Jumat, 15 Juli 2022

4 Penjaga atau Kanda Pat

 



Penulis Kanda Pat berbeda akan menyematkan istilah nama-nama berbeda atas 4 Penjaga tersebut. Tradisi menyebut keberadaan 4 Penjaga juga merupakan tradisi global yang mengakar pada Weda.
Menilik dari 4 Penjaga yang ada bersama tiap diri kita masing-masing sebagai pelindung waktu masih berbentuk janin adalah sebagai berikut dan kaitannya dengan 4 Mahluk Devine sebagai penjaga (Four Guardian Beasts) atau sebagai pengabih.
Anggapati = Naga = Air Ketuban.
Prajapati = Manuk Dewata Api/Vermilion = Esensi Darah (blood essence).
Banaspati = Harimau Putih/Samong = lamas atau selaput janin.
Banaspati raja = Kura-kura dan ular = Ari-Ari atau plasenta.
Yang kelima posisi madya (tengah) adalah Raganta atau rare atau tubuh ini
Empat penjaga atau empat saudara atau catur sanak atau kanda pat ini ada bersama kita dari awal. Saat kelahiran kita para saudara yang juga menjadi pengabih kita tersebut wujud kasarnya ditinggalkan sebab tidak bisa berkembang lagi dan berganti kedalam wujud spirit atau ruh. Sendangkan kita yang berada ditengah masih menguasai tubuh bhuta ini. Mereka tetap terkoneksi dengan hubungan yang rumit dengan diri kita.

Sehingga ilmu mistik kuno yang terkait kemampuan magis akan berisi teknik rapalan memasukkan 4 pelindung tersebut kedalam tubuh sendiri dan menjadikannya elemen kekuatan supranatural yang tak terjelaskan. Disebutkan bahwa 4 pelindung tersebut memiliki ego yang besar yang setara diri kita sendiri. Sehingga memintanya menjadi bagian kekuatan kita adalah sangat sulit ketika kita dari kelahiran sukses dengan tetap memiliki tubuh bhuta sedangkan saudara 4 kita tidak memilikinya. Terlebih ketika kita sama sekali mengacuhkannya sendari lahir hingga kini.
Disebutkan bahwa pada momen peringatan hari lahir atau otonan adalah cara termudah membuat empat saudara itu senang dan girang. Dari momen tersebut kita bisa mengajukan harapan perlindungan, kesuksesan, dll., yang akan dibantu oleh mereka.
-Rendi-
Vajrapani

Pengertian dan Perkembangan serta Aliran Hukum Hindu

Hukum Hindu adalah sebuah tata aturan yang membahas aspek kehidupan manusia secara menyeluruh yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak dan kewajiban manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, dan aturan manusia sebagai warga negara ( tata negara).


Hukum Hindu juga berarti perundang–undangan yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan beragama dan bermasyarakat, ada kode etik yang harus dihayati dan diamalkan sehingga menjadi kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian pemerintah dapat mempergunakan hukum ini untuk mengatur tata pemerintahan dan pengadilan, dan dapat juga mempergunakannya sebagai hukuman bagi masyarakat yang melanggarnya.



Dewa Ganesha
Foto: moon_sumo

Kehadiran Hukum Hindu dimulai dari adanya sebuah perdebatan di antara para tokoh agama pada saat itu. Berbagai tulisan yang menyangkut Hukum Hindu menjadi dan merupakan perhatian khusus bagi para Maharshi terhadap pembinaan umat manusia. Adapun nama-nama para Maharsi sebagai penulis Hukum Hindu diantaranya; Gautama, Baudhayana, Shanka-likhita, Wisnu, Aphastamba, Harita, Wikana, Paitinasi, Usanama, Kasyapa, Brhraspati dan Manu.


Dengan adanya upaya penulisan atas Hukum Hindu tampak jelas kepada kita bahwa referensi Hukum Hindu telah lama dimulai juga dengan berbagai perdebatan dan kritik masing-masing sehingga melahirkan beberapa aliran Hukum Hindu di antaranya:

Aliran Yajnyawalkya oleh Yajnyawalkya.
Aliran Mithaksara oleh Wijnaneswara.
Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:53).
Dari ketiga aliran tersebutakhirnya keberadaan hukum Hindu dapat berkembang dengan pesat khususnya di wilayah India dan sekitarnya, dua aliran yang yang terakhir yang mendapat perhatian khusus dan dengan penyebarannya yang sangat luas yaitu aliran Yajnyawalkya dan aliran Wijnaneswara (Puja, Gde. 1984:82).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pelembagaan aliran (Yajnyawalkya dan Wijnaneswara) yang di atas sebagai sumber Hukum Hindu pada Dharmasastra adalah tidak diragukan lagi karena adanya ulasan-ulasan yang diketengahkan oleh penulis-penulis Dharmasastra sesudah Maha Rshi Manu yaitu Medhati (900 SM), Kullukabhata (120 SM), setidak-tidaknya telah membuat kemungkinan pertumbuhan sejarah Hukum Hindu dengan mengalami perubahan prinsip sesuai dengan perkembangan zaman saat itu dan wilayah penyebarannya seperti Burma, Muangthai sampai ke Indonesia.


Penggaruh Hukum Hindu sampai ke Indonesia nampak jelas pada zaman Majapahit tetapi sudah dilakukan penyesuaian atau reformasi Hukum Hindu, yaitu dipakai sebagai sumber yang berisikan ajaran-ajaran pokok Hindu yang khususnya memuat dasar-dasar umum Hukum Hindu, yang kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu dimasa penyebaran Agama Hindu keseluruh pelosok negeri. Bersamaan dengan penyebaran Hindu, diturunkanlah undang-undang yang mengatur praja wilayah Nusantara dalam bentuk terjemahan-terjemahan kedalam bahasa Jawa Kuno. Adapun aliran yang mempengaruhi Hukum Hindu di Indonesia yang paling dominan adalah Mithaksara dan Dayabhaga.


Hukum-hukum Tata Negara dan Tata Praja serta Hukum Pidana yang berlaku sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Manawadharmasastra, hal ini kemudian dikenal sebagai kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat seperti yang berkembang di Indonesia, yang khususnya dapat dilihat pada hukum adat di Bali. Istilah-istilah wilayah hukum dalam rangka tata laksana administrasi hukum dapat dilihat pada desa praja.


Desa praja adalah administrasi terkecil dan bersifat otonom dan inilah yang diterapkan pada zaman Majapahit terbukti dengan adanya sesanti, sesana dengan prasasti- prasasti yang dapat ditemukan diberbagai daerah di seluruh Nusantara. Lebih luas lagi wilayah yang mengaturnya dinamakan grama, dan daerah khusus ibu kota sebagai daerah istimewa tempat administrasi tata pemerintahan dikenal dengan nama pura, penggabungan atas pengaturan semua wilayah ini dinamakan dengan istilah negara atau rastra. Maka dari itu hampir seluruh tatanan kenegaraan yang dipergunakan sekarang ini bersumber pada Hukum Hindu (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:54).



Manusia dalam pergaulan dan menjalankan kehidupan ini mereka diatur oleh undang-undang yang dibuat oleh lembaga pembuat undang-undang. Lembaga pembuat undang-undang dibuat oleh manusia, oleh karena itu undang-undang adalah buatan manusia. Di samping itu ada pula undang-undang yang bersifat murni, yaitu undang-undang yang dibuat oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, yang juga disebut Wahyu Tuhan. Wahyu inilah yang dihimpun dan dikodifikasi menjadi “Kitab Suci”. Sehingga Kitab Suci adalah semacam undang-undang yang pembuatnya adalah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan dibuat oleh manusia (apauruseya).


Keharmonisan hidup ini sangat tergantung pada keberadaan hukum yang berlaku di lingkungan sekitar kita. Baik tidaknya pelaksanaan hukum tersebut juga sangat tergantung pada siapa yang menjadi pengambil keputusan dari pelaksananya. Hukum alam disebut dengan istilah Rta, dikuasai oleh “Rtavan” Tuhan Yang Maha Kuasa/Ida Sang Hyang Paramakawi sebagai penciptanya.


Demikian juga bentuk hukum yang lainnya, sangat tergantung dengan siapa pembuatnya, mengapa, dan dimana dibuatnya. Apakah hukum itu? Hukum ialah peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok agar tercipta suasana yang serasi, tertib dan aman. Hukum ini ada yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum inilah yang merupakan undang-undang.


Di dalam sebuah Negara, undang-undang dari semua undang-undang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar itu mengatur pokok-pokok yang menjadi sendi kehidupan bernegara dan dari undang-undang dasar itu dibuat undang-undang pokoknya. Seperti halnya dengan undang-undang dasar, dalam kehidupan beragama, semua peraturan dan ketentuan-ketentuan selanjutnya dirumuskan lebih terinci dengan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam kitab suci itu.


Tingkah laku manusia yang baik, yang menjadi tujuan di dalam pengaturan kehidupan ini disebut Darmika. Dharma adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung hakekat kebenaran yang menyangga masyarakat (dharma dharayate prajah). Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran ini setiap tingkah laku harus mencerminkan kebenaran hukum (dharma), artinya tidak bertentangan dengan undang-undang yang menguasainya.


Hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang ditetapkan oleh penguasa, pemerintah maupun berlakunya itu secara alamiah, yang kalau perlu dipaksakan agar peraturan tersebut dipatuhi sebagaimana yang ditetapkan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:55).


Hukum sebagai peraturan hidup berfungsi membatasi kepentingan dari setiap pendukung hukum (subyek hukum), menjamin kepentingan dan hak mereka masing-masing, serta menciptakan pertalian-pertalian guna mempererat hubungan antara mereka dan menentukan arah bagi terciptanya kerjasama. Tujuan yang hendak dicapai dari adanya hukum itu adalah suatu keadaan yang damai, adil, sejahtera, dan bahagia.


Untuk tercapainya hal tersebut maka didalam hukum itu harus mengandung sanksi yang bersifat tegas dan nyata. Hukum berfungsi sebagai pengendalian sosial agar tercapai ketertiban. Ketertiban adalah merupakan syarat pokok dalam masyarakat. Agar ketertiban ini bisa tercapai maka perlu adanya kepastian hukum di dalam masyarakat, yang mampu menciptakan masyarakat yang tenang, tentram, damai, adil, sejahtera dan bahagia. Dalam ilmu hukum dibedakan antara Statuta Law dengan Common Law atau Natural Law. Statuta Law adalah hukum yang dibentuk dengan sengaja oleh penguasa, sedangkan Common Law atau Natural Law adalah hukum alam yang ada secara alamiah.


Unsur-unsur yang terpenting dalam peraturan-peraturan hukum memuat dua hal, yaitu :

Unsur-unsur yang bersifat mengatur atau normatif.
Unsur-unsur yang bersifat memaksa atau represif.
Dalam hal ini umat Hindu yang juga merupakan warga Negara Indonesia, mereka harus tunduk pada dua kekuasaan hukum, yaitu:

Hukum yang bersumber pada perundang-undangan Negara seperti: UUD, Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
Hukum yang bersumber pada kitab suci, sesuai dan menurut agamanya.
Kebutuhan akan pengetahuan tentang Hukum Hindu dirasakan sangat penting oleh umat Hindu untuk dipelajari dan dipahami dalam rangka melaksanakan dharma agama dan sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber segala yang ada, disamping umat Hindu juga sebagai warga Negara yang terikat oleh hukum nasional. Hukum Hindu penting untuk dipelajari karena:

Hukum Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku bagi masyarakat Hindu di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, khususnya pasal 29 ayat 1 dan 2, serta pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk memahami bahwa berlakunya hukum Hindu di Indonesia dibatasi oleh falsafah Negara Pancasila dan ketentuan-ketentuan dalam Undang- Undang Dasar 1945 (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:56).
Untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum adat (Bali) dengan hukum agama Hindu atau hukum Hindu.
Untuk dapat membedakan antara adat murni dengan adat yang bersumber pada ajaran-ajaran Agama Hindu.
Muncul dan tumbuhnya aliran-aliran hukum Hindu ini adalah merupakan fenomena sejarah perkembangan hukum Hindu yang semakin meluas dan berkembang. Bersamaan dengan itu pula maka muncullah kritikus-kritikus Hindu yang membahas tentang berbagai aspek hukum Hindu, serta bertanggung jawab atas lahirnya aliran-aliran hukum tersebut. Sebagai akibatnya timbulah berbagai masalah hukum yang relatif menimbulkan realitas kaidah-kaidah hukum Hindu diantara berbagai daerah Hindu.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dua dari aliran hukum yang muncul itu akhirnya sangat berpengaruh bagi perkembangkan hukum Hindu di Indonesia, terutama aliran Mitaksara, dengan berbagai pengadaptasiannya. Di Indonesia kita mewarisi berbagai macam rontal dengan berbagai nama, seperti: Usana, Gajahmada, Sarasamuscaya, Kutara Manawa, Agama, Adigama, Purwadigama, Krtapati, Krtasima. Di antara rontal-rontal itu yang memuat tentang sasana adalah: Rajasasana, Siwasasana, Putrasasana, Rsisasana dan yang lainnya. Semuanya itu adalah merupakan gubahan yang sebagian bersifat penyalinan dan sebagian lagi bersifat pengembangan.


Penting untuk kita ketahui sumber hukum dalam arti sejarah adalah adanya Rajasasana yang dituangkan dalam berbagai prasasti dan paswara-paswara yang dipergunakan sebagai yurisprudiensi hukum Hindu yang dilembagakan oleh para raja-raja Hindu. Hal semacam inilah yang nampak pada kita yang secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai hal mengenai sumber- sumber hukum Hindu berdasarkan atas sejarahnya.


Demikianlah uraian singkat dari sejarah adanya perkembangan hukum Hindu yang patut kita pedomani bersama untuk mewujudkan ketertiban umat sedunia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:57).


Renungan Menawa Dharmasastra, II. 6


“Wedo ‘khilo dharma mulam smrti sile ca tad widam, acarasca iwa sadhunam atmanasyustir ewa ca.


Terjemahan:


Seluruh Veda merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama Hindu) kemudian barulah Smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Veda serta kemudian acara tradisi dari orang- orang suci dan akhirnya atmanastusti yaitu rasa puas diri sendiri.


Perenungan.


“Prihen temen dharma dhumaranang sarat, saraga sang sadhu sireka tutana,
tan artha tan kama pidonya tan yasa, ya sakti sang Sajjana dharma raksaka”.


Terjemahan:


Usahakan benar dharma untuk memelihara dunia ini, kesenangan orang-orang bijak itu kamu harus ikuti yang tidak mementingkan harta, kesenangan nafsu maupun nama, karena itulah yang merupakan keampuhannya orang-orang bijaksana di dalam memegang dharma”.


“Saka nikang rat kita yan wenang manut, manupadesa prihatah rumaksaya,
ksaya nikang papa nahan prayojnana, jana anuragadhi tuwin kapungguha”.


Terjemahan:


Peredaran zaman dunia ini sedapat-dapatnya harus kamu ikuti benar-benar, pergunakanlah ajaran Manu untuk memelihara dunia, melenyapkan penderitaan hendaknya diusahakan, kecintaan rakyat pasti kamu peroleh (Kekawin Ramayana sargah 24 sloka 81)




Referensi

https://www.mutiarahindu.com/2018/09/pengertian-dan-perkembangan-serta.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015


Rabu, 13 Juli 2022

Pura Dalem Hyang Soka; Pura Tertua, Unik, dan Bertuah di Penarungan

 


Saat melewati Jalan Raya Penarungan, tepatnya di kawasan Banjar Blumbang, Desa Penarungan, ada sebuah pura unik di sebelah barat jalan, yakni Pura Dalem Hyang Soka. Kenapa unik?

Pura Dalem Hyang Soka sangat disakralkan masyarakat setempat. Selain bernilai sejarah, pura ini juga dipercaya sangat bertuah, sehingga ada berbagai motif pamedek yang tangkil, mulai dari matatamban (berobat), taksu dalam bidang kesenian, hingga soal kepemimpinan.

Menurut Jro Mangku I Made Ari Arnawa yang didampingi Jro Mangku Acyutananda Wayan Gaduh, yang ditemui Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (22/2) lalu di kawasan pura , Pura Dalem Hyang Soka sangat kental dengan nilai sejarah. Bahkan, keberadaan pura ini disebutkan dalam buku sejarah yang ada di Belanda melalui penelusuran yang telah dilakukan. “Berdasarkan penelurusan sejarah di salah satu ahli lontar di kawasan Kapal, buku sejarah yang menyebutkan keberadaan pura ini, ditemukan di Belanda,” ungkapnya.

Berdasarkan sejarah yang tertera, dikatakannya, Pura Dalem Hyang Soka merupakan pura yang tertua di Penarungan. Pangemponnya dominan dari soroh Arya Kenceng. Kini jumlah pangempon atau maksannya berjumlah 120 keluarga, yang berasal dari berbagai daerah di Bali, selain dari Penarungan sendiri.
Mengenai nama Dalem Hyang Soka, awalnya dikatakan di lokasi pura tersebut ada pohon bunga soka (angsoka) yang besar. Karena dianggap mahyang (bertuah), akhirnya dibangun turus lumbung.

“Karena kehidupan agraris, banyak masyarakat yang memohon di tempat ini. Misalnya ada yang kehilangan ternak. Setelah memohon di tempat ini, ternaknya kembali,” timpal Jro Mangku Acyutananda.

Adapun yang berkhasiat dari Pura Dalem Hyang Soka, adalah tirthanya. Dituturkan Jro Mangku Ari, awalnya yang menjadi pangempon hanya 12 orang. Pangempon bertambah seiring banyak warga yang datang untuk memohon obat melalui tirtha ‘sakti’ tersebut. “Ada masyarakat yang sakit datang ke sini, ia meminta obat dan akhirnya sehat. Sehingga ia ikut bergabung menjadi pangempon. Ada juga pejabat yang datang untuk mohon restu dalam pemerintahan,” terangnya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Jro Mangku berusia 47 tahun tersebut, menuturkan, melalui tirtha yang diberikan kepada pamedek, bermacam penyakit bisa sembuh. Bahkan, sakit parah seperti stroke. “Saya sudah membuktikan. Banyak yang memohon obat di sini dan sehat. Begitu juga yang memohon restu mencari sebuah pekerjaan dan jabatan,” ungkapnya. Ia pun tak menampik, para pejabat berdatangan ketika menjelang Pilkada.

Di Pura Dalem Hyang Soka ada empat odalan. Pertama, adalah odalan di palinggih Luhur yang jatuh pada Buddha (Rabu) Cemeng Marakih, yakni odalan di Pura Dalem Hyang Soka Gede (palinggih utama). Pada Buddha Kliwon Pegatwakan, odalan Patapakan Ratu Mas. Selanjutnya Pada Purnama Jyesta, odalan di Ratu Ayu. Sedangkan pada Tumpek Krulut, piodalan di Ratu Ngurah Batu Bolong.

Dilihat dari strukturnya, palinggih pada pura sudah kuna. Bahkan, halamannya sebagian masih ditutupi menggunakan batu kali. Hal itu diakui Jro Mangku Ari yang juga merupakan kelihan di pamaksan Ratu Mas. “Bangunan, khususnya bataran masih kuna, hanya ada beberapa rehabilitasi, terutama kayu-kayunya yang lapuk. Adapun palinggih yang terdapat di di kawasan pura adalah, Gedong Ratu Gede, Papelik, Palinggih Ratu Ngurah Batu Bolong, Parahyangan, Bale Pawedan, Gedong Luhur, Palinggih Ratu Ayu, Pangulun Carik, Ratu Ngurah Nyoman, dan Pangayengan Wisnu. Pura tersebut juga berkaitan dengan sebuah beji yang disebut bebengan oleh masyarakat setempat. Letaknya sekitar 500 meter dari pura. Disebut bebengan, karena terdapat danau kecil yang tak pernah surut airnya.

Sebelum penelusuran sejarah, Jro mangku mengatakan pihaknya sempat dibuat bingung mengenai penyebutan nama pura. “Ada yang mengatakan pura tersebut dengan berbagai nama. Yang karauhan mengatakan Pura Kentel Bumi, Pemuteran Jagat, dan sebagainya. Namun akhirnya sejarah membuktikan, sehingga kami tetap mempertahankan namanya Pura Dalem Hyang Soka,” ungkapnya.

(bx/rin/adi/yes/JPR) –sumber

Pura Perjuangan,Tonggak Sejarah Perjuangan Warga Sumberklampok






PALINGGIH: Pura Perjuangan di Desa Sumberklampok, Buleleng, dan Jro Mangku Ketut Kasih. (Dian Suryantini/Bali Express)

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

SINGARAJA, BALU EXPRESS-Berdirinya Pura Perjuangan pada tahun 1991 di Banjar Sumberbatok, Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, tidak terlepas dari sejarah terbentuknya desa.


Sejauh yang bisa ditelusuri, Desa Sumberklampok disebut berawal dari tahun1922. Ketika itu kawasan tersebut masih hutan belantara dan belum berpenghuni.




Playvolume00:00/03:19Truvid







DI masa penjajahan Belanda kala itu, datang orang Belanda benama AW Remmert bermaksud membuka hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa di hutan Bali Barat.


“Awalnya AW Remmert terdampar di sebuah pulau yang bernama Pulau Menjangan dan berlabuh ke teluk yang kemudian disebut dengan Teluk Terima,” tutur Jro Mangku Ketut Kasih, Pemangku Pura Perjuangan Desa Sumberklampok, kemarin.

AW Remmert yang dibantu para pekerjanya dari Pulau Madura sebanyak sekitar 62 orang pekerja, lanjutnya, kemudian membuka hutan. Setelah hutan dibuka, lalu ditanami kelapa, pisang, dan tanaman rempah. Daerah itu pun diberi nama Gedebung Bunyu.

Ternyata tidak hanya AW Remmert yang membuka hutan, Johan J.Powneel dan Gerrit Van Schermbeek, juga ikut membuka hutan untuk menjadikan kawasan tersebut areal perkebunan kelapa dan kapuk.

Kemudian sekitar tahun 1930, izin perkebunan (Persil Onderneming) pun diberikan Pemerintah Belanda. “Pada saat Jepang menjajah Indonesia setelah Belanda, dan merusak semua tatanan pemukiman yang ada. Bahkan, diharuskan menggunakan karung goni, sampai mengonsumsi singkong setiap harinya, dan saat itu juga terjadi wabah malaria hebat,” tuturnya.

Kondisi tersebut tidak jauh berubah setelah Indonesia merdeka, semua perkebunan dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengelola, dan beberapa pergantian perusahaan perkebunan, hingga yang terakhir mengelola yakni PT Margarana dan Dharma Jati.

Kondisi itu akhirnya membuat masyarakat merasa terusir secara pelan-pelan, serta dibatasinya lingkup jangkauan masyarakat, seperti pada bidang pertanian dan kesejahteraannya. Terlebih setelah Indonesia merdeka, semakin tahun akhirnya banyak penduduk berdatangan, seperti dari daerah Madura, Banyuwangi, Pulau Nusa, dan Karangasem. 



Terkait perubahan nama Gedebung Bunyu menjadi Sumberklampok, dikatakan Jro Mangku Ketut Kasih, itu terkait dengan nama Gedebung Bunyu yang dinilai tidak membawa berkah, dan dirasa akan memengaruhi kehidupan masyarakatnya.

Sedangkan pemilihan nama Sumberklampok sebagai pengganti nama desa sebelumnya, dikarenakan banyaknya pohon Jambu Klampoak yang tumbuh, dan dibawahnya terdapat sumber mata air yang sering dikonsumsi warga, serta digunakan untuk keperluan sehari-hari, walaupun rasa airnya agak payau.

Penghapusan nama Gedebung Bunyu itu terjadi pada tahun 1991, saat kepemimpinan Gubernur Bali Ida Bagus Oka. Sedangkan seluruh masyarakat yang tidak berasal dari desa tersebut, diminta untuk kembali ke daerah asalnya.

Saat itu, tanah peninggalan Belanda yang sudah dikuasai masyarakat, juga diajukan ke Agraria Pusat. “Dahulu yang asalnya dari luar desa dikembalikan. Yang dari Madura, pulang ke Madura. Yang dari Nusa balik ke Nusa. Karena tanah peninggalan Belanda atau tanah AGEO ini sudah dikuasai warga desa,” jelasnya.

Karena itulah, keberadaan Pura Perjuangan disebut menjadi bukti perjuangan masyarakat Desa Sumberklampok untuk memperjuangkan tanah yang mereka tempati hingga kini.

Menariknya, disebutkan jika dahulunya dalam satu banjar, warga di Sumberklampok terdata di dua desa berbeda, yakni Desa Sumberkima dan Pejarakan. Untuk warga yang beragama Hindu, mereka masuk ke dalam Desa Sumberkima. Sedangkan warga beragama Islam masuk ke Desa Pejarakan.

Namun, dengan berjalannya waktu, dan atas saran pemuka masyarakat, maka pada tahun 1967 untuk pertama kalinya diadakan pemilihan kepala desa. Bahkan, pada 1 Juni 1967, Desa Sumberklampok diakui menjadi sebuah desa, dengan kepala desa pertama bernama Pawiro Sentono.

Sejak saat itu mulai dibangun gedung sekolah dasar, kantor desa, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, sejak saat itu pula, pemerintah mulai melihat keberadaan Desa Sumberklampok dengan mendatangkan sumbangan untuk pembangunan desa.

Sedangkan saat ini secara administratif Desa Sumberklampok dibagi menjadi tiga dusun, yakni Tegal Bunder, Sumberklampok, dan Sumberbatok. Sedangkan satu banjar, yaitu Teluk Terima menjadi satu dusun dengan Sumberbatok.

(bx/dhi/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/11/15/224798/pura-perjuangantonggak-sejarah-perjuangan-warga-sumberklampok

Makna dan Tujuan Manuk Dewata Digunakan Dalam Prosesi Ngaben

 


Saat melaksanakan upacara Ngaben, sarana upakara seperti Manuk Dewata atau Burung Cendrawasih berperan sangat vital. Apa sejatinya fungsi burung langka asal Indonesia Timur ini?

Manuk Dewata yang memiliki bulu indah berwarna-warni ini, digunakan saat prosesi palebon di atas bade atau wadah.

Manuk Dewata merupakan sekumpulan spesies burung yang dikelompokkan dalam famili Paradisaeidae. Burung yang hanya terdapat di Indonesia bagian timur, Papua Nugini dan Australia timur ini terdiri atas 14 genus dan sekitar 43 spesies. 30-an spesies di antaranya ditemukan di Indonesia.

Menurut Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag, yang akrab disebut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata ketika upacara Ngaben sangat diwajibkan. Sebab, secara filosofis, Manuk Dewata adalah wahana sang Atman menuju alam Swah Loka agar perjalanannya lancar tanpa hambatan. Burung Cendrawasih sendiri dalam mitologi Hindu Bali dianggap sebagai burungnya para dewa atau disebut Manuk Dewata.

“Manuk Dewata itu wajib ada saat upacara pangabenan. Manuk Dewata itu sebagai burung kadewatan yang menjadi wahana untuk mengantarkan Sang Atman dari berbagai rintangan untuk menuju Swah Loka. Ini hanya khusus ngaben saja penggunaan Manuk Dewata, ” ujar Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin di Singaraja.

Dikatakannya, hakikat digelarnya upacara Ngaben adalah untuk melepaskan unsur-unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra dari badan kasar manusia yang meninggal. Sehingga nantinya setelah diaben, Atma tersebut benar-benar terlepas dari unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra sebagai sumber kehidupan.
“Kelima unsur ini yang sebelumnya menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh Atma (roh). Ketika manusia meninggal, yang mati adalah badan kasar saja. Sedangkan Atmanya tidak,” terangnya.



Nah, upacara Ngaben, lanjutnya, merupakan proses penyucian Atma saat meninggalkan badan kasar. “Burung Cendrawasih ini sebagai simbol pelepasan roh dari Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra untuk menuju sumbernya masing-masing,” bebernya.

Kalaupun saat Ngaben tidak menggunakan bade atau wadah, lanjut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata juga tetap diperlukan. Sebab, sesuai esensinya, Manuk Dewata inilah yang mengantarkan sang Atman menuju alam Swah Loka. Dan, saat berangkat ke setra itulah Manuk Dewata digunakan. Pada umumnya orang yang naik wadah atau bade tersebut merupakan keluarga terdekat orang yang meninggal, baik itu anak, cucu, kerabat, maupun saudara. Kerabat mendiang inilah yang akan membawa ubes-ubes yang bermahkotakan Burung Cendrawasih atau Manuk Dewata.

“Saat itulah ubes-ubes yang merupakan sebuah tongkat dan bermahkotakan Burung Cendrawasih atau Manuk Dewata dipergunakan. Manuk Dewata ini diminta pula sebagai pemandu bagi arwah mendiang untuk pergi ke alam sana,” ujar Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja.

Lalu, mengapa mesti Burung Cendrawasih yang dipergunakan? Jro Anom menegaskan jika Burung Cendrawasih merupakan burung Surga. Sebab keindahan yang dimiliki burung tersebut tiada duanya. Terutama yang jantan, memiliki bulu-bulu yang indah, layaknya bidadari yang turun dari Surga (kayangan).

“Karena keindahan yang tiada tandingannya ini membuat Burung Cendrawasih dinobatkan sebagai burung Surga,” terangnya. Ditekankannya, dalam filosofi Hindu banyak menggunakan simbol yang dijadikan sarana upakara sebuah yadnya. Salah satunya adalah Burung Cendrawasih yang merupakan simbol dari penunjuk jalan Atma menuju Surga.

Lebih lanjut pria asal Desa Kekeran, Kecamatan Busungbiu ini, memaparkan, penggunaan sarana Burung Cendrawasih sebagai sarana upakara sebenarnya sudah tersurat dalam kitab Manawadharmasastra V.42.




“Tuhan itu menciptakan binatang dan tumbuhan untuk tujuan upacara-upacara kurban, dengan maksud untuk kebaikan bumi. Jadi, penggunaan Manuk Dewata atau Burung Cendrawasih untuk sarana upakara memang dibenarkan dalam ajaran Hindu,” ungkapnya.

Meski sangat dibutuhkan dalam upacara Ngaben, namun tidak semua orang bisa memiliki Manuk Dewata karena satwa yang dilindungi. “Karena ini burung langka dan dilindungi, jadi tidak semua bisa memiliki Manuk Dewata. Selain langka juga harganya sangat mahal. Paling didominasi oleh griya khususnya para sulinggih. Nanti jika ada pengabenan barulah umat bisa meminjam untuk sarana upakara. Tempat menyimpan Manuk Dewata pun harus dibuat khusus, tidak sembarangan,” katanya.

Jro Anom menambahkan, tak jarang Manuk Dewata dihias dengan berbagai aksesoris sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, aksesoris emas di badan burung kerap dipasang agar mempercantik tampilan dari Manuk Dewata ini sebagai pengantar roh yang telah meninggal.

(bx/dik/yes/JPR) –sumber

Selasa, 12 Juli 2022

Mesatua Bali – I Siap Selem

 


Ada katuturan satua I Siap Selem ngelah pianak pepitu. Ane paling cerika tusing ngelah bulu madan I Doglagan. Sawai-wai I Siap Selem ngalih amah nganti ke dauh pangkunge. Sedek dina anu ritatkala I Siap Selem teken panak-panakne ngalih amah dauh pangkunge, lantas langite megerudug nyihnayang lakar ujan.

“Me, lan jani mulih. Ento guleme gede gati” keto pianakne kelihan ngomong.

“Ao me yang takut nyanan iraga ujanan dini” pianakne lianan milu masaut

“Cening jak mekejang, lan jani ditu di umahe ento malu maembon. Yen jani iraga mulih pedas iraga ujanan. Tolih ento adine, I Doglagan. Ia tusing ngelah bulu. Yen ia ujanan pepes bisa mati” keto I Siap Selem  maorahan teken pianak-pianakne. Lantas I Siap selem teken pianakne makapitu ngungsi keumahe ane ada di sisin pangkunge ento.

“Jero jero sane madue  pondok niki, dados ke tiang milu maembon?” keto I Siap Selem metakon.

Lantas pesu ane ngelah umahe ento boya ja sios wantah meong lua madan Meng Kuuk.

“Ngeong ngeong.. ih cai Siap Selem ngujang cai mai?”

“Jero Meong, tiang mriki jagi maembon mawinan tiang madue pianak-pianak kari alit. Tusing melah keneh tiange ngajakin ngrobok ujan”.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

“Nah lamun buka keto, lan mai macelep ka tengah” ditu lantas Meng Kuuk ngajakin I Siap Selem tekening pianakne mulihan. Sajaan lantas tuun ujan bales pesan ngaenang pangkunge blabar. Meng Kuuk nanjenin I Siap Selem apanga nginep di umahne. I Siap Selem nyak nginep kerana ia pedalem teken pianakne. Petengne I Siap Selem tusing ngidayang pules. Ditu lantas ia ningeh Meng Kuuk mererembug ajaka pianak-pianakne.

“Cening ajak mekejang, petenge ene iraga lakar pesta besar. Ne meme ngelah siap pengina ngajak pianak makapitu” keto munyine Meng Kuuk.

“Tiang baang kibulne me!” keto pesaut panakne

“Tiang baang kampidne me!” pianakne len milu mesaut

Ningeh tutur Meng Kuuke teken pianak-pianakne buka keto, lantas I Siap Selem nundunin pianak-pianakne

“Ning bangun ning. Ento Meng Kuuk nagih ngamah iraga. Mai jani iraga megedi uling dini. Cening malu mekeber nyanan Meme ngemilunin”. Lantas seka besik pianak I Siap Seleme makeber ngecosin pangkung.

Brrr.. Burr.. Suuak… Keto pianakne ane paling keliha makeber.

“Apa ento Siap Selem?” metakon Meng Kuuk

“Ento don timbule ulung” keto I Siap Selem nyautin

Brrr.. Burr.. Suuak… keto pianakne lenan makeber

“Apa ento Siap Selem?” Meng Kuuk buin mtakon

“Ento don tiinge ulung” pesautne Siap Selem.

Lantas seka besik pianakne I Siap Selem mekeber ngentasin pangkung. Jani enu I Siap Selem teken I Doglagan dogen ditu di umahne Meng Kuuk. Mabesen lantas I Siap Selem teken I Doglagan.

“Cening Doglagan, jani Meme lakar ngalahin cening dini. Nyanan yen lakar amaha teken I Meng Kuuk, duegang bane madaya. Orahang eben caine nu pait, nu belig, sing pantes daar malu. Tunden Ia ngubuhin cai nganti tumbuh bulu. Yen suba tumbuh bulun caine, ditu lantas cai keberang ibane mulih”.

Lantas I Siap Selem makeber ngentasin pangkung. Brrr.. Burr.. Suuak… keto munyin pakeber I Siap Seleme.

“Apa ento Siap Selem?” mtakon lantas I Meng Kuuk. Tusing ada ne nyautin. Ditu lantas I Meng Kuuk nelokin pedemane I Siap Selem. Mekesiab lantas ia mare dapetanga tuah ada I Doglagan ditu.

“Beh, pasti busan ane orahange don-donan ulung ento boya ja len wantah I Siap Selem teken pianak-pianakne”

“Meme kanggoang dogen suba pitike cenik ene daar” keto panakne mamunyi.

“Duh jero para meong sinamian, sampunang tiang ajenga mangkin. Tiang konden tumbuh bulu sinah eben tiange pait, belig, miwah ten jaan ajeng. Pinih becik ubuhin dumun tiang nganti tumbuh bulu, drika wawu dados ajeng tityang” I Doglagan mautsaha madaya upaya apang sing amaha teken I Meng Kuuk lan pianak-pianakne. I Meng Kuuk kena baana kabelog-belog baan I Doglagan. Ia nyak ngubuhin I Doglagan. I Doglagan wadahina guungan lan sabilang wai baanga ngamah. Gelising satua jani bulun I Doglagane suba tumbuh. Meng Kuuk lan pianakne pada repot ngae lakar basa anggona ngolah ben Doglagane.

“Eh cai Doglagan, jani cai lakar amah kai”

“Nggih dados nika jero. Nanging apang eben tiange jaanan, keburang dumun tiang ping telu”

Meng Kuuk lantas ngeburang I Doglagan. Prrrr. Prrrr. Prrrr. Pas keburane ping telu mekeber lantas I Doglagan. Joh pakeberne lantas ngenceg duur batune. Meng Kuuk nguber I Doglagan lan tingalina ia ngenceg duur batune. Meng Kuuk nyagrep nanging I Doglagan ngenggalang makeber. Ane sagrepa I Meng Kuuk boya ja len tuah batu ane ngranaang gigine pungak. I Doglagan makeber sambilanga ngendingin I Meng Kuuk.

“Ngik ngak ngik nguk gigi pungak nyaplok batu. Ngik ngak ngik nguk gigi pungak nyaplok batu.”

Keto suba upah anake ane demen mebikas corah. Iraga mangda setata madaya upaya yening nepukin unduk lan ngelawan sane mabikas jele. –sumber

Ahimsa Parama Dharma









Ahimsa Parama Dharma ("Ahimsaya paro dharma") artinya tidak membunuh adalah dharma yg tertinggi.

Namun dalam hidup ini, kita pasti pernah membunuh baik sengaja maupun tidak.Seperti halnya :

