Kata śapatha terdengar asing kini bagi sebagian besar masyarakat dan tentu familiar bagi mereka yang menekuni dunia sastra, filologi, arkeologi. Śapatha adalah kata serapan dari Sansekerta yang masuk ke dalam entri sastra Kawi (Jawa Kuna), berarti ‘kutuk’, ‘sumpah’, ‘janji’. Dengan kata lain śapatha berarti kutukan.
Śapatha berjalan beringan dengan kehidupan manusia, dalam konteks ini ia bersifat religio-magis, ada sistem kepercayaan yang tidak kasat mata berperan penting di dalamnya. Sangat mudah menemukan śapatha terutama pada prasasti maupun karya sastra, bentuknya berupa kata-kata yang berisikan kesepakatan, perjanjian, dan hukuman yang harus dibayar dengan cara-cara yang mengerikan. Sumber lain menyatakan dalam bentuk kutukan (śapatha) dengan menggunakan kata-kata ancaman yang mengerikan dan permohonan kepada dewata untuk turut melindungi isi keputusan (isi prasasti) itu. Maka sering kali di dalam deskripsi śapatha itu pada bagian awal berisikan puja kepada dewata-dewata yang diminta untuk menjadi saksi.
Apabila membaca kembali karya sastra maka kita dihadapkan pada suatu konflik yang pada dasarnya terjadi atau pada proses penyelesaianya berdasarkan pada śapatha ini. Misalkan saja kematian Sang Karna di dalam Bhratayuddha dan yang menarik perhatian saya adalah hancurnya kerajaan Lengkapura. Lengkapura atau Alengka adalah kerajaan Rahwana yang di dalam Kakawin Ramayana dihancurkan oleh pasukan kera. Mengapa demikian? Tentu saja hal ini berhubungan dengan dipergunakannya dua tokoh figur penjaga pintu gerbang tempat suci yang sering kita jumpai di Bali terutama di wilayah Denpasar, adalah Mahakala dan Nandhiswara. Pada perwujudannya di candi-candi Jawa, Nandhiswara digambarkan dengan figur penjaga berparas tampan, memakai mahkota dan atribut senjatanya trisula sedangkan Mahakala berparas lebih galak dengan mata mendelik, berkumis, atributnya gada.
Di Bali, Mahakala digambarkan dengan wujud raksasa yang cukup mengerikan terkadang dengan rambut terurai kadangkala diwujudkan mempergunakan mahkota ‘ketu’/ mahkota pendeta, sedangkan Nandhiswara diwujudkan dengan raksasa berwajah kera, memakai ‘ketu’. Keduanya membawa atribut senjata gada. Perwujudan ini lumrah dan nampaknya menjadi gaya pematung di Denpasar pada masa lalu dan puncaknya sekitar tahun 1930-1960an. Kembali pada śapatha tentang hancurnya kerajaan Lengkapura oleh pasukan kera adalah kutukan yang dikeluarkan oleh Sang Nandhiswara, termaktub dalam kitab Uttara Kanda-Ramayana.
Sebagai acuan saya mempergunakan lontar Uttara Kanda dari Puri Kabakaba yang dapat diakses di Gedong Kirtya, Singaraja. Pada lemba 39 tersurat,
“…wahu mangkana sojar Sang Nandhiswara, tumurun ta Sang Dasasya sangké Wimana, ateher sakrodatakwan. Lingniya Syapa Sangkara, kumwa lingniya, tuminggal pwayé muka Sang Nandhiswara, tinoniya ta yah ulu wanra, mangkin ta ya walepa guyu-guyu. Angling ta Sang kinasampayan, pinarihasa, matangyan panglepasaken sapa sabdha. Taha sang Dasa Griwa, tinoniyaku mahulu wanara arah, matangyan asampé mangguyu-guyu, dén ing kamurkaniyu, matangyan kadi rupangku ati kang bhawa jadma matya kula ghotraniyu hlem, astu wanara kadi aku saktinika sumirnaknang Langkapuri jmah, kintu mangké yak patyana kamu, taha pan tan mangkana linging purakrethaniyu”.
Kutukan itu terjadi ketika Rahwana telah mendapatkan anugrah kesaktian berkat ketekunan dan bhaktinya, namun sayang setelah kesaktian ia dapatkan mulailah ia melakukan ekspansi ke Sorgalaya, akan tetapi dicegat oleh penjaga pintu sorga yaitu sang Mahakala dan Nandhiswara. Melihat wajah Nandhiswara berparas kera inilah Dasamuka mengolok-ngoloknya sehingga marahlah Sang Nandhiswara dan mengutuk Dasamuka kelak dikemudian hari kerajaannya akan dihancurkan oleh pasukan para kera, pada klimaks Ramayana hal itu menjadi kenyataan bahwa pasukan kera yang membantu Sang Rama berperang dengan Rahwana, Lengkapura diserang habis-habisan oleh para wanara, saat itu bertindak sebagai Intelijen yang menyusup ke Lengkapura adalah Sang Hanoman, Wibhisana sebagai spionasenya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar