,timotius dll, Juga An Nisaa, al Mu’kminuum).

Istilah kasta dilekatkan pada agama Hindu mulai ada semenjak Max Muller, menterjemahkan Weda kedalam Bhs Inggris. Max Muller menterjemahkan Catur Warna sama dengan empat colour/ras. bukti kesalahan Muller: Bagawan Wiyasa (jawa disebut Abiyoso) berkulit hitam, hidung lebar, bibir tebal, mata mellotot, jelas bukan ras Arya yang berkulit terang, hidung mancung, mata biru. Kasta yang kaku tidak pernah ada di India sebelumnya contohnya: Bambang ekalaya seorang rakyat biasa bisa menjadi ksatrya, Radeya anak kusir kereta bisa menjadi adipati/ksatrya, Govinda anak gembala sapi bisa menjadi raja, Narada anak pelayan (Babu) bisa menjadi Brahmana. Di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit seorang perampok Ken Arok, bisa menjadi Raja, seorang pengangon kuda, Damar Wulan bisa menjadi Raja Majapahit dengan gelar Brawijaya.

Di Bali kasta mulai ada semenjak runtuhnya majapahit. Sebelumnya, pada jaman pemerintahan Sri Kresna Kepakisan (Raja Bali I) belum dikenal adanya sistim kasta, saat itu masih mengunakan sistim warna yang sesuai dengan ajaran Dharma. Setelah kedatangan pendeta suci Danghyang Nirarta yang pindah ke bali akibat terdesak kerajaan Islam dan kemudian diangkat jadi penasehat Raja Gelgel. Danghyang Nirarta tiba di Bali sekitar abad 15, hampir bersamaan dengan kedatangan Portugis di India (kerajaan Goa India jatuh ketangan Portugis th. 1511 ) dan Istilah kasta mulai diperkenalkan di India.

Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.

Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.

Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.

Kasta di Bali yang berlaku sampai saat ini
Riwayat Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.

Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan pahaman kasta dibali dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.

Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.

Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.

Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.

Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial, diantaranya :

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

1. Kasta Brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Griya".



2. Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan "Puri". Sedangkan Masyarakat yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dimana untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Jero".


3. Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya). Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan "umah".


Kehidupan Kemasyarakatan Kasta
Pada jaman dahulu, kasta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kasta di Bali mulai kental saat masa penjajahan Belanda, sehingga penjajah dapat dengan leluasa memisahkan raja dengan rakyatnya. Selama berabad-abad penduduk Bali telah diajari bahwa kasta yang tinggi harus lebih dihormati, sehingga bila kita berbicara dengan orang yang berkasta tinggi, baik lebih muda, lebih tua, atau seusia, kita harus menggunakan bahasa bali yang halus. Tetapi bila bicara dengan orang berkasta rendah, kita tidak diwajibkan menggunakan bahasa halus.

Misalnya ada seorang ketua organisasi berkasta Waisya, dengan salah seorang anggotanya berkasta Brahmana. Secara otomatis, ketua organisasi tersebut harus menggunakan kata-kata yang halus kepada anggotanya yang berkasta brahmana tersebut. Ada juga kasus seperti seorang guru yang memiliki kasta lebih rendah dari muridnya. Guru tersebut harus berkata sopan kepada muridnya yang berkasta tinggi. Walau begitu, bukan berarti sang murid dapat bertindak sewenang-wenang seperti berkata tidak sopan terhadap gurunya.

Selain perbedaan dalam menggunakan bahasa, kasta juga mempengaruhi tatanan upacara adat dan agama, seperti pernikahan, dan tempat sembahyang. Pada Pura-Pura besar (seperti Pura Besakih), semua kasta bisa sembahyang dimana saja, tetapi pada Pura-Puta tertentu yang lebih kecil, ada pembagian tempat sembahyang antara satu kasta dengan kasta yang lain, agar tidak tercampur.

Kasta Dalam Pernikahan
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi. Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan pernikahan beda kasta.

Pernikahan dengan kasta yg berbeda dibolehkan dengan syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.

Pernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yaitu :

1. Kasta istri lebih rendah dari kasta suami.
Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.

2. Kasta istri tinggi dari kasta suami.
Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.
Warna, apakah itu ?
Keterangan yang cukup menarik tentang Catur Warna yang sering dikaburkan dengan kasta dapat kita lihat dalam kitab Pancamo Weda (Bhagavad-Gita) yang menjelaskan struktur masyarakat berdasarkan Warna. Menurut isi dari Bhagavad-Gita ini pembagian masyarakat menjadi empat kelompok- kelompok yang disebut warna itu, terjadi karena pengaruh "guna" yang merupakan unsur pembawaan sejak lahir (bakat).

Dalam hubungan ini dijelaskan sistem warna itu atas dasar pengertian fisik.

Di dalam Bab Karma Kanda-nya dijelaskan bahwa dunia aktif (bergerak, bekerja) dan gerak ini disebabkan oleh guna itu sendiri. Ada tiga macam guna dikemukakan yaitu

Satwam, kebajikan
Rajah, keaktifan
Tamah, kepasifan atau masa bodohSifat- sifat ini selanjutnya memberikan pengaruh lebih luas lagi sehingga menimbulkan warna dalam kelahiran manusia di dunia. Seseorang yang kelahirannya diwarnai oleh Guna Satwam akan menampilkan sifat- sifat kesucian, kebajikan, dan keilmuan. Seseorang yang diwarnai oleh Guna Rajah akan menampilkan kehidupan yang penuh kreatif, ingin berkuasa, ingin menonjol. Berbeda dengan seseorang yang kehidupannya diwarnai oleh Guna Tamah, akan selalu menampakkan sifat- sifat malas, bodoh, pasif, lamban dalam segala- galanya.

Ketiga sifat ini terdapat di dalam setiap tubuh manusia yang lahir dan masing- masing guna ini berjuang saling mempengaruhi dalam badan manusia. Bagi mereka yang teguh iman maka Satwam itulah yang menguasainya, sedangkan Rajah dan Tamah itu akan diatasi seluruhnya. Sebaliknya kalau Rajah lebih kuat, maka Tamah dan Satwam itu akan ditundukkannya. Begitu pula apabila Tamah yang berkuasa, maka Rajah dan Satwam akan ditundukkannya. Dengan jalan seperti inilah Bhagavad-Gita menjelaskan timbulnya garis perbedaan pembawaan seseorang yang disebut Warna kelahiran dari kecenderungan sifat- sifat guna itu.



Dalam Bhagavadgita percakapan ke-IV sloka ke-13 ditulis:


Chatur Varnyam Maya Srishtam,
Guna Karma Vibhagasah,
Tasya Kartaram Api Mam,
Viddhy Akartaram AvyayamArtinya:
Catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah walaupun penciptanya, Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku.

Warna adalah profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya; tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan karma dengan saling melengkapi.

Mantram-mantram dari Yajurveda sloka ke-18, 48 antara lain berbunyi:

Rucam No Dhehi Brahmanesu,Rucam Rajasu Nas Krdhi,Rucam Visyesu Sudresu,Mayi Dhehi Ruca Rucam

Artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para Ksatriya, para Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang tidak habis-habisnya kepada kami.

Yajurveda Sloka ke 30, 5 berbunyi:

Brahmane Brahmanam, Ksatraya, Rajanyam, Marudbhyo Vaisyam, Tapase Sudram

Artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.

Profesi yang empat jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang suci, diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana Yajurveda sloka 31, 11 menyatakan:

Brahmano Asya Mukham Asid,Bahu Rajanyah Krtah,Uru Tadasya Yad Vaisyah,Padbhyam Sudro Ajayata

Artinya:
Brahmana adalah mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa, Ksatriya lengan-lengan-Nya, Vaisya paha-Nya, dan Sudra kaki-kaki-Nya.

Selanjutnya doa yang mengandung harapan agar masing-masing profesi/ warna melaksanakan swadharma yang baik terdapat pada Yajurveda sloka 33,81:

Pravakavarnah Sucayo Vipascitah

Artinya: para Brahmana seharusnya bersinar seperti api, bijak, dan terpelajar.

Yajurveda sloka 20,25:

Yatra Brahma Ca Ksatram Ca,Samyancau Caratah Saha,Tam Lokam Punyam Prajnesam,Yatra Devah Sahagnina

Artinya:
Di negara itu seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para Brahmana dan para Kesatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar melaksanakan persembahan (pengorbanan).

BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Riwayat Kasta di Bali
Riwayat Kasta Di BaliBhagawata Purana
Di dalam Bhagawata Purana dan Smrti Sarasamuçcaya pasal 63 dengan tegas dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada suatu warna kalau tanpa dilihat dari segi perbuatannya.
Dari perbuatan dan sifat-sifat seperti tenang, menguasai diri sendiri, berpengetahuan suci, tulus hati, tetap hati, teguh iman kepada Hyang Widhi, jujur adalah gambaran seseorang yang berwarna Brahmana. Tetapi orang yang gagah berani, termasyhur, suka memberi pengampunan, perlindungan maka mereka itulah yang disebut Ksatrya.

Sukra Niti
Purana Sukra Niti memberi keterangan bahwa keempat warna itu tidak ditentukan oleh kelahiran, misalnya dari keluarga Brahmana lalu lahir anak Brahmana juga, tetapi sifat dan perbuatan mereka itulah yang menentukan sehingga mereka menjadi demikian seperti adanya empat warna itu.

Wiracarita Mahabarata
Di sini dijelaskan bahwa sifat-sifat Brahmana ialah: jujur, suka beramal/ berderma, pemaaf, pelindung, takwa, cenderung untuk melakukan pertapaan. Dan dijelaskan pula bahwa kelahiran anak dari seorang Sudra yang dikatakan mempunyai sifat- sifat seperti tersebut di atas, mereka bukanlah Sudra tetapi mereka adalah Brahmana. Tetapi seorang keturunan Brahmana yang tidak mempunyai sifat- sifat seperti itu, maka ia sesungguhnya Sudra.

Dari sumber- sumber tersebut di atas kita peroleh suatu pandangan dan pengertian yang sama mengenai Catur Warna, yaitu merupakan pembidangan karya dan sikap mental manusia yang mewarnai pengabdiannya dalam swadharma masing-masing. Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia.

Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya Empat Warna/Catur Warna yaitu :




1. Brahmana

Orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.





2. Ksatria
Orang orang yang bekerja / bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf - stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya.




3. Waisya
Orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis / usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha / bisnisnya.




4. Sudra
Orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.


Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya kalau sang Ayah Brahmana tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana.

Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan, artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang Intelektual/Bijaksana (Civil society) dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan.

Dagang Banten Bali



Apa yang terjadi di India adalah distorsi dari ajaran-ajaran Veda, di Indonesia sendiri kasta tidak ada, yang ada adalah wangsa (garis leluhur).

Wangsa yang ada di Bali sebagai contoh hanya sebagai pengenal bahwa garis leluhurnya mereka dahulu berasal dari keluarga tertentu :

Misalnya,
Soroh pande, artinya keluarga mereka pada jaman dahulu adalah "pengrajin/pande-besi",
Arya Kenceng Tegeh Kori contoh lain artinya jaman dahulu keluarga mereka dari kelompok "Arya" (ksatria yang berasal dari jawa masuk ke Bali)

Jadi tidaklah benar kalau umat Hindu itu mengenal kasta, ini merupakan bentuk pelecehan. Maka masyarakat Bali dan nama Hindu menjadi buruk, banyak saudara - saudara dibali masih salah paham tentang Kasta, apalagi orang-orang lain yang tinggal di luar Bali. mungkin karena Umat Hindu kurang mensosialisasikan secara gamblang apa itu wangsa/warna.

