Sabtu, 06 Maret 2021

Hari Raya Nyepi dan Yadnya Tawur Agung

  




Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10:

manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama.

Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."

Artinya:
Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha."
Artinya:
Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:

"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan lontar Usana Bali disebutkan bahwa, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis.


Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.

Artinya:
Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.

Artinya:
mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya:
"....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha.

Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

Pelaksanaan Upacara

Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini:

"....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.

Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilakukan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.


Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara "byakala prayascita" dan "natab sesayut pamyakala lara malaradan" di halaman rumah.

Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.


Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
Amati lelungan (tidak bepergian).
Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.

Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan.

Kamis, 25 Februari 2021

MENGENANG TAMAN FESTIVAL BALI DAN KISAH MISTISNYA

 






​Taman festival bali merupakan rekreasi hiburan alam ,binatang,dan juga kesenian pun turut ada di dalamnya.taman ini berada di pantai padang galak yang luasnya mencapai 8,98 hektar.
Taman ini di bangun tahun 1997 oleh PT.Abdi Persada Nusantara pada saat itu taman ini sangat sangat indah menurut saya dulu saya TK tahun 1999 saya di ajak oleh guru saya untuk bertamasya bersama teman teman melihat burung langka,buaya dan binatang langka lainya bahkan ada pertunjukan seni tari ada di sana saya tidak bisa melupakan taman festival bali ini betapa indahnya momen momen pada saat itu dan sampai sekarang saya masih ingat.
Tapi sayngnya tahun 2000 taman festifal ini bangkrut dan di tutup sampai sekarang.kabarnya buaya yang dulu di pelihara di sana sebagian sudah pergi ke laut dan sebagian lagi masih di sana.
Taman festival bali ini sudah belasan tahun mangkrak dan bangunanya 70% sudah hancur dan sisanya masih tetap berdiri sampai sekarang.


Konon kabarnya di setiap bangunan tersebut sudah ada penunggu setiaya dan bahkan di pakai syuting filem horor oleh stasiun tv lokal indonesia.
Masyarakat setempat menyatakan taman ini dijadikan tempat perkumpulan mahluk halus(leak).
Saya pernah kesana baru baru ini saya bertanya kepada petugas penjaga yang khusus menjaga taman tersebut,petugas tersebut sering mendengar suara anak kecil berlarian di sekeliling taman tersebut.
Pernah suatu hari di mana di bali hari hari tertentu seperti purnama kajang kliwon dan yang lainya,petugas tersebut hendak menghaturkan canang ke blakang taman tersebut ada sebuah pura yang di sebut "penungun karang" karna jauh petugas tersebut harus mengendarai motor membawa canang( sesaji )persembahan kehadapan sang hyang widhi wasa yang menjaga tempat tersebut.
Tiba tiba di jalan jalan yang melewati bangunan yang sudah hancur ,rumput liar yang sampai menutupi bangunan tersebut dan suara jangkrik suasana begitu mencengkam setelah ada suara perempuan yang memangil sambil menangis di tempat tersebut petugas itu pun tidak menghiraukanya karna dia akan melahkukan persembayangan dan menghaturkan canang di pura belakang taman tersebut tujuanya agar kita senantiasa dilindungi setiap bertugas di sana ,kata bapak tersebut.
Saya sendiri pernah mengalami cerita aneh mistis di tempat tersebut ada bangunan dan satu satunya bagunan yg berdiri kokoh di sana,bangunan tersebut bernama ruang teater taman festival,ruangan ini dulunya dipakai sebagai drama teater seni pertunjukan tapi setelah taman festival ini mangkrak bagunan tersebut menjadi mengerikan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kami ber 5 waktu itu kami sedang menelusuri setiap ruang teater ini di tengah tengah ruangan teater ini sangat gelap dan gelap sekali dan suaranya sangat hening tiba tiba ada sebuah benda yang jatuh seakan akan di sengaja mempernainkan kami lalu beberapa menit kemudian ada sinar merah yang bersinar di tengah tengah ruangan yang tidak terurus belasan tahun itu dan salah seorank teman kami pingsan mendengar suara perempuan misterius di dalam gedung teater tersebut.
Ada yang unik waktu itu kami menelusuri setiap bangunan di taman festival ada seekor anjing yang setia mengikuti kami selama perjalanan yang begitu menegangkan seakan akan anjing tersebut menjaga kami.
Sampai sekarang taman festival ini tetep exsis walaupun sudah mulai hancur,bahkan banyak orank yg memamfaatkan sebagai wisata sepiritual,pemotretan,preweding dan pembuatan video klip salah satu group bend di bali.
Saya berharap taman festival ini bangkit lagi seperti tahun 1997 sampai 1999 pada masa jayanya dan pemerintah kota denpasar ,walikota denpasar,dan gubernur bali bisa menghidupkan kembali taman festival ini seperti masa jayanya karna taman festival bali ini sangat terkenal di bali bahkan indonesia.
Demikian ulasan saya tentang taman festival yang berada di desa saya sendiri desa kesiman petilan denpasar timur.maaf kalo kalo ada kosakata yang salah ucapan yang salah saya minta maaf saya mencintai budaya bali dengan di bangunya taman festival ini kembali kesenian bali pasti akan lebih baik lagi di mata dunia.

KAIN TENUN GRINGSING KHAS BALI AGA

 





Ada sebuah desa yang sangat unik dan menarik, kurang lebih 17 kilometer dari kawasan wisata Candidasa, Kabupaten Karangasem, Bali. Tenganan, demikian nama desaitu, atau biasa disebut Bali Aga (Bali asli). Menurut sejarah, masyarakat yang tinggal di Desa Tenganan ini adalah suku asli Bali yang tetap mempertahankan pola hidup tradisional sampai saat ini. Ketaatan masyarakat pada aturan tradisional desa yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun menjadi sebuah benteng kokoh dari pengaruh luar.Dari kawasan yang damai dan bersahaja ini tersimpan sebuah talenta masyarakat yang luar biasa dalam membuat kain tenun. Kain tenun Gringsing, warisan budaya BaliAga adalah karya kerajinan yang langka karena dibuat sangat rumit. Selain memerlukan waktu yang cukup lama dengan warna-warna yang alami dari tumbuhan, cara menenunnya pun berbeda dengan cara menenun kain pada umumnya.Oleh masyarakat setempat dan orang umum, hasil tenunan dari Tenganan ini dinamakan kain tenun dobel ikat, dan merupakan satu-satunya di Indonesia serta salah satu dari tiga lokasi di dunia selain di Jepang dan India. Menenunkain geringsing dalam proses pembuatannya sangat rumit, karena dengan teknik double ikat yang memakan waktu cukup lama serta dengan bahan-bahan dasar dan bahan pewarnaannya berasal dan alamiah. Kain geringsing juga banyak diperlukan orang lain, karenadapat digunakan untuk keperluan. Upacara adat dan agama, mode show dan sebagainya.Bahan Pewarna Benang Tenun Geringsing. 



Ada cerita yang menggambarkan bahwa warna merah dari tenun Geringsing bahannya adalah darah manusia. Ternyata cerita tersebut hanya merupakan cerita bohong belaka karena warna merah yang misterius itu tidak dibuat dari darah manusia.Cerita itu sengaja dimunculkan mungkin merupakan usaha proteksi masyarakat Tenganan Pegeringsingan agar kain tenun Geringsing yang merupakan kebanggaan masyarakat Tenganan Pegeringsingan sukar ditiru atau tidak ditiru.Adapun bahan-bahan warna alami dan tenun Geringsing itu adalah sebagai berikut:

1) Warna merah dibuat dari “babakan” (kelopak pohon) Kepundung putih dicampur dengan akar pohon Sunti.

2) Warna kuning dibuat dari minyak buah kemiri yang sudah berumur lama, kira-kira 1 tahun dicampur dengan air serbuk/abu kayu kemiri.

3) Warna hitam dibuat dari pohon Taum.Ragam Jenis Tenun GringsingKonon dahulu, ragam jenis Tenun Geringsing ada 20 jenis.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Namun kini yang masih dikerjakan hanya 14 jenis yaitu:

1)Geringsing Lubeng,

Motifnya bernama Lubeng. Kekhasannya adalah berisi kalajengking. Lubeng Luhur ukurannya paling panjang dengan 3 bunga berbentuk kalajengking yang masih utuh bentuknya. Sedangkan pada Lubeng Petang Dasa bunga kalajengkingnya utuh hanya satu di tengah sedang yang di pinggir hanyasetengah-setengah. Sedang Lubeng Pat Likur adalah yang ukurannya terkecil. Fungsinya sebagai busana adat dan upacara agama.

2) Geringsing Sanan EmpegGeringsing

Sanan Empeg fungsinya hanya sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakatTenganan Pegeringsingan. Sedangkan bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan hanya dipergunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi. Ciri khas dan motif Sanan Empeg adalah adanya tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah dan hitam.

3) Geringsing Cecempakan

Geringsing Cecempakan bermotif bunga cempaka. jenisnya: Gringsing Cecempakan Petang Dasa (ukuran empat puluh). Geringsing Cecempakan Putri, Geringsing Cecempakan Pat Likur (ukuran 24 benang).Fungsinya adalah sebagai busana adat dan upacara agama.

4) Geringsing Cemplong.

Motif Geringsing Cemplong adalah karena ada bunga-bunga besar diantara bunga-bunga kecil seolah-olah ada kekosongan/lobang-lobangdiantara bunga itu menjadi kelihatan cemplong. Jenisnya : ukuran Pat Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), sedangkan yang ukuran Petang Dasa (40 benang) sudah hampir punah. Fungsinya adalah sebagai busana adat dan upacara agama.

5) Geringsing Isi.

Pada Geringsing Isi ini sesuai namanya pada motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong, ukuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang) dan berfungsi hanya untuk sarana upacara, bukan untuk busana.

6) Geringsing Wayang.

Motifnya ada dua yaitu Geringsing Wayang Kebo dan Geringsing Wayang Putri.Fungsi dan ukuran kedua kain ini sama yaitu untuk selendang, yang berbeda adalah motifnya. Pada Geringsing Wayang Kebo teledunya (Kalajengkingnya) bergandengan sedangkan pada Gringsing Wayang Putri lepas . Pada tenun Geringsing Wayang Kebo berisi motif wayang laki dan wanita. Sedangkan pada tenun Geringsing Wayang Putri hanya berisi motif Wayang Wanita.

7) Geringsing Batun Tuung.

Batun Tuung artinya biji terong. Dengan demikian pada Geringsing Batun Tuung motifnya penuh denganbiji-biji terong. Ukurannya tidak besar, untuk senteng (selendang) pada wanita dan untuk sabuk (ikat pinggang) tubumuhan bagi pria. Jenis Geringsing ini sudah hampir punah, dan yang lainya tidak bisa di publikasikan dengan alasan tertentu.

Kamis, 21 Januari 2021

Perayaan Nyepi Tahun Ini 2021 Kembali tanpa Ogoh-Ogoh

 






EDARAN: Surat Edaran bersama pelaksanaan rangkaian hari suci Nyepi Tahun Saka 1943. (ISTIMEWA)





DENPASAR, BALI EXPRESS – Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali bersama dengan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali telah mengeluarkan surat edaran bersama pelaksanaan hari suci Nyepi tahun Saka 1943. Dalam surat tersebut dipaparkan sembilan poin yang harus dilaksanakan di tengah pandemi dalam perayaannya. Salah satunya tahun ini Nyepi kembali tanpa adaya pengarakan ogoh-ogoh.


Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof.Dr.Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, Selasa (19/1) membenarkan telah menyepakati dan menandatangani bersama hasil rapat bersama tersebut. Dimana di dalamnya yang bertandatangan adalah PHDI Bali, MDA Bali, Pemajuan Masyarakat Adat (PMA), dan Gubernur Bali. Surat edaran tersebut bernomor 009/PHDI-Bali/I/2021 dan 002/MDA-Prov Bali/I/2021 menyampaikan kepada seluruh masyarakat Bali, pelaksanaan rangkaian hari raya suci Nyepi tahun saka 1943 di Bali dilaksanakan dengan sembilan poin. Pertama mentaati dan melaksanakan dengan Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat dalam tatanan kehidupan era baru di Provinsi Bali.





Kedua, khusus kegiatan melasti tawur kesanga agar bagian desa adat yang memiliki pantai melasti di pantai, yang dekat danau melasti di danau, yang dekat campuhan melasti di campuhan, yang memiliki beji agar melasti di beji. Sedangkan yang tidak memiliki sumber mata air tersebut diharapkan melasti secara ngubeng atau ngayat dari pura setempat.


Ketiga, upakara melasti agar ditambahkan dengan banten guru piduka sesuai tempat melasti. Baik itu di pantai, campuhan, beji maupun secara ngubeng. Keempat prosesi upacara tawur kesanga dilaksanakan serentak pada Saniscara Pon Gumbreg tanggal Masehi 13 Maret 2021. Poin kelima, tawur agung kesanga agar disertai dengan upacara segara kerthi dan danu kerthi. Yaitu mapakelem mapulang panyegjeg di nawa segara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Bali dan difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pada poin keenam pengarakan ogoh-ogoh berkaitan dengan upacara tawur kesanga. Disebutkan pengarakan ogoh-ogoh bukan merupakan rangkaian wajib hari suci nyepi. Oleh karena itu, pengarakan ogoh-ogoh pada hari suci nyepi tahun saka 1943 ditiadakan. Sementara poin ketujuh hingga sembilan merupakan teknis terkait pelaksanaan catur brata penyepian.

Prof. Ngurah Sudiana, juga menjelaskan surat edaran bersama itu merupakan hasil dari rapat kordianasi yang dilakukan bersama MDA, PMA dan Gubernur Bali. “Sesuai dengan hasil rapat kemarin, tadi kita mengadakan rapat dengan MDA dan PMA membahas pelaksanaan rangakaian Neypi tanggal 13 Maret 2021. Hasilnya sesuai dengan tandatangan bersama itu,” jelasnya.

Sementara dikonfirmasi terpisah Ketua MDA Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet diminta keterangan terkait surat edaran bersama itu tidak ada jawaban. Bahkan pesan singkat yang dikirm melalui aplikasi whatsapp tidak dibaca sampai berita ini dibuat.

(bx/ade/yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2021/01/19/236246/perhatian-perayaan-nyepi-tahun-ini-kembali-tanpa-ogoh-ogoh



Senin, 18 Januari 2021

Jyotisha Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu Kuno






NYEPI: Surya Pramana tentukan sasih Kasanga dan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana untuk memastikan jatuhnya Hari Raya Nyepi. (ISTIMEWA)





Meramal nasib hingga prediksi fenomena alam berdasar posisi bintang, sudah menjadi ilmu tersendiri dalam Agama Hindu. Bahkan, sudah ada dan diterapkan ribuan tahun silam.


Astrologi dan Astronomi, dua ilmu yang tidak bisa dipisahkan walau memiliki perbedaan. Astronomi melihat posisi bintang dan dengan perhitungan khusus bisa mengetahui prediksi fenomena alam, sedangkan Astrologi adalah mengamati posisi bintang untuk mengetahui pengaruhnya pada kehidupan manusia.





Dikatakan Kepala Program Studi S-2 Ilmu Komunikasi di IHDN, DR I Gede Sutarya,
Astrologi dan Astronomi dalam Hindu masuk dalam Jyotisha yang sudah ada sejak ribuan tahun silam.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


"Jyotisha adalah Ilmu Astrologi sekaligus Ilmu Astronomi Hindu Kuno. Berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Jyoti yang berarti cahaya, dan Ish bermakna Tuhan. Sehingga Jyotisha bermakna Tuhan pengendali cahaya, " terang Sutarya, ahli wariga yang juga penyusun kalender Bali ini.


Dijelaskan Sutarya, Jyotisha masuk dalam percabangan Wedangga yang merupakan bagian tubuh dari kitab suci Weda.


Pengunaan Jyotisha bisa dilihat juga dalam film bertemakan Hindu, seperti Mahabahrata saat Rsi Jaimini memprediksi hasil perang Mahabharata dengan Marahaja Drestarata dan Maharani Gandari.


Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu kuno ini sampai sekarang tetap digunakan. "Hal ini dapat dilihat masih kentalnya budaya India untuk melihat ramalan jodoh anak-anak mereka yang akan dinikahkan. Bahkan di Bali masih sering dipakai, terutama dalam menentukan hari raya, masa tanam, ramalan kelahiran dan lainnya oleh umat Hindu,” ujar Sutarya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) pekan kemarin.


Dikatakannya, penentuan posisi bintang dilakukan oleh para Maharsi terdahulu dengan melakukan pengamatan, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan. Perhitungan Astronomi ini akan menghasilkan waktu kapan sesuatu terjadi, seperti hari raya apa saja yang akan jatuh dari tilem (bulan mati) sampai tilem berikutnya, dan kapan terjadinya gerhana matahari ataupun gerhana bulan.


Perhitungan di Jyotisha menggunakan bumi sebagai patokan, dimana planet lain mengitarinya. Hal ini semata-mata digunakan untuk penyederhanaan perhitungan Astronomi yang dilakukan, sebab dalam Weda menganut Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya), bukan geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), seperti termuat dalam kitab Sama Weda 121. “Matahari tidak pernah terbenam ataupun terbit, sebab bumi yang berotasi,” ujar dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Ditambahkannya, pengamatan dari posisi planet, matahari, bulan dan bintang menimbulkan pemaknaan, yang akhirnya menjadi Ilmu Astrologi. Melihat posisi planet dan bintang, para Maharsi pada zaman dahulu bisa memprediksi hadirnya kehancuran, bencana, hadirnya raja baru, dan lain sebagainya. “Di India banyak sudah riset tentang Jyotisha ini, bahkan para sarjana barat juga banyak melakukan penelitian. Sehingga kini semakin mudah mencari referensi tentang ilmu ini, sebab sudah banyak diartikan dalam Bahasa Inggris,” ujar Sutarya.


Penerapannya di Indonesia belum begitu banyak, lanjutnya, namun di Bali sudah ada pada Ilmu Wariga yang dikenal secara umum.


Ilmu Jyotisha termasuk kategori ilmu yang bersifat ilmiah, jika dilihat pada bagian Astronominya. Sebab, dengan perhitungan Astronomi, fenomena alam bisa dihitung kapan terjadinya. Sedangkan pada Astrologi tidak bisa dipastikan 100 persen kebenarannya, mengingat mengartikan posisi bintang terhadap ramalan hidup manusia perlu pembuktian jelas. “Kalau mengenai pemaknaan posisi bintang (Astrologi), saya tidak berani mengatakan ilmu Astrologi pada Jyotisha 100 persen tepat juga,” ujar Sutarya.


“Anggap saja ketika purnama misalnya kekuatan seorang sedang dalam puncaknya, kemudian ada arti hari kelahiran dan sebagainya perlu pembuktian yang tidak mudah,” tegasnya.
Film asal India bertemakan Hindu sering memperlihatkan para Maharsi meramal masa depan, lalu kenapa selalu bisa tepat?


Menurut Sutarya, hal itu terjadi karena Maharsi pada masa lampu mempelajari kitab Astrologi secara khusus. Mereka melihat konstelasi bintang dan mengartikan makna dari hasil pengamatan tersebut. Maharsi tentu dahulu mempelajari dengan baik, sedangkan kini masih riset di India.
Perkembangan Ilmu Jyotisha dari India sampai ke Jawa, kemudian akhirnya sampai di Bali sekitar abad ke-10 Masehi dengan berbagai penyesuaian. Sutarya menjelaskan diperkirakan di masa pemerintahan Mpu Sindok itu terjadi. Kala sang putri, yakni Mahendradatta menikah dengan Raja Udayana, dimana pernikahan turut juga membawa ajaran perhitungan pawukon dan wewaran. “ Pengetahuan itu masuk dari Bali Utara oleh Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni (gelar Ratu Mahendradatta). Jadi, wewaran pawukon di Bali itu dari Jawa sebenarnya,” terang Sutarya.


Perkembangannya selanjutnya di Bali, Ilmu Astronomi dan Astrologi kemudian dikenal menjadi Ilmu Wariga. Patokan yang digunakan di Bali adalah perhitungan Surya Chandra Pramana atau yang akrab di telinga sebagai solar dan lunar system yang sampai sekatang tetap dipakai di kalender khas Bali. Penggunaan itu salah satunya pada saat menentukan jatuhnya Hari Raya Nyepi, yakni menentukan sasih kasanga melalui perhitungan Surya Pramana (jatuh setiap sasih yang sama) dan menentukan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana.


Ditambahkannya,perkembangan Wariga di Bali juga menyebabkan ada banyak percabangan Ilmu Wariga yang mirip dengan Jyotisha. “Bisa dilihat, ada Wariga untuk pertanian, jodoh, kelahiran, pedewasan, dan lainnya. Mirip dengan Astronomi dan Astrologi pada Jyotisha,” pungkasnya.

Selasa, 12 Januari 2021

Mengenal Musik Tradisional Bordah di Desa Pegayaman, Buleleng






BORDAH: Warga Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, saat melakukan pertunjukkan musik tradisional Bordah. (ISTIMEWA)

Sekelompok laki-laki berpakaian adat Bali duduk bersila membentuk posisi setengah lingkaran memainkan musik rebana sambil mengumandangkan syair-syair madah atau pujian kepada Nabi Muhammad. Alunan rebana terdengar bertalu-talu, berselang-seling dengan lantunan syair dari para penabuh, bersahut-shutan, timpal-menimpal dengan irama bervariasi, membuat sajian kesenian tradisonal religius tersebut terkesan sakral, indah, syahdu menyentuh kalbu.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI


ITULAH kesenian Bordah di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Kesenian Bordah merupakan salah satu contoh dari kebudayaan religius yang tumbuh dan hidup di Pegayaman. Sebuah kekayaan kebudayaan yang patut dilestarikan dan dijadikan renungan pelajaran karena membuktikan adanya suatu penyatuan kesenian muslim dan Bali.

Kepala Desa Pegayaman Asghar Ali mengungkapkan, makna atau arti kata Bordah disebutkan sebagai sinar yang memberikan kegembiraan. Sehingga dari kata Bordah itu disimpulkan kesenian Bordah di Desa Pegayaman merupakan pelampiasan kegembiraan warga Desa Pegayaman. “Bordah itu bagi kami itu adalah sinar, bersinar. Pada dasarnya bergembira ria atau kami bersenang-senang begitu istilahnya,” jelasnya.

Kesenian Bordah di Desa Pegayaman biasanya akan dipertunjukkan pada bulan Maulid. Sebab bulan Maulid oleh masyarakat muslim di pedalaman Bali Utara ini dipandang sebagai bulan istimewa. Maulid Nabi hampir tak pernah terlewatkan diperingati masyarakat Pegayaman baik lewat ritual syariat maupun pergelaran kesenian kerohanian.

Namun bila dikaitkan dengan sejarah keberadaan Desa Pegayaman, kesenian Bordah tersebut merupakan kesenian untuk mengiringi orang memasak dikala tengah menyiapkan acara istimewa keluarga. Seperti diungkapkan Asgor Ali. “Ditampilkan biasanya setiap ada acara seperti sunatan, atau hidangan dan misalnya mante. Tapi biasanya kalau pada acara seperti itu, group Bordah itu mengiringi orang memasak, dan dia bergadang sampai subuh. Karena di Pegayaman masih lekat sekali sistem kekeluargaan,” paparnya.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Masak itu sampai sekarang belum menggunakan jasa catering atau apalah itu. Kami betul-betul memasak satu hari menjelang hari H, kami sudah memotong bila mau besar-besaran. Malam harinya yang bersangkutan atau yang punya hajat kan jelas masak dirumah, maka mudah aja kami dapat, disamping itu mungkin acara-acara yang lain,” tambahnya.

Asghar Ali menambahkan, Bordah merupakan kesenian tradisional Islam yang memadukan unsur seni tabuh rebana dengan syair-syair pujian pada Nabi Muhammad yang menyerupai kekidungan seperti masyarakat Bali. Demikian pula dengan pakaian yang dikenakan para penabuh dan pelantun Bordah Pegayaman berpakaian adat Bali. “Itu ciri khas, katakanlah akulturasi budaya Islam dan Bali. Bordah kalau tampil dia pakai udeng dan melancingan, itu yang pertama. Yang kedua lagu-lagunya atau syar-syairnya yang diambilkan dari kitab Albarj Anji, dalam melantunkan suaranya itu seperti orang ngidung. Itu salah satu contoh kebersamaan antara Islam dan Hindu,” sambungnya.

Dalam pementasan kesenian Bordah di Desa Pegayaman, tidak jarang dalam lantunan syair berlogat Bali serta irama lagu bernuansa Bali, diiringi tarian pencak silat kuno yang bergaya Bali. Sehingga mampu memberikan suguhan sebuah kesenian tradisional religius yang unik, menarik, sakral dan magis. “Sudah dari mungkin nenek kami, jadi pencak ini ada mulai dari Pegayaman ada. Sebab informasi yang saya dapat dari leluhur, orang yang datang ke Pegayaman semuanya itu ahli silat, ahli bela diri, ahli petani, ahli kedokteran, ahli perdagangan,” terangnya.

“Jadi ada kendali orang Blambangan yang sudah mempunyai keahlian tersendiri. Sehingga terbentuk kesenian-kesenian ini yang digabungkan dengan suatu kebudaayan itu, mungkin juga Hadrah, Bordah, Pencak Silat dan yang lainnya,” lanjutnya.

Lebih lanjut Asghar Ali menerangkan, keberadaan kesenian Bordah di Desa Pegayaman hingga saat ini masih tetap dipertahankan, dan selalu mejadi sebuah tradisi bila warga di Desa Pegayaman memiliki hajatan besar. “Kesenian ini tetap bertahan. Bahkan ini merupakan suatu kebanggaan bagi kami. Saya berusaha untuk mempertahankan. Kesenian ini bagus, bahkan banyak peminat. Ambil contoh misalnya jika dia masuk sebagai anggota, dia dengan sukarela dan tanpa tekanan masalah kostum beli sendiri. Nah itu satu contoh tidak lagi dia merasa keberatan, bila ada hari raya tertentu disepakati memakai kostum yang mereka beli sendiri bukan mengharapakan dari orang lain,” paparnya.

Karena itu, menurut Asghar Ali, Bordah Desa Pegayaman dan keberadaan kaum muslim memang menjadi fenomena menarik. Desa tua di pedalaman Bali Utara itu penduduknya beragama Islam, menjalankan syariat sebagai umat Islam pada umumnya, hanya muslim Pegayaman mempunnyai warna dan pola hidup yang sangat Bali.



(bx/dhi/yes/JPR)

Dagang Banten Bali



Rabu, 06 Januari 2021

Berubah Jadi Daerah Kosong, Pura Pulaki Pernah Menghilang






PULAKI: Suasana di Pura Pulaki, Buleleng, yang menjadi bukti jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha. (Dian Suryantini/Bali Express)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Kisah berdirinya Pura Pulaki di pesisir Pantai Desa Banyupoh, Gerokgak, Buleleng, tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong (1460-1550 M).


Pura Pulaki yang terletak di tepi jalan Singaraja-Gilimanuk (sekitar 53,5 km dari Kota Singaraja) ini, merupakan Pura Kahyangan Jagat yang dipuja (disungsung) seluruh umat Hindu di Bali. Sejak pemugaran besar-besaran yang dimulai tahun 1984, Pura Pulaki kini tampak megah dan luas, sehingga memungkinkan umat Hindu melakukan persembahyangan bersama dengan leluasa.



Pura Pulaki sebenarnya merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu Pura Kerta Kawat di KM-51 dari Singaraja (sekitar 750 meter sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura Pabean, dan Pura Pemuteran.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Urut-urutan upacara yang diadakan saat piodalan yang jatuh pada Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki. Kemudian Pura Melanting dan Kerta Kawat. Lalu Pura Pemuteran, dan terakhir Pura Pabean.

Letaknya yang strategis di tepi jalan raya, sehingga tidaklah mengherankan sangat banyak mendapat kunjungan dari wisatawan asing ataupun domestik. Apalagi sudah tersedia tempat yang sangat baik untuk beristirahat dan tempat parkir yang sangat luas.

Di kawasan Pura Pulaki, tepatnya di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa perkakas yang dibuat dari batu. Antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat dari batu lainnya.

Berdasarkan temuan itu, dan jika dilihat dari tata letak maupun struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang berada di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku.

Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut sampai dengan peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi.

Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa, tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana, lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya.

Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku 'Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya' yang disusun Ketut Ginarsa.

Kisah tentang Pulaki terdapat juga dalam buku 'Dwijendra Tatwa' yang ditulis I Gusti Bagus Sugriwa. Di situ terdapat uraian : "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan, agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki”.

Panglingsir Pura Pulaki, Ida Bagus Mangku Kade Temaja, menceritakan, keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa dipralina-nya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama.

Jadi, Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak tahun1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Namun sebelum itu, sejak zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya, dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai berwarna merah, hitam, dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.

“Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng, dan lain-lainnya,” terangnya.

Kendati begitu, lanjut Ida Bagus Mangku Kade Temaja, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya tetap setia ngaturang bhakti kepada bhatara di Pulaki dengan naik perahu dari Pantai Kalisada.

“Namun saat itu, pura sudah tak ada lagi. Sehingga pemujaannya dilakukan pada tumpukan batu yang ada di sekitar Pura Pulaki, yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini,” terangnya.

Ida Bagus Mangku Kade Temaja menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pangayatan (pemujaan dari jarak jauh), karena warga tak berani masuk ke dalam hutan.

Mengingat tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin ada orang yang berani masuk ke pedalaman hutan.

Tahun 1920, Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What.

Kawasan ini kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950, yang selanjutnya dilakukan pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.

Dijelaskan Ida Bagus Mangku Kade Temaja, Pura Pulaki dan pasanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak Manik, dan Pura Pemuteran, tidak bisa dipisahkan.

Dilihat dari lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu Bali, lanjutnya, itu termasuk konsep Sapta Loka, yakni konsep tentang Sapta Patala atau tujuh lapisan alam semesta.

“Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas dasar perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk, sehingga tata letak, struktur, dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur segara dan gunung yang menyatu,” lanjutnya.

Ditambahkan pula, dalam sejarah Pura Pulaki dinyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan, antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. 

Dagang Banten Bali


Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama.

Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah delapan ribu orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya.

Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan palinggih yang disebut Pura Melanting.

“Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma, akan diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma, maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya,” tuturnya.

Di samping distanakan di Pura Melanting, ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki, dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirarta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi.

Pura Pulaki disungsung subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kerta Kawat juga termasuk kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan, untuk memohon tegaknya moral etika dan hukuman dalam berbisnis.

Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat. Selanjutnya Pura Gunung Gondol yang terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha, yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa.



(bx/dhi/rin/JPR)