Untuk dimakan, binatang tersebut dalam ajaran agama Hindu (lontar Wrtti sesana) dijelaskan tentang Himsa (perbuatan membunuh ) yg dapat dilakukan,yaitu sbb :
Dewa Puja, membunuh binatang untuk dipersembahkan pada Dewa.
Pitra Puja, dipersembahkan pada Leluhur.
Atiti Puja, membunuh binatang untuk disuguhkan pd para tamu.
Dharma Wigata, membunuh binatang yg membawa penyakit.
Pembunuhan seperti diatas isebutkan dapat dibenarkan, tapi kita tidak boleh lupa mendoakan binatang tersebut dengan mantra menyemblih hewan/binatang sebelum dibunuh agar rohnya mendapat peningkatan.
Selain itu ada juga pembunuhan yg dibenarkan sebagaimana dijelaskan salah satu kutipan dalam forum diskusi jaringan hindu nusantara yaitu :
Pembunuhan yg dilakukan oleh para kesatria/prajurit di medan perang atas dasar dharma kebaikan;
Dimana dalam Catur Dharma disebutkan agar nantinya dapat mewujudkan Dharma Santosa yaitu : kedamaian, kesentosaan dalam keluarga, apalagi bangsa dan negara.
Dan sikap patriotisme demi membela Negara atau kerajaannya,
Oleh sebab itu orang meninggal dalam peperangan dimana diuraikan Stri Parwa Mahabharata, seseoang tersebut disebut dengan pahlawan.
Membrantas paham yang selalu menghasut orang untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai wujud dari prilaku tidak baik asubhakarma seperti halnya kepada Terorisme yang dapat menyebabkan terancamnya keutuhan suatu negara.
Begitu juga disebutkan pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara yadnya seperti halnya penggunaan untuk kurban suci dalam bentuk caru telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40.
Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya.
Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya menjadi perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan.
dll.
Sebagai kewajiban suci yang tertinggi, agama atau pelaksanaan agama yang paling tinggi, hal ini ditegaskan berkali-kali di berbagai kitab suci Veda sebagaimana dijelaskan dalam kutipan HINDU DHARMA (pandangan hidup terhadap vegetarian), Ahimsa Parama Dharma dengan istilah-istilah yang sama atau juga dengan istilah-istilah yang berbeda, seperti :
Ahimsayah paro dharmah,
Ahimsa laksano dharmah,
Ahimsa parama tapa,
Ahimsa parama satya,
dan lain-lain.
Ini menunjukkan bahwa agama Hindu kita menaruh perhatian yang sangat penting pada ajaran tanpa kekerasan dan cara hidup vegetarian.




Kembali kita melihat penekanan paragraf di atas, bahwa Ahimsa parama dharma berarti pelaksanaan kewajiban-kewajiban suci yang tertinggi, atau pelaksanaan ajaran agama Hindu yang termurni atau tertinggi. Penjelasan ini secara langsung telah berarti bantahan terhadap anggapan-anggapan negatif terhadap para pelaku Ahimsa dan vegetarian.
Apalagi jika mempunyai kesempatan yang lebih lagi untuk melihat bukti-bukti keagungan ajaran Ahimsa dan vegetarian dalam literatur Veda, orang akan dipaksa menundukkan kepala diiringi rasa kagum terhadap ajaran-ajaran kitab suci Veda kita.

Alasan lain Ahimsa disebut sebagai Parama Dharma juga adalah karena Ahimsa dan vegetarian merupakan pintu gerbang pertama bagi orang untuk mendekati pembebasan (Ahara-suddhau …. sarva-granthinam vipra moksa).
Bukan hanya dalam literatur Veda kita dapat jumpai ajaran indah tentang Ahimsa dan vegetarian tetapi juga dalam lontar-lontar serta tradisi warisan leluhur kita.

Lontar Mahesvari Sastra menyebutkan: “Apan yan tan karaksang Ahimsa brata, maka nimitta kroddha, moha, mana, mada, matsarya, nguni-unin makanimittang kama, yeka panten dadanya”,
sebab jika ajaran-ajaran brata Ahimsa tidak dipelihara, maka ia akan menyebabkan berkembangnya sifat-sifat kemarahan, khayalan, kebanggaan, kebingungan, rasa iri hati, dan bahkan ia dapat menyebabkan tumbuh suburnya hawa nafsu yang menggebu-gebu, yaitu musuh di dalam diri setiap makhluk hidup yang paling sulit dikendalikan (kama-rupa durasadam).Selanjutnya lontar Mahesvari Sastra menunjukkan daftar nama-nama binatang, burung dan/atau bangsa burung yang tidak boleh dimakan.


Khususnya bagi para pendeta, berkali-kali diperingatkan: “Tan bhaksya ika de sang siddhanta brata, tan bhaksya nika, tan bhukti nika”, — tidak boleh dimakan semua itu oleh para pendeta (sulinggih) yang ingin mantap dalam pantangan-pantangan suci.
Kadang-kadang, orang berpendapat bahwa hanya para Vaisnava sajalah yang melaksanakan vegetarian atau pantangan-pantangan daging, ikan (telor, terasi, bawang merah, bawang putih dan lain-lain).

Di Bali lontar Vrhaspati Tattva dikenal sebagai lontar ke-Saiva-an. Ternyata, menurut lontar ini, para Saiva pun perlu melaksanakan ajaran Ahimsa, tidak membunuh-bunuh dan tentu pula tidak memakannya (Ahimsa ngaranya tan pamati-mati).Ajaran Saiva juga mengajarkan pengikutnya untuk maju terus dalam kerohanian. Semakin maju seseorang di dalam kerohanian biasanya semakin maju pula ia dalam hal berpantangan dan pelaksanaan kesucian. Lebih-lebih bagi mereka yang telah mampu mencapai meditasi tingkat pendeta, menurut lontar ajaran leluhur kita, adalah merupakan keharusan untuk meningkatkan kesucian dan tidak membunuh-bunuh makhluk lain.

(kadi buddhi sang pandita, sahisnu tan prana-ghata …. nguniweh tan hingsa-karma tan pamati-mati). Bahkan, ada pula ajaran-ajaran leluhur kita di dalam lontar bernada amat keras, seperti misalnya lontar kekawin Astikasraya dan kekawin Arjuna Vivaha.Demikian disebutkan beberapa hal tentang ahimsa parama dharma sebagai salah satu simbol dan istilah Hindu Dharma.