Rabu, 06 Maret 2024

MARDAVA YADNYA – ADHYATMA SUKTA


 MARDAVA YADNYA

Menurut pustaka suci Veda dan turunanya, memang banyak sekali dideskripsikan mengenai upacara / yadnya beserta sarana-sarananya mulai dari yang paling sederhana seperti bunga sampai yang menengah seperti persembahan sapi (bukan untuk dipotong tetapi dilungsur dan dimanfaatkan oleh para Brahmana untuk diambil susunya, untuk hidup keseharian), sampai kepada persembahan mewah seperti kain sutra, perak bahkan emas. Kesemuanya itu ada dan dibernarkan menurut Veda, Upanishad dan Purana pada bagian-bagian awal deskripsinya. Setelah menjelaskan masing-masing jenis persembahan tersebut, kesemuanya pada akhirya ditutup dengan Mardava Veda yakni kesederhanaan Veda sebagai yang terbaik. Pada akhirnya semua persembahan akan bermuara kepada MARDAVA – KESEDERHANAN. Itu artinya Veda mengajarkan kita kesederhanaan pada puncak spiritual tertinggi.
Tidaklah salah ketika di Bali/Nusantara terdapat 3 (tiga) tingkatan yadnya beserta 3 sub tingkatanya lagi. Namun sangat jarang dijumpai penjelasan yang memadai atas teori dasar mengapa hal tersebut ada dan dilaksanakan, yang menyebabkan pelaksanaanya menjadi rancu, sehingga banyak umat Veda (Hindu) yang pusing memikirkan mahalnya upacara. Adapun pembagian tingkatan nista-madya-utama itu tak lebih hanya dari sisi harga atau material, padahal sejatinya menurut pustaka-pustaka suci Veda tidak dijelaskan mengenai tingkatan secara material, namun semuanya mengacu kepada perjalanan yadnya secara spiritual. Mahal atau besarnya Yadnya mengindikasikan ego atas material yang lebih tinggi sementara tingkat spiritualitasnya lebih rendah, bukan karena mereka lebih kaya atau lebih mampu. Begitu pula sebaliknya, orang yang hanya mempersembahkan purvadaksina (mengelilingi altar / arca / pelinggih) yang praktis tanpa modal / biaya bukan berarti mereka miskin, akan tetapi tingkat spiritualnya lebih tinggi daripada materialnya. Inilah salah kaprah yang telah terjadi selama ribuan tahun dalam tradisi kita beryadnya, yang patut kita luruskan kembali berdasarkan Veda.
Berikut ini adalah beberapa sloka Bhavishya Purana yang berkenaan dengan kesederhanaan yadnya:
1. Bhavishya Purana 68.16
etajjapyam rahasyam ca, sandhyopaasanam eva ca, etena japamaatrena, narah paapaat pramucyate
dengan japa menyebut nama suci Tuhan adalah merupakan yadnya tertinggi dan terbaik, dengan berjapa kepada nama Surya/Tuhan kita akan dibebaskan dari segala penderitaan.
2. Bhavishya Purana 77.10
Pranidhaaya siro bhumau, namaskaara paro raveh, tatksanaat sarvapaapebhyo, mucyate naatra sansayah
Dengan berbhakti kepada Surya dengan cara bersujud, bersujud berbaring rata dengan tanah seperti sebuah jalan, seseorang akan terbebaskan dari penderitaan hidup
3. Bhavishya Purana 77.11
Bhaktiyukto naro yastu, raveh kuryaat pradaksinaam, pradaksinii krtaa tena, saptadviipaa bhavenmahii
Seseorang berbhakti dengan mengelilingi arca/altar Dewa Surya sama artinya dengan mengelilingi seluruh bumi yang terdiri dari 7 pulau.
4. Bhavishya Purana 77.13
Sopaanatko naro yastu, aarohet suuryamandiram, sa yaati narakam ghoram, asipatra vanam vibho
Seseorang yang memasuki candi/pura suci Dewa Surya dengan memakai alas kaki / sandal / sepatu akan mendapatkan hukuman di neraka Asipatra. (sebuah larangan memakai sandal/sepatu ketika memasuki candi/pura termasuk sebuah kesederhanaan, karena orang tidak akan memakai sandal/sepatu mewah)
5. Bhavishya Purana 77.14
Suuryam manasi yah krtvaa, kuryaad vyoma pradaksinaam, pradaksini krtaastena, sarve devaa bhavanti hi
Seseorang yang melaksanakan pradaksina / mengelilingi Dewa Surya / Matahari didalam hatinya (membayangkan / visualisasi) sama artinya dengan mengelilingi semua dewa-dewa, semua dosa-dosanya lenyap.
6. Bhavishya Purana 90.4
Citrabhaanum viranncyaiva, kusumairyah sugandhibhih, puujayet sopavaasastu sa, kaamaa niipsitaam labhet
Seseorang yang berpuasa, berbhakti dihadapan Dewa Surya, mempersembahkan bunga yang harum, segala keinginanya akan terpenuhi

7. Bhavishya Purana 90.8
Yastu kaarayate diipam, raverbhakti samanvitah, sa kaamaan iipsitaan praapya, vrndaaraka puram vrajet
Dengan bhakti mempersembahkan dipa/lampu kepada Surya, semua keinginanya akan terpenuhi dan akan mencapai kediaman Krishna
8. Bhavishya Purana 91.37
Atha kim bahunotekna, naanyat priitikaram mama, punyakhyaanaadrte deva, guhyametat prakiirtitam
Surya berkata: Tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan Aku selain bhaktaku membaca pustaka-pustaka suci Veda, inilah kebenaranya.
9. Bhavishya Purana 91.43
Vaacakam puujayet yastu, sraddhaa bhakti samanvitah, tenaaham puujitah syaam vai, ko visnuh sankarastathaa
Tidak hanya Aku(Surya) tetapi juga Brahma, Vishnu dan Siva sangat senang dengan seorang yang mendengarkan dengan penuh bhakti seorang penyembah yang membaca pustaka suci Veda
10. Bhavishya Purana 109.1
Brahmovaaca: evam krsna sadaa bhaanur, narair bhaktyaa yathaavidhi, phalam dadaatya sulabham salilenaapi puujitah
Dewa Brahma berkata: Oh Krishna, jika seseorang dengan penuh bhakti memuja Surya setiap hari dengan cukup mempersembahkan air, Dewa Surya tetap memberikan anugerahnyab yang tak terbandingkan
11. Bhavishya Purana 109.22
Tisthansca prasvapan gacchann, uttisthans khalite ksute, sankiirtayati devam yah, sa nastyaajyah suduuratah
Seseorang yang secara terus menerus mencantingkan / merapalkan nama-nama Surya ketika duduk, terbaring, berjalan, berdiri ataupun bersin sekalipun, dia tidak akan tersentuh kesusahan hidup
12. Bhavishya Purana 109.24
Ye puspa dhuupavaaso ‘bhir, bhuusanaiscaapi vallabhaih, arcayanti nate graahyaa, matpituste parigrahaah
Seseorang yang memuja Surya dengan mempersembahkan bunga, dupa, busana dan hiasan arca, tidak akan mendapatkan gangguan darimanapun
13. Bhavishya Purana 109.25
Upalepana kartaarah, kartaroo maarjanasya ye, arkaalaye parityaajam, tesaam tripurusam kulam
Kesusahan/gangguan tidak akan menyentuh tiga generasi dari seseorang yang berbhakti kepada Surya dengan cara menyapu / membersihan atau mengepel/mengkilapkan lantai dengan tahi sapi sebuah temple/pura/candi Dewa Surya
14. Bhavishya Purana 109.32
Yajnaa naraanaam paapaugha, naasakaah sarvakaamadaah, tathaivesto jagadbhaanuh, sarvayajnna mayo ravih
Dengan mempersembahkan upacara api / agnihotra, semua dosa dihapuskan dan semua keinginan akan tercapai, karena Surya adalah personifikasi daripada agnihotra
15. Bhavishya Purana 112.28
Tulasii kaalatulasii tathaa, raktam ca candanam, ketakii parapuspam tu, sadyas tustikaram raveh
Surya sangat senang dengan persembahan daun tulasi, tulasi hitam, bubuk cendana, bunga ketaki, atau daun daunan lainya
16. Bhavishya Purana 142.16-19
Omkaara pranavair yuktaa dhyaana nirdhuuta kalmasah, sthitaah padmaasane viiraa, naabhi sanyastaa paanayah
Dengan duduk tenang sikap padmasana, menempatkan kedua tangan didepan pusar, bermeditasi kepada aksara suci OM
Susumna naadikaamaargam, kumbha recaka purakaih, tribhi sansoodhya taan panca, maruto deha madhyagaat
Dengan melaksanakan pranayama, tarik nafas – tahan nafas – keluarkan nafas dengan lembut akan membersihkan jalur nadi dan sumsumna dengan lima macam prana
Padaang usthaanvitah svinnam, uurdhvam utksepayet kramaat, naabhidese tu tam drstvaa, devam agnim anaamayam
Dengan melaksanakan itu, seseorang akan melihat Surya dalam wujudnya sebagai Agni / Api yang berada di pusar, Dewa Surya/Agni yang bersemayam didalam badan
Soma ca hrdaye drstvaa, muurdhni vaagnisikhaam tatah, vaata rasmi bhiraasaadya, tam bhitvaa mandalam param
Dia sebagai soma / air amertha didalam hati, dan sebagai sinar / cahayaAgni diatas kepala, dengan jalan ini seseorang dikatakan telah menjadi yogi tertinggi - YOGARSI
17. Bhavishya Purana 146.18
Savitri ca mahaabaaho, caturvimsaaksaraa mataa, sarva tattvama mayi punyaa, brahma gotraarka vallabha
Seseorang yang mencantingkan / merafalkan savitri gayatri mantra dengan 24 suku katanya, adalah merupakan kebenaran mutlak, sangat rahasia dan yang paling disayangi oleh Dewa Surya
Dari 20 sloka Bhavishya Purana tersebut diatas, sudah sangat jelas diterangkan mengenai kesederhanaan ritual dalam pemujaan Surya atau dalam ber yadnya. Dalam tradisi Veda, pemujaan Surya/Agni adalah ritual pertama (tertua) yang dikenal didalam kehidupan alam semesta.
Kesimpulan dari sloka-sloka diatas adalah bahwa berbhakti kepada Brahman/Tuhan sangatlah sederhana, sebagai berikut:
1. Persembahan berupa Pancopacara Puja, lima elemen unsur alam semesta, sebagai berikut:
a) Deepa atau Api, sebagai perlambang api
b) Dhupa atau asep harum, sebagai perlambang vayu/angin
c) Puspha atau bunga, sebagai perlambang pertiwi/tanah
d) Gandham atau serbuk harum, sebagai perlambang akasa/ether
e) Naiwedyam atau persembahan, sebagai perlambang air, termasuk disini daun daunan suci seperti Tulasi, Bilwa, Peela/Bodi dan juga buah-buahan.
2. Namaskuru atau bersujud dengan penuh keyakinan
3. Membersihkan candi/pura dan tidak memasuki pura dengan memakai sandal/sepatu
4. Pradaksinam atau mengelilingi arca / pelinggih / agni kunda
5. Membaca atau mendengarkan orang membaca Kitab Suci Veda dan pustaka suci turunan Veda lainya seperti Upanishad dan Purana
6. Japam, menyebut nama-nama suci Tuhan/Brahman
7. Berpuasa dengan niat berbhakti kepada Brahman
8. Agnihotra
9. Pranayama
10. OMKARA Dhyanam – bermeditasi kepada aksara suci OM
11. Savitri Gayatri sebagai persembahan yang paling disenangi Dewa Surya
Dalam tradisi pemujaan Surya atau Agni yang lebih besar, yakni Navagraha atau Nawasanga, dipergunakan Daksina (Nusantara) atau Kumba (India), makna dan fungsinya sama saja.

Makna Daksina dari beberapa sudut sebagai berikut:
1. Daksina sebagai Daksina lingga, yang merupakan symbol alam semesta, symbol lingga atau kedudukan Dewata yang diundang hadir dalam sebuah persembahyangan atau upacara.
2. Daksina sebagai penunjuk arah selatan, yakni arah dimulainya sebuah upacara, yakni kedudukan dari Dewa Brahma/Agni, asal mula alam material.
3. Daksina sebagai Diksa, yakni penyucian diri dan ahli dalam Ilmu Pengetahuan Weda, Panditha.
4. Daksina sebagai Danapunia untuk pemimpin upacara, yakni sebagai penyeimbang material-spiritual.
Jadi Daksina adalah merupakan sarana / yantra tertinggi dalam upacara yadnya tradisi Veda, yang mana penggunaan yantra / sarana ini dibarengi dengan pengucapan mantra-mantra Veda ataupun pembacaan kitab-kitab suci Veda.
Dakşiņa sebagai lambang Bhuvāna Sthāna Hyang Widhi Wasa, dibentuk sbb:
1. Bebedogan: dibuat dari daun janur seperti sangku dengan sebeh di tepinya, melambangkan Pŗthivī.
2. Serobong Dakşiņa: dibuat dari daun janur, tanpa tepi atas dan bawah, lambang Ākāśa yang tanpa tepi.
3. Porosan/Puruşa, terdiri dari lima unsur: sirih (Vişņu), kapur (Iśvara), pinang (Brahma), Gambir (Mahādeva), Tembakau (Iśana); lambang Pañca-Devata. Kalau tidak ada bahan-bahan tersebut bisa diganti dengan lima unsur yang lain yang mewakili unsur Panca Dewata seperti lima warna dasar dalam kain ataupun bunga, lima warna biji bijian.
4. Segenggam beras, lambang sifat tamah yang mengikat setiap ciptaan Tuhan.
5. Uang upakara pañca-dhātu: melambangkan sifat rajah; dari uang logam/kepeng.
6. Benang/kapas: sifat sattvam yang menyertai setiap ciptaan Tuhan.
7. Tampak: dibuat dari empat helai janur atau daun disilang hingga membentuk padma.
8. Kelapa, lambang bhuvana agung dari Sapta-Patala hingga Sapta Loka, sebaiknya dikupas hingga halus, bebas dari serabut, karena serabut kelapa melambangkan ikatan indria kita terhadap alam material.
9. Telor itik dengan urung ketipat taluh, lambang bhuvana alit yang menghuni bumi ini. Bila tidak ada telor bisa diganti dengan buah-buahan yang bulat, yang strukturnya menyerupai telor seperti tingkih/kemiri
10. Gegantusan, lambang penghuni dunia ini lahir berulang-ulang seseuai dengan tingkatan karmanya.
11. Pisang, lambang keinginan/harapan agar Tuhan mengabulkanya.
12. Tebu, lambang soma, minuman kekekalan para Dewa, lambang anugrah Tuhan.
13. Disisipkan bagian belakang atas, camara atau dendeng-ai, lambang Sang Hyang Sūrya / Aditya.
14. Susunan bunga didepan camara, bukan disusuni canang; lambang persembahan yang suci dan ikhlas.
Dengan begitu mulianya makna symbol Daksina, buat apa lagi kita membuat banten yang besar-besar? Buat apa lagi kita membuat sanggar Surya kalau memang didalam daksina itu sendiri sudah ada lambang surya? Mari kita pelan-pelan beralih dari bhakti berdasarkan material/sarana besar/mewah menuju bhakti berdasarkan material yang lebih sederhana sesuai konsep Veda. Di penghujung perjalanan spiritual, maka bhakti dengan pranayama-meditasi-japam adalah yang tertinggi.
Selain terdapat didalam Bhavishya Purana, kesederhanaan ritual juga banyak kita jumpai didalam Bhagavadgita, seperti pada sloka berikut ini:
1. Bhagavadgita VIII.28
vedeşu yajñeşu tapahsu caiva, dāneşu puņya-phalamm pradişťam,
atyeyi tat sarvam idamm viditvā, yogī paramm sthānam upaiti cādyam.
Orang yang mulai mengikuti jalan bhakti *tidak kekurangan hasil* yang diperoleh dari memperlajari Veda, melakukan korban suci dengan kesederhanaan dan pertapaan, memberi sumbangan atau mengikuti kegiatan di bidang filsafat atau kegiatan yang dimaksudkan membuahkan hasil atau pahala. *Hanya dengan melakukan bhakti*, ia mencapai segala hasil tersebut, dan akhirnya ia mencapai tempat tinggal yang utama
2. Bhagavadgita IX.26
Patram puspam phalam toyam, yo me bhaktyaaprayacchati, tad aham bhakti-upahrtam asnaami prayataatmanah
Dengan penuh rasa bhakti seseorang mempersembahkan kepadaKu selembar daun, sekuntum bunga, buah dan setetes air, dari hati yang suci murni, maka Aku terima persembahan itu.
3. Bhagavadgita XVII sloka 7-22
Menjelaskan tentang 3(tiga) jenis makanan, korban suci, pertapaan dan kedermawanan.
Jenis satwika: sederhana, ketenangan, kelembutan, tidak membunuh, tidak menyakiti, sesuai dengan kitab suci Veda, tanpa pamrih, dengan ketulusan
Rajasika: yadnya untuk pamer kekayaan, besar, mewah, menunjukkan kebesaran ego / keakuan, foya-foya, pesta, bermaksud mendapatkan imbalan/pahala.
Tamasika: loba, memuja raksasa dan yaksa, hantu, persembahan basi, tidak sesuai petunjuk kitab suci, pesta minuman keras, berjudi
Tentunya dari ketiga jenis tersebut, maka jenis satwika lah yang paling baik
Mari kita kembali kepada Kesederhanaan Veda, tradisi luhur umat manusia yang tanpa awal dan tanpa akhir, yang sangat sederhana.
ADHYATMA SUKTA
Tradisi Veda mengajarkan kita untuk berbhakti kepada banyak Dewa dan leluhur. Bahkan disebutkan dalam Atharva Veda - Brahmacari Sukta Sloka 2 bahwa bhakti / pemujaan hingga mencapai 6.333 dewa, belum lagi leluhur yang jumlahnya tak terbatas.
Pada saat puja/sembahyang, diawali dengan Pemujaan Ganesha, kemudian dilanjutkan dengan mengundang semua dewata dari 4 penjuru serta memuliakanya, sebagaimana tercantum dalam mantra Atharva Veda – Papamocana Sukta berikut:
Sloka-18
ETA DEVAA DAKSINATAH PASCAAT PRAANNCA UDETA
PURASTAADUTTARAACCAKRAA VISVE DEWAAH SAMETYA TE NO MUNNCANTVAMHASAH
Datanglah wahai para Dewa, baik dari arah selatan, barat, timur, utara, semuanya memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar, semua Dewa hadir bersama sama, semoga mereka membebaskan kita dari segenap bencana/permasalahan
Sloka-19
VISVAAN DEVAANIDAM BRUUMAH SATYASAMDHAANRTAAVRDHAH,
VISVAABHIH PATNIIBHIH SAHA TE NO MUNNCANTVAMHASAH
Kami memuliakan semua Dewa yang bertekad untuk semakin menumbuhkan kebenaran, bersama sama dengan pasangan mereka, semoga mereka membebaskan kita dari segenap bencana / permasalahan
Setelah puja puji untuk semua Dewata dari segala penjuru, maka sampailah di penghujung utama perjalanan puja yakni Surya Sevana atau pemujaan kepada Surya Yang Maha Tunggal.
6.333 Dewa beserta pasanganya, para orang suci, para Rsi yang mulia, para leluhur semuanya menyatu dengan Surya, menjadi satu kesatuan Tuhan Sang Pencipta atau Kawitan Tunggal, sebagaimana mantra Atharva Veda Mandala II berikut ini:
Adhyatma Sukta 4.1
SA ETI SAVITAA SVARDIVASPRSTHE
VACAAKSAT
Savita/Surya adalah daya penggerak dari alam semesta
Adhyatma Sukta 4.3
SA DHAATAA VIDHARTAA SA VAAYURNABHA UCCHRITAM,
RASMIBHIRNABHA AABHRTAM MAHENDRA ETYAVRTAH
Ia adalah pencipta, tempat bersemayamnya segala sesuatu, ia adalah Vayu, menuju kumpulan awan alam semesta yang dibawa oleh cahayanya nan agung
Adhyatma Sukta 4.5
SO AGNIH SA U SUURYAH SA U EVA MAHAAYAMAH,
RASMIBHIRNABHA AABHRTAM MAHENDRA ETYAAVRTAH
Ia adalah agni, ia adalah surya, ia adalah Yama yang maha agung, menuju kumpulan awan alam semesta yang dibawa oleh cahayanya nan agung
Adhyatma Sukta 4.12
TAMIDAM NIGATAM SAHAH SA ESA EKA EKAVRDEKA EVA
Kedalam diriNya masuklah semua kekuatan, ia sendiri adalah tunggal, maha esa yang hanya satu
Adhyatma Sukta 4.13
ETE ASMIN DEVAA EKAVRTO BHAVANTI
Semua dewa menunggal denganya, hingga ada satu yang esa/tunggal
Adhyatma Sukta 5.2
YA ETAM DEVAMEKAVRTAM VEDA
Inilah pengetahuan suci veda mengenai Hyang Maha Tunggal ini
Adhyatma Sukta 5.7
TAMIDAM NIGATAM SAHAH SA ESA EKA EKAVRDEKA EVA,
YA ETAM DEVAMEKAVRTAM VEDA
kepadanya masuklah semua kekuatan ini,
Inilah pengetahuan suci veda mengenai Hyang Maha Tunggal ini
Adhyatma Sukta 5.8
SARVE ASMIN DEVAA EKAVRTO BHAVANTI,
YE ETAM DEVAMEKAVRTAM VEDA
seluruh dewa-dewa menunggal denganya
Inilah pengetahuan suci veda mengenai Hyang Maha Tunggal ini
Adhyatma Sukta 6.3
YA ETAM DEVAMEKAVRTAM VEDA
Inilah pengetahuan suci veda mengenai Hyang Maha Tunggal ini
Demikianlah diatas 2 Sloka mantra Papamocana Sukta untuk megundang semua Dewa dari 4 penjuru, untuk selanjutnya menjadi satu – yang Esa – yang Tunggal dalam 9 sloka mantra Adhyatma Sukta.
Jadi sangat jelaslah disini bahwa, tradisi Veda yang pada akhir jaman Kaliyuga disebut HINDU, mengajarkan kita memuja banyak Dewa dan leluhur, namun pada akhrinya memuja yang satu yakni Surya atau Brahman. Memang demikianlah adanya system pengetahuan dan pemujaan tradisi Veda, agar kita mengenal semua aspek alam semesta baik material maupun spiritual untuk lebih memahami ke-Esaan Tuhan. Dari yang banyak menuju satu, dari yang satu menuju banyak, dari yang kecil (inti atom) menuju yang besar (brahmanda), dari yang besar (brahmanda) menuju yang kecil (inti atom), demikianlah semuanya berevolusi, terus menerus bergerak tiada henti (lahir-hidup-mati) dari partikel terkecil hingga terbesar tanpa terkecuali.
Lombok, 29 Agustus 2017
Dikumpulkan oleh,

HOMA YADNYA

 


Manuscript Lontar
Puja Stuti Stawa :
Agni male puro-hita, isato, jiva gniyate
Vaniya tat svino devi, aso devi rasisaya.
Rgveda, yajurveda, samaveda, Athavaveda tattwa Sanghyang catur mantra, Veda-rahasia, Siwagni muvah pitr-puja, praja-patyadi.
Iti agni-rahasya
Mantra saat menghidupkan padipaan, salah satu perangkat sulinggih yg merupakan Simbul Lingga Purusha :
Om Am Brahma Amrta dipaya namah
Om Um Wisnu Amrta dipaya namah
Om Am Lingga Purusaya namah.
Dalam Manusmerti bab 12 sloka 122 juga di jelaskan Bahwa Am/Agni adalah Nama lain dari Purusha.
jadi yang di maksud Agni adalah Siwagni atau Agni Rahasya/Energi atau Sakti
Dagdhi Karana Lontar Weda Parikakrama :
Sariram Kundam ityuktam
Tryantah Karanam Idhanam
Sapta Ongkara-mayo bahnir
Bhojanantu Udindhiyah.
artinya :
Badan ini di sebut tungku api(Kunda)
makanannya adalah ketiga bagian bentuk organ dalam
(Budhi, Ahangkara, Manah)
Sapta ongkara sebagai api yang menyala,
yang telah terbakar sebagai makanan(minyak)

Lontar Jnana Siddhanta :
Saptātma yajamānaś ca saptāumkāro hutāśanaḥ
sarīre deśe kundasmin sarva-kāmān juhoti saḥ
Artinya :
Sang Hyang Saptātma disebut Pembawa Korban yang suci. Sang Hyang Sap-
tomkāra disebut api (untuk membakar korban). Tubuh disebut Kundapradeśa.
Semua keinginan bersama-sama disebut persembahan sebuah sendok penuh,
minyak wijen, mentega bersih, ranting-ranting dan sebagainya. Dan pengetahuan
sang yogi disebut pelaksanaan upacara.
Jnana Siddhanta :
Sarīram kundam ity uktam karanam indhanam tathā
Saptāumkāramayo vahnir havyaṁ bhojantu sarvadā.
Artinya :
Tubuh dinamakan perapian, (demikian) sabda Bhatara Rudra. Ketiga organ
dalam, itu disebut kayu bakar. Saptomkāra yang suci sama seperti api yang me
nyala terus menerus. Dan seluruh alam indera hendaknya dikorbankan dalam
Saptomkāra yang suci itu yang bernyala terus menerus seperti api.
Tata cara pelaksanaan Homa Yadnya tertuang dalam Lontar Iswara Tattwa, dalam kutipan manuscript lontar Iswara tattwa menjelaskan apa yg di Maksud Homa Traya,
Mangke Sri Bhanoraja puspata Bhagawan Dharmaraja, mangke mahyun ta sira manggawe yajna homatraya wisesa, anggeseng malaning gumi, apa lwirnya; traya ingaranan tri, homa ingaranan yoga, shakti, ndya tri, brahmana Shiwa Buddha Satriya putus, ika ingaranan homatraya, apan tri sang mayoga...
Artinya :
Sekarang Sri Banoraja bergelar Bagawan Dharmaraja, kini beliau berkeinginan membuat yadnya Homatraya Wisesa. untuk menghanguskan kekotoran dunia. Apa jenisnya/artinya?. Traya artinya 3. Homa artinya yoga, sakti. Yang mana/apa itu 3 brahmana?. Siwa, Buda dan Pendeta dari golongan ksatria. Itulah yang dinamakan Homa Traya, karena 3 orang yang beryoga.
Dalam cerita Homa di keraton gelgel, antara Raja waturenggong, Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka juga di namakan Homa Traya.
Begitu juga dalam kisah Ramayana Rsi Visvamitra melakukan Homa/beryoga, serta Danghyang sidhimantra melakukan Homa/yoga utk melahirkan manik angkeran yg mirip dgn kelahiran Drupadi dalam kisah Mahabharata.
jadi jelas sesuai dgn Manuscript Lontar Bali dan kisah kisah yg ada bahwa Homa Yadnya adalah Agni Rahasya atau Yoga, bukan seperti api unggun tepuk Pramuka yg di lakukan oleh para hotri VPA ataupun Hare Krishna yang artinya menitip Yadnya melalui dewa Agni sebagai purohita.
Karena saking susahnya kemampuan batin jaman kali utk melakukan Homa atau yoga hingga upacara ini terhenti dgn sendirinya.

RITUS NYEPI

 


Rahayu, dumugi sami sehat dan bahagia, tabik pekulun
Sebelum membahas tentang NYEPI ada baiknya tiang sampikan kutipan teks salinan lontar sundarigama tentang teknis pelaksanaan nyepi untuk kita jadikan bahan diskusi dan landasan dalam mengurai dari RITUS NYEPI disamping itu sebagai bahan renungan kita tentang pelaksanaan nyepi.
……….. Antari cetra masa, Kresnapaksa, patiga welas, wenang LALASTIAKNA ikang pratima ring sagara, prayoganira Sang Hyang Rwa Wisesa, nga, Sang Hyang Pramesti Guru kalawan Sang Hyang Giri Indra Putri, nga, ika wenang lalastiakna ka segara mwang manca sedaya, nga, ingiring dening prasanak maka putu sedaya mwang saha widi wedananya,
HIDANGAN sagenep katur ring arepan Sang Hyang Baruna, nanceb sanggah tutuan, 1, munggah suci, 2, sagenep, guling itik putih, daksina, 1, ketipat sodan, 1, canang wangi wangi, pasucian sagenep, jinah, 1700, mwang jauman genep, ketipat sodan, sasayut panyeneng, muwang tulung urip, 7, tulung sangkur, 9. canang oyodan, 2, canang puwitra, 4, lis sanjata, saha tegen-tegenan, ayam itik sami pada putih, ketan, injin, beras bang, putih.
Mwang pangleb ka segara, suci, pras pangambean, SESAYUT MRETASARI, sasantunya maka pangeleb ka segara, 700, jauman padamblah
wus mangkana, malih muspa ka segara, wong kabeh nunas swahayu bhuana IDA SANG MAWABUMI tur masangkrura, MASAHEGAN SAMI-SAMI, telas.
Raris mantukakna kunang pratima kabeh, JEJERAKNA RING YASA AGUNG, aturakna datengan kala wengi.
Ring benjang ring Kresnapaksa Catur Dasih, wenang MECARU BHUTA YADNYA, nga, nista madya utama, nglaben Sang Bhuta Raja mwang Balawan Bhuta Kala Bala, sega sasah, kwehnya 108 tanding, mabe jejero matah, segeh agung, 1, sinambat, Bhuta Bala, muwang Kala Bala.
Wusan mecaru antukakna punang pratima kabeh, rauh ring yogan Idane aturakna padatengan saha canang panyimpenan, wus nyimpen raris NGERUPUK, ngamantukakna sarwa bhuta kala kabeh mwah mangunduraken sasab merana ring desanya,
sa, obor-obor dening agni saprapak, sembar ring kasuna jangu, mantraning dening sarwa tatulak panca agung, iderang ring umah mwang pakaranganya, dening gni ika, ring telas mangkana.
Ikang wong jalu istri kabeh, wenang abyakala ring natar, ngayab sasayut pamyak kala, sasayut caruh melahradan mwang prayascita.
Ring benjangnya, wenang anyampi mati gni, tan wenang anambut karya, tan wenang amasang gni, ri swarane tan wenang.
Sang weruh ri tatwa semadi, GELARANA YOGA SEMADI, apan suciang Ida watek dewata kabeh, hana ring telenging Samudra……….
Rahayu, dumugi bisa dibaca dan ngiring kita bahas satu persatu dari petunjuk dalam kutipan teks Salinan Lontar Sundarigama tersebut diatas,

Nyepi Menurut Teks Lontar Sundarigama
Sesungguhnya dalam pelaksanaan RITUS NYEPI yang utama adalah pemahaman MELASTI yang dilaksanakan di segara, danau, tukad, beji (manut sekadi sima dresta ring masing2 desa) dan pelaksanaan ritus nyepi tidak sama dilaksanakan di setiap desa, bahkan pelaksanaan nyepi hari-nya ada yang berbeda bahkan ada desa yang tidak melaksanakan nyepi, dulunya.
Kenapa upacara nyepi tidak sama pelaksaannya dan tempatnya juga ada yang berbeda seperti tersebut diatas, desa satu dengan desa yang lainya?
Karena yang melandasi ritus nyepi adalah KEPUTUSAN HULU PADA dari masing2 wilayah desa yang tertuang di dalam lontar-lontar yang tersimpan di masing-masing lembaga (puri dan griya) setempat berada. (wong kabeh nunas swahayu bhuana IDA SANG MAWABUMI) sebagai contoh kita jumpai tradisi di Bali ada Nyepi Alas, Nyepi Segara, Nyepi Desa, Nyepi Carik dll
Karena kehilangan sumber tentang teknis pelaksaan ritus nyepi di setiap masing-masing desa dan tidak lagi menggunakan KEPUTUSAN HULU PADA (Lembaga Puri) maka keputusan tentang teknis (rangkaian) ritus nyepi sekarang di ambil oleh pemerintah melalui organisasi umat yaitu PHDI sehingga pelaksanaan ritus nyepi di seragamkan dan di buatkan makna nyepi adalah perayaan Tahun Baru Caka (mohon maaf ini hanya perspektif tiang saja, mungkin salah silahkan abaikan saja)
Apakah ada petunjuk lontar yang menyebut bahwa nyepi adalah perayaan tahun baru caka tiang juga ingin tahu minta tolong semeton kalau punya ngiring wedaran mangde jangkep pemahaman kita tentang nyepi
Nyepi tidak bisa kita lihat hanya pada saat pelaksaan catur brata penyepian saja tapi RITUS NYEPI menurut Lontar Sundarigama merupakan rangkaian prosesi ritus yang dilakukan oleh masyarakat Gama Bali dengan tujuan kemakmuran dan kesejahtraan (keseimbangan antara Bhuana Alit dan Bhuana Agung) yang prosesnya sebagai berikut;
Rangkaian dari ritus nyepi diawali dengan MELASTI, apa sesungguhnya makna dari melasti pada saat nyepi, apakah melasti tujuannya memandikan arca ?, apa tujuan sesungguhnya dari melasti pada saat nyepi ? hali ini sangat penting dipahami karena melasti yang menjadi esensi dari ritus nyepi itu. (ampura tiang tidak akan bahas lebih dalam tapi dalam kesempatan ini)
Untuk bisa memahami melasti tiang hanya akan sampaikan dari perspeksif kutipan Lontar Sundarigama diatas bahwa yang di “iring” ke segara adalah Ida Sang Hyang Rwa Wisesa, siapakah beliu? beliau adalah BHATARA ARDENARESWARI yang berstana di Kahyangan Puseh (Lingga Maharata/Gunung Batur) dan di Kahyangan Dalem (Lingga Maha Agung/Gunung Agung) diiringi oleh para Manca, Prasanak mwang Putunya¸yang akan memberikan (menganugrahkan) TIRTA AMERTHA kepada masyarakat Gama Bali untuk kesejahtraan dan kemakmuran jagat dan isinya.
Di bawah ini adalah salah satu kutipan lontar yang memuat tentang tujuan dari melasti;
…….. “saluwir ampilan gagaluh riwusin ngiyasin sami amuli ngabejiang, maduluran HIDANGAN, suci abesik, meduluran honya honyan, sopakaraning dewa, kairing antuk dadyane sami, pada mabresih, mawastra akampuhan, acacawet, maduluran agegitan, sarawuh ring beji, banten HIDANGANE KATUR RING BHATARI GANGGA, sucine katur ring arcane, de mangku atur ature irika mawitang pangeresikan pralinggane ring bhatari gangga RARIS NUNAS TIRTA AMERTA RING BHATARI GANGGA, maka daging panglukatane ngamertaning dadyane samiri sampun puput sapula paline ring beji raris budal”………
jadi kalau dilihat dari upakara HIDANGAN yang di haturkan ke Ida Bhetara Baruna bahwa sesungguhnya kita memohon TIRTA AMERTA
Setelah selesai melasti maka Ida Bhetara Kabeh melinggih ring Bale Agung dan Ida Bhatara katuran datengan dan pemendakan dengan ritus pengilen pemangku

Rangkaian Mecaru Bhuta Yadnya
Di tingkat rumah dilaksanakan natab sesayut ……..”wenang abyakala ring natar, ngayab sasayut pamyak kala, sasayut caruh melahradan mwang prayascita”……...
Di tingkat Banjar dilaksanakan Upacara Meprani diawali dengan upacara pemarisuda bhumi (pembersihan dan penyucian bhuana agung dan bhuana alit) dalam sekala kecil yakni ruang lingkup banjar dan krama banjar dengan upakara caru eka sata (ayam brumbun) sebagai sarana pengharmonisan alam sekala dan niskala, sedangkan krama Banjar membawa (menghaturkan) Banten prani
Jadi upacara Meprani adalah ungkapan rasa syukur dan bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan banten serta hidangan (prani) untuk memohon kesejahteraan semua mahluk (sarwa prani) dan alam semesta.
Setelah dilakukan BHAKTI PEPRANIAN (meprani) semua krama beramah tamah dengan makan bersama menikmati LUNGSURAN PRANI (nasi, lawar, sate serta kuah dan lain-lain) yang ada di banten prani tersebut, sebagai simbul ANUGRAH AMERTA Ida Sanghyang Widhi Wasa kepada kita semua.
Ritus ini memiliki nilai sosial yang sangat penting dan penuh makna untuk mempererat RASA yakni kebersamaan antar sesama warga banjar. Walaupun ritus meprani sudah menghilang di beberapa daerah (makan lungsuran banten prani bersama di banjar) ritus meprani di beberapa tempat masih tetap berlangsung.
Di Tingkat Desa melaksanakan TAWUR untuk ruang lingkup yang lebih luas dengan menghaturkan caru panca sata. Caru dilakukan (dipusatkan) di catus pata desa
Demikian seterusnya dalam sekala yang lebih besar, dengan harapan alam semesta beserta dengan isinya kembali dalam kesimbangan (stabil) yang dalam bahasa balinya disebut dengan gumi degdeg / gumi enteg suci nirmala.
Setelah ritus Tawur Kesanga maka semua Pretima atau prelingga Ida Bjeyata katuran mewali ke peyogan Ida Bhetata mgelantur Ngerupuk
Renungan kita bersama MASIHKAN KITA MEPAKSANAKAN RITUS NGERUPUK DI RUMAH KITA seperti yang tertuang dalam teks tersebut diatas???
Besoknya melaksanakan CATUR BRATA PENYEPIAN atau NYEPI dan yang paling utama dari nyepi ini adalah petunjuk dari lotar tersebut diatas; Sang weruh ri tatwa semadi, gelarana yoga semadi, apan suciang Ida watek dewata kabeh, hana ring telenging Samudra INILAH INTINYA
Selanjutnya esok harinya Ngembak Gni yang maksud dan tujuannya adalah ritus ngelebar catur brata penyepian
Renungan nyepi, semoga hati kita damai selalu
Ritus yang paling mendasar dari rangkaian kegiatan nyepi adalah MELASTI, PENAHURAN SASIH dan NGLABEN Sang Bhuta Raja mwang Balawan Bhuta Kala Bala, bagaimana teknis pelaksaanya sesungguhnya sangat sederhana dan jelas di sebutkan dalam kutipan lonter tersebut diatas sampai kepengrupukan dan tirta yang dipakai untuk nyomya Bhuta Bala, muwang Kala Bala sudah di buat di setiap desa, yang menjadi pertanyaanya;
Kenapa pelaksanaan tawur yang dilaksanakan di masing-masing desa harus menunggu tirta penyomya dari pemerintah ???
Terus apa fungsi tawur kesanga di masing masing desa kalau memang harus menunggu tirta caru dari kabupaten???
Rahayu, semoga ada manfaatnya kelungkung semarapura kirang langkung nunas sinampura