Senin, 26 Agustus 2024

CERITA RAKYAT BALI "PUTRI AYU" DARI DESA TRUNYAN.

 


Pada zaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, Raja Surakarta ( Jawa ) mempunyai empat orang anak.Keempat anak itu selalu tinggal di dalam Istana.Pada suatu hari ketika mereka sedang bercengkrama di Tamansari, mereka mencium
bau harum, bau harum aneh yang sama sekali belum pernah dicium selama hidupnya. Mereka amat tertarik akan bau itu sehingga ingin mencari sumbernya.
Mereka berjalan ke arah timur, menyusuri pantai utara.
Mereka terus berjalan kearah timur, bahkan sampai menyebrangi pulau Bali. Mula-mula mereka menginjak perbatasan pulau Bali sebelah timur, yaitu antara desa-desa Culik Karangasem
dan Buleleng. Disini keempat putra raja itu
mencium bau yang lebih harum lagi. Bau harum itu makin bertambah ketika mereka tiba di daerah Batur.
Mereka berjalan terus tanpa menghiraukan
rintangan dan halangan alam. Tentu saja mereka keluar masuk hutan belantara yang amat lebat dan susah dilalui. Harus berkelahi dengan binatang buas, seperti harimau dan ular.
Setibamya di kaki selatan Gunung Batur, putri Bungsu memutuskan untuk berdiam di Pura Batur di lereng gunung Batur.
“Aku senang melihat daerah ini” kata Putri
Bungsu. “Pemandangan alamnya sungguh
mempesona. Aku ingin tetap tinggal disini. Aku tidak mau meneruskan perjalananku Kanda. Izinkan aku!”
“Kalau memang itu kehendakmu, Dinda, silahkan engkau menetap di sini,” Jawab kakaknya yang tertua.




Kemudian putri itu bergelar sebagai seorang Dewi, Ratu ayu Mas Maketeng namanya.Ketiga saudara laki-lakinya melanjutkan perjalanan.
Kini mereka menyusuri tepi Danau Batur. Ketika mereka tiba di suatu tempat yang datar di sebelah barat daya danau, mereka mendengar suara kicauan seekor burung. Karena girangnya mendengar suara burung, saudara yang termuda berteriak-teriak. “Hai burung bagus! Aku akan menangkapmu!”
Burung itu hinggap di dahan pohon yang rendah, namun ketika hendak di tangkap, tiba-tiba burung itu terbang tinggi.
Si adik berteriak-teriak memanggil si burung itu. Kelakuannya membuat kakaknya yang tertua merasa malu dan geram lalu si kakak menghkumnya.
“Kau jangan ikut mengembara lagi, aku tidak suka melihat tingkah lakumu,” kata kakak yang tertu. “Engkau tidak pantas beserta kami”. “Tidak…..” Aku harus ikut! Aku ingin terus mengembara, ingin tahu asal bau harum itu,” Jawab Adiknya sambil terus merengek minta ikut.
Kemudian kakaknya menyepak adiknya sehingga terjatuh bersila.
Setelah meninggalkan adiknya yang berupa patung, kedua putra raja itu meneruskan pengembaraan mereka, menyusuri tepi danau Batur sebelah timur.
Ketika mereka tiba di suatu daerah lain, mereka menemukan dua orang wanita. Seorang diantaranya sedang mencara kutu di kepala yang lainnya.
Putra kedua merasa senang dengan kedua
perempuan itu. sebab sudah lama mereka tidak bertemu dengan manusia.
Kerena girang bertemu manusia, putra kedua menyapa kedua wanita itu. perbuatan adiknya ini menimbulkan menimbulkan rasa tidak suka kakaknya.
“Engkau jangan ikut lagi” bentak kakaknya.
“Perbuatanmu mengecewakan hatiku. Tidak pantas!”
“Aku ingin ikut terus. Aku tidak mau ditinggal sendiri disini. Tidak!” Rengek adiknya. Akan tetapi si adik terus merengek, tetap ingin ikut terus. Akhirnya si kakak sangat marah lalu di sepaklah adiknya. Oleh karena sepakan yang
keras itu, adiknya terjatuh tertelungkup. Dalam keadaan begitu si kakak meninggalkan adiknya dengan hati yang penuh kemarahan. Setelah menimnggalkan adik-adiknya di desa-desa
itu, putra sulung melanjutkan perjalanan kearah utara, menyusuri pinggir timur Danau Batur yang amat curam. Akhirnya ia tiba di suatu daratan lagi.
Pada saat itu ia merasa kelelahan karena barusan menuruni tebing yang curam.
Ia ingin beristirahat, berteduh dibawah pohon yang rindang.
Namun niat beristirahat itu diurungkan. Sebab bau harum aneh yang mengusik jiwanya di tanah Jawa kini semakin kuat semerbaknya. Ia merasa penasaran, lalu cepat berdiri dan melangkah mendekati seebuah pohon besar yang sangat menarimk perhatiannya. Disana ia menemukan seorang gadis cantik yang
sangat mempesona hatinya. Gadis itu sedang bersimpuh seorang diri di bawah pohon Taru Menyan.
Sementara bau harum semakin kuat dan seakan bergulung-gulung di tempat itu. ternyata pohon itulah yang menjadi sumber bau harum yang dicarinya selama ini.Putra sulung itu terpana melihat gadis cantik yang bagaikan bidadari. Ia mengira gadis itu adalah seorang dewi, ia khawatir jika dewi itu segera terbang ke langit, maka cepat dihampirinya. Bahkan lalu diperluknya sang dewi erat-erat.
Tentu saja si gadis merasa sangat malu
diperlakukan demikian, namun karena pada dasarnya ia merasa suka kepada putra sulung maka dia diam saja, dan memaafkan perbuatan pemuda itu.
“Wahai dewi jelita. Siapakah namamu? Tanya putra sulung. “Engkau ini manusia atau Bidadarikah?”
“Tuan, aku ini adalah manusia biasa. Jika tuan memang menyukai aku, lamarlah aku. Aku masih mempunyai kakak sebagai wakil dari orang tuaku.”Kemudian ia menghadap kakak sang dewi untuk melamar dewi yang cantik itu. “Aku terima lamaranmu. Boleh adikku engkau jadikan istri asal
engkau mau memenuhi syarat-syarat,” kata Kakak sang Dewi.
“Katkan padaku, syarat-syarat apa saja yang harus aku penuhi,” Jawabnya.
“Engkau harus bersedia dijadikan pimpinan Desa Truyan”. “Saya bersedia! Katanya.
Karena putra sulung bersedia menerima tanggung jawab sebagai pemimpin desa maka lamarannya di terima.
Pesta perkawinan segera dilaksanakan dengan meriah.Putra sulung hidup bahagia dengan isrinya. Ia memenuhi janjinya, segala ketrampilan dan pengetahuan bermanfaat, yang didapatkan di tanah jawa, diajarkan kepada penduduk setempat. Sehingga tanah pertanian baik sawah maupun ladang di daerah itu menjadi subur.

Sumber : wikipedia / www.kemudian.com



CERITA RAKYAT BALI Ni Bawang teken Ni Kesuna







"Ada tuturan satua anak makurenan, ngelah
kone pianak luh-luh duang diri. Pianakne ane
kelihan madan Ni Bawang, ane cerikan madan Ni
Kesuna. Akuren ngoyong kone di desa. Sewai-
wai geginane tuah maburuh kauma
Pianankne dua ento matungkasan pesan
solahne. Tan bina cara gumi teken langit. Solah
Ni Bawang ajaka Ni Kesuna matungkasan pesan,
tan bina cara yeh masanding teken apine.
Ni Bawang anak jemet, duweg megae nulungin
reramanne. Duweg masih ia ngraos, sing taen
ne madan ngraos ane jelek-jelek. Jemet
melajang raga, apa-apa ane dadi tugasne dadi
anak luh. Marengin meme megarapan di paon,
metanding canang, sing taen leb teken ajah-
ajahan agamane. Melanan pesan ngajak nyamane
Ni Kesuna. Ni Kesuna anak bobab, male megae,
duweg pesan ngae pisuna, ento makrana
memene stata ngugu pisadun Ni Kesuna ane
ngorahang Ni Bawang ngumbang di tukade
ngenemin anak truna.




Sedek dina anu, dugase ento sujatine Ni
Bawang mara suug nglesung padi laut kayeh
sambilanga ngaba jun anggon ngalih yeh. Krana
ngugu munyin Ni Kesuna, ditu Ni Bawang lantas
tigtiga, siama aji yeh anget tur tundena magedi.
Ni Bwang laut megedi sambilange ngeling
sigsigan. Di subane ngutang umah, neked kone
ye di tukade ketemu ajak kedis crukcuk kuning.
Ditu i Kedis Crukcuk Kuninge kapilasa teken
unduk Ni Bawange. Ni Bawang gotola, baanga
emas-emasan, marupa pupuk, subeng, kalung,
bungkung, gelang muah kain sutra.
Sesukat Ni Bawang ngelah panganggi ane
melah-melah buka keto, ia nongos di umah
dadongne. Tusing taen ye mulih ke umah
reramanne. Kacrita jani Ni Kesuna kone nepukin
embokne mapanganggo melah-melah, laut ia
nakonang uli dija maan panganggo buka keto.
Disubane orahina teken Ni Bawang, ditu laut
Ni Kesuna metu kenehne ane kaliwat loba. Edot
ngelahang penganggo lan priasan ane bungah
buka ane gelahang embokne. Krana ento, lantas
Ni Kesuna ngorahin memenne nigtig ukudane
apang kanti babak belur.
Sesubane katigtig, lantas ia ngeling sengu-
sengu ka tukade katemu teken I Kedis Crukcuk
Kuning. Kacrita jani I Crukcuk Kuning ngotol
ukudan Ni Kesunane, isinina gumatat-gumitit.
Neked jumah ditu lantas gumatat-gumititte ento
ane mencanen Ni Kesuna kanti ngemasin mati.
Keto suba upah anak ane mrekak, setata demen
mapisuna timpal, sinah muponin pala karma ane
tan rahayu. "

Diambil dari buku kusumasari
Gimana manarikkan ceritanya.. Cerita di atas
dapat memberikan kita makna hidup yang
dalam. Siapa yang berbuat jahat akan
mendapatkan hasil yang jahat pula, istilah dalam
hindu disebut karma pala.. Nah, sekian dulu
cerita Bawang teken kesuna”. Semoga dapat
membantu anda yang sedang kesulitan mencari
cerita bali I bawang teken kesuna . Salam
bloggers mania dari iputu dirga blog semoga
dapat membantu anda.. Terima kasih…

Sumber: wikipedia / http://iputu-dirga.blogspot.com/.../cerita-bali-bawang...

CERITA RAKYAT BALI PAN CUBLING & MEN CUBLING

 


Tersebutlah suami istri yang bernama Pan Cubling dan Men Cubling berdiam di pinggir sebuah hutan.
Pekerjaan suami istri itu adalah mencari kayu api. Hasilnya mereka jual ke kota untuk keperluan hidup mereka sehari-hari. Di sekitar tempat itu banyak hidup kera. Entah karena apa,
kera-kera itu berkawan baik dengan Pan Cubling.
Meskipun demikian, ya kera tetap kera. Pan Cubling dan Men Cubling sering juga diusik.
Diantara kera-kera yang paling sering datang ke rumah Pan Cubling adalah kera yang bernama ; I Bojog Peceh.
Apabila Pan Cubling pergi ke hutan mencari kayu api, Men Cubling sibuk memasak di dapur. Pada saat-saat seperti itulah I Bojog Mokoh dan I Bojog Peceh datang mengangggu Men Cubling istri Pan Cubling. Pada suatu pagi yang sangat
cerah. Rupa-rupanya semalam tidak ada hujan.
Matahari bersinar menembus celah daun-daun kayu di pinggir hutan. Waktu itu I Bojog Mokoh seperti biasa datang ke rumah Men Cubling.
Dengan perlahan-lahan I Bojog Mokoh
mendekati pekarangan Pan Cubling.
Di intainya Men Cubling dari atas sebuah cabang pohon kayu, ia melompat, Men Cubling sedang sibuk didapur. Dengan gaya yang khas, ia melompat turun, serta menoleh ke kanan dan ke kiri. I Bojog Mokoh tiba dipintu dapur Men
Cubling.
"Men Cubling" tanya I Bojog Mokoh. Men
Cubling tidak menoleh apalagi menyahut. Ia jengkel sekali, karena kera ini selalu
mengganggunya.
"Men Cubling" tanya I Bojog Mokoh agak keras.
"Apa, kau mau cari apa?" tukas Men Cubling "Sudah selesai memasak?"
tanya I Bojog Mokoh lagi.
"Belum" jawab Men Cubling singkat.
"Beri aku nasi sedikit."
"Belum matang."
"Belum? Aku dari tadi mengintai. Men Cubling sudah selesai memasak. Kau sembunyikan nasi dan lauk pauk itu di bawah periuk. Ayo Men
Cubling, beri aku sedikit."
"Aku bilang, belum selesai."
"Eh, kalau kau tidak mau memberi kutusuk
pantatmu dengan kayu ini."
"Kau itu selalu menggangguku."
"Bukan mengganggumu, menghiburmu. Kau sendiri di rumah. Suamimu pergi ke hutan.
Dikira aku tak tahu."
"Kalau kau mau minta nasi boleh, tolong aku mengumpulkan kayu api dibelakang rumah."
"Kemana aku bawa?"
"Di muka dapur."
"Baiklah. Asal nanti diberi nasi."
"Jangan banyak omong. Kerjakan dulu."
Sibuklah si Bojog Mokoh mengumpulkan kayu api .
"Ini, aku sudah selesai. Mana nasinya."
Maka Men Cubling pun memberi nasi kepadanya yang dibungkus dengan daun pisang. Lahap benar tampaknya I Bojog Mokoh. Mulutnya gembung penuh berisi nasi. Sambil menyeringai cara khas seekor kera, ia menghabisi makanan
itu.
"Men Cubling" kata I Bojog Mokoh sambil
membuang daun pisang.
"Apa lagi."
"Anu, perutku sakit. Di mana tempat buang kotoran?"
"Kau ada-ada aja. Tu di belakang dapur."
Maka pergilah I Bojog Mokoh ke belakang dapur.
"Ih, baunya! Jauh sedikit Bojog Mokoh," seru Men Cubling.
"Disini sudah, diatas batu ini."
"Baunya sampai ke dapur."
"Bau tahi supaya harum. Tahi manusia itu
harum?"
"Nanti kulempar kau dengan batu."
"Kalau kau lempar, nanti kutusuk pantatmu dengan kayu ini."
"Kau terlalu."
"Kau suruh berak di belakang dapur."
"Memangnya." Men Cubling tak dapat berkata-kata lagi, takut
kalau-kalau I Bojog Mokoh benar-benar
menusuknya dengan kayu, seperti dahulu tatkala dia tiada memberi I Bojog Mokoh nasi.
Sesudah selesai I Bojog Mokoh berak ia
bertanya lagi.
"Dimana aku membersihkan pantatku" (mekilad).
"Cerewetnya. Tu pada batang pisang. Setiap hari minta diberi tahu."
Setelah itu, tanpa pamit ia pergi dari rumah Men Cubling. Kemudian datang lagi I Bojog Peceh. Rupa-rupanya ia pun hendak meminta pula nasi.
"Men Cubling," kata I Bojog Peceh.
"Siapa itu?"
"Aku, I Bojog Peceh. Suamimu ke mana?"
"Pergi ke hutan."
"Eh, kau tambah cantik."
"Kau kera, bisa bilang manusia cantik."
"Betul! Minta nasinya."
"Barusan I Bojog Mokoh datang minta nasi.
Sekarang kau lagi."
"I Bojog Mokoh? Ia sudah pergi?"
"Ya, baru saja."
"Sudah, beri nasinya."
"Setiap hari kerjamu meminta nasi saja. Kau malas. Lihat itu kawan-kawanmu semua berusaha mencari makanan. Kau dengan I Bojog Mokoh kerjamu meminta saja."
"Sudah, berilah, aku lapar?"
Demikianlah I Bojog Peceh dengan gaya
"Keranya" menghabiskan makanan. Sesudah itu, sama seperti I Bojog Mokoh ia hendak berak.
"Di mana tempat berak?"
"Di situ, dibelakang dapur."
"Baiklah."
"Jauh sedikit, nanti baunya sampai ke dapur."
"Ya," I Bojog Peceh menukas sambil pergi ke belakang.
"Setiap hari begini saja kerja kedua kera ini," gumam Men Cubling.
"Kalau tak diberi, aku bisa dapat celaka."
"Men Cubling, aku permisi," kata I Bojog Peceh.
Berselang beberapa jam datanglah Pan Cubling dari hutan membawa kayu api. Berat rupanya.
Nafasnya terengah-engah. Dengan tiada berkata apa-apa ia meletakkan kayu api itu di muka dapur.
"Men Cubling," katanya dengan suara
kepayahan, ini ambil daun paku untuk sayur. "Eh Pak, baru saja I Bojog Mokoh dan I Bojog Peceh datang ke mari. Nasi kita hampir dibuat habis."
"Celaka! Setiap hari setan itu datang. Kenapa kau beri saja."
"Aku takut Paken. Cobalah kalau saya tak beri, aku mau diganggu. Luka di pantantku belum sembuh."
"Sudah. Aku mau makan dulu! Ada sisanya?" "Ada, cukup untuk Pak saja."
Pergilah Pan Cubling ke dapur duduk bersila di balai-balai menikmati, masakan Men Cubling.
Setelah menyuapkan nasi beberapa suap, sambil berpikir ia mengambil kendi tanah untuk meneguk air. Kemudian ia berkata.
"Binatang kurang ajar." Aku ada akal supaya kera-kera bangsat itu tidak mengganggu lagi.
"Bagaimana pak."
"Besok kalau kera-kera itu minta nasi beri saja. Sesudah makan, pasti dia hendak berak.
Kemudian kalau dia mau "Mekilad" di pohon pisang itu letakkan di sana sebilah pisau yang tajam. Hati-hati agar jangan kelihatan!"
"Aku tak bisa mengerjakan itu. Biarlah pak yang mengerjakannya."
"Kalau begitu, baiklah!"
Sesudah makan Pan Cubling mengambil sebilah pisau. Diasahnya sampai tajam pisau itu, laku dipasangnya pada pohon pisang tempat kera-kera itu membersihkan pantatnya.
Keesokan harinya Pan Cubling pergi lagi ke
hutan mencari kayu api dan Men Cubling,
sebagaimana biasa memasak didapur. Tiada berapa lama datanglah I Bojog Mokoh.
"Men Cubling, aku lapar. Tolong beri nasi."
"Kau datang lagi."
"Kalau tak di beri, kau kutusuk pantatmu dengan kayu ini."
"Ini, makanlah!" Sambil memberi nasi.
Dengan lahap si Bojog Mokoh makan, Setelah selesai makan ia bertanya lagi.
"Dimana tempat berak."
"Situ, dibelakang dapur."
I Bojog Mokoh pun pergilah ke belakang dapur buang kotoran. Sesudah itu ia bertanya lagi.
"Dimana tempat mekilad."
"Tu di pohon pisang."
Dengan tiada berpikir lagi I Bojog Mokoh
"Mekilad" pada pohon pisang yang sudah
dipasangi pisau oleh Pan Cubling.
"Kemudian..... Brueeeek! Aduh, aduh.
Pantatku, pantatku! Aduh. Darah berhamparan keluar. Robeklah pantat I Bojog Mokoh sampai ke perutnya dan seketika itu pula I Bojog Mokoh mati.




Pada saat itu Men Cubling keluar dari dapur dan secepatnya diambilnya bangkai I Bojog Mokoh di bawa ke dapur. Kemudian bangkai I Bojog Mokoh, dipotong-potong hendak dijadikan lawar, sate, gulai dan sebagainya. Kemudian kulit serta
kepala I Bojog Mokoh di sembunyikannya di bawah periuk. Takut kalau-kalau kera yang lain tahu.
Sedang sibuk Men Cubling mengurusi daging- daging Bojog Mokoh, datanglah I Bojog Peceh.
Tak sempat Men Cubling menyembunyikan
daging-daging itu, I Bojog Peceh sudah ada di dekatnya.
"Men Cubling, daging apa ini."
"Daging sapi."
"Kalau daging sapi mengapa tulangnya kecil- kecil."
"Daging babi."
"Kalau daging babi mengapa agak hitam."
"Daging kambing."
"Kalau daging kambing mengapa ususnya kecil panjang."
"Daging..... daging Be Mamu."
Alangkah terkejutnya I Bojog Peceh. Pastilah I Bojog Mokoh terbunuh. Ia berlari ke tengah hutan, lalu naik ke sebuah pohon yang besar memukul-mukul batang pohon itu sebagai orang memukul kentongan.
"Ih. Bojog Peceh mengapa kau memukul
kentongan!." "I Bojog Mokoh dibunuh oleh Men Cubling. Mari
kita serbu rumahnya dan kita bunuh kedua orang itu. Kera-kara itu bersorak menyambutnya.
"Kita kumpulkan kawan-kawan kita dan besok kita berangkat agar semua kera di hutan itu ikut," jawab seekor kera.
"Baiklah," jawab yang lain.
Tiada berapa lama pulanglah Pan Cubling.
Dengan terengah-engah Men Cubling menyapa suaminya.
"Pak ne, I Bojog Mokoh sudah mati. Itu
dagingnya sudah kujadikan gulai, sate dan
sebagainya. Tetapi, tadi I Bojog Peceh datang kemari dan tahu bahwa daging itu adalah daging I Bojog Mokoh. Sekarang ia lari ke hutan.
Barangkali ia memanggil kawan-kawannya untuk mencelakakan kita.
"Barangkali itu benar jawabmu. Meskipun begitu mari kita berpesta dulu dan kalua-kalau kera- kera itu datang, akan kulawan.
Kedua suami istri itupun berpestalah dengan daging I Bojog Mokoh. Sudah sampai malam, kera-kera itu tak kunjung tiba juga. Pada malam itu tak sedikitpun terpicing mata kedua orang
itu, takut kalau-kalau pasukan kera datang.
Kemudian Pak Cubling berkata lagi, "Memene, besok pagi aku tidak akan pergi ke hutan.
Jika kera-kera itu datang katakan aku mati. Aku akan tertidur berpura-pura mati di Bale Bedauh.
Tutupi badanku dengan kain dan sekar Sinom.Suah itu kau buat air panas sebanyak-banyaknya.
Nanti jika kera-kera itu sudah datang, kau pura-pura menangis di sebelah tempat tidurku sambil meratapi kematianku kemudian mintalah bantuan
kepada kera-kera itu untuk membuat lubang kuburku. Sesudah semua kera-kera itu ada dibawah, siram dengan air panas itu. Niscaya akan mati semua."
"Kalau begitu baiklah."
"Sekarang mari kita tidur dan bangunlah pagi-pagi mengerjakan segala suruhanku."
Keesokan harinya pagi-pagi betul kedua suami-istri itu sibuk menyiapkan segala rencana itu.
Men Cubling membuat air panas dan Pan Cubling mencoba berulangkali bagaimana cara tidur
berpura-pura mati agar tipu muslihatnya tidak
diketahui oleh kera-kera itu. Akhirnya semua
siap, Pan Cubling tidur diselimuti dengan
beberapa potong kain sedang Men Cubling
sambil air mata berlinang membuat air panas.
Keduanya berharap agar sandiwara ini berhasil.
Sekira jam 8.00 pagi di kejauhan terdengar
suara gaduh.
"Pak, Pak ne itu mereka datang, ayo tidur pura-
pura mati."
"Kau cepat ke dapur bikin air panas pura-pura
menangis. Kalau ditanya, hendak membuat
persiapan untuk tamu."
"Baiklah."
Begitulah Pan Cubling dan Men Cubling
mengerjakan rencananya dengan baik sekali.
Tiada berapa lama kira-kira 60 ekor kera telah
berada di pekarangan Pan Cubling. Melihat Men
Cubling menangis terisak-isak, I Bojog Peceh
bertanya padanya.
"Hei Men Cubling, mengapa kau menangis?"
"Malang nasibku Peceh, Pan Cubling semalam
telah mati."
"Mati?"
"Ya, kasihanilah aku Peceh. Janganlah kau arah padaku, A..... aku tahu kau datang bersama kawan-kawanmu hendak membalas dendam, ya,
Kalau kau rela, bunuhlah aku sekarang juga.
He,hu, hu."
"Aneh, kemarin Pan Cubling sehat, sekarang mati, Ah, sungguh kasihan aku."
"Hai kawan-kawan semua, saya minta janganlah kamu hendak merusak rumah atau membunuh Men Cubling."
"Sungguh kasihan dia. Bukankah dia hanya
seorang wanita?"
"Betul, jawab yang lain serempak!"
Mendengar itu Pan Cubling dan Men Cubling merasa tersenyum di hati, karena rupanya sandiwara mereka sudah hampir berhasil.
"Hai Men Cubling, apakah yang kami bisa
kerjakan untuk menolong kalian."
"Hai kera-kera semua, kau betul-betul baik hati.Tolonglah, buatkan aku lubang untuk
menguburkan Pan Cubling."
"Baiklah aku memasak makanan untuk kalian."
"Oh, kalau begitu baiklah."
Maka semua kera-kera itu bekerja dengan
giatnya. Sedang kera-kera itu sibuk bekerja I Bojog Peceh pergi ke balai tempat Pan Cubling berpura-pura mati.
"Pan Cubling, Pan Cubling kasihan engkau mati."Diperiksanya semua badan Pan Cubling.
Diambilnya sebatang kayu lalu ditusuknya lubang pantat Pan Cubling.
Pan Cubling katanya mati, tapi baru kutusuk lubang pantatnya, ia bergerak-gerak (kebing- kebing). Eh, eh aneh orang mati bisa bergerak.
Hal itu diketahui oleh Men Cubling segera ia memanggil I Bojog Peceh.
"Bojog Peceh. Apa yang kau kerjakan itu?"
"Pan Cubling mati, tapi baru kutusuk lubang pantatnya bergerak-gerak (kebing-kebing).
"Eh, kau tidak boleh mengganggu orang mati nanti arwahnya bisa kesasar."
"Oo, begitu kasihan Pan Cubling. Ia hanya hidup di pantat saja."
Sementara itu panas sudah terik dan lubang sudah dalam.
"Apa dalamnya tak cukup sekian, teriak seekor kera?'
"Mana?" kata Men Cubling sambil memeriksa dalam lubang itu.
"Oo, belum, lagi perdalam dan perlebar."
"Kalau begitu, hai kawan-kawan mari turun
semua ke dalam lubang agar pekerjaan kita cepat selesai," seru kera-kera itu.
Maka bersoraklah kera-kera itu masuk ke dalam lubang itu.
"Nanti kalian ku tutup dengan gedek, agar kalian tak kepanasan kata Men Cubling.
"Baiklah," seru kera-kera itu dari dalam.
Lubang itupun ditutupnya rapat-rapat oleh Men Cubling dengan gedek. Sesudah itu ia berlari membangunkan suaminya untuk bersama-sama menyiram kera-kera itu dengan air panas.
"Eh pak ne, segera bangun mari siram kera-kera itu."
Dengan tiada menjawab Pan Cubling bangun terus berlari ke dapur bersama istrinya.
Berperiuk-periuk air panas dituangkan ke dalam lubang itu. Maka hiruk pikuklah kera-kera itu di dalam lubang kubur. Ada yang mencoba keluar,ada yang berteriak kepanasan. Namun Pan
Cubling dan Men Cubling tiada menghiraukan mereka. Air panas terus dituangkan dan akhirnya
sepilah sudah suara kera-kera itu, karena
mereka sudah mati. Gedekpun dibuka dan ternyata tak seekor kera
pun yang masih hidup. Kecuali I Bojog Peceh yang masih hidup, ia lari tunggang-langggang ke hutan. Dan sejak itu tak ada lagi kera mengusik
Pan Cubling dan Men Cubling. Bukan main
gembira Pan Cubling dan Men Cubling. Bangkai kera itu dikeluarkan. Orang-orang kampung dipanggilnya dan terjadilah pesta daging kera yang sangat meriah.

Sumber : Bunga Rampai Ceritera Rakyat Bali oleh Ida Bagus Sjiwa & A.A. Gde Geria