Minggu, 17 April 2022

Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

 


Ceruk  yang ada di aliran Sungai Pakerisan, Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, yang diyakini sebagai tempat meditasi  Kebo Iwa, hingga kini dijadikan tempat meditasi penekun spiritual.

Jero Bendesa Desa Pakraman Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar
Wayan Biata mengatakan, Candi Tebing yang menjadi lokasi bersejarah ini, memang sering dikunjungi krama dari luar desa. Bahkan, mereka yang datang tidak hanya menikmati pemandangan karena juga   sebagai tempat wisata religius. “Saat rerahinan (hari baik) banyak sekali warga dari luar datang untuk meditasi dan malukat . Memang ada sebuah pancuran yang bisa digunakan untuk malukat, yakni pancuran Sudamala,” terang pensiunan guru ini ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group), pekan  kemarin. Selain untuk malukat, lanjutnya, juga difungsikan ke luhur karena  sebagai tempat mlasti ketika piodalan di pura khayangan tiga dan pura dang khayangan  setempat.



Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

Wayan Biata (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Biata menyebutkan, rentetan tersebut dengan prosesi ngening, agar sasuhunan secara niskala hening kembali atau bersih kembali. Begitu juga dia mengungkapkan ketika ada pamedek yang malukat di sana agar bersih jiwanya.

Dikatakannya, prosesi piodalan di Candi Tebing  tidak dilaksanakan secara khusus. Tetapi, ketika pelaksanaan ngening dihaturkan juga banten piodalan alit karena pada candi tidak terdapat hari piodalan. Hal itu dilakukan karena tradisinya sejak dulu berlangsung, hanya sebagai tempat masucian saja. Tanpa ada sebuah tegak piodalan yang khusus dilaksanakan.

“Sasuhunan yang mlasti ke sini berasal dari Pura Khayangan Tiga Desa Pakraman Tegallinggah.  Pura Pucak Manik dan Pura Dalem Rsi yang ada di lingkungan Kecamatan Blahbatuh juga menggunakan tempat ini sebagai pasucian,” jelas Biata.

Diakuinya  krama yang otonan,  apalagi saat  melaksanakan otonan pabayuhan pasti nunas tirta. Dikarenakan selain difungsikan untuk prosesi Dewa Yadnya juga dapat sebagai panglukat Manusa Yadnya. Biata menjelaskan yang ditunas juga tidak sembarangan pancuran.

Ada lima buah pancuran, tetapi yang disakralkan hanya pancuran Sudamala yang menghadap ke timur laut dan dikenakan wastra. Sedangkan sisanya hanya digunakan untuk permandian biasa atau untuk kebutuhan  diminum  warga.

Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

PANCURAN: Dewa Made Suparsa nunas ( mengambil) air pancuran di Tirta Sudamala Candi Tebing , Desa Pakraman Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Sarana yang digunakan untuk malukat, cukup  menghaturkan canang secukupnya. Itupun jika malukat pada hari biasa, sedangkan pada rahinan disarankan untuk menghaturkan sebuah pajati. Setelah malukat,baru melaksanakan  persembahyangan di depan candi tebing.

Salah seorang warga setempat yang kerap sembahyang Dewa Made Suparsa mengatakan, kerap melihat orang sakit  datang  untuk malukat.  Warga setempat, lanjutnya,  banyak datang saat Banyupinaruh. Dan, saat rahinan  kebanyakan yang datang dari luar desa. “ Ada orang yang datang malukat terus berteriak teriak karena  gangguan jiwa.  Setelah melukat dan melakukan persembahyangan sadar kembali,”urainya.  Dikatakannya, pemangku memang tidak ada,   yang malukat bisa bawa pemangku sendiri atau tanpa pemangku.

Ayah dua anak ini mengaku sering mengambil air  untuk diminum. Bahkan, ia berani tidak memasaknya lagi kalau untuk diminum.

Dewa Suparsa menunjukkan ada delapan buah ceruk.  Bahkan di ceruk paling ujung terlihat seseorang yang sedang melakukan meditasi. “Karena berada di dinding tebing,  tidak akan basah bila hujan. Namun, kalau  banjir besar kemungkinan ceruk akan dimasuki air sungai yang meluap,” terangnya.

Beberapa ceruk yang terdapat di areal Candi Tebing Tegallinggah sampai saat ini,  memang difungsikan untuk meditasi. Suasananya yang masih sangat asri  ini, sangat mendukung  untuk menenangkan pikiran.
Dikatakannya, beberapa ceruk  sering digunakan sebagai tempat bertapa. Bahkan, setiap hari pasti ada saja orang yang datang ke sana dari pagi sampai sore. “Setiap hari pasti ada saja orang yang ada pada ceruk ini. Entah itu beryoga atau sekedar mencari ketenangan. Bisa dilihat juga di depan candi ada yang sedang bermeditasi,” papar Dewa Suparsa sambil menunjukkan orang yang sedang bertapa di sebuah ceruk.

Dia mengaku hampir setiap hari mengambil air  untuk dikonsumsi.

Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

GAPURA : Gapura yang sebagian telah menjadi reruntuhan. Bersamaan candi ini ditemukan, juga ditemukan tiga lingga yang diyakini sebagai lambamg Tri Murti. (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Suparsa juga menunjukkan sebuah goa yang ada di samping pancuran  yang dinamai Goa Garba. Goa inilah yang diyakini menjadi  tempat  bertapanya Patih Kebo Iwa zaman kerjaan dulu.

Kebo Iwa adalah salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14. Nama lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu, nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai titel kehormatan, khususnya di Bali ataupun Jawa.

Panglima muda yang bertempat tinggal di Desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing ini, sering digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang mengusai seni perang selain ilmu arsitektur. “Undagi (arsitek tradisonal Bali) ini membangun berbagai tempat suci Bali dan tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya,” urainya.



Lebih lanjut Suparsa menjelaskan, candi tersebut dipahat  pada dua sisi tebing yang berseberangan. Di mana yang memisahkan adalah aliran Sungai Pakerisan. Pada dinding juga terdapat sebuah bangunan, bahkan penduduk desa setempat dulu mengetahui  berupa gapura saja. Dikarenakan terus digali dan dibersihkan, segingga ada tangga  di dalamnya.

Di sebelah kanan gapura ada bangunan yang lebih besar, namun sebagian telah menjadi reruntuhan. “Bersamaan candi ini ditemukan, juga ditemukan tiga lingga yang diyakini sebagai lambamg Tri Murti, yaitu perlambang Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa,” terangnya.

Saat ini  di areal tersebut sedang dalam proses penataan. Sudah dibuatkan juga tempat parkir, toilet, dan bale bengong.

Jalan menuju candi juga sudah ada  anak tangga yang ada di tebing. Sebelum ada  tangga warga  harus berhati-hati karena licin.

Lokasi Candi Tebing Tegallinggah ini harus ditempuh selama satu jam dari Pusat Kota Denpasar. Dari Pasar Blahbatuh  susuri jalan ke utara hingga tiba di pertigaan Tegallinggah yang ada Tugu Patung Dewi Kadru. Kemudian tempuh jalan ke kanan sekitar 100 meter akan terlihat  gang pertama di  kiri jalan.  Masuk terus ke gang yang menuju wilayah Desa Pakraman Tegallinggah, sekitar 800 meter akan sampai depan parkiran candi. Untuk masuk ke areal candi saat ini belum dikenakan tiket masuk karena masih dalam proses penataan.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber



Sabtu, 16 April 2022

Jejak Kebo Iwa di Bedha; Arca Sang Patih Dibangun karena Ada Bisikan

 


Kemegahan dan kereligiusan Bale Agung Desa Pakraman Bedha, Tabanan, memang langsung terasa ketika pertama kali melihatnya. Bale Agung tersebut menjadi simbol keagungan dan kekuatan Patih Kebo Iwa sebagai patih yang kuat dan undagi yang terkenal dengan arsitekturnya.

Bale Agung juga dikelilingi dengan relief yang menceritakan sejarah kehidupan Kebo Iwa, dari sejak lahir sampai menyerahkan diri kepada Patih Gajahmada saat dijebak di Majapahit. “Bale Agung ini dikelilingi relief yang memang sudah ada sejak dulu yang menceritakaan kehidupan Kebo Iwa,” ujar Bendesa Adat Bedha I Nyoman Surata.

Di dinding-dinding pura juga terdapat relief yang begitu indah, namun dengan cerita yang berbeda, yakni menceritakan tentang pemutaran Gunung Mandara Giri. Pujawali di pura ini jatuh pada Buda Kliwon Pahang.

Yang lebih menakjubkan adalah, sejak dibangun oleh Patih Kebo Iwa pada abad ke 13, Bale Agung tersebut belum pernah diganti kayunya, terutama kayu yang membentuk atap. Surata pun menunjukkan kepada wartawan Bali Express kayu-kayu yang menyusun atap Bale Agung yang panjangnya memang berbeda dari kayu-kayu yang dijualbelikan saat ini.

“Beberapa kali memang sudah direnovasi, tetapi bagian bawahnya saja, kalau untuk kayu-kayunya dari dulu memang seperti itu,” terang Surata.



Di Bale Agung tersebut dikatakan berstana Ida Betara Begawan Penyarikan dan Ida Betara Nusa Mecaling yang selama ini mengayomi Desa Pskraman Bedha agar senantiasa diberikan keselamatan. Selain sebagai Kahyangan Tiga, Bale Agung ini juga menjadi Kahyangan Subak, mengingat Patih Kebo Iwa dahulu merupakan tokoh yang memperkenalkan sistem irigasi dan subak, sehingga dahulu masyarakat sejahtera dengan hasil sawah yang melimpah.

“Kalau ada upacara Subak di Tabanan pasti berkaitan dengan Bale Agung di sini,” lanjutnya.

Pura ini disungsung oleh 38 banjar yang tersebar di tiga Kecamatan di Kabupaten Tabanan, yakni Kecamatan Tabanan, Kediri, dan Kerambitan. Maka , jangan heran jika saat pujawali tiba, pura ini akan menjadi penuh sesak oleh pamedek .



Selain dibuat terkagum-kagum dengan Bale Agung yang dulunya adalah tempat peristirahatan Patih Kebo Iwa, setiap orang yang tangkil akan disambut dengan Patih Kebo Iwa yang berwujud arca yang terletak di sebelah timur Bale Agung.
Surata menjelaskan, jika arca Kebo Iwa tersebut dijuluki Palinggih Ida Betara Bagus Kebo Iwa atau Kebo Taruna. Kebo Taruna sendiri merupakan julukan Patih Kebo Iwa karena perjalanan hidupnya yang melajang hingga akhir hayat. “Arca ini dibangun sekitar tiga tahun yang lalu,” imbuhnya.

Dibangunnya arca tersebut didasari oleh pawisik yang didapatkan pemangku setempat sebagai wujud keberadaan Kebo Iwa di pura tersebut. “ Dan, akhirnya kami membangun sebuah arca dengan wujud Patih Kebo Iwa sesuai dengan gambaran wujud Patih Kebo Iwa semasa hidup ,yaitu setinggi 2,25 meter, berbeda dengan manusia kebanyakan,” pungkasnya.

Kebo Iwa dan pasukannya pun membangun benteng-benteng pertahanan yang disebut Bedog, yang digadang-gadang menjadi asal mula nama Desa Pakraman Bedha. Selain benteng, Kebo Iwa juga membuat tempat peristirahatan. “Tempat peristirahatan inilah yang menjadi Bale Agung Desa Pakraman Bedha,” tegasnya.

Dijelaskan oleh Wirata, pembuatan Bale Agung tersebut oleh Kebo Iwa menggunakan kayu-kayu yang terdampar di pesisir pantai Selatan Tabanan. “Saat itu ada banjir dan badai besar, jadi kayu-kayu besar dari Jembrana hanyut dan terdampar di pesisir pantai Selatan. Itulah yang digunakan untuk membangun tempat peristirahatan Kebo Iwa bersama 800 pasukannya,” tandasnya.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber



Selasa, 12 April 2022

catur sanak dan pertiwi

 


Hubungan istimewa rare (bayi) bukan hanya kapada ibu ataupun ayah, adalah juga dengan catur sanak (empat saudara niskala). Menjaga bayi sejak embrio, membantu lahir hingga menyertai segala aktivitas kehidupan kelak.
Mereka adalah bentuk niskala dari darah, ketuban, ari. Lalu ketika telah berumur 3 bulan bukan hanya perayaan untuk bayi maka empat saudara gaib pun layak di apresiasi.

Seperangkat baju anak, mainan, banten ari beragam hiasan warna-warni harum, dipersembahkan.
sebelum bayi dewasa lalu melangkah ditanah, maka pijakan tanah pertama itu penting pula disucikan.
Tanah di gurat sosok bedawang Nala kura-kura api dasar bhumi. Ditutup guwungan sangkar ayam. Penanda "sinangga dening hyang ibu pertiwi pinayungan dening bapa akasa" di sangga oleh ibu pertiwi dipayungi bapa angkasa langit.



Minggu, 03 April 2022

Sejarah Tradisi Ngaro Warga Madura Sanur di Pura Tengah Laut

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Beragam tradisi keagamaan dilakukan turun temurun oleh umat Hingu di Bali, sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Tradisi Ngaro misalnya, yang dilaksanakan di lautan oleh warga Madura.

Tradisi Ngaro yang digelar warga Madura di Desa Sanur ini, dilaksanakan bertepatan dengan Purnama Kapat, Jumat (15/10/2016) lalu di Pura Dalem Segara. Sesuai dengan namanya, Pura Dalem Segara memang berada di lautan, yakni sekitar 150 meter dari bibir pantai. Jika air laut pasang, kawasan yang disucikan tersebut seperti ditelan lautan.

Menurut Pangempon Pura Dalem Segara, Nyoman Sunarta, tradisi Ngaro yang dilaksanakan warga Madura yang tinggal di Desa Sanur ini, merupakan tradisi yang sudah diselenggarakan secara turun temurun dari leluhur warga Madura sebelumnya. “Tradisi Ngaro yang diselenggarakan pada Purnama Kapat ini sudah diselenggarakansejak abad ke-10 silam, sebagai ungkapan terima kasih leluhur kami kepada Dewa Baruna sebagai penguasa Samudra,” jelas Sunarta.



Dikatakan Sunarta, sejarah dari tradisi Ngaro ini erat kaitannya dengan perjalanan tokoh suci Mpu Baradah dan Hyang Yogi Swara ke Pulau Bali. Ketika runtuhnya Kerajaan Singasari pada abad ke -10 lalu, kondisi keamanan dan wilayah di Kerajaan Singasari sangat kacau, sehingga Sang Hyang Yogi Swara yang merupakan seorang pendeta kerajaan bersama dengan Mpu Baradah memutuskan untuk berlayar ke wilayah timur Pulau Jawa. Setelah menyeberangi Pulau Jawa, akhirnya Mpu Baradah dan Sang Hyang Yogi Swara sampai di sisi utara Pulau Bali. Di tempat pertama kalinya berlabuh itu, Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Beradah mendirikan tempat pemujaan yang akhirnya dinamai Pura Dalem Sari yang terletak di Bukit Gondol, Singaraja. “Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan ke arah Timur dan Sang Hyang Yogi Swara sampai di Tulamben dan di tempat ini juga mendirikan pura dengan nama Pura Manik Sakti di Tulamben,” paparnya.

Setelah beberapa lama tinggal di Tulamben akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke arah barat melalui samudera, hingga sampailah di Kawasan Sanur. Sesampainya di Desa Sanur ini, Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi di tengah lautan di Sanur. Sedangkan Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke daratan dan mendirikan banyak pura di wilayah Sanur dan Kabuparen Badung, hingga akhirnya juga mendirikan sebuah Pura, yakni Pura Dalem Madura di Desa Cemagi, Kabupaten Badung.

Setelah melakukan tapa semedi, akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Baradah bertemu lagi. Tempat pertemuan itulah yang disebut dengan Madura yang beradal dari dua kata, yakni “Madu” yang artinya bertemu dan “Ara” yang artinya ari. Jadi, Madura ini berarti pertemuan daratan dan air laut. “Sehingga rawa-rawa tempat pertemuan tersebut disebut sebagai wilayah Madura dan keturunan Hyang Yogi Swara di tempat tersebut disebut dengan warga Madura, dan sampai sekarang tempat wilayah ini disebut dengan Banjar Madura,” ungkapnya.


Setelah memiliki wilayah dan akhirnya punya keturunan, Sang Hyang Yogi Swara memerintahkan kepada keturunannya untuk membuat suatu persembahan bagi Sang Hyang Baruna dan dihaturkan di tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi ketika air laut surut. Selanjutny, ritual menghaturkan persembahan tersebut disebut dengan nama Ngaro. Sedangkan tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan pemujaan di tengah segara dijadikan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Baruna. Dan, hingga saat ini tempat tersebut dinamai sebagai Pura Dalem Segara, dan secara turun temurun tempat tersebut digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual Ngaro setiap Purnama Kapat. Adapun bentuk persembahan yang dihaturkan ketika upacara Ngaro adalah banten sederhana yang terdiri dari buah-buahan dan dua jenis bubur, yakni bubur merah dan bubur putih. Seluruh perlengkapan upacara ini, lanjut Sunarta, dipersiapkan pada malam hari sebelum upacara Ngaro dilaksanakan. “Untuk buah-buahan yang digunakan adalah buah lokal, termasuk juga bunga yang digunakan adalah bunga jepun putih dan bunga jepun merah,” paparnya. Hal ini menurut Sunarta untuk menjaga nilai kesucian dari bahan baku dan proses yang digunakan dalam pembuatan sesajen untuk upacara Ngaro. Selain bahan baku yang digunakan dipersiapkan pada malam harinya, seluruh proses pembuatannya juga tidak menggunakan teknologi modern. Seperti membuat tepung, beras yang digunakan harus ditepung dengan lumpang dan proses memasaknyapun harus mengunakan kayu bakar. Setelah banten selesai dibuat, selanjutnya banten dibawa ke segara (laut). Saat upacara Ngaro dilakukan, tanpa perlu mengunakan penerangan dari lampu, karena ketika upacara Ngaro, sinar bulan menyinari bumi dengan maksimal, karena posisi bulan tepat berada di atas katulistiwa.

(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber


Jumat, 25 Februari 2022

PENGERTIAN PADEWASAN PENANGGAL PANGLONG, SASIH, DAUH



Pengertian dan Perhitungan Padewasan Penanggal dan Panglong, Sasih dan Dauh - Pada pembahasan materi agama Hindu kali ini mengenai pengertian padewasan penanggal dan panglong, sasih dan dauh beserta contoh dan cara menggunakannya, untuk lebih jelasnya dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!


Padewasan Menurut Penanggal dan Panglong, Sasih dan Dauh
Berdasarkan Penanggal dan PanglongPenanggal dan Panglong perhitungannya berdasarkan peredaran bulan satelit dari bumi. Penanggal (tanggal) disebut pula Suklapaksa yaitu perhitungan hari-harinya dimulai sesudah bulan mati (tilem) sampai dengan purnama (bulan sempurna). Lama penanggal 1 sampai dengan 15 lamanya 15 hari. Penanggal ke 14 atau sehari sebelum purnama disebut Purwani artinya bulan mulai akan sempurna nampak dari bumi.

Sedangkan Penanggal ke 15 disebut purnama artinya bulan sempurna nampak dari bumi. Pada hari Purnama merupakan hari beryoganya Sang Hyang Candra (Wulan).

Panglong disebut pula Krsnapaksa yaitu perhitungan hari dimulai sesudah purnama yang lamanya juga 15 hari dari panglong 1 sampai dengan pangglong 15. Panglong ke 14 sehari sebelum tilem disebut Purwaning Tilem artinya bulan mulai tidak akan nampak dari bumi. Sedangkan pangglong 15 disebut tilem artinya bulan sama sekali tidak nampak dari bumi. Pada hari tilem beryoganya Sang Hyang Surya.


Pengertian Padewasan Penanggal Panglong, Sasih, Dauh


Padewasan Pananggal-Panglong terdapat pada tabel sebagai berikut :Baik Buruknya Pananggal menurut Teks Wariga Diwasa


PananggalDewa YajñaPitra YajñaManusa YajñaWiwaha YajñaBhuta Yajña
1 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
2 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
3 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
4 X X X X X
5 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
6 X X X X X
7 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
8 X X X X X
9 X X X X X
10 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
11 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
12 X X X X X
13 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
14 X X X X X
15 Ayu X X X X
Baik Buruknya Pananggal Persefektif Teks Sundariterus

PananggalWujud HariBaik/Buruk
1 Jaran/kuda Baik untuk Dewa Yajña
2 Kidang/kijang Baik
3 Macan Baik
4 Kucit/anak babi Baik
5 Sampi/sapi Buruk
6 Kebo/kerbau Baik
7 bikul/tikus Buruk
8 Lembu Baik
9 Asu/anjing Buruk
10 Naga Baik
11 Kambing Baik
12 Menjangan Baik
13 Gajah Baik
14 Singa Buruk
15 Mina/ikan Baik
Baik Buruknya Panglong Persefektif Teks Sundariterus




PanglongWujud HariBaik/Buruk
1 Celeng/babi Buruk
2 sikep/elang baik untuk menghadap raja
3 lelipan/lipan baik untuk dewa Yajña
4 klesih/trenggiling Buruk
5 konta/unta Baik
6 manusa/manusia Buruk
7 manusa sakti Baik
8 bala/prajurit Baik
9 padang/rumput Baik
10 pacet/lintah Buruk
11 lutung/monyet Baik
12 lelipi/ular Baik
13 gruda/garuda Baik
14 uled/ulat Buruk
15 kekua/kura-kura Buruk



Berdasarkan SasihPadewasan sasih adalah hitungan baik buruknya bulan bulan tertentu yang berpedoman pada letak matahari, apakah berada di Uttarayana (utara), Wiswayana (tengah) atau Daksinayana (selatan). Berikut akan diuraikan Ala Ayuning Sasih berdasarkan Teks Wariga Dewasa seperti tabel berikut ini:

Ala Ayuning Sasih berdasarkan Teks Wariga Dewasa



Agama Hindu mempergunakan panduan sasih antara sasih Candra dengan Sasih Surya sehingga ada perhitungan “pengrapetang sasih”. Hal ini dilakukan karena disadari betul bahwa bulan dan matahari mempunyai pengaruh besar terhadap bumi dan isinya. Selain penentuan Padewasan, hari suci agama Hindu, yang berdasarkan sasih adalah:

1) Pada hari Purnama beryoga Sang Hynag Candra (wulan),

Pada hari Tilem beryoga Sang Hynag Surya. Jadi pada hari Purnama-Tilem adalah hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra. Pada waktu Candra Graha (gerhana bulan) pujalah beliau dengan Candrastawa (Somastawa). Pada waktu Sūrya graham (gerhana matahari) pujalah beliau dengan Sūryacakra Bhuanasthawa.
2) Sasih Kapat

Purnama Kapat merupakan beryoganya Bhatara Parameswara, beliau Sang hynag Purusangkara diiringi oleh Para Dewa, Widyadara-Widyadari dan para Rsigna. Selanjutnya pada Tilem dapat dilakukan penyucian batin, persembahan kepada Widyadara-widyadari.
3) Sasih Kepitu

Purwaning Tilem Kepitu disebut hari Sivaratri, yaitu beryoganya Bhatara Siva dalam rangka melebur kotoran alam semesta termasuk dosa manusia. Pada hari ini umat Hindu melakukan Bratha Sivaratri, yaitu Mona, Upawasa, dan Jagra.
4) Sasih Kesanga

Tilem Kesanga adalah hari pesucian para dewata, dilakukan Bhuta Yajna, yaitu tawur agung kesanga sebagai tutup tahun Saka.
5) Sasih Kedasa

Penanggal 1 (bulan terang pertama) sasih Kedasa disebut hari Suci Nyepi, yaitu tahun baru Saka. Pada saat ini turunlah Sang Hyang Darma. Purnama Kedasa beryoganya Sang Hyang Surya Amertha pada Sad Khayangan Wisesa.
6) Sasih Sada


BACA JUGA : 


Pada Purnama Sadha, patutlah umat Hindu memuja Bhatara Kawitan di Sanggah Kemulan.
Berdasarkan DauhPadewasan menurut dauh merupakan ketetapan dalam menentukan waktu yang baik dalam sehari guna penyelenggaraan suatu upacara-upacara tertentu.

Pentingnya dari dewasa dauh akan sangat diperlukan apabila upacara-upacara yang akan dilakukan sulit mendapatkan hari baik (dewasa ayu). Dauh jika dibandingkan mirip dengan pembagian waktu menurut jam, namun bedanya hanya penempatan panjangnya waktu. Hitungan jam dalam sehari dibagi 24, hingga sehari dalam hitungan jam panjangnya 24 jam. Dalam perhitungan dewasa dauh mengandung makna dalam waktu satu hari terdapat dauh (waktu-waktu tertentu) yang cocok untuk melakukan suatu kegiatan. Signifikasi dari dewasa dauh diperlukan apabila upacaraupacara yang dilakukan sulit mendapatkan hari baik (dewasa ayu). Dalam perhitungan dewasa berdasarkan dauh mempunyai beberapa hitungan, yakni berdasarkan Panca dauh dan Asta dauh.


a. Sistem Panca dauh (Sukaranti) adalah pembagian waktu (hari) dalam sehari menjadi 10 bagian, dengan hitungan 5 dauh untuk menghitung panjangnya siang (setelah matahari terbit hingga menjelang terbenam) dan 5 dauh lagi untuk menghitung panjangnya malam/wengi (dari matahari tenggelam hingga terbit).

Sistem Panca Dauh


Keterangan :

Kr: Kerta: Ayu (baik)
Pe: Peta: Madya (menengah)
Pa: Pati: Ala (Jelek)
Su: Sunia: Ala (buruk)
Ke: Ketara: Ayu (baik)
Catatan: Ala-Ayu dauh Sukaranti pada Pengelong dihitung terbalik (1 menjadi 5)
b. Sistem Asta dauh yang memiliki konsep yang sama dengan Panca dauh, bedanya hanya pembagian waktunya menjadi 16, dengan perincian 8 dauh untuk menghitung panjang waktu mulai matahari terbit, hingga menjelang terbenam dan 8 dauh lagi untuk untuk menghitung panjangnya malam hari dari terbenamnya matahari hingga menjelang terbit.

Sistem Asta Dauh


Perbandingan Asta Dauh dengan Jam Indonesia Tengah




Rabu, 16 Februari 2022

SEJARAH HARI RAYA GALUNGAN

 Hari Raya Galungan mempunyai cerita sendiri dan makna tersendiri bagi setiap individu. Berikut sedikit sejarah tentang Hari Raya Galungan yang dikutip dari ceritadewata.blogspot.com.

Jaman dahulu tersebutlah seorang Raja keturunan Raksasa yang sangat sakti dan berkuasa bernama Mayadanawa. Dengan kesaktiannya, Mayadenawa mampu berubah wujud menjadi apa saja. Mayadenawa menguasai daerah yang luas meliputi Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan. Raja ini terkenal kejam dan tidak mengijinkan rakyatnya untuk memuja dewa serta menghancurkan semua pura yang ada. Rakyat tidak berani melawan karena kesaktian Mayadenawa.
Lalu tersebut pula seorang pendeta bernama Mpu Kulputih. Beliau yang sedih melihat melihat kondisi rakyat akhirnya melakukan semedi di Pura Besakih memohon petujuk para Dewa untuk mengatasi Mayadenawa. Dewa Mahadewa kemudian memerintahkan beliau pergi menuju Jambu Dwipa (India) untuk meminta bantuan. Singkat cerita, bantuan pasukan datang dari India dan kahyangan untuk memerangi Mayadenawa dipimpin oleh Dewa Indra. Namun Mayadenawa sudah mengetahui kedatangan pasukan ini berkat banyaknya mata-mata. Perang dashyat pun terjadi dengan korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Akhirnya pasukan Mayadenawa kocar-kacir dan melarikan diri meninggalkan sang. Namun Mayadenawa belum mau menyerah begitu saja. Pada malam hari di saat jeda perang, Mayadenawa diam-diam menyusup ke tempat pasukan kahyangan dan memberi racun pada sumber air mereka. Agar tidak ketahuan, Mayadenawa berjalan hanya dengan menggunakan sisi kakinya. Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Tampak Siring. Pagi harinya, pasukan kahyangan meminum air dan keracunan. Dewa Indra tahu racun berasal dari sumber air, sehingga beliau menciptakan mata air baru yang sekarang dikenal dengan Tirta Empul. Berkat Tirta empul, semua pasukan yang keracunan bisa pulih kembali. Sungai yang terbentuk dari Tirta Empul kemudian dikenal dengan nama Tukad Pakerisan.
Dewa Indra mengejar Mayadenawa yang nelarikan diri dengan pembantunya. Dalam pelarian, Mayadenawa sempat mengubah wujudnya menjadi Manuk Raya (burung besar). Tempatnya berubah wujud sekarang dikenal dengan Desa Manukaya. Namun Dewa Indra terlalu sakti untuk dikelabui sehingga selalu mengetahui keberadaan Mayadenawa walopun sudah berubah wujud berkali-kali. Sampai akhirnya Dewa Indra mampu membunuh Mayadenawa. Darah Mayadenawa mengalir dan menjadi sungai yang dikenal dengan Tukad Petanu.

Sungai ini konon telah dikutuk. Bila airnya digunakan untuk mengairi sawah, padi akan tumbuh lebih cepat namun darah akan keluar di saat panen dan mengeluarkan bau. Kutukan akan berakhir setelah 1000 tahun. Kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa kemudian menjadi simbol kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma) yang diperingati sebagai Hari Galungan. Pada Hari Raya Galungan, ada tradisi untuk membuat Penjor. Penjor adalah simbol dari Gunung sekaligus simbol dari keberadaan para Dewa. Penjor berbentuk seperti umbul-umbul dengan bahan tiang dari bambu dan hiasan utama janur, padi, kelapa, buah serta hasil-hasil bumi lainnya. Ini sebagai simbol bahwa semua hasil bumi yang kita nikmati berasal dari Tuhan. Penjor biasanya dibuat sehari sebelum Galungan.

Senin, 14 Februari 2022

Bulan Bahasa Bali, Desa Adat Anturan Gelar Beragam Lomba

 Bulan Bahasa Bali, Desa Adat Anturan Gelar Beragam Lomba


SINGARAJA, NusaBali Desa Adat Anturan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, tetap menggelar perayaan Bulan Bahasa Bali IV Tahun 2022 meski masih pandemi Covid-19.

Lomba Bulan Bahasa Bali dilaksanakan di Wantilan Desa Adat Anturan, pada Sabtu (12/2). Peserta yang mengikuti rangkaian kegiatan wajib disiplin protokol kesehatan dan tanpa penonton.



Acara pembukaan pun hanya melibatkan beberapa undangan sebagai upaya mengurangi kerumunan. Undangan yang hadir wajib melakukan scan barcode PeduliLindungi, mencuci tangan dengan hand sanitizer, serta mengecek suhu di depan pintu masuk.

Wakil Bendesa Adat Anturan, Ketut Supandra yang juga panitia Penyelenggara Bulan Bahasa Desa Adat Anturan menyampaikan, kendati peserta dibatasi namun antusias masyarakat dalam mendukung Bulan Bahasa Bali tidak berkurang. Menurutnya, kegiatan ini penting digelar secara berkala. "Pada era tekhnologi ini penting Bahasa Bali semakin ditinggalkan sehingga perlu dilestarikan kembali," katanya.

Supandra mengatakan, Bulan Bahasa Bali dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan Bendesa Adat Anturan, Ketut Mangku.

Pihaknya sepakat menggelar lomba dengan peserta dan penonton terbatas. Agar memudahkan dalam pengaturan penerapan protokol kesehatan secara ketat. Sebab, jika digelar lomba secara virtual dinilai kurang gereget.

Bulan Bahasa Bali di Desa Adat Anturan dimeriahkan dengan lomba Nyurat Aksara Bali yang diikuti 12 peserta tingkat SD, lomba Ngewacen Aksara Bali yang diikuti 6 peserta tingkat SMP, dan lomba Masatua Bali dengan 4 peserta.

Bendesa Ketut Mangku berharap, dengan digelarnya kegiatan ini penggunaan Bahasa Bali bisa lebih ditingkatkan. Khususnya di kalangan anak muda atau pelajar. "Sehingga Bali Ajeg dan memiliki kejayaan di bidang seni dan melestarikan budaya khususnya berbahasa Bali," kata Ketut Mangku. *mz



Sumber