dari semua unggahan tentang nakAnak citayam... ini yang pAling menyentuh dan beRempati...
***
MENCARI RUMAH DI SCBD
~ Nur Hafsah ~
Sudah lebih dari seminggu, namun hiruk pikuk Citayem Fashion Week masih jauh dari reda. Bukan hanya politisi numpang elektabilitas nampang di sana, bahkan sepasang artis serakah mematenkan nama CFW menjadi hak milik intelektualnya. Sungguh tak bermuka.
Terlepas dari para pengejar voter dan pemburu cuan, gemuruh CFW dan SCBD selalu menarik saya pada kisah Jeje.
Bukan kisah baru. Sudah banyak bertebaran di media online. Tapi beberapa penuturannya tentang detail peristiwa yang ia alami, seperti menghantam saya, lagi, tentang realita betapa anak-anak -terlebih perempuan, tidak bisa aman bahkan ketika di rumah.
Berkulit bersih (sampe ke ketek-ketek) Jeje memang beda dengan Kurma (yang suka dibecandai sebagai Kurang Mandi) atau Bonge (Bocah Bojonggede dengan rambut Stock-on-You).
Body Jeje juga asoy. Jadi kegemarannya memamerkan tali kolor tidak bikin sakit mata.
Teman cowok Jeje menyebutnya “sasinem”, sana-sini nempel. Dan kalau melihat video dia dengan pacar-pacarnya sih kelihatannya begitu.
Jeje menampilkan dirinya lenjeh, manja-manja agresif -dengan suara melengking, kolokan sekaligus galak.
Kesan berbeda justru muncul ketika dia bicara di beberapa podcast. Gaya bicaranya tenang, teratur, tata bahasanya rapi, bahasa Inggrisnya tidak ngasal. Mengingat umurnya yang baru 16 tahun dan sekolah hanya sampai kelas 2 SMP, ini agak luar biasa sih.
Pada sebuah kesempatan Jeje malah dengan sabar makan lauk ayam menggunakan garpu dan sendok. Sementara pemilik acara sudah tidak tahan dengan paha ayam yang loncat kesana kemari, sehingga memilih main comot saja -makan pakai tangan.
Menurut pengakuan Jeje, dia berasal dari Kemang. Daerah mahal. Lantas kok bisa bergabung dengan anak-anak SCBD yang kalau tak punya uang akhirnya tidur di terowongan?
Mungkin sudah banyak yang melihat wawancaranya di podcast Atta. Tanpa ditanya dan tanpa diminta dia menceritakan asal mula kabur dari rumah.
Bukan rumah orang tua. Karena ayah-ibunya sudah berpisah. Ayahnya tinggal di Belanda. Ibunya di Jakarta. Masing-masing dengan keluarga baru mereka.
Bagaimana Jeje?
Dia tertinggal di rumah nenek.
Di rumah itu juga dia mendapatkan perlakuan biadab dari tukang kebun neneknya. Dia diperkosa.
Itulah sebab dia kabur. Tidur di bawah rel kereta Tanah Abang. Numpang di rumah teman. Di rumah pacar. Atau kleleran di Sudirman.
“Papa mama kamu tau?”
“Semua orang rumah sudah tau...”
“Orangnya dipecat?
“Nggak…
“Mama sama Nenek aku dulu itu punya pemikiran… kayak… ‘Kamu bukan korban… Kamu sendiri yang mengundang.’
“Emang pakaian aku suka terbuka ya Kak… kalau di rumah pakai celana pendek. Kaosan… Jadi dikiranya… aku yang memikat dan mengundang dia untuk melakukan itu…”
Atta yang baru punya anak perempuan meringis mendengar penuturan Jeje.
Masih dengan suara lembut, tersendat tapi tertata, Jeje mengeluarkan pembelaan diri.
“Tapi sebetulnya bagi aku sendiri kayak… Nggak… Nggak kayak gitu maksudnya…”
Atta kebingungan. Tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pengakuan Jeje memang tidak disangka-sangka. Dan dia menuturkannya dengan tenang. Tanpa emosi meledak.
Saya yang nonton juga kebingungan. Seringan itukah?
Melihat penuturannya yang runut, juga detail waktu, sulit menuduhnya mengada-ada.
Satu jawaban atas pertanyaan Atta mengunci kecurigaan bahwa dia hanya mengarang-ngarang.
“Waktu akhirnya aku pulang lalu cerita kejadian itu sama nenekku, dia nangis…”
“Terus… Habis nenek kamu tahu?”
“Akhirnya ditanya… ke orang yang ngelakuin.”
“Orangnya ngakuin?”
“Iya.”
Atta pun terhenyak.
Jadi sebetulnya kasus itu terang benderang. Tidak ada penyangkalan.
Tetapi kok ya bisa tidak ada yang memperkarakan? Bahkan sang nenek yang menjadi wali (juga ibunya) malah menganggap hal itu wajar terjadi gara-gara cara berpakaian?
Jeje menolak seandainya ada yang mau membantu mengkasuskan peristiwa tersebut. Dia bahkan mencegah keluarga ayahnya yang hendak melabrak.
Baginya, yang lalu biarlah berlalu. Jadi pembelajaran saja. Sekarang buka lembaran baru.
Dunia berputar kembali seperti biasa. Ibunya dengan bayi yang baru lahir, ayahnya kembali ke Belanda, tukang kebun tetap bekerja di rumah neneknya. Hanya Jeje yang terbuang. Melarikan diri.
Dari rumah yang tidak aman. Dari ayah dan ibu yang meninggalkan. Dari nenek yang menyalahkan (meskipun Jeje sendiri menolak menyalahkan neneknya. Bagi dia peristiwa itu terjadi karena dirinya dan nafsu si pelaku).
Jeje memilih jalanan.
“Kamu ga takut diapa-apain di jalanan?”
“Aku dulu tu mikirnya… Ah, gua udah kotor… Kalau ada orang yang jahatin gua terus ngotorin gua lagi ya udah…”
Sumpah, nangis hatiku di situ. Kasihan sekali anak perempuan. Sudahlah dia dituduh mengundang dan memikat nafsu laki-laki, lalu dia pula yang dianggap kotor.
Semua argumentasi melawan pelaku pelecehan tumpah di kepala saya. Deras seperti hujan badai.
Tapi terasa sunyi, sudah tak bersuara lagi. Seperti pesawat TV yang di-mute.
Saya hanya terdiam mendengar penuturan Jeje.
Anak yang lahir ke dunia karena keinginan orangtua -tanpa ia sendiri meminta. Tapi ketika orang tua bercerai justru dia yang ditinggalkan.
Ketika manusia berjiwa iblis menjahatinya di usia sangat belia, justru dia yang disalahkan.
Saya greget dengan orang-orang yang menganggap bikin anak itu kayak prestasi. Giliran mengasuh, membimbing, menjaga, ga becus, pada kabur dari tanggung jawab.
Ya gak heran kalau anak-anak juga kabur dari rumah dan lari ke jalanan. Mereka berusaha menemukan keluarga sendiri, membangun rumah sendiri. Tidur beratap langit, menyambung hidup dari hari ke hari.
“Ga diusir sama petugas?” tanya Thoriq.
“Kita sudah CS-an Bang, sama Satpamnya.”
“Mantaap… Starling gratis. Satpam CS-an. Su.dir.man.pride..!”
Entah kalau SCBD ini bubar. Baik karena dibubarkan maupun karena tren-nya lewat. Anak-anak yang kehilangan rumah, akan selalu mencari keluarga yang menerimanya. Bahkan bila itu di jalanan sekalipun.
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar