Perayaan Tumpek Wariga atau Tumpek Uduh, lumrah juga disebut Tumpek Bubuh, terasa sangat spesial , karena  hari bertuah itu diperingati menjelang Perayaan kemenangan  Dharma atas Adharma, di India disimbolkan dengan kemenangan  Sri Rama atas sosok terbaik wangsa asura  Rahwana, Raja Alengka. Maka di India dibuat patung patung Rahwana, kemudian ogoh ogoh itu dipanah, sebagai refleksi kemenangan Dharma atas Adharma. 
Perayaan Wijaya Dasami ini merupakan puncak hari ke-10 dari puja Nawa Ratri, yang dipuja Tridewi, Durga, Laksmi, dan Saraswati. Perayaan ini di Bali disebut Galungan dan perayaan hari ke 10 adalah Tumpek  Kuningan. Berkaitan perayaan Tumpek Bubuh di Bali, maka dipuja Dewa Sangkara, di India untuk memohon kesuburan tanaman,  maka perayaanya disebut  “Shangkara Puja”.
Tumpek  Wariga ini di Bali  sebagai penanda awal bahwa  peringatan hari Galungan sudah menjelang. Hari suci Galungan hanya tinggal dalam durasi  25 hari saja. Pada moment Tumpek Wariga ini dimaknai sebagai upacara pelestarian lingkungan, terutama pada tumbuhan, segala jenis pepohonan agar subur, berbuah lebat, sehingga umat dapat anugraha dari lingkungan itu sendiri. 
Mengutip,  Bhagawad Gita, III . 14 
, “Annaad bhavanti bhuutaani. Prajnyaad annasambhavad. Yadnyad bhavati parjanyo Yadnyah karma samudbhavad”. 
Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. 
Yadnya itu merupakan  karma. Maka sejatinya cakra yadnya itu harus senantiasa diputar, agar siklus rta itu secara alamiah juga berputar di jagat ini, karena itu  sang manawa yang merupakan bagian dari kosmos ini , tidak bisa melepaskan dari siklus cakra yadnya itu. 
Sebab, tanpa tumbuh-tumbuhan dalam kehidupan ini, semua makhluk bernyawa sejatinya tidak dapat melangsungkan hidupnya. Karena pastinya bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan itu karena  yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup ini. 
Pertanyaan reflektif itu,  lalu masihkah kita tidak menghargai anugerah  yang telah  kita terima dari bumi pertiwi ?? 
Bagaimana cara kita menghargainya? Ini lah salah satu bentuk kearifan budaya lokal local genius dan local wisdom yang sungguh Adi Luhung di jagat Bali Dwipa ini, yang dimaknai dalam perayaan , Tumpek Wariga ini. 
Tumpek Wariga dikenal juga sebagai tumpek bubuh, tumpek pengatag, tumpek pengarah. Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Rangkaian upacara ngerasakin dan ngatagin itu dilaksanakan untuk memuja Dewa atau Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.
Tumpek Wariga adalah hari  menghaturkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Dewa Sangkara (masyarakat Bali Kuno menyebut sebagai Kaki Bentuyung), Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. 
Selain itu,Tumpek wariga juga merupakan penanda, sebagai rangkaian awal persiapan menyambut hari raya Galungan. Ketut Wiana,  menjelaskan 
Manusia sebagai makhluk hidup yang paling serakah sering berbuat tidak adil kepada keseimbangan hidup tumbuh-tumbuhan tersebut. 
Nah untuk  menumbuhkan sikap yang adil dan penuh kasih kepada tumbuh-tumbuhan, umat Hindu memohon tuntunan Dewa Sangkara sebagai manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, umat Hindu di India memiliki ''Hari Raya Sangkara Puja'', sedangkan umat Hindu di Bali memiliki Tumpek  Wariga sebagai hari untuk memuja Dewa Sangkara.

.jpeg)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar