Senin, 01 Agustus 2022

Matebus Belingan

 


Matebus Belingan menjadi salah satu ritual di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng untuk mengawali siklus hidup bayi yang masih dalam kandungan. Upacara ini dilaksanakan saat kehamilan memasuki usia bulan kelima dan ketujuh.
Kelian Adat Sembiran I Nengah Arijaya mengatakan, memang tidak ada catatan pasti tentang upacara Matebus Belingan (ritual untuk orang hamil). Namun, seingatnya, tradisi ini menjadi ritual yang harus dilaksanakan secara turun-temurun. Bahkan, sering dianalogikan seperti ritual Magedong-gedongan di Bali pada umumnya.
Diyakini si anak yang belum lahir telah memiliki jiwa, karena kurang lebih pada bulan ketiga kehamilan, jiwa dari seorang leluhur dadya orang tua telah menemukan tempat tinggal di dalam tubuh sang anak.
“Meskipun si anak yang masih berada dalam kandungan sang ibu dan ibunya lewat upacara ini bisa berperan positif bagi perkembangan sang anak,” paparnya.

Ia menambahkan, lewat ritual Matebus Belingan dapat dimaknai sebagai prosesi menyucikan kehamilan. Ritual ini ditandai dengan melilitkan benang kapas putih pada pergelangan-pergelangan tangan si Ibu. Sehingga diharapkan sang ibu akan dibersihkan dari ketidaksucian supaya sang anak dilahirkan dalam keadaan selamat.
“Upacara ini diharapkan dapat memberikan perkembangan secara normal tanpa cacat, sehingga bayi yang lahir memiliki perawakan yang gagah, sempurna secara fisik dan menyenangkan tanpa kekurangan apapun,” sebutnya.
Salah satu keunikan dari ritual ini adalah yang memimpin upacara ini adalah salah seorang wanita yang sudah dituakan. Baik yang sudah menikah, maupun dalam kondisi janda. Meskipun, si wanita tersebut tidak berasal dari lingkaran keluarga yang hamil.
Matebus Belingan dilangsungkan di empat tempat berbeda. Seperti di Pura Peken, Pura Janggotan, Pura Puseh Duur dan di Padang.


Cokorda Geg, Airlangga, dan Bharadah

 


Cokorda Gede Oka Geg, raja terakhir Kerajaan Klungkung. Begitu perang puputan usai ( 1908), ia beserta keluarga dibuang ke Lombok. Belanda lalu mengambilnya kembali untuk disekolahkan ke Jawa. Pada tanggal 1 -7-1929, oleh Gouverneur General van Nederland Indie ia diangkat menjadi Zelf bestuur der Landschap Klungkung dengan Ambts titel Dewa Agung.
Di samping sebagai raja, beliau dikenal sebagai seniman serba bisa. Penari gambuh yang andal. Ada sejumlah seniman di Klungkung dan Gianyar pernah ikut menari dengan sang raja. Sebut misalnya, Dadong Lemon, penari arja terkenal dari Tegal Linggah, Desa Bedulu, Gianyar. Mengaku dalam wawancara saya pernah menari dengan sang raja.
Ada banyak catatan sejarah tentang raja ini, baik dari sumber-sumber Belanda maupun sumber-sumber lokal. Saya tak hendak bercerita soal ini, maklum saya bukan orang sejarah. Tentang raja ini berserakan kabar lisan yang masih bisa kita simak, alih-alih bagaimana kebijakan raja menghadapi pandemi. Tentu cara sang raja tidak boleh dianggap ilmiah, dan tak lucu dipertentangkan dengan capain-capain sains hari ini.
Suatu hari di Geria Banjarangkan, saya mewawancari Ida Pedanda Putra Telaga, mantan Ketua Umum Parisada Indonesia, tahunnya saya lupa. Menurut Ida Pedanda, raja ini seperti dikaruniai banyak keajaiban. Saat karya Eka Dasa Rudra di Besakih, tahun 1963. Raja tengah muspa di Penataran Agung, tiba-tiba Gunung Agung mau meletus. Saat itu sang raja hanya bisa memohon pendek pada Bhatara Gunung Agung, "Mbok tiang kari muspa, sampunang mamargi mriki ( Mbok saya masih sembahyang, jangan lewat ke sini). Itu kata-kata raja yang didengar pengiringnya.

Apa yang terjadi kemudian? Letusan Gunung Agung memang tidak melewati Pura Besakih, dan raja tetap suntuk memuja di kaki Gunung Agung yang saat itu tengah memuntahkan lahar. Ini kabar lisan yang pernah saya dengar dari tetua di Klungkung. Termasuk kabar dari kakek dan ayah saya. Entah ini benar atau kabar burung, saya tidak tahu.
Kaba burung paling menarik, saat raja menuntaskan pademi kolera di sebelah timur Desa Satra. Sudah beberapa hari kematian menjemput masyarakat desa di sana. Tetua desa lalu menghadap raja di Puri Klungkung. Bendesa ini nyaris kena marah, karena terlambat melaporkan keadaan. Tindakan emergensi begitu cepat dilakukan sang raja. Jro Bendesa disuruh pulang duluan.
Tepat bajeg surya, sang raja sudah berdiri di depan Pura Prajapati desa bersangkutan, diiring seorang abdi sembari membawa pacanangan (tempat sirih). Lagi-lagi sang raja hanya memohon pendek di hadapan Palinggih Prajapati. "Mbok usanang pamitanga wadwan titiang, benjang i mbok jagi sungsut, ten wenten malih sane ngaturang canang tuh (Mbok hentikan, jangan lagi diambil rakyat saya, supaya besok mbok tidak bersedih, tidak ada lagi yang bisa menghaturkan canang kering)." Itulah permohonan pendek sang raja saat itu, entah itu jalan klenik atau jalan ilmiah, lagi-lagi saya tidak tahu. Grubug akhirnya menghilang.
Jalan selalu ada sesuai zamannya. Kita tahu konsep raja ala Jawa dan Bali adalah raja bagi semesta. Pengedali energi, raja bagi penguasa gaib, pengendali buta-buti, gamang, dan memedi. Siapa saja membaca sedikit karya-karya sejarah Prof C.C Berg, Soemarsaid Moertono, Slamet Muljana, akan memperoleh pandangan bagaimana kekuaatan mistis itu selalu melekat pada sang raja.
Selalu ada jalan memang, Kerajaan Airlangga misalnya; diselamatkan kesaktian Mpu Bharadah -- manakala kerajaan itu kolap termakan sihir Calonarang. Kita memang sedang menunggu keajaiban itu, seperti Airlangga menunggu Bharadah, pendiri "Universitas" Lemah Tulis itu.
Yang pasti Tuhan selalu hadir di tangan-tangan orang baik, di tangan pemimpin yang tetap merawat rasa olas asih. Di tangan dokter cerdas yang paham menuntaskan penyakit, di tangan politikus yang peduli pada penderitaan rakyat, di tangan terpelajar yang memberi arahan yang benar. Rahayu.
Ditulis oleh : Wayan Westa






Selasa, 26 Juli 2022

MENCARI RUMAH DI SCBD


dari semua unggahan tentang nakAnak citayam... ini yang pAling menyentuh dan beRempati... 

***

MENCARI RUMAH DI SCBD
~ Nur Hafsah ~

Sudah lebih dari seminggu, namun hiruk pikuk Citayem Fashion Week masih jauh dari reda. Bukan hanya politisi numpang elektabilitas nampang di sana, bahkan sepasang artis serakah mematenkan nama CFW menjadi hak milik intelektualnya. Sungguh tak bermuka.

Terlepas dari para pengejar voter  dan pemburu cuan, gemuruh CFW dan SCBD selalu menarik saya pada kisah Jeje. 

Bukan kisah baru. Sudah banyak bertebaran di media online. Tapi beberapa penuturannya tentang detail peristiwa yang ia alami, seperti menghantam saya, lagi, tentang realita betapa anak-anak -terlebih perempuan, tidak bisa aman bahkan ketika di rumah. 

Berkulit bersih (sampe ke ketek-ketek) Jeje memang beda dengan Kurma (yang suka dibecandai sebagai Kurang Mandi) atau Bonge (Bocah Bojonggede dengan rambut Stock-on-You). 

Body Jeje juga asoy. Jadi kegemarannya memamerkan tali kolor tidak bikin sakit mata. 

Teman cowok Jeje menyebutnya “sasinem”, sana-sini nempel. Dan kalau melihat video dia dengan pacar-pacarnya sih kelihatannya begitu. 

Jeje menampilkan dirinya lenjeh, manja-manja agresif -dengan suara melengking, kolokan sekaligus galak. 

Kesan berbeda justru muncul ketika dia bicara di beberapa podcast. Gaya bicaranya tenang, teratur, tata bahasanya rapi, bahasa Inggrisnya tidak ngasal. Mengingat umurnya yang baru 16 tahun dan sekolah hanya sampai kelas 2 SMP, ini agak luar biasa sih. 

Pada sebuah kesempatan Jeje malah dengan sabar makan lauk ayam menggunakan garpu dan sendok. Sementara pemilik acara sudah tidak tahan dengan paha ayam yang loncat kesana kemari, sehingga memilih main comot saja -makan pakai tangan. 

Menurut pengakuan Jeje, dia berasal dari Kemang. Daerah mahal. Lantas kok bisa bergabung dengan anak-anak SCBD yang kalau tak punya uang akhirnya tidur di terowongan? 

Mungkin sudah banyak yang melihat wawancaranya di podcast Atta. Tanpa ditanya dan tanpa diminta dia menceritakan asal mula kabur dari rumah. 

Bukan rumah orang tua. Karena ayah-ibunya sudah berpisah. Ayahnya tinggal di Belanda. Ibunya di Jakarta. Masing-masing dengan keluarga baru mereka. 

Bagaimana Jeje? 

Dia tertinggal di rumah nenek. 

Di rumah itu juga dia mendapatkan perlakuan biadab dari tukang kebun neneknya. Dia diperkosa.

Itulah sebab dia kabur. Tidur di bawah rel kereta Tanah Abang. Numpang di rumah teman. Di rumah pacar. Atau kleleran di Sudirman. 

“Papa mama kamu tau?”

“Semua orang rumah sudah tau...”

“Orangnya dipecat?

“Nggak…

“Mama sama Nenek aku dulu itu punya pemikiran… kayak… ‘Kamu bukan korban… Kamu sendiri yang mengundang.’ 

“Emang pakaian aku suka terbuka ya Kak… kalau di rumah pakai celana pendek. Kaosan… Jadi dikiranya… aku yang memikat dan mengundang dia untuk melakukan itu…”

Atta yang baru punya anak perempuan meringis mendengar penuturan Jeje. 

Masih dengan suara lembut, tersendat tapi tertata, Jeje mengeluarkan pembelaan diri. 
“Tapi sebetulnya bagi aku sendiri kayak… Nggak… Nggak kayak gitu maksudnya…”

Atta kebingungan. Tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pengakuan Jeje memang tidak disangka-sangka. Dan dia menuturkannya dengan tenang. Tanpa emosi meledak. 

Saya yang nonton juga kebingungan. Seringan itukah? 

Melihat penuturannya yang runut, juga detail waktu, sulit menuduhnya mengada-ada.

Satu jawaban atas pertanyaan Atta mengunci kecurigaan bahwa dia hanya mengarang-ngarang. 

“Waktu akhirnya aku pulang lalu cerita kejadian itu sama nenekku, dia nangis…”

“Terus… Habis nenek kamu tahu?”

“Akhirnya ditanya… ke orang yang ngelakuin.”

“Orangnya ngakuin?”

“Iya.”

Atta pun terhenyak. 

Jadi sebetulnya kasus itu terang benderang. Tidak ada penyangkalan. 

Tetapi kok ya bisa tidak ada yang memperkarakan? Bahkan sang nenek yang menjadi wali (juga ibunya) malah menganggap hal itu wajar terjadi gara-gara cara berpakaian? 

Jeje menolak seandainya ada yang mau membantu mengkasuskan peristiwa tersebut. Dia bahkan mencegah keluarga ayahnya yang hendak melabrak. 

Baginya, yang lalu biarlah berlalu. Jadi pembelajaran saja. Sekarang buka lembaran baru. 

Dunia berputar kembali seperti biasa. Ibunya dengan bayi yang baru lahir, ayahnya kembali ke Belanda, tukang kebun tetap bekerja di rumah neneknya. Hanya Jeje yang terbuang. Melarikan diri. 

Dari rumah yang tidak aman. Dari ayah dan ibu yang meninggalkan. Dari nenek yang menyalahkan (meskipun Jeje sendiri menolak menyalahkan neneknya. Bagi dia peristiwa itu terjadi karena dirinya dan nafsu si pelaku). 

Jeje memilih jalanan.

“Kamu ga takut diapa-apain di jalanan?”

“Aku dulu tu mikirnya… Ah, gua udah kotor… Kalau ada orang yang jahatin gua terus ngotorin gua lagi ya udah…”

Sumpah, nangis hatiku di situ. Kasihan sekali anak perempuan. Sudahlah dia dituduh mengundang dan memikat nafsu laki-laki, lalu dia pula yang dianggap kotor. 

Semua argumentasi melawan pelaku pelecehan tumpah di kepala saya. Deras seperti hujan badai. 

Tapi terasa sunyi, sudah tak  bersuara lagi. Seperti pesawat TV yang di-mute.

Saya hanya terdiam mendengar penuturan Jeje. 

Anak yang lahir ke dunia karena keinginan orangtua -tanpa ia sendiri meminta. Tapi ketika orang tua bercerai justru dia yang ditinggalkan. 

Ketika manusia berjiwa iblis menjahatinya di usia sangat belia, justru dia yang disalahkan. 

Saya greget dengan orang-orang yang menganggap bikin anak itu kayak prestasi. Giliran mengasuh, membimbing, menjaga, ga becus, pada kabur dari tanggung jawab. 

Ya gak heran kalau anak-anak juga kabur dari rumah dan lari ke jalanan. Mereka berusaha menemukan keluarga sendiri, membangun rumah sendiri. Tidur beratap langit, menyambung hidup dari hari ke hari. 

“Ga diusir sama petugas?” tanya Thoriq. 

“Kita sudah CS-an Bang,  sama Satpamnya.”

“Mantaap… Starling gratis. Satpam CS-an. Su.dir.man.pride..!”

Entah kalau SCBD ini bubar. Baik karena dibubarkan maupun karena tren-nya lewat. Anak-anak yang kehilangan rumah, akan selalu mencari keluarga yang menerimanya. Bahkan bila itu di jalanan sekalipun.

...

Usai Mawinten Pantang Makan Daging Suku Empat

 


Ada sejumlah pantangan untuk orang yang telah Mawinten. Salah satunya adalah pantang makan daging berkaki empat.

Welaka Ida Bagus Gede Suragatana mengatakan, pantangan seseorang yang selesai Mawinten sesuai kemampuannya. Selain itu, niat dari seseorang yang melaksanakan Pawintenan tersebut. “Kalau saya tidak boleh makan daging suku empat, tidak boleh makan dari upacara Pangabenan. Tetapi semua itu tergantung dari niat. Jika itu dilanggar maka akan sangat gampang sakit,” tutur pria yang akrab disapa Gus Suragatana ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyat, pekan kemarin.



Gus Suragatana mengaku saat Pawintenan berjanji menjadi walaka yang menjaga astika asti, yakni arah utara, selatan, timur, dan barat. Sehingga, ketika makan daging suku empat dirinya akan tidak tahu arah. Tetapi, jika makan tidak disengaja, lanjutnya, bisa nunas pangampura (mohon maaf) dengan upakara Prayascita.

“Yang menentukan itu semua adalah janji dan pikiran sendiri. Prayascita itu dilaksanakan dengan syarat pantangan tersebut dilanggar dengan tidak disengaja. Bila sengaja dilanggar, maka upacara tersebut tidak ada gunanya,” imbuhnya.

Gus Suragatana menambahkan, bahan yang digunakan untuk merajah saat Pawintenan berupa sirih dan madu. Di mana di antara kedua kening dirajah dengan aksara suci Yang, di dada dengan aksara suci Dang, kedua bahu dengan aksara suci Bang, di tunggir dengan aksara Sang, di telapak tangan dengan aksara Tang, di tengah lidah dengan aksara Ing, dan pada ujung lidah dengan aksara Ong.

Gus Suragatana menjelaskan, beberapa sarana upakara yang digunakan untuk mawinten, supaya rentetan prosesi Pawintenan berjalan lancar tanpa halangan apapun. “Pertama harus melakukan prayascita sebagai pembersihan, banten durmanggala, banten pangulapan, pangenteb bayu, banten atma rauh, pangenteb hati. Tetapi paling awal harus melakukan natab biyukawonan,” jelasnya.

Setelah melakukan biyukawoanan, baru dilaksanakan majaya-jaya yang harus dipuput oleh sulinggih. Selanjutnya menghaturkan banten kehadapan sasuhunan yang malinggih di merajan. Setelah itu, baru melaksanakan natab Pawintenan. “Banten setelah dihaturkan di merajan ditunas dan ditatab saat Mawinten. Di sana ada yang disebut dengan tebasan guru, baru dirajah badannya,” tandasnya.

Setalah pelaksanaan Pawintenan ada upacara Padambelan yang menggunakan bebek dan ayam. “Ayam menyimbolkan bhuta dan bebek menetralisasikan leteh sebelum diwinten. Rentetan upcara tersebut dilaksanakan sesuai Pawintenan apa yang dibutuhkan saat itu,”pungkasnya.

(bx/ade/yes/JPR) –sumber

Selasa, 19 Juli 2022

Sad rasa

 


1) Dharma Wiku,
Olahan yang memiliki “rasa lawana” atau asin, olahan ini berupa urab yang berwarna putih, biasanya disuguhkan disamping untuk upakara juga untuk para Wiku,
.
2). Bima Krodha,
Olahan yang dibuat memiliki rasa “ketuka” atau pedas, olahan ini berupa lawar berwarna merah, selain untuk upakara juga bisa untuk di konsumsi bagi semua orang kecuali Wiku,
.
3). Jayeng Satru,
Rasa olahan yang dibuat memiliki rasa “kesaya” atau sepet, dimana olahan ini berupa gegecok/penyon berwarna kuning, disuguhkan untuk bahan upakara dan para Wiku,
.
4). Gagar Mayang,
Rasa olahan yang dibuat memiliki rasa “tikta” atau pahit, biasanya olahan ini berupa gegode berwarna hijau disuguhkan untuk upakara dan para Wiku,

.
5). Nyunyur Manis,
Rasa olahan yang dibuat memiliki rasa “madhura” atau manis, dimana olahan ini berupa olahan campuran berwarna brumbun, disuguhkan untuk upakara dan juga bisa bagi semua orang kecuali Sang Wiku,
.
6). Galang Kangin,
Rasa olahan yang dibuat dengan memiliki rasa “amla” atau masam (asam), olahan ini berupa penyon, dibuat dari buah belimbing yang diiris tipis dan telah masak, dicampur kalas, berisi daging halus yang telah di masak, disuguhkan untuk upakara dan juga boleh untuk Sang Wiku.
.
Selanjutnya kita bicarakan hubungan simbolis antara Sad (6) Rasa dengan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.
============!!!!============
Sumber: IB. Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si, denpasarinstitute.com


Senin, 18 Juli 2022

Memuja Tuhan Melalui Arca (Archanam Sarva Pujanam)

 



Orang-orang yang kurang cerdas, sering menertawakan dan mencela umat Hindu yang memuja Tuhan melalui Arca dan menganggapnya sebagai tahayul bahkan tak jarang diberi label musryik dan menyembah berhala. Padahal kita juga sama-sama tahu bahwa tidak ada satu agama atau keyakinan apapun yang ada di dunia ini yang tidak memuja Tuhan melalui simbol; seperti menggunakan arah/kiblat, suara, cahaya, arca, bangunan, gambar, bendera/panji-panji.

Umat Hindu yang melakukan pemujaan melalui berbagai simbol atau niyasa/pratika termasuk melalui Arca-memiliki keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Ada juga bersemayam dalam simbol dihadapannya. Bagi umat Hindu arca bukanlah sekedar objek/sarana tambahan, tetapi merupakan bagian dari mekanisme batin dalam bhakti dan keyakinan.
Tentu saja semua puja yang dilakukan dengan gagasan bahwa arca tersebut hanyalah kayu/logam yang tidak bernyawa; benar-benar konyol dan amat membuang waktu. Tetapