Rabu, 11 November 2020

Asta Brata di Keraton Surakarta Hadiningrat Solo

Pada mulanya kraton Surakarta Hadiningrat dibangunsecara bertahap, tiap raja yang memerintah sesudah Paku Buwono II mengganti, menambah atau mengubah bangunan yang dirasa kurang cocok, disamping menambah beberapa perlengkapan yang belum ada. Panggung SONGGO BUWONO dibangun oleh raja Paku Buwono III terletak di dalam kompleks kraton serta berdekatan dengan Kori Sri Manganti. Pendirian Panggung Songgo Buwono bersamaan dengan pembangunan Kori Brojonolo dan Kori Sri Manganti. Panggung Songgo Buwono ditandai dengan titi mangsa yang menjadi tetenger atau tanda Sengkala yang terdapat dibagian atas bangunan tersebut sebagai "Nogo Muluk Tinitihan Jamna" disamping itu pada bagian atap terdapat hiasan "Nogo/ular dinaiki manusia" Sekala tulisan Jawa tersebut berarti : Nogo = 8, Muluk = 0, Nitih = 7, Jamna/manusia = 1, angka yang terkumpul adalah 8071 akan tetapi untuk dapat dipergunakan sebagai angka petunjuk tahun susunan tadi harus di balik menjadi 1708 tahun jawa atau 1782 tahun Masehi. Nama panggung Songgo Buwono tersebut juga merupakan suatu Candra Sengkala tersendiri yaitu : panggung = 8, duwur = 0, sangga = 7, buwono = 1 sehingga didapatkan 8071 dan harus di balik jika dipergunakan seabagai angka petunjuk tahun yaitu 1708 Jawa atau tahun 1782 Masehi, (Sudharta, 2015:viii).




Pura Tirtha Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Panggung Songgo Buwono merupakan penggambaran dari 8 sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja yang berkuasa agar dapat menjalankan pemerintahan secara baik. Kedelapan sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja tersebut terkenal sebagai ASTA BRATA yang merupakan suatu ajaran dari Prabu Ramawijaya kepada Bharata sebelum diwisuda menjadi raja. Asta Brata merupakan 8 pedoman pokok yang sangat ideal bagi raja yang berkuasa, kedelapan ajaran utama tersebut adalah:

1. Watak Matahari: matahari mempunyai sifat panas dan berfungsi sebagai pemberi sarana kehidupan. Seorang raja harus dapat berfungsi sebagai matahari yang dapat memberikan semangat dan kehidupan bagi rakyatnya.

2. Watak Bulan: Bulan berwujud indah serta menerangi dalam kegelapan. Seorang raja harus dapat berfungsi seperti bulan yaitu memberi penerangan serta dapat membimbing rakyatnya yang berada dalam kegelapan.

3. Watak Bintang: Bintang mempunyai bentuk yang manis serta dapat menjadi pedoman bagi mereka yang kehilangan arah. Dalam hal ini raja harus dapat berfungsi sebagai contoh/teladan serta menjadi panutan bagi masyarakat.

4. Watak Angin: Angin bersifat mengisi ruangan kosong. Seorang raja harus dapat bertindak secara teliti dan bijaksana disamping harus dapat menyelami kehidupan masyarakat.

5. Watak Mendung: Mendung merupakan sifat menakutkan akan tetapi bila hujan telah turun dapat bermanfaat bagi masyarakat. Seorang raja harus dapat berwibawa kepada rakyatnya.

6. Watak Api: api mempunyai sifat tegak serta dapat membakar apa saja. Seorang raja harus dapat bertindak adil, mempunyai prinsip disiplin, tegas dalam bertindak.

7. Watak Mamudra: Samudra bersifat luas dan mampu menampung segala macam bentuk isi. Seorang raja harus memiliki pandangan yang luas serta sanggup menerima segala macam persoalan.

8. Watak Bumi : Bumi memiliki sifat suci serta sentosa. Dalam hal ini seorang raja harus mempunyai sifat yang jujur, berbudi luhur serta mau memberi anugerah kepada siapa saja yang telah berjasa kepada negara.

Demikianlah 8 asas kepemimpinan yang terdapat dalam Asta Brata yang memiliki makna mendalam bagi setiap raja, sebab bila seorang raja tidak melaksanakan ASTA BRATA berarti dia sebagai raja yang tak bermahkota dan ini berarti dia sebagai raja yang tidak baik.

Pendirian Panggung Songgo Buwono erat sekali hubungannya dengan ajaran Asta Brata ini, karena pendirian bangunan ini mengandung suatu tujuan untuk mengingatkan kepada raja yang memerintahkan akan adanya 8 sifat utama yang harus dimiliki. Pada bagian atas bangunan Panggung Songgo Buwono terdapat suatu ruangan yang disebut "Tutup Saji" di tempat ini merupakan tempat pertemuan antara raja Paku Buwono dengan Nyai Roro Kidul, (Sudharta, 2015:ix).

Dengan adanya perkawinan mistis tersebut kewibawaan raja menjadi bertambah besar. Adanya perkawinan ini telah menempatkan raja bukan hanya sebagai manusia biasa melainkan manusia yang memiliki kekuatan gaib "supra natural". Pembangunan Panggung Songgo Buwono tersebut erat sekali hubungannya dengan mithos tentang perkawinan antara Nyai Roro Kidul dengan raja-raja yang berkuasa di Surakarta. 

Dagang Banten Bali


Demikianlah antara lain isi Kakawin Ramayana secara ringkas yang tidak sedikit mengandung ajaran-ajaran kesusilaan dan kebajikan. Di dalam 2.771 baitnya tersimpan ajaran-ajaran hidup yang sangat bernilai dalam bidang politik pemerintahan, strategi perang, amanat penderitaan rakyat, kehidupan sosial serta ajaran etika dan agama yang semuanya disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa wiracarita Ramayana merupakan satu sumber kepribadian bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa dalam Ramayana "banyak pelajarannya, indah-indah perhiasannya, lagi gagah bahasanya. Seumur hidup belum pemah saya membaca kitab Jawa (Kuna) yang memadai kitab Ramayana", (Sudharta, 2015:ix).

Referensi:

Sudharta, Dr. Tjok Rai. 2015. Asta Brata di Abad Millenium. Denpasar: ESBE buku.

Minggu, 08 November 2020

Korupsi Menurut Perspektif Hindu Dan Hukumnya

Secara etimologi Korupsi dalam bahasa Yunani berarti “corruplate” yang artinya mengambil atau mencuri barang orang lain tampa ijin sang pemilik. Dalam bahasa latin Korupsi sama dengan “Corruptio” yang artinya rusak atau busuk atau menyogok, memutar balikkan, menggoyahkan.


Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI.Online) Korupsi yaitu penyelewengan atau penyalagunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (KBBI Daring, Online. Diakses tanggal 14 Februari. Pukul 12:58 Wib)




Foto: Mutiarahindu.com
Dari penjelasan diatas, mutiara hindu dapat menyimpulkan bahwa Korupsi adalah tindakan mencuri, mengambil, merusak, barang orang lain tampa sehingga merugikan orang lain.


Korupsi Menurut Pandangan Hindu


Korupsi dalam agama hindu dapat dipandang sebagai tindakan yang melawan Dharma atau Hukum Rta. Dalam konsep Tri Kaya Parisudha, maka korupsi adalah tindakan yang tidak benar karena melanggar Manacika (berfikir yang benar), Wacika (berkata yang benar) dan Kayika (berbuat yang benar).


Kemudian jika kita memperhatikan etimologi diatas korupsi adalah bagian dari Panca Ma yaitu lima tindakan (perbuatan) yang dapat menjauhkan manusia dari jalan dharma sehingga terjerumus kedalam kegelapan. Ada pun dari kelima bagian-bagian Panca Ma adalah (1) Madat (mengisap candu seperti narkoba), (2) Memunyah (mabuk-mabukan akibat minuman keras atau sejenisnya), (3) Metoh atau juga disebut Memotoh yaitu perbuatan Judi, (4) Madon (gemar bermain perempuan, memitra atau bersina), dan Mamaling (mencuri atau korupsi).


Mamaling sama halnya dengan korupsi yaitu mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan sang pemilik. Mamaling juga dapat diartikan tindakan yang melanggar hukum negara maupun hukum rta sebab merugikan orang lain.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Korupsi dalam agama hindu juga merupakan tindakan yang melanggar Catur Purusa Artha dimana seseorang harus mengutamakan Dharma (kebenaran) untuk memperoleh Artha (harta benda) dan Kama (keinginan) demi mencapai tujuan hidup yakni Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma (kebahagian di dunia dan akhirat).


Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah kondisi yang terbangun karena melawan hokum kerja (rta) dimana sang koruptor ingin mendapatkan sesuatu bukan dari hasil kerja keras sehingga merugikan negara. (Sri Wedari.2015:14)


Penyebab Orang Korupsi Menurut Hindu


Perbuatan korupsi di Indonesia saat ini sangat banyak terjadi di kalangan pemerintah negara. Hal ini terjadi karena penggunaan wewenang dan kebijakan diluar hukum. Dampak dari hal ini adalah negara mengalami kerugian sehingga pembangunan sumber daya manusia semakin terhambat. Tindakan seperti ini tentunya tidak sesuai dengan ideology negara yakni mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.


Tindakan kejahatan seperti ini, bukan hal yang biasa, dalam kitab suci agama hindu telah diprediksi bahwa di Jaman Kali Yuga ini, kejahatan akan lebih banyak dari pada kebaikan dimana kejahatan 75 persen sedangkan kebaikan hanya 25 persen. Selain itu, penyebab orang korupsi yakni tidak adanya pengendalian terhadap Sad Ripu yang ada dalam diri setiap manusia. Ke enam musuh tersebut yakni (1) kama yaitu nafsu atau keinginan yang berlebihan sehingga melampau batas kemampuan; (2) Tamak atau sifat rakus yang ada pada diri manusia; (3) Krodha yaitu sifat marah yang terlalu berlebihan; (4) Moha yaitu sifat bingung atau awidya; (5) Mada yaitu sifat mabuk baik karena harta mau pun keinginan atau minuman; dan (6) Matsarya yaitu sifat dengki atau iri hati.


Ke enam sifat diatas dapat mengakibatkan runtuhnya kemulian (seperti Korupsi) manusia. Selain itu dugaan lain yang dapat membuat orang korupsi yakni, bahwa karena tingginya tingkat materialisme tanpa adanya kendali kerohanian ataupun sentuhan spiritual. Untuk itu, perlu adanya penegakan “dharma”. Sebab, Tanpa dharma, maka korupsi akan terus terjadi. Tanpa dharma maka manusia yang menyimpang dari undang-undang, peraturan dan sebagainya. Manusia akan berhadapan dengan polisi, jaksa, hakim dan pejabat justisi lainnya.


Hukum Pelaku Korupsi Menurut Pandangan Hindu


Telah dijelaskan diatas bahwa korupsi adalah tindakan yang melawan hukum rta atau dharma. Sehingga perlu adanya penegakan kembali seperti disebutkan dalam Bhagavad Gita IV.8 bahwa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran dan menegakkan kembali kebenaran (dharma), maka Tuhan sendiri akan turun kedunia.


Dari sloka diatas dapat dijelaskan bahwa pelaku korupsi akan mendapatkan hukuman dari Tuhan itu sendiri. Namun, belum dipastikan kapan dia akan mendapat hukuman itu. Sebab dalam agama Hindu dikenal adanya tiga jenis karma yaitu sebagai berikut:

Sancita Karmaphala yaitu perbuatan kita yang lalu masih ada sehingga menentukan hidup kita sekarang. Misalnya dahulu anda melakukan korupsi yang merugikan negara sangat banyak, sehingga anda dipenjara, dan akhirnya meninggal di dalam penjara. Pada kehidupan hari ini anda hidup menderita sebab hukuman terhadap anda dahulu belum selesai dan harus ditanggung dikehidupan sekarang.
Prarabdha Karmaphala yaitu perbuatan sekarang hasilnya dinikmati sekarang. Contoh konkrit yang dapat kita lihat yakni banyak video di media social menampilkan seseorang melakukan perampokan dan pada saat lari menyelamatkan diri justru ditabrak kendaraan.
Kriyamana Karmaphala yaitu perbuatan kita hari ini atau sekarang hasilnya akan dinikmati pada kehidupan mendatang. Misalnya saat ini, anda melakukan korupsi tetapi karena kelicikan anda akhirnya lolos dari hukuman. Pada kelahiran berikutnya anda akan mendapatkan kesengsaraan seperti kekurangan ekonomi dan lainnya atau bisa saja menjadi orang hina.

Dagang Banten Bali


Ketiga jenis karma diatas diperkuat dengan kayakinan umat Hindu dengan adanya Hukum Karma Phala yaitu hokum sebab akibat setiap karma (perbuatan) akan mendatangkan hasil atau buah, apabila karma yang diperbuat adalah karma baik maka buah atau phala yang diperoleh adalah kebaikan. Demikian pula sebaliknya bila karma yang dibuat adalah karma yang buruk maka buah Karma Phala yang diterima adalah karma buruk yang diterimah adalah hasil keburukan.


Kemudian di dalam Sarasamuccaya 267 dikatakan bahwa


“biarpun orang berketuruna mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain, maka hilanglah kearifanya karena kelobaannya; apabila telah hilang kearifannya itu itulah menghilangkan kemuliaanya, keindahannya dan seluruh kemegahanya”.


Sloka diatas mempertegas bahwa hukuman terhadap pelaku korupsi tidak memandang status social seseorang, baik itu raja, presiden, menteri atau keturunan dari orang terpandang jika melakukan korupsi, maka kemuliannya akan hilang. Hal ini dipertegas lagi di dalam Sarasamuccaya 149 yang berbunyi demikian:


“Jika ada orang yang merampas kekayaan orang lain dengan berpegang kepada kekuatannya dan banyak pengikutnya, malahan bukan harga kekayaan hasil curianya saja yang terampas darinya, tetapi juga dharma, artha dan kamanya itu turut terampas oleh karena perbuatanya, (yang mencuri malahan kehilangan lebih banya)”.



RELATED:
Pandangan Hindu Mengenai Kehamilan dan Kelahiran
Konsep Arca Menurut Veda dan Susastra Veda
Perang Asimetris Dari Mahabharata Hingga Kini
Sloka Sarasamuccaya 149 mempertegas bahwa seseorang yang mengambil barang orang lain atau korupsi akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang dilakukan. Dikatakan berat karena bukan saja hartanya yang terampas tetapi juga, kehormatanya, keinginannya dan kepercayaanya. Contoh kecilnya dapat kita lihat sekarang yakni pejabat korupsi yang akhirnya kehilangan jabatan, kekuasaan dan kepercayaannya setelah tertangkap kpk.


Di dalam hukum Hindu memang tidak ada hukum yang tertulis yang langsung menjatuhkan vonis hukuman kepada para pelaku namun hukuman tersebut sifatnya niskala yang kita tidak tahu kapan dan bagaimana hukuman itu kita terima, bisa saja pada kehidupan sekarang bisa secara langsung dan bisa juga pada kehidupan yang akan datang.


Hukuman dalam veda adalah Rta dan Dharma yang keduanya merupakan hukum dalam ilmu hukum Hindu, Rta adalah hukum alam yang bersifat abadi sedangkan dharma adalah hukum duniawi baik ditetapkan maupun tidak ditetapkan.


Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hendaknya seseorang tidak melakukan korupsi sebab akan berdampak pada luka yang mendalam. Dalam mencari artha dan kama harus mengutamakan dharma sebab tidak ada artinya artha yang diperoleh menyimpang dari jalan dharma.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/korupsi-menurut-perspektif-hindu-dan.html
Sri Wedari, Ni Nengah. 2015. Hukum Pelaku Korupsi Menurut Hindu. Dempasar: IHDN
Yani, Komang Sri. 2015. Hukum Pelaku Korupsi dalam Hindu.Mataram: STAH GDE PUDJA.
¬_. 1991. Sarasamuccaya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.

Selasa, 03 November 2020

Pandangan Hindu Mengenai Kehamilan dan Kelahiran



Pernikahan menyatuhkan seorang pria dan wanita dan meraka memulai sebuah hidup baru dimana mereka saling melengkapi. Hindu percaya bahwa baik pria maupun wanita tidaklah lengkap. Bersama-sama mereka menciptkan gambar yang utuh. Ini adalah langkah pertama dalam membentuk keluarga.


Tujuan terpenting dari pernikahan adalah untuk menghasilkan anak-anak. Setiap pasangan ingin memiliki anak-anak yang cakap, sehat, cerdas, yang memiliki nilai-nilai moral yang tinggi dan memberi kebanggaan dan kebahagiaan (Bhalla, 2010 : 159).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Merupakan hal yang alami bila pria dan wanita intim secara fisik, pada saat tertentu sang wanita akan mengandung dan melahirkan anak. Tetapi tidak semua anak memiliki kualitas yang diinginkan orang tuanya.



Foto: Caturyudiantara

Dipercaya bahwa bila seorang pria dan wanita menginginkan seorang anak yang cakap itu harus direncanakan dengan baik.


Perencanaan tidak hanya menyangkut tentang waktu yang tepat saat pasangan tersebut sudah siap untuk memiliki anak, tetapi juga keselarasan fisik dan emosi antara keduanya.


Keduanya harus mencita-ciatakan sebuah keluarga bahagia. Keselarasan emosi inni akan menurun pada anak. Adalah karena alasan ini Hindu mennnyebut putra sebagai atmaj dan seorang putri sebagai admaja, yang mana keduanya berasal dari kata atma (jiwa) atau diri. Baik putra maupun putri berhubungan dengan diri.



Dalam Smriti Sangrah ada sebuah referensi mengenai kehamilan yang berbunyi demikian:


“Sebuah penyatuan yang direncanakan pada pasangan, akan memastikan kehamilan yang pantas sehingga akan menghasilkan anak yang cakap. Kualitas-kualitas negative dalam semen dan ovum akan menjadi tidak efektif. Sebuah kehamilan yang baik adalah hasil dari pengertian dan perencanaan mutual”.


Penelitian medis telah menyatakan bahwa keadaan mental pria dan wanita saat melakukan hubungan intim mempengaruhi karakteristik yang dibawa melalui semen dan ovum. Seorang anak merupakan cerminan dari ikatan emosional ayah dan ibunya, (Bhalla, 2010 : 160).
Dalam Sushrat Samhita, Sharir, 2/46/50, dikatakan:


“Tergantung pada diet, temperamen, dan kelakuan pria dan wanita saat melakukan hubungan intim, putra yang terlahir dari penyatuan seperto itu juga akan memiliki temperamen yang sama”.


Dewa Dhanvantri mengatakan bahwa tergantung pada jenis pria yang bagaimana yang diinginkan wanita saat melakukan hubungan intim di antara siklus menstruasi, ia akan dianugerahi dengan seorang putra.


Bila seorang putra ingin agar anaknya cakap seperti suaminya. Atau gagah berani seperti Abhimanyu, ia harus membayangkan mereka.


Bila ia ingin anaknya berbakti seperti Dhruva, atau memiliki pengetahuan jiwa seperti Janak atau murah hati seperti Karan, ia harus melihat gambar-gambar orang-orang hebat ini.


Dengan pikiran murni ia harus memikirkan mereka dan melakukan hubungan intim pada saat yang tepat. Cipercaya bahwa saat yang paling tepat untuk melakukan hubungan intim adalah antara jam 12 malam sampai jam 3 pagi. Seorang anak dihasilkan pada waktu ini akan menjadi anak religious dan berbakti kepada Brahman.

Dagang Banten Bali


Berseberangan dengan banyak keyakinan, dalam jalan hidup Hindu, hubungan seksual antara pasangan dianggap sebagai sebuah tanggung jawab suci. Pasangan harus memikirkan Dewa dan Dewi pujaan mereka serta meminta anugrah mereka. Dengan demikian, mereka akan dianugerahi anak-anak yang baik Bhalla, 2010 : 161).


Dalam Brihadaranyak, 6/4/21, disarankan bahwa sebelum melakukan hubungan intim dengan tujuan untuk memperoleh kehamilan, Brahmin, Kshatriya dan Vaishya harus membaca mantra:


“Wahai Dewa Siniwali! Wahai Dewi Prathustuka yang berbokong besar! Anugerahilah wanita ini agar ia bisa mengandung. Semoga kehamilannya disucikan oleh kedua Ashvani Kumar dan dihiasi dengan rangkaian bunga teratai”.


Agar dapat dianugrahi dengan anak-anak baik, beberapa larangan juga harus diterapkan dalam hubungan fisik antara pasangan. Sebagai contoh, seorang tidak boleh melakukan hubungan intim saat ia tidak bersih atau selama siklus mestruasi.


Juga dikatakan bahwa melakukan hubungan intim di pagi hari atau sore hari tidaklah baik. Juga dianjurkan agar seseorang tidak mengandung pada saat khawatir, takut, marah, dan dalam keadaan mental yang tidak stabil. Anak-anak yang dikandung pada keadaan yang disebutkan di atas akan memiliki watak dan kebiasaan yang buruk.



RELATED:
Peran Ibu Sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama Menurut Perspektif Hindu
Konsep Arca Menurut Veda dan Susastra Veda
Perang Asimetris Dari Mahabharata Hingga Kini
Raksasa Hiranyakashipu, putra Kashyap dan istrinya Diti, terlahir sebagai raksasa karena ia dikandung pada sore hari. Hubungan fisik juga dilarang pada saat hari-hari shraddh, saat upacara religious dilaksanakan atau pada saat maam muda Bhalla, 2010 : 162).


Hubungan seksual yang baik merupakan sesuatu yang penting dalam jalan hidup Hindu. Dalam Bhagavad Gita 7.11 dijelaskan:


“Balam Balavatam Caham Kama-Raga-Vivarjitam Dharmaviruddho bhutesu kamo ‘smi bharatarsabha”


Artinya:


“Aku juga adalah kekuatan dari orang-orang perkasa, bebas dari nafsu dan keinginan. Dan, wahai yang terbaik dalam keturunan bangsa Bharata, Aku adalah hawa nafsu yang ada dalam diri setiap makhluk yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip suci".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/06/padangan-hindu-mengenai-kehamilan-dan.html


Darmayasa. 2014. Bhagavad-gita (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam.
Bhalla. Prem P. 2010. Tata Cara, Ritual dan Tradisi Hindu (Editor: I Ketut Donder/ Alih Bahasa: Diah Sri Pandewi). Surabaya: Paramita.

Senin, 02 November 2020

Peran Ibu Sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama Menurut Perspektif Hindu

Peran ibu sebagai penyelenggara Aktivitas Agama, dalam keluarga Hindu sangat jelas Tampak, karena sebagaian besar dilaksanakan oleh para wanita atau kaum ibu-ibu. Akan hal ini sesuai dengan tuntunan petunjuk suci pustaka Manawadharmasastra III dalam sloka 55, 56, 57, 58, menyatakan sebagai berikut:



Pitrbhir bhratrbhic



Caitah patibhir dewarais tatha

Pujya bhusayita wyacca

Bahu kalyanmipsubhin.

Terjemahan:

Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.

Kemudian Sloka 56 berbunyi demikian:

Yatra naryastu pujyante

Ramante tatra dewatah

Yatraitastu na pujyante

Sarwastaraphalah kriyah

Terjemahan:

Dimana wanita dihormati, disanalah para Dewa-Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berphala.

Berikutnya Sloka 57 berbunyi demikian:

Cocanti jamayo yatra

Winacyatyacu tatkulam

Na cocanti tu yatraita

Wardhate taddhi sarwada

Terjemahan:

Dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.

Selanjutnya Sloka 58 berbunyi demikian:

Jamayo yani gehani

Capantya patri pujitah

Tani krtyahatanewa

Winacyanti samantatah

Terjemahan:

Rumah diaman wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

Berdasarkan pada tuntunan pustaka suci tersebut, bila disesuaikan dengan kenyataannya, memang besar kebenaranya, karena sebagain besar aktivitas agama, ditangani oleh para ibu-ibu.

Lebih jauh dalam pustaka suci Manusmerti XI sloka 28, juga ada dinyatakan sebagai berikut:

Apatyam dharmakaryanicucrusaaratiruttama

Daradhinastathaaswargahgahpitrinam atmanacca ha.

Terjemahan:

Anak-anaka, upacara agama, pengabdian kebahagian rumah tangga, surge untuk leluhur maupun untuk diri sendiri (semua) didukung oleh istri.

Pengamalan dari tuntuna-tuntunan pustaka suci tersebut, dalam kehidupan ibu sebagai penyelenggara aktivitas agama pada keluarganya, diwujudkan dalam pelaksanaan-pelaksanaan upacara, misalnya setelah selesai memasak di dapur sebelum makan, diselengarakan upacara Jadnya Sesa dengan mempersembahkan banten jotan atau saiban, yang terdiri dari hasil masakan berupa sesuap nasi lengkap dengan lauk pauknya. Upacara adalah salah satu kerangka agama Hindu yang paling kongkrit kegiatannya, yaitu merupakan suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan dirinya dengan Hyang Widhi Wasa melalui suatu persembahan berupa Yadnya. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Essensi daripada agama adalah Yadnya, yaitu suatu persembahan atau korban suci yang didasari dengan pikiran yang tulus ikhlas terhadap Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya. Semua upacara itu dibuat berdasarkan Susila/Etika dan mempunyai inti hakekat yang terkandung di dalamnya yang disebut dengan Tattwa. Dengan demikian, maka pada setiap pelaksanaan upacara agama Hindu, sebenarnya ketiga kerangka agama yang terdiri dari Tattwa, Susila/Etika dan Upacara telah menyatu dilaksanakan, karena ketiga-tiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan. Bila dikaji secara mendalam, dalam pelaksanaan upacara Yadnya Sesa/Masaiban atau Ngejot itu, maka pelaksanaan Ngejot adalah upacara, yang diwujudkan berupa banten, sekaligus berfungsi sebagai alat atau sarana. Adapun waktu untuk mempersembhakannya yaitu setelah selesai memasak sebelum makan adalah susila atau etikanya, itu mempunyai makna mendahulukan Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya yang telah membantu penyelesaian proses dari bahan mentah hingga menjadi masak dan siap untuk dimakan.

Kerangka Tattwanya terletak pada makna dan tujuan dari pelaksanaan upacara Yadnya Sesa itu, yaitu berfungsi sebagai uacapan terimah kasih manusia atas karunia Hyang Widhi/manifestasi Beliau, telah membantu dengan selamat kepada umatNya berupa perlindungan dalam bentuk makanan, untuk kesegaran dan kesehatan perkembangan tubuhnya.

Selain itu, juga bermakna untuk memohon maaf atas segala kesalahn, kekurangan yang mungkin diperbuat selama melaksanakan proses tersebut. Disamping itu juga Persembahan atau Yadnya itu merupakan wakil atau saran wujud nyata dari manusia untuk mengucapkan rasa terimah kasihnya, yang kesemuanya itu juga sarananya berasal dari segala ciptaan Beliau. Dengan demikian, maka fungsi pokok dari pelaksanaan upacara dan upakara itu adalah secara lahir untuk mewujudkan keseimbangan antara yang memberi dengan yang menikmati dan secara batin merupakan pengendalian hwa nafsu dari manusia terhadap Tuhan selaku sumber-Nya.

Pelaksanaan ini didasarkan atas tuntunan pustaka suci Bhagawadgita III dalam ajaran Karmayoga, yang termuat dalam sloka 10, 11,12,13,14 yang berbunyi sebagai berikut:

Sloka 10:

Pada jaman dahuku kala prajapati menciptkan manusia dengan Yadnya dan bersabda; dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

Sloka 11:

Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.

Sloka 12:

Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau ingini. Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri.

Sloka 13:

Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingan sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.

Sloka 14:

Dari makanan makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan dari yadnya lahir dari pekerjaan.

Demikian dasar-dasar dari pelaksanaan upacara-upacara yang dilaksanakan dengan yadnya, sehingga bila hal itu disimpulkan, bahwa hidup ke dunia ini adalah merupakan yadnya, maka itu harus ditempuh dengan beryadnya pula, karena Hyang Widhi yang merupakan sumbernya ini melaksanakan semua yang ada di muka bumi ini beserta segala isinya, adalah melalui Yadnya pula.

Mengenai tempat-tempat mempersembahkan banten jotan, saiban atau yadnya sasa itu, dalam pustaka suci Manawadharmasasstra III sloka 68 dan 69 dijelaskan bahwa:

Sloka 68:

Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu, lesung dengan alunya, tempayan tempat air, dengan pemakaian mana ia diikat oleh belenggu dosa.

Sloka 69:

Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu, para Maha resi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.

Melalui pengamalan upacara Yadnya Sesa/Masaiban atau Ngejot itu, tiap keluarga setiap harinya telah melaksanakan secara rutin, dan malahan jumlah yang dipersembahkan bukan lima buah saja, kadang-kadang keluarga yang kecil saja bisa sampai membuat di atas dua puluh lima buah, apalagi kalau keluarga yang besar, sudah tentu lebih banyak dari jumlah itu, sampai satu tempeh atau satu nyiru. Banten jotan itu dipersembahkan berkeliling di semua tempat yang diyakini membantu dalam kehidupannya, yaitu dari tempat suci, tempat hidup, bekerja sampai ke tempat-tempat pembuangan sampah/Song Sombah yaitu saluran air keluar dari rumah pekarangan keluarga.

Penyelenggaraan upacara agama tersebut umumnya ditempuh melalui jalan Bakti Marga dan Karma Marga. Dilain pihak juga bagi mereka yang batinnya sudah kuat dan pengendalian dirinya sudah tinggi, maka jalan Jnana Marga dan Raja Marga ada pula pula yang melaksanakan, yaitu melalui berdoa dan memakai mantra. Ajaran agama Hindu memang sangat luwes, dapat dilaksanakan sesuai dengan Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan) dan dalam tingkatan yang kecil (nista), Madia (menengah) dan Utama ( besar), karena ajarannya mengatasi ruang dan waktu sifatnya. Untuk keluwesan ini pustaka suci Bhagawadgita Bab IV sloka 11 menyebutkan sebagai berikut:

"Dengan jalan bagaimana pun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu juga, Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti jalanKu, O Partha.

Berikut ini untuk tuntunan beberapa mantra atau doa untuk pelaksanaan makan, setelah mempersembahkan Yadnya Sesa, patut pula diberikan oleh para ibu dan dilatihkan pada anak-anaknya secara berkelanjutan, adalah sebagai berikut:

Mantra Saat Duduk Menghadapi Makanan/Hidangan

"Om purnam adah purnam idam

purnat purnam udasyate

purnasya purnam adaya

purnam evawasisyate"

Terjemahan:

"Om Hyang Widhi yang Maha Sempurna dan yang membuat alam ini sempurna. Engkau Maha Kekal. Hamba dapat Makanan yang cukup berkat anugrahMu, hamba menghanturkan terimah kasih".

Mantra Sebelum Memulai Mencicipi Makanan

"Om Anugraha Amrtadi Sanjiwani ya Namah Swaha"

Terjemahan:

"Om Hyang Widhi, semoga makanan ini menjadi penghidup hamba lahir dan batin serta suci".

Mantra Selesai Makan

"Om dirghayur astu, awighnamastu, subham astu,

Om Criyam bhawantu, sukham bhawantu, purnam

bhawantu, ksama sampurna ya namah swaha.

Om Santi Santi Santi Om"

Terjemahan:

"Om Hyang Widhi, semoga makanan yang masuk ke dalam tubuh hamba, memberikan kekuatan dan keselamatan, panjang umur dan tidak mendapatkan sesuatu halangan apapun. Om Hyang Widhi damai di hati, damai di dunia dan damai selamanya.

Swadharma Ibu sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama adalah sangat dominan yaitu dari membuat, mempersembahkan dengan doa atau mantra, yang pada dasarnya adalah untuk memohon keselamatan diri pribadi dan keluarga serta leluhur di dalam keluarganya tiap-tiap hari.

Di samping melaksanakan mesaiban/ngejot, juga pelaksanaan upacara persembahyangan Trisandhya yaitu sebanyak tiga kali sehari pada pagi, siang dan soreh/malam hari. Untuk menuntunya di sekolah juga telah dilaksanakan oleh Bapak/Ibu Guru, namun untuk di rumah juga perhatian dari ibunya sangat diperlukan, karena kesemuanya itu adalah bertujuan untuk memohonkan keselamatan atas segala ciptaan beliau di dunia tiga lain, yaitu di atas, tengah dan bawah, yang merupakan lingkungan hidupnya manusia, agar tetap diberikan kedamaian sepanjang masa.

Dagang Banten Bali


Selain itu juga swadharma ibu di keluarga menyelenggarakan aktivitas agama untuk upacara-upacara yang sifatnya berkala, misalnya setiap kliwon yaitu Masegeh (mempersembahkan korban suci berupa suguhan nasi dengan lauk pauk bawang merah, jahe dan garam) kepada para Bhutakala, yang mungkin mengganggu kelalaian manusia dalam kehidupannya. Di samping itu juga upacara-upacara Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, Anggara Kasih, Buda Kiliwon, Buda Cemeng, Tumpek, Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Tawur Ka Sanga menjelang hari Raya Nyepi dan lain sejenisnya, sesuai dengan Desa, kala dan Patra.

Untuk perwujudan upacara-upacara tersebut, sudah tentu didahului dengan berbagai persiapan-persiapan seperti membuat jajan, majajahitan, matanding (mengatur semua sarana upakara menjadi banten) dan langsung mempersembahkan sampai selesai.

Untuk kesemarakan pelaksanaannya, disertai pula dengan Kidung Wargasari, yang juga sebagian besar didukung oleh para ibu-ibu dan kaum wanita lainnya seperti yang masih remaja-remaja. Untuk kelangsungannya juga kepada generasi penerus, patut di bimbing oleh para kaum ibu di masing-masing keluargannya.

Khusus untuk upacara yang erat kaitannya dengan manusia dari lahirnya hingga dewasa dan tua, ada beberapa upacara penting yang patut diselenggarakan oleh ibu-ibu terhadap anak atau anggota keluargannya yang disebut daur ulang atau Manusa Yadnya itu adalah:

1. Upacara bayi lahir.

2. Upacara Kepus puser/Panelahan.

3. Upacara bayi 12 hari/ngelepas hawon.

4. Upacara Turug Kambuhan/42 hari.

5. Upacara Nyambutin/3 bulan.

6. Upacara Oton.

Upacara Oton ini diwajibkan setiap enam bulan sekali supaya tetap diperingati, karena bertepatan dengan hari lahir yang tepat dengan hari, (sapta wara), Pancawara dan Wuku, untuk mohon tuntunan kehadapan Hyang Widhi/manifestasi-Nya dari leluhur kepada yang turun menjelma.

Semua upacara-upacara tersebut, bertujuan untuk membersikan dan menyucikan diri pribadi secara lahir dan batin yang dimohonkan kehadapan Hyang Widhi sebagai sumber-Nya.

Demikianlah Swadharma Ibu sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama, yang selalu sibuk dalam kehidupannya sehari-hari, semata-mata untuk mengabdikan dirinya kepada keluarganya secara lahir dan batin.




Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2020/10/peran-ibu-sebagai-penyelenggara.html



Sri Arwati, Dra Ni Made.2016. Ibu dalam Keluarga Hindu. Denpasar: ESBE buku.

Selasa, 27 Oktober 2020

Mengenal Bhagavadgītā dan Sifat Daivi Sampad dan Asuri Sampad

Bhagavadgītā merupakan salah satu kitab suci agama Hindu. Bhagavadgītā digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan. Kitab suci Bhagavadgītā juga disebut dengan Pancama Veda. Kata Pancama Veda berarti Veda yang kelima. Kita mengenal kitab catur Veda meliputi, Ṛgveda, Sāmaveda, Yayurveda, dan Atharvaveda. Veda yang kelima adalah Bhagavadgītā. Kitab suci Bhagavadgītā adalah percakapan antara Śrī Kṛṣṇa dan Arjuna. Śrī Kṛṣṇa memberikan nasihat kepada Arjuna sebelum berperang.


Sebelum berperang, Arjuna merasa ragu dan sedih karena harus berperang dengan kakek, guru, dan saudara-saudaranya. Ketika itu, Śrī Kṛṣṇa memberikan nasihat dan ajaran-ajaran tentang kehidupan. Isi kitab suci Bhagavadgītā salah satunya mengajarkan kita tentang perbuatan yang harus dilakukan dan perbuatan yang harus dihindari, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 26).

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Pengertian Daivi Sampad dan Asuri Sampad


Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang didasari sifat deva atau Daivi Sampad. Perbuatan yang tidak baik adalah perbuatan yang didasari sifat raksasa atau Asuri Sampad.

Baca: Contoh Sifat Daivi Sampad dan Sifat Asuri Sampad dalam Kitab Bhagavadgītā


Sloka-Sloka Bhagavadgita


Kitab suci Bhagavadgītā berisi ajaran-ajaran dan nasihat-nasihat Kṛṣṇa kepada Arjuna mengenai kehidupan dan pencapaian kepada Tuhan. Kitab suci Bhagavadgītā terdiri atas 700 sloka. Sloka-sloka itu dapat kita pelajari sebagai pedoman hidup. Berikut salah satu sloka yang patut kita hafalkan sebagai bahan latihan belajar membaca slok.



"dvau bhūta-sargau loke’smin,
daiva āsura eva ca,
daivo vistaraśaḥ prokta,
āsuraṁ pārtha me śṛṇu", (Bhagavadgītā, XVI.6)


Terjemahannya


"Ada dua macam makhluk ciptaan di dunia ini, yang mulia dan yang jahat, yang mulia telah diuraikan secara rinci, selanjutnya dengarkan tentang yang jahat, dari aku, wahai Pārtha (Arjuna)",
(Pudja: 2004: 374).


Sifat manusia dibedakan menjadi dua macam, yaitu baik dan buruk. Dua sifat tersebut berada di dalam diri manusia dan akan memengaruhi perilaku manusia. Melalui wiweka, manusia dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Selain itu, manusia dapat mengetahui perbuatan mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 27).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Keutamaan lahir sebagai manusia adalah untuk melakukan karma yang baik. Karma yang baik berguna untuk memperbaiki tingkat kelahiran dan mencapai kebahagiaan abadi. Dalam kitab Sārasamusccaya 2 dijelaskan bahwa:


"mānusah sarvabhutesu varttate vai subhāsubhe asubhesu samavistam subhesvevāvakārayet"


Terjemahannya


"Hanya manusia yang mempunyai kemampuan dengan mengenal perbuatan baik dan buruk, salah dan benar, serta mampu melebur yang buruk menjadi baik. Kemampuan ini sebagai salah satu kelebihan manusia yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi", (Kajeng: 2003: 8)


Sifat Daivi Sampad dan Asuri Sampad



Manusia adalah ciptaan Sang Hyang Widhi yang paling utama. Manusia memiliki Tri Pramana, yaitu sabda (suara), bayu (tenaga), dan idep (pikiran). Pikiran berfungsi sebagai pengendali indriya. Oleh karena itu, kita harus dapat mengendalikan pikiran dengan menjalankan ajaran tri kaya parisudha. Dari pikiran yang baik, akan muncul perkataan yang baik dan diwujudkan dengan perbuatan yang baik, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 28).


Perbuatan menyebabkan manusia mendapat kebahagiaan atau penderitaan, bergantung pada sifat mana yang akan diterapkan dalam kehidupan. Dalam kitab Bhagavadgītā, kecendrungan sifat manusia dibedakan menjadi dua jenis. Kedua jenis sifat itu, yaitu kencenderungan sifat deva (Daivi Sampad) dan kecendrungan sifat raksasa (Asuri Sampad).


1. Sifat Daivi Sampad


Daivi artinya deva. Deva adalah sinar suci Sang Hyang Widhi. Deva memiliki sifat baik, welas asih, dan suka memberi. Deva merupakan sinar suci Sang Hyang Widhi yang bertugas menjaga dan melindungi alam semesta. Sampad berarti sifat. Daivi Sampad adalah sifat manusia seperti deva, yakni

selalu berbuat baik, sabar, menciptakan keharmonisan, dan welas asih. Manusia yang memiliki sifat Daivi Sampad dapat menciptakan ketenteraman dan kesejahteraan, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 29).


2. Sifat Asuri Sampad


Asuri Sampad sama dengan asura yang berarti raksasa. Raksasa cenderung mempunyai sifat yang cepat marah, cepat tersinggung, sombong, angkuh, kasar, dan tidak peduli kepada orang lain. Manusia pasti memiliki 2 sisi: negatif dan positif. Hal tersebut karena ada tri guna yang berpengaruh dalam diri manusia. Oleh karenanya, kini bergantung pada setiap manusia bagaimana dia dapat dan mampu untuk mengendalikan sifat yang tidak baik mengarah pada kebaikan.

Dagang Banten Bali

Asuri Sampad akan mengarahkan dan menyebabkan penderitaan jika sifat tersebut tidak dihindari. Selain itu, tidak ada keharmonisan dan kedamaian yang akan kita rasakan dalam kehidupan. Hendaknya kita selalu mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi, mempelajari kitab-kitab suci, dan berbuat kebaikan kepada semua orang. Maka, kita akan mampu terhindar dari Asuri Sampad, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 30).

Baca: Cerita Berkaitan dengan Daivi Sampad dan Asuri Sampad (Drona di Hastinapura dan Anak Gembala)


Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/12/mengenal-bhagavadgita-dan-sifat-daivi.html


Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Senin, 26 Oktober 2020

Cerita Berkaitan dengan Daivi Sampad dan Asuri Sampad (Drona di Hastinapura dan Anak Gembala)



Drona di Hastinapura


Drona adalah putra dari Bharadvaja. Masa kecil Drona sangat menyenangkan. Dia berteman dengan Drupada, pangeran Kerajaan Pancala. Mereka adalah teman baik sekali. Suatu hari, Drupada memberi tahu Drona, “Saya benar-benar menyukaimu. Saya tidak mau persahabatan kita berakhir di asrama ini. Saya ahli waris tahta Kerajaan Pancala. Kalau saya menjadi raja, saya akan mengajakmu dan kita berteman seumur hidup.”


Baca: Mengenal Bhagavadgītā dan Sifat Daivi Sampad dan Asuri Sampad



Tahun demi tahun berlalu. Drona menikahi Kripi, putri dari Saradwata atau Gautama. Mereka melahirkan seorang putra bernama Aswatthama. Keinginan Drona yang tertinggi adalah menjadi pemanah yang paling hebat di asramanya. Dia datang kepada Bhargawa dan mempelajari jenis panah atau astra. Setelah menguasai jenis panah, Drona pulang. Aswatthama adalah seorang anak muda yang cerdas, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 40).


Suatu hari, Aswatthama datang kepada ibunya dan berkata, “Ibu, semua teman saya menceritakan tentang sesuatu yang disebut susu. Saya mau susu, ibu.” Ibunya tidak tahu harus berbuat apa.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Drona yang mendengar hal tersebut menjadi sedih. Kemudian, dia teringat hari-hari persahabatannya dengan Pangeran Pancala. Drona datang kepada Drupada, namun Drupada telah berubah. Kekayaan dan kenyataan bahwa dia menjadi raja telah membuatnya sombong. Dia tertawa pada Drona, “Seorang brahmana miskin yang menjadi teman saya dalam hari-hari belajar saya, menuntut persahabatan dengan saya. Tidakkah kamu tahu bahwa persahabatan hanyalah antara yang sederajat?”


Drona tersinggung dengan perkataan Drupada. Tanpa sepatah kata pun, dia meninggalkan istana raja yang sombong itu. Dia berjanji untuk membalas dendam atas perlakuan yang dia peroleh. Drona memutuskan untuk melatih ksatrya muda dalam panahan. Dia membalikkan langkahnya menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, Drona disambut oleh Bhisma dan memberitahukan semua hinaan yang telah dia derita dari Raja Pancala yang sombong. Dia juga memberi tahu keinginannya untuk balas dendam.



Bhisma berkata, “Kamu telah datang ke tempat yang tepat. Saya mempunyai cucu mencapai ratusan, yang sangat berniat mempelajari panahan.” Bhisma memanggil semua anak dan menitipkan kepada Drona dan berkata, “Mulai hari ini, mereka menjadi milikmu. Tugasmu adalah membesarkannya menjadi ksatrya sejati.”


Beberapa tahun terlewati dalam pendidikan pengeran-pangeran muda itu. Semuanya pandai dalam menggunakan senjata. Akan tetapi, Arjuna menjadi murid kesayangan Drona. Kecintaannya pada panahan, latihan yang berulang-ulang, kesabarannya yang tinggi, kecintaannya pada pelajaran dan gurunya telah memikat hati Drona. Bahkan, kecintaan Drona kepada Arjuna melebihi kecintaannya kepada putranya sendiri, Aswatthama, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 41).


Drona sangat senang dengan Arjuna sehingga suatu hari dia memberitahunya, “Saya belum pernah melihat pemanah seperti kamu. Saya berjanji membuatmu menjadi pemanah terbesar di dunia ini.” Kebahagian Arjuna tidak terpikirkan.


Suatu hari, ketika Drona mandi di Sungai Gangga, dia diserang oleh seekor buaya. Buaya itu menggigit kakinya. Dia berteriak “Tolong, tolong, tolong selamatkan saya dari buaya ini.” Dia sebenarnya dapat membebaskan dirinya dengan mudah. Akan tetapi, dia ingin mengetes keahlian muridnya sehingga dia meminta pertolongan. Bahkan, sebelum kata-kata dari bibirnya keluar, Arjuna dengan panahnya yang cepat dan tajam membunuh buaya tersebut.


Dalam kegembiraannya, Drona mengajarkan astra yang tinggi yang disebut Brahmasirsa kepada Arjuna. Dia memberi kata peringatan. Drona berkata, “Astra ini terlalu ampuh untuk digunakan pada manusia biasa. Kalau diarahkan pada orang miskin yang tidak berpengaruh, dia akan menghancurkan seluruh dunia. Kalau ada seorang yang merupakan raksasa atau deva yang sesat dia akan menyebabkan kehancuran di antara manusia.” Arjuna menerimanya dengan sangat senang dan hormat (Adi Parwa: 2010 : 65-69), (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 42).


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Anak Gembala


Tersebutlah ada seorang anak gembala, hidup di suatu desa di pinggir hutan. Setiap hari, ia menggembala dombanya ke padang rumput yang luas dan sunyi. Ia berkawan dengan domba-domba dan burung-burung yang terbang bebas di langit.


Pada suatu hari, anak gembala itu diliputi perasaan sepi dan bosan. Di dalam hatinya, ia berpikir, “Alangkah baiknya jika aku mempunyai teman yang dapat diajak bermain, tentu aku senang,” Tiba-tiba muncul rencana baru dalam pikirannya. Kemudian, dia meletakkan kedua tangan di muka mulutnya, dan ia mulai berteriak sekuat tenaga.



“Tolong…tolong…ada serigala. Tolong aku,” Segera orang-orang datang sambil membawa tongkat dan parang.


“Di mana serigala, di mana serigala,” teriak mereka.


“Tidak ada serigala,” kata anak gembala itu tertawa gembira. Para petani sangat marah.


“Bagaimana kamu berani mempermainkan kami, anak kecil? Kamu anak nakal, ya?”


Anak gembala itu sangat puas setelah para petani pergi meninggalkan dirinya. Dalam hatinya, dia bergumam, “Sudah lama saya tidak mendapatkan kesenangan sejenis ini.”


Selang beberapa hari kemudian, anak gembala itu berniat mengulangi tipuannya. Sekali lagi, para petani berlari-lari menuju anak gembala lelaki itu. Kali ini juga mereka dibohongi oleh anak kecil itu. Mereka berkesimpulan bahwa anak gembala ini tidak dapat dipercaya. Mereka memarahi anak gembala itu sambil berkata,“ Sekarang kami tahu, bahwa kamu suka berbohong. Kami tidak akan datang lagi jika kamu memanggil.”, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 43).

Dagang Banten Bali

Beberapa hari berlalu tanpa terjadi peristiwa apa pun. Suatu hari, ketika anak gembala itu duduk berteduh di bawah pohon sambil mengamati dombanya. Tiba-tiba dia melihat beberapa ekor serigala abu-abu yang besar menyeruak keluar dari dalam semak-semak.


Anak laki-laki itu terkejut dan takut yang mencekam. Serigala itu makin mendekat pada kawanan dombanya dan segera melompat dari tempat duduknya, dan sambil berdiri, ia mulai berteriak minta tolong, “Tolong, tolong, ada serigala….tolong datanglah. Benar-benar ada serigala. Tolong…tolonglah.”


Tetapi sia-sia. Tak seorang pun datang. Orang tidak lagi memedulikan teriakannya. Maka, tak dapat dihindari lagi, serigala- serigala itu menyerang dan memakan habis domba-domba itu. Si anak gembala termenung memikirkan nasibnya. Hatinya hancur seperti disambar halilintar. Tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukan untuk melindungi domba-dombanya.


Sampai di rumah, ia pasti dimarahi oleh orang tuanya. Andaikata ia tak pernah membohongi para petani di sekitarnya, tentu mereka akan datang beramai-ramai menolong dirinya (Cudamani: 2002 ), (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 44).


Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/12/cerita-berkaitan-dengan-daivi-sampad.html


Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Sabtu, 24 Oktober 2020

Contoh Penerapan Dasa Nyama Brata (Bratha) dalam Kehidupan

Ketenangan, kedamaian atau ketenteraman batin adalah sesuatu yang menjadi dambaan setiap makhluk yang dilahirkan ke dunia ini. Lingkungan yang nyaman tidak hanya diharapkan oleh umat manusia, tumbuh-tumbuhan dan binatang pun juga memerlukan kedamaian itu. Demikianlah veda sumber ajaran agama kita mengajarkan kedamaian didambakan untuk semuanya, utamanya lingkungan sekitar kita. Kedamaian yang sejati adalah bersatunya àtman sebagai sumber hidup setiap makhluk dengan Brahman/Tuhan Yang Maha Esa. Kedamaian bukan hanya untuk saat ini, diri sendiri, tetapi juga untuk masa yang akan datang, orang lain atau masyarakat. Bagaimana kedamaian itu dapat terwujud dalam kehidupan ini? ada baiknya simaklah cerita berikut ini!

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19


Image; tujacreative
Bala Deva dan Narayana Sang Penyelamat Dunia



Dahulu kala hidup seorang raksasa Sang Kangsa namanya. Sang Kangsa adalah raksasa yang berwatak tidak baik. Ia suka membuat huru-hara dan melakukan penganiayaan terhadap Bangsa Yadawa. Sang Kangsa memiliki istri bernama Devi Asti dan Devi Prapti. Kedua putri ini adalah putra dari Prabhu Jarasanda, seorang raja dari Negeri Widarbha. Prabhu Jarasanda terkenal sangat kebal terhadap segala macam jenis senjata, karenanya seluruh raja yang ada dimuka bumi ini takut padanya. Perkawinan Sang Kangsa dengan putri Prabhu Jarasanda menyebabkan tabiat tidak baik dari Sang Kangsa menjadi semakin bertambah, karena merasa memiliki pelindung seorang raja yang sakti dan ditakuti oleh seluruh raja yang ada di muka bumi ini. Begitulah dikisahkan, bahwa nafsu angkara murka Sang Kangsa semakin berkobar-kobar, kebengisannya semakin bertambah. Kegemarannya menganiaya Bangsa Yadawa dengan tidak mengenal prikemanusiaan semakin menjadi-jadi, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 328).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sang Kangsa belum puas dengan tindakannya sebatas membabat Bangsa Yadawa saja, maka segera ia memerintahkan kepada prajuritnya untuk menaklukkan Negeri Boja. Perintah Sang Kangsa kepada prajuritnya, “Hai tentaraku sekalian, dengarkanlah ini titah rajamu! Aku Kangsa belum merasa puas dengan keadaan seperti sekarang ini. Aku ingin menaklukkan raja-raja di seluruh permukaan bumi ini. Untuk itu, pertama-tama aku ingin menghancurkan Negeri Boja. Tunjukkanlah keberanian, keperkasaanmu sebagai prajurit raksasa dalam peperangan nanti. Laksanakanlah segera titahku ini!”. Setelah mendapatkan titah demikian, para prajurit raksasa mempersiapkan perlengkapan perangnya selanjutnya segera berangkat hendak menyerbu Negeri Boja. Para raja bangsa Negeri Boja yang tidak mau tunduk segera dibunuh, karena memang demikianlah tabiat asli Sang Kangsa. Tiada henti-hentinya mereka mengejar para raja bangsa Boja. Ke manapun mereka melarikan diri, yang berhasil mereka tangkap dan dianiaya.


Karena tingkah laku Sang Kangsa menimbulkan ketakutan sekalian para raja, para kesatri a dan Bangsa Boja. Lebih-lebih lagi para kawula kecil, ketakutan itu senantiasa mencekam hatinya. Tempat tinggal mereka bukan lagi merupakan tempat yang aman, tetapi sudah merupakan neraka. Oleh karena daerah tempat tinggal mereka bukan lagi merupakan tempat tinggal yang nyaman, lalu selanjutnya mereka melarikan diri entah ke mana, tidak tentu arah dan tujuannya. Ke mana kaki melangkah, ke sanalah menuju, yang penting dapat meloloskan diri. Itulah yang terlintas dalam benak dan pikirannya.


Di antara orang-orang yang melarikan diri ada yang menceburkan diri ke laut, selain itu ada pula yang menceburkan diri ke dalam jurang, dan ada yang melarikan diri ke dalam hutan kemudian bersembunyi di dalam gua- gua untuk menyelamatkan dirinya, akan tetapi akhirnya ia mati juga diterkam dan dimangsa oleh binatang buas. Alangkah sengsaranya seluruh Bangsa Boja pada waktu itu oleh perbuatan bengis Sang Kangsa dan pengikut-pengikutnya. Sementara huru-hara itu terus berlangsung karena Sang Kangsa dan pengikut- pengikutnya terus mengadakan pengejaran terhadap raja-raja Bangsa Yadawa yang terus melarikan diri. Akhirnya banyak raja bangsa Boja berikut keluarganya datang ke Negeri Dwaraka (Dwarati) meminta perlindungan kepada Sri Narayana, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 329).


Sri Narayana terkejut karena kedatangan pengungsi raja Bangsa Boja berikut keluarganya, kemudian menyapanya. “Wahai tuan-tuan raja dan kesatria Bangsa Boja, kenapa gerangan datang berduyun-duyun kemari dengan disertai keluarga? Apakah yang telah terjadi atas negeri tuan?” Demikianlah Sri Narayana menyapanya.

Baca: Pengertian Dasa Nyama Brata (Bratha) dan Penjelasannya



“Ampun tuanku, Sri Narayana. Tuanku adalah perwujudan Wisnu di jagatraya ini. Tuanku adalah pelindung jagatraya ini dari segala kehancurannya. Tuanku juga pengayom kawula kecil yang lemah. Oh, tuanku yang maha kasih, tuanku adalah penyayang segala yang ada ini. Hamba sekalian datang untuk memohon belas kasihan tuanku yang mulia. Sudi kiranya paduka tuanku melindungi kami dan bangsa kami dari kehancuran. Saat ini bangsa kami diserang oleh Sang Kangsa yang biadab itu”.


“Duhai saudara-saudaraku Bangsa Boja, hatiku menjadi sedih dan haru mendengar ucapan kalian. Oh Sang Hyang Widhi, lindungi dan tabahkanlah hati umat-Mu dari kebengisan Sang Kangsa. Dan si Kangsa tak jemu-jemunya kau menyusahkan dunia, maka sudah sepatutnya engkau mendapat hukuman dari Sang Hyang Widhi. Aku akan datang untuk membunuhmu”. Demikianlah Sri Narayana berkata sambil menggertakkan giginya.


Kemudian para pemimpin/kesatria Bangsa Boja bermohon lagi sambil menangis. Oh, Paduka tuanku, tuluskanlah kasih paduka tuanku kepada kami. Bunuhlah si Kangsa dan seluruh pengikutnya dari muka bumi ini agar Bangsa Boja dapat hidup tenang kembali. Kami merasa sangat kasihan menyaksikan nasib bangsa kami dari penganiayaan si Kangsa. Hanya sedih yang dapat kami lakukan terhadap derita bangsa kami. Sedangkan untuk membebaskannya, kami tidak punya kemampuan untuk itu. Hanya pada tuanku kami temukan kekuatan itu untuk melenyapkan si Kangsa yang biadab. Karena itu, padamu kami berlindung”.


Mendengar permohonan para kesatria dan pemimpin Bangsa Boja yang sangat memilukan hati, Sri Narayana dan Sang Kakarsana (BalaDeva), menjadi terketuk hatinya. Sri Narayana dan Sang Kakarsana menyanggupi untuk memberikan pertolongan. Keduanya sudah sepakat hendak melawan Sang Kangsa, kendatipun keduanya hancur menjadi abu. “Kakang Mas Kakarsana, kita tidak dapat membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Mari segera kita hancurkan si Kangsa sebelum Bangsa Boja hancur oleh ulahnya yang tidak mengenal perikemanusiaan”. “Baik Dimas, Kakang sudah muak dengan tingkah lakunya yang menjadi semakin biadab. Ayo Dimas, mari kita berangkat. Tunggu apa lagi”, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 330).


Setelah berkata demikian, kedua kesatria muda itu berangkat lengkap dengan senjatanya masing-masing. Matanya merah sebagai tanda murka yang luar biasa. Namun sebelum berangkat, beliau mempersilakan tamunya beristirahat. Sang Sri Narayana dan Sang Kakarsana, keduanya adalah merupakan buruan Sang Kangsa, karena keduanya dianggap penghambat perwujudan cita-citanya menaklukkan seluruh raja yang ada di permukaan bumi ini. Karena itu, begitu ia melihat keduanya, Sang Kangsa sangat senang hatinya.


Kemudian berkata :


“Hai penjahat-penjahat kecil, pucuk dicinta ulam tiba. Engkau yang kucari- cari selama ini tidak ketemu, di mana saja engkau bersembunyi? Tetapi tidak dicari rupanya engkau datang untuk mengantarkan nyawa, sehingga aku tidak usah payah-payah mencarimu lagi”. Demikianlah Sang Kangsa berkata dengan sangat senangnya sambil tertawa terbahak-bahak. Namun tidak sedikitpun Sri Narayana dan Sang Kakarsana gentar mendengarkan kata-kata Sang Kangsa karena memang sudah bulat hatinya untuk melawan. Kemudian balik mereka berkata :


“Hai manusia jahanam berhati iblis. Rupanya engkau pandai memutarbalikkan fakta. Aku, kau katakan penjahat cilik, apakah itu tidak sebaliknya? Bukankah engkau penjahat besar yang telah mengganggu dan merusak tatanan masyarakat? Bukankah engkau adalah pengganggu ketenteraman masyarakat? Engkaulah semua itu. Jadi bukan aku. Karena itu, sudah sepantasnya engkau dilenyapkan dari muka bumi ini. Kedatangan ku kemari adalah untuk itu, bukanlah untuk mengantarkan nyawa sebagai katamu itu”. Demikianlah kata- kata Sri Narayana.


Sang Kangsa yang sangat kegirangan melihat kehadiran Sang Sri Narayana dan Sang Kakarsana mendadak menjadi merah padam mukanya mendengar kata-kata pedas Sri Narayana. Timbullah kemarahannya yang luar biasa. Dan berkata :


“Hai anak-anak kemarin sore, berani engkau berkata sombong di hadapanku. Mustahil engkau dapat mengalahkan kesaktianku. Lihatlah berapa banyak para raja telah dapat aku taklukkan, apalagi engkau yang baru kemarin sore, belum apa-apa bagiku, tanganku sebelah saja dapat memecahkan kepalamu”.



“Hai perusak ketenteraman masyarakat, mungkin di hadapan raja-raja yang telah kau taklukkan, kau dapat berkata sombong. Akan tetapi di hadapanku engkau tidak boleh berkata begitu”.


Setelah berkata demikian, Sang Baladeva dan Sri Narayana bersiap dengan senjatanya masing-masing. Sedangkan Sang Kangsa yang hatinya sedang terbakar oleh kemarahannya karena merasa dihina oleh orang yang masih terlalu muda, dengan sangat bernafsu ingin membunuh Sang BalaDeva dengan Sri Narayana. Hal ini juga didorong karena andal dengan kesaktiannya sehingga meremehkan musuh yang sedang dihadapinya. Sang Kangsa segera maju hendak meraih tangan Sri Narayana, namun dengan tangkasnya Sang Kakarsana mengayunkan senjata pegangannya ke dada Sang Kangsa. Bersamaan dengan itu Sri Narayana yang telah bersiap-siap kemudian melepaskan senjatanya. Masing-masing senjatanya tepat mengenai dada, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 331).

Dagang Banten Bali



Demikianlah Sang Kangsa terbunuh, karena terlalu menyombongkan diri akan kesaktiannya, tidak beradab dan selalu menyakiti sesamanya. Karena keangkuhannya maka kesaktiannya lenyap begitu rupa. Hal ini pertanda bahwa Sang Hyang Widhi tidak berkenan bila di antara ciptaan-Nya, saling tidak memperhatikan, saling merusak dan selalu bertindak adharma. Setiap saat ciptaan-Nya dirusak maka setiap saat itu pula beliau berkehendak menyelamatkannya.


Sri Narayana sesungguhnya adalah utusan Sang Hyang Widhi untuk menyelamatkan dunia beserta isinya dari kehancuran. Dunia dan isinya akan selalu damai serta harmonis bila di antaranya mampu hidup rukun, saling menyayangi dan mengasihi. Begitulah nasib Sang Kangsa (durjana) yang tidak mengindahkan dharma dalam hidupnya, terbunuh oleh Sri Narayana dan Baladeva sebagai penjelmaan “Dharma”. Sikap dan perilaku Sang Kangsa yang demikian tidaklah patut untuk ditiru!, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 332).

Baca: Bagian-Bagian Dasa Nyama Brata atau Bratha



RELATED:
Hubungan Tri Rna dengan Yadnya dalam Hindu
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban dalam Melaksanakan Tri Rna
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Renungan Atharvaveda XIX. 9. 7


"Utpàtàh pàrtáivàntarikûàh saý no divicarà grahàá".


Terjemahan:


"Semoga semua gangguan terhadap bumi dan langit berakhir.
Semoga planet-planet yang amat menyenangkan memberikan kedamaian kepada kami,".

Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/contoh-penerapan-dasa-nyama-brata.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Cetakan Ke-1, 2015