Nama Orang Bali itu bukan kasta tapi Wangsa
Contoh :
Nama saya misalnya “I Wayan Bagus”, dan leluhur saya dulu adalah Ksatria yaitu keturunan Dalem Tarukan, apakah saya sudra??? Tentu bukan!

Karena Saya seorang Pegawai Pemerintahan bekerja mengabdikan diri pada negara. Maka saya seorang KESATRIA - Pegawai pemerintah (punggawa istana)

Siapa itu para SUDRA ???

Para sudra adalah orang – orang yang bekerja di swasta, buruh, konsultan dan atau orang yang digaji orang lain karena usaha kerja kerasnya.

Siapa itu para WESIA ???

Para wesia adalah orang – orang yang Pemilik Usaha, Bisnisman, Investor yang memiliki karyawan dan menggaji orang lain untuk kemajuan usahanya.

Siapa itu para BRAHMANA ???

Para brahmana adalah orang – orang yang berprofesi sebagai guru, guru spiritual, pemangku (pinandita) dan Pandita (begawan, mpu, pedanda)

Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir hayatnya.

Sedangkan kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi pada kasta yang lainnya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.

Transformasi Kekuasaan Di Bali
Menurut Agus Salim Pola perubahan sosial ada dua macam yaitu

Datang dari negara (state)
Datang dari bentuk pasar bebas (free market).Perubahan yang dikelola oleh pemerintah berorientasi pada ekonomi garis komando yang datang secara terpusat, sedangkan dari pasar bebas-campur tangan pemerintah sangat terbatas. Negara memberi pengaruhnya secara tidak langsung, sehingga pasar bebas lebih dominan. Jika pada bagian struktur kekuasaan masyarakat Bali telah disampaikan bagaimana sistem kekuasaan Bali melalui sistem kasta, namun setelah mendapat pengaruh globalisasi kehidupan masyarakat Bali yang diwujudkan dalam usaha pengalihan sistem kasta menjadi sistem warna. Adapun gambaran mengenai sistem warna dapat dijelaskan sebagai berikut.

Bagi sebagian orang di Indonesia dan mungkin sebagian masyarakat Bali tidak mengenal sistem Warna dalam masyarakat Bali karena selama ini mengenal bahwa sistem pembagian masyarakat Bali hanya berdasarkan kasta saja. Namun tidak dapat dipungkiri memang kasta telah menjadi suatu sistem pengelompokan dan pemetaan kuasa masyarakat di Bali.

Warna adalah suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja sebagai seorang pendeta atau menjalankan fungsi-fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai warna brahmana, jika orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka dia akan berfungsi sebagai wangsa ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai seorang pejabat penting lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan warna weisya, dan jika seseorang yang melaksanakan pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh atau tenaga lepas dari seseorang maka ia dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan fungsi sebagai warna sudra.

Akhir-akhir ini perdebatan mengenai kasta dan warna di Bali semakin menuai banyak pendapat, baik itu yang bersifat menerima apa adanya sebagai warisan leluhur, ada yang mencoba mengkritisi sebagai bentuk protes sosial dan upaya untuk menciptakan sirkulasi elit, ada yang mencoba memilahnya sesuai dengan situasi yang ada misalnya menerapkan konsep kasta ketika pada situasi adat istiadat namun menerima sistem warna sebagai praktek dalam kehidupan modern, dan terakhir ada yang menganggap bukan permasalahan serius ketika kekuasaan bisa diraih dengan berbagai macam cara.

Salah satu pendapat yang mencoba mengkritisi kasta dan warna, sebagaimana yang disampaikan oleh Made Kembar Kerepun, bahwa sistem Kasta di Bali merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh masyarakat di Bali yang sangat cerdas dimana untuk menguatkan rekayasa tersebut para masyarakat yang disebut dengan aktor cerdas tersebut dengan sengaja membuat acuan-acuan dalam teks yang dalam kehidupan masyarakat Bali disebut dengan lontar yang bertujuan untuk membuat perlindungan utuk menguatkan rekayasa tersebut, dimana penulis mengemukakan sebagai payung hukum, dan pembenar. Made Kembar juga menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut telah merugikan, mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di luar lingkungan Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.

Di Bali tranformasi kekuasaan pada masyarakat ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pada pemegang kekuasaan. Dimana pada kekuasaan dengan sistem kasta menempatkan Puri sebagai penguasa penuh, namun dengan adanya pengaruh pandangan baru terhadap masyarakat Bali merubah peta kekuasaan itu sendiri yang ditandai dengan lahirnya elit-elit baru di masyarakat Bali.

Selain dari dominasi terhadap jabatan Pemerintahan (Gurbernur dan Bupati), indikasi terhadap memudarnya kekuasaan Puri – puri di bali juga bisa dilihat dari munculnya elit-elit baru yang mampu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat Bali. Dengan pengaruh globalisasi dengan sistem kapitalismenya adanya elit baru di bidang ekonomi tersebut membuat terjadinya pergeseran pandangan masyarakat terhadap siapa yang berkuasa, karena dengan melihat kondisi perekonomian masyarakat Karangasem maka masyarakat akan cenderung “ikut” pada pemilik modal.

Kekacauan Sisitim kemasyarakatan antara KASTA dan WARNA ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Konsep kasta sangat bertentangan dengan konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan pemahaman tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga sekarang ini. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria. Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” tak akan bisa menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra. Kenyataan saat ini tentu sudah beda. Saya sendiri yang saat walaka (sebelum menjadi pendeta) bukan bernama awal Ida Bagus, toh nyatanya bisa menjadi pendeta atau Brahmana saat ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik, perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.

Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.

Demikianlah kesalah-pahaman itu, akhirnya dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra.

Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus Kasta di Bali itu tentu karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti abad. Namun yang menyebabkan kesalah-pahaman itu bisa dijernihkan adalah adanya toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Tetapi tidak ada kaitan dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya, siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari keluarga Ida Bagus. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau Gubernur), tak harus dari yang bergelar Kesatria versi kasta masa lalu.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan dengan “KASTA” yang feodal itu.

Ketika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali, ada elite politik di Jakarta yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau kastanya rendah seperti Sudra tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali. Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra. Made Mangku Pastika dianggap berkasta Sudra.

Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan banyak orang dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam pekerjaan. Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan, dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalah-pahaman”. Mungkin hanya masih berlaku di pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di luar Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embel-embelnya seperti di masa lalu.

Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.

I Made Mangku Pastika pun bisa menjadi Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra. Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Kesatria. Staf di kantor gubernuran banyak yang bernama depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana. Kalau saja kasta versi masa lalu masih dianggap eksis, tentu aneh Gubernur Bali orang Sudra, wakil dan stafnya orang Kesatria bahkan Brahmana. Ini tentu tak masuk logika, karena itu logikanya memang sudah tak benar.

Dari penjelasan diatas jelas sudah perbedaan pandangan mengenai kasta, warna, dan wangsa. Kita sebagai umat Hindu yang memiliki intelektual sudah menjadi kewajiban memahami konsep ini agar tidak terjadi pandangan yang salah yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial antarumat Hindu lebih-lebih bisa menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Namun, sekarang ini nampaknya ada usaha-usaha untuk semakin mempertajam kesenjangan umat Hindu khususnya di Bali. Sebagai contoh mengenai pembagian wewenang, hak dan kewajiban pendeta. Pedanda (pendeta yang berasal dari kalangan Kasta Brahmana) memiliki wewenang yang jauh lebih tinggi dari pada pemangku (pendeta yang berasal dari Kasta Sudra). Pendanda bisa menyelesaikan kelima upacara keagamaan yang ada dalam agama hindu di Bali yang lazim disebut sebagai Panca Yadnya.

Dalam Bhagawad Gita secara jelas disebutkan bahwa dasar persembahan kepada Tuhan adalah “keiklasan” dan sama sekali tidak berdasarkan besar atau kecilnya persembahan dan siapa yang menyelesaikan upacara karena semua manusia sama di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apa yang dijelaskan di dalam ajaran suci Agama Hindu ini juga mempertegas bahwa tidak ada perbedaan di antara kita semua. Kita semua mahluk Tuhan dan tak perlu lagi ada pengkotak-kotakan yang berakibat pada perpecahan. Cintailah semua ciptaan Tuhan, semoga damai!

Terbuktilah kini, bahwa kasta masa lalu itu sudah terkubur. Yang tetap berlaku adalah ajaran Catur Warna, orang diberi kebebasan untuk menjadi Brahmana, Kesatria, Wesyaa maupun Sudra, asalkan mampu.

Demikian pemaparan tentang Sistim Kasta di Bali Mudah - mudahaan semua mengerti tentang hal ini, buat yang tidak setuju mohon maaf kalo pemahaman ini salah.

Sumber : cakepane.blogspot.com





Contoh dan Upaya-Upaya Meningkatkan Perilaku Tri Parārtha

Perilaku untuk menciptakan dan menumbuhkan kesejahteraan, kedamaian, keharmonisan, serta kebahagiaan dalam masyarakat sangatlah penting. Masyarakat dapat hidup rukun dan damai antar suku, agama, dan negara dengan selalu menjalankan perilaku asih, puṇya, dan bhakti. Berikut adalah contoh-contoh perilaku asih, puṇya, dan bhakti:




Image; dharmadana

Contoh-Contoh Tri Parārtha


1. Memelihara lingkungan
2. Memberikan sumbangan ke panti asuhan
3. Saling mengasihi antar teman, saudara, dan tetangga
4. Mengasihi binatang yang tidak bersalah
5. Menjaga dan melindungi orang yang membutuhkan perlindungan
6. Membantu orang tua di rumah
7. Rajin belajar dan tekun menuntut ilmu
8. Memberikan bantuan kepada orang suci
9. Rajin melakukan persembahyangan
10. Selalu mengingat nama-nama Sang Hyang Widhi
11. Membantu orang yang terkena bencana, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 6).

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI


Upaya-Upaya Meningkatkan Perilaku Tri Parārtha


Tujuan akhir dalam agama Hindu adalah mencapai kebahagian yang abadi (moksa). Hal tersebut dapat kita capai jika kita sudah mengamalkan ajaran agama dan menerapkan ajaran Tri Parārtha dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Tri Parārtha dapat diterapkan baik di rumah, di sekolah, dan di lingkungan. Ada pun upaya-upaya untuk meningkatkan perilaku Tri Parārtha antara lain seperti berikut.

Menjalankan ajaran Tat Twam Asi
Melakukan Tri Sandhya setiap hari
Membiasakan diri untuk melakukan dana punia
Menjalankan ajaran Tri Hita Karana

Tuhan menciptakan manusia untuk saling menyayangi dan membantu satu sama lain. Dalam kebersamaan, akan tercipta keharmonisan. Perbedaan suku, ras, dan agama tidak menjadi penghalang untuk kita saling berbagi. Hal itu karena sesungguhnya kita bersumber dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Kita juga memiliki keterkaitan yang saling membutuhkan. Tidak ada satu pun di dunia ini yang mampu hidup sendiri. Manusia tidak mampu hidup tanpa adanya hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama, serta manusia dan lingkungan. Semua akan berjalan harmonis jika ada kesadaran dalam diri bahwa segala sesuatu harus kita jaga dengan baik dari ketiga hubungan tersebut.
Seperti halnya manusia membutuhkan makanan. Nasi yang selalu kita makan merupakan sumber energi dalam tubuh. Nasi akan melalui proses yang panjang sebelum berhasil menjadi makanan yang siap disantap. Tahap awal, petani membutuhkan lahan untuk menanam padi, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 10).

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Setelah itu, petani mengatur pengairan, merawat, memberikan pupuk sehingga tanaman padi tumbuh dengan baik. Setelah petani merawat padinya dengan baik, petani akan memperoleh padi yang siap untuk dipanen.


Dalam tahap panen, petani membutuhkan beberapa orang untuk memotong dan memisahkan padi dari tangkainya. Setelah berbentuk gabah, padi siap dibawa ke tukang penyosohan/pengupasan untuk digiling. Tujuan penyosohan/pengupasan agar terpisah dari kulitnya dan menghasilkan biji beras. Petani membutuhkan pedagang untuk menjual berasnya, pedagang juga membutuhkan petani untuk membeli beras. Pedagang membutuhkan pembeli sebagai konsumen begitu pun sebaliknya, hingga beras siap dimasak menjadi nasi.

Dagang Banten Bali


Ilustrasi di atas memberi makna, bahwa kita akan saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain. Berbagi kasih sayang atau menolong sesama, hendaknya tidak membeda-bedakan siapa dan dari mana mereka berasal. Karena secara tidak langsung karma akan berjalan mengikuti pahala. Amalkan ajaran Tri Parārtha agar senantiasa manusia dan sesama makhluk hidup bahagia, sejahtera, serta saling menghargai antaragama, suku, dan bangsa. Selalu menjaga hubungan harmonis antara Tuhan, manusia, dan alam. Dengan demikian, akan tercapai kedamaian dalam hati dan kedamaian di dunia, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 11).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/12/contoh-dan-upaya-upaya-meningkatkan.html

Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Jumat, 24 Juni 2022

SASTRA JENDRA

 



Waktu-waktu terbentuknya mimpi ada tiga, yaitu titiyoni, gondoyoni dan puspatajem

Tetapi dalam kondisi sadar dan tidak tidur, kondisi-kondisi memasuki waktu-waktu tersebut bisa sangat berguna, sebagai contoh apabila telah memasuki jam Gondoyoni.
Di jam-jam itu, bagi yang terbiasa melekan akan mulai KLEBON SETAN (kemasukan setan), kumat edane dan mulai NGLAYUNG.
Sebenarnya kondisi ngomong nglantur, pikiran seperti kosong di jam GONDOYONI itu justru jadi SEMA’AN di sesi NGRASUK.
Kenapa?
Karena yang berbicara bukan lagi SADARNYA, melainkan BAWAH SADARNYA.
Bawah Sadar Sang Kiai akan BERBICARA dengan Bawah Sadar para Cantrik.
Apakah interupsi dilakukan pada saat target tidur?
Jam biologis adalah waktu tubuh yang otomatis mengeluarkan hormon-hormon tertentu, sehingga otak berada pada kondisi tertentu (theta).
Jadi, kondisi tidur atau kondisi bangun sama saja.
Jam EMAS GONDOYONI ini terjadi antara pukul 01.30-02.00.


Kenapa?
Karena di saat itu aktifnya Sushumna.
Ilmu Gendam Gondoyoni
Bagi Anda yang mau menggendam pasangan untuk tunduk, lakukan di jam emas Gondoyoni ini.
Dan… bagi Anda yang mau menyedot jiwa pasangan Anda, Anda HARUS ADA di jam emas Gondoyoni ini.
Kalau untuk MEMBANGUN JIWA ANAK-ANAK kita, ini tekniknya…
Pegang pipinya, atau elus kepalanya, dan katakan:
“Adek/kakak, kalau sudah besar jadi Komisaris yang adil, bijaksana, kaya raya yang bermanfaat buat orang banyak dan sehat selalu ya…?
Kakak/Adek, mau ya…?
Lalu cium antara 2 alis…
Teknik kunci memasukkan Ilmu Gendam Gondoyoni ini ada di:
Gunakan Kalimat Tanya
Elus pipinya dan tanya sampai dia mengangguk
Ini kunci utamanya, ditanya sampai dia mengangguk.
Tetapi tekniknya akan sedikit berbeda jika Anda sudah menguasai pengetahuan AJI RAJAH KALACAKRA.
Anga cukup menyentuh kakinya, atau bahkan cukup memandangi wajahnya melalui foto atau sambil memegang benda-benda yang masih memiliki BAU TARGET.
Inilah mengapa disebut sebagai GONDOYONI yang artinya kekuatan GAIB yang menggunakan media BAU.
Anda secara langsung dapat melakukan INTERUPSI JARAK JAUH.
Inilah namanya Santet Cinta.
Jadi, bagaimana membentuk Jiwa seseorang yang tempatnya jauh dan mensugesti diri sendiri?
Berdoalah dengan doa-doa positif di jam antara jam 03.00 sampai dengan menjelang subuh.
Jika kamu bangun pukul 3 hingga 5 pagi, tandanya Tuhan sedang berusaha berbicara padamu.

Kamis, 23 Juni 2022

Bhagavadgita Golongan - Golongan Keyakinan





Bhagavadgita Bab XVII - Golongan - Golongan Keyakinan

Bhagavad-gita 17.1
17.1 Arjuna bertanya; o krsna, bagaimana kedudukan orang yang tidak mengikuti prinsip-prinsip kitab suci tetapi sembahyang menurut angan-angan sendiri? Apakah mereka berada dalam kebaikan, nafsu atau dalam kebodohan?

Bhagavad-gita 17.2
17.2 kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; menurut sifat-sifat alam yang diperoleh oleh roh di dalam badan, ada tiga jenis kepercayaan yang dapat dimiliki seseorang-kepercayaan dalam kebaikan, dalam nafsu atau dalam kebodohan. Sekarang dengarlah tentang hal ini.

Bhagavad-gita 17.3
17.3 wahai putera Bharata, menurut kehidupan seseorang di bawah berbagai sifat alam, ia mengembangkan jenis kepercayaan tertentu. Dikatakan bahwa makhluk hidup memiliki kepercayaan tertentu menurut sifat-sifat yang telah diperolehnya.

Bhagavad-gita 17.4
17.4 Orang dalam sifat kebaikan menyembah para dewa; orang dalam sifat nafsu menyembah para raksasa atau orang jahat; dan orang yang berada dalam sifat kebodohan menyembah hantu-hantu dan roh-roh halus.

Bhagavad-gita 17.5
Bhagavad-gita 17.6
17.5-6 Orang yang menjalani pertapaan dan kesederhanaan yang keras yang tidak dianjurkan dalam kitab suci, dan melakukan kegiatan itu karena rasa bangga dan keakuan palsu didorong oleh nafsu dan ikatan, yang bersifat bodoh dan menyiksa unsur-unsur material di dalam badan dan Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam badan, dikenal sebagai orang jahat.

Bhagavad-gita 17.7
17.7 Makanan yang paling disukai setiap orang juga terdiri dari tiga jenis, menurut tiga sifat alam material. Demikian pula korban suci, pertapaan dan kedermawanan. Sekarang dengarlah perbedaan antara hal-hal itu.

Bhagavad-gita 17.8
17.8 Makanan yang disukai oleh orang dalam sifat kebaikan memperpanjang usia hidup, menyucikan kehidupan dan memberi kekuatan, kesehatan, kebahagiaan dan kepuasan. Makanan tersebut penuh sari, berlemak, bergizi, dan menyenangkan hati.

Bhagavad-gita 17.9
17.9 Makanan yang terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, panas sekali atau menyebabkan badan menjadi panas sekali, terlalu pedas, terlalu kering dan berisi terlalu banyak bumbu yang keras sekali disukai oleh orang dalam sifat nafsu. Makanan seperti itu menyebabkan dukacita, kesengsaraan dan penyakit.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 17.10
17.10 Makanan yang dimasak lebih dari tiga jam sebelum dimakan, makanan yang hambar, basi dan busuk, dan makanan terdiri dari sisa makanan orang lain dan bahan-bahan haram disukai oleh orang dalam sifat kegelapan.

Bhagavad-gita 17.11
17.11 Di antara korban-korban suci, korban suci yang dilakukan menurut kitab suci, karena kewajiban, oleh orang yang tidak mengharapkan pamrih, adalah korban suci dalam sifat kebaikan.

Bhagavad-gita 17.12
17.12 Tetapi hendaknya engkau mengetahui bahwa korban suci yang dilakukan demi suatu keuntungan material, atau demi rasa bangga adalah korban suci yang bersifat nafsu, wahai yang paling utama di antara para Bharata.

Bhagavad-gita 17.13
17.13 Korban suci apa pun yang dilakukan tanpa mempedulikan petunjuk kitab suci, tanpa membagikan prasadam [makanan rohani], tanpa mengucapkan mantra-mantra veda, tanpa memberi sumbangan kepada para pendeta dan tanpa kepercayaan dianggap korban suci dalam sifat kebodohan.

Bhagavad-gita 17.14
17.14 Pertapaan jasmani terdiri dari sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, para brahmana, guru kerohanian dan atasan seperti ayah dan ibu, dan kebersihan, kesederhanaan, berpantang hubungan suami isteri dan tidak melakukan kekerasan.

BACA JUGA


Bhagavad-gita 17.15
17.15 Pertapaan suara terdiri dari mengeluarkan kata-kata yang jujur, menyenangkan, bermanfaat, dan tidak mengganggu orang lain, dan juga membacakan kesusastraan veda secara teratur.

Bhagavad-gita 17.16
17.16 Kepuasan, kesederhanaan, sikap yang serius, mengendalikan diri dan menyucikan kehidupan adalah pertapaan pikiran.

Bhagavad-gita 17.17
17.17 Tiga jenis pertapaan tersebut, yang dilakukan dengan keyakinan rohani oleh orang yang tidak mengharapkan keuntungan material tetapi tekun hanya demi Yang Mahakuasa, disebut pertapaan dalam sifat kebaikan.

Bhagavad-gita 17.18
17.18 Pertapaan yang dilakukan berdasarkan rasa bangga untuk memperoleh pujian, penghormatan dan pujaan disebut pertapaan dalam sifat nafsu. Pertapaan itu tidak mantap atau kekal.

Bhagavad-gita 17.19
17.19 Pertapaan yang dilakukan berdasarkan kebodohan, dan dengan menyiksa diri atau menghancurkan atau menyakiti orang lain dikatakan sebagai pertapaan dalam sifat kebodohan.

Bhagavad-gita 17.20
17.20 Kedermawanan yang diberikan karena kewajiban, tanpa mengharapkan pamrih, pada waktu dan tempat yang tepat, kepada orang yang patut menerimanya dianggap bersifat kebaikan.

Bhagavad-gita 17.21
17. 21 Tetapi sumbangan yang diberikan dengan mengharapkan pamrih, atau dengan keinginan untuk memperoleh hasil atau pahala, atau dengan rasa kesal, dikatakan sebagai kedermawanan dalam sifat nafsu.

Bhagavad-gita 17.22
17.22 Sumbangan-sumbangan yang diberikan di tempat yang tidak suci, pada waktu yang tidak suci, kepada orang yang tidak patut menerimanya, atau tanpa perhatian dan rasa hormat yang benar dikatakan sebagai sumbangan dalam sifat kebodohan.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 17.23
17.23 Sejak awal ciptaan, tiga kata om tat sat digunakan untuk menunjukkan kebenaran Mutlak yang paling utama. Tiga lambang tersebut digunakan oleh para brahmana sambil mengucapkan mantra-mantra veda dan pada waktu mengaturkan korban suci untuk memuaskan yang Mahakuasa.

Bhagavad-gita 17.24
17.24 Karena itu, para rohaniwan yang melakukan korban suci, kedermawanan dan pertapaan menurut aturan kitab suci selalu mulai dengan ‘om’ untuk mencapai pada yang mahakuasa.

Bhagavad-gita 17.25
17.25 Tanpa menginginkan hasil atau pahala, hendaknya seseorang melakukan berbagai jenis korban suci, pertapaan dan kedermawanan dengan kata ‘tat’. Tujuan kegiatan rohani tersebut ialah untuk mencapai pembebasan dari ikatan material.

Bhagavad-gita 17.26
Bhagavad-gita 17.27
17.26-27 Kebenaran mutlak adalah tujuan korban suci bhakti. Kebenaran mutlak ditunjukkan dengan kata ’sat’. pelaksanaan korban suci seperti itu juga disebut ‘sat’. segala pekerjaan korban suci, pertapaan dan kedermawanan yang dilaksanakan untuk memuaskan kepribadian Tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada sifat mutlak juga disebut ‘sat’. wahai putera prtha.

Bhagavad-gita 17.28
17.28 Apa pun yang dilakukan sebagai korban suci, kedermawanan maupun pertapaan tanpa keyakinan terhadap Yang Mahakuasa tidak bersifat kekal, wahai putera prtha. Kegiatan itu disebut ‘asat’ dan tidak berguna dalam hidup ini maupun dalam penjelmaan yang akan datang.

Pemujaan Dewi Gangga dan Rambut Sedana di Pura Beji Langon






BEJI: Pura beji Langon, Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung. (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, MENGW - Selain ditemukan patung gajah dengan ukuran yang cukup besar, di Pura beji Langon, Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung ini juga ditemukan patung perwujudan dua pendeta sebagai lambang Siwa dan Buddha.


Adanya keradaan patung perwujudan dua pendeta di atas patung Gajah berukir ini dikatakan Mangku Pura Beji Langon, I Gusti Ngurah Wirawan karena pada masa terdahulu, pura Beji ini merupakan tempat pemujaan Siwa Budhha. “Ini salah satu pura pesician yang cukup tua, dan pada masa itu, Pura ini merupakan tempat pemujaan Siwa Buddha,” jelasnya.

Adapun manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi yang dipuja di Pura Beji Langon ini adalah Dewi Gangga, sebagai Dewi penguasa air yang bertugas untuk menyucikan alam semesta ini. Sehingga pura Beji ini berfungsi sebagai tempat Pesucian bagi Ida Bhatara dan pengelukatan bagi manusia (pembersihan secara sekala dan niskala).

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Selain dilihat dari fungsi pura, dipujanya Dewi Gangga di Pura Beji ini karena dipura ini ditemukan patung dewi yang berstana di tengah Kolam utama Pura Beji Langon. “Patung Dewi ini ada di beberapa tempat, yakni di Sambiyang utama yang ada di ditengah kolam dan pada tebing padas yang ada di sisi timur Kolam Urama,” lanjutnya.

Selain memuja Dewi Gangga sebagai dewi Air yang bertugas untuk menyucikan alam semesta ini beserta isinya, yang dipuja di Pura Beji Langon ini adalah Sang Hyang Rambut Sedana yang dalam mitologi ajaran agama Hindu dikenal sebagai Manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran yang disebut dengan Dewi Laksmi.

Adapun alasan kenapa Dewi Laksmi juga dipuja di Pura Beji Langon ini, seperti dituturkasn Mangku Wirawan, karena piodalan di Pura Beji Langon jatuh pada hari Buda Cemeng Kelawu yang secara khusus merupakan bentuk pemujaan terhadap Ida Bhatara Rambut Sedana sebagai simbol dewa uang kemakmura.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Selain karena piodalan yang bertepatan pada hari Buda Cemeng Kelawu, dipujanya Dewi Laksmi sebagai dewi Kemakmuran juga tidak terlepas dari ditemukannya Patung batu padas dengan perwujudan Dewi Laksmi di pada Sambiyang utama Pura Beji. “Sehingga Sang Hyang Rambut Sedana juga dipuja di Pura Beji ini,” jelasnya lebih lanjut.

Bagi yang ingin melakukan ritual pengelukatan di pura Beji Langon ini, Mangku Wirawan menyebutkan masyarakat bisa langsung datang ke Pura Beji Langon dengan membawa pejati. Untuk melakukan ritual melukat ini, sebelum dilukat dengan tirtha yang berasal dari kolam utama Pura Beji Langon, masyarakat yang ingin melukat terlebih dahulu melakukan pembersihan diri secara sekala dengan cara mandi di pancuran yang ada di sisi barat Pura.

Setelah mandi, barulah ritual melukat dilakukan dengan menghaturkan pejati di pelinggih utama Pura Beji Langon. “Sebelum melukat dilakukan persembahyangan dan setelah melukat juga dilakukan persembahyangan lagi,” tambahnya.

(bx/gek/art/bay/yes/JPR)

PURA MELANTING PULAKI

 


Pura Melanting terletak di desa Banyupoh, Kec. Grokgak, Kab. Buleleng, termasuk kawasan Bali Utara. Sekitar 50 km sebelah Barat kota Singaraja, lokasinya cukup berdekatan dengan Pura Pulaki termasuk juga Pura Pabean, Ida Mutering Jagat di Pemuteran dan Kerta Kawat, yang mana dalam sejarah berdirinya pura-pura tersebut memiliki kaitan erat satu dengan lainnya.
Pura Melanting adalah salah satu pura Kahyangan Jagat di Bali, menempati posisi penting dalam deretan nama-nama pura yang ada di Bali, sebagai masyarakat yang religius dan percaya dengan adanya satu Tuhan yaitu Ida Sang Hyang Widi Wasa, namun manifestasi-Nya dengan banyak nama sesuai fungsi dan sifatnya. Seperti halnya dengan Pura Melanting ini, merupakan pura yang bersifat fungsional karena sebagai tempat untuk memuja Ida Bhatari Melanting atau Dewi Melanting memohon kemakmuran, kesuburan, keselamatan dan agar dilancarkan dalam usaha dagang. Pura Melanting sangat berkaitan dengan usaha dagang agar dilancarkan, itulah sebabnya setiap pasar didirikan pura Melanting. Pemujaan Dewi Melanting di Pura Melanting bisa disejajarkan dengan Bhatara Rambut Sedana atau Dewa Kwera sebagai dewanya uang.
Keberadaan Pura Melanting dan pura pesanakan lainnya berkaitan erat dengan perjalanan Pendeta suci Dang Hyang Nirartha dari tanah Jawa ke Bali dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai luhur agama Hindu kepada masyarakat Bali.
Sejarah Pura Melanting
Dalam perjalanan berat Dang Hyang Nirartha dikenal juga dengan gelar Dang Hyang Dwijendra dan Pedanda Sakti Wawu Rauh di bumi Bali, istri beliau, Danghyang Biyang Ketut atau disebut juga Danghyang Biyang Patni Keniten dari Belambangan, yang saat itu sedang hamil tua merasa kelelahan, persendian kakinya bengkak dan ngilu, tak kuasa rasanya mengangkat kaki untuk melanjutkan perjalanan ke arah Timur yang masih jauh. Karena hal tersebut Dang Hyang Nirartha merasa bimbang, apakah menemani istri sampai melahirkan atau melanjutkan perjalanan suci tersebut.


Malang benar, Dang Hyang Nirartha yang bijak itu sempat terbimbang sesaat hatinya, ingin direlakannya mengorbankan waktu menemani, tetapi mengingat pentingnya perjalanan dilanjutkan menuju ke timur secepatnya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan belahan jiwanya sementara di tempat itu, ditemani salah satu putrinya, Dyah Ayu Swabawa. Putra-putrinya yang lain diajaknya serta karena mereka masih cukup kuat berjalan. Kelak sesampainya perjalan Danghyang di tujuan, akan diutusnya pengikutnya menjemput mereka.
Jadilah Peranda istri ditemani sebagian pengikutnya, melepaskan lelah sampai sehat benar, membangun huma, berladang dan bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi suri tauladan masyarakat di daerah itu. Lama kelamaan warganya pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia kepadanya. Karena kesaktian dan kearifannya, warga menggagapnya sebagai Mpu Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu. Beliau melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Bagus Bajra, sesuai pesan ayahndanya.
Putrinya, Dyah Ayu Swabawa pun semakin besar dan tumbuh menjadi putri yang sangat cerdas, bijak dan penuh pesona, dari wajahnya memancar wibawa kepemimpinan yang lebih dewasa dari umurnya. Di tangannya yang lembut, segala hal akan menjadi jauh lebih baik dan berguna. Jadilah beliau kesayangan masyarakat, tempat orang bertanya-tanya. Kecerdasannya nampak dalam ilmu berdagang. Salah satu nasihatnya ialah memikat pembeli dengan membantu mereka memilihkan barang-barang, hanya yang terbaik untuk pembeli, bahkan sebelum pembeli itu datang dan sebelum barang itu dibelinya, niscaya mereka akan kembali lagi, dan menjadi pelanggan yang setia.
Daerah tempat Dyah Ayu Swabawa dan ibundanya tinggal itu kian ramai dikunjungi saudagar dari tempat lain, jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena masyarakat senang berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan utusan ayahnya menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah Ayu hampir tiap hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun menerawang tempat yang jauh menantikan munculnya utusan itu. Akhirnya orang-orang memberinya sebutan yang hormat dan sayang dengan Dyah Ayu Melanting, sedang ibundanya, tempat orang bermohon nasihat dan pertolongan disebut dengan Empu Alaki, artinya orang arif yang bersuami, walau suaminya sedang bepergian jauh.


Waktu terus berlalu, rupanya terjadi salah paham. Peranda Istri putus asa menantikan pertemuannya kembali dengan tambatan hatinya, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat dicintainya. Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan perpisahan yang telah lalu, sehingga pada puncaknya, beliau menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada Dewata agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan menunggu tanpa termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang berat. Peranda Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan sang kala, luput dari penuaan dan kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang lain. Dewata menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang lain tidak iri hati melihatnya abadi.
Kilat menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada badai, warga Mpu Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang. Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian.
Ida Peranda Sakti Wawu Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru menyadari hal ini setelah beliau juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang sepi... Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang putri yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya yang termuda, pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara.
Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai Ratu Niyang Lingsir yang pemurah, Dewayu Melanting yang bijak dan Ida Bagus Ratu Samar.
Walau telah moksah, Dyah Ayu Melanting tetap menyayangi dan melimpahi berkat untuk para pedagang yang mau memilihkan barang dagangan terbaik untuk pelanggan dan calon pelanggannya, di mana pun mereka berjualan, dibantu oleh Batari Manik Muncar yang melindungi kejujuran transaksi. Untuk pedagang yang melanggar hukum itu, walau tak pernah tertulis, jangan harap akan mendapat kasih dan karunia dari beliau.
Parama Suksma Hyang Widhi 🙏❤️🙏
💘Dumogi Sareng Sami Ngemanggihang Kerahayuan lan Kesukertan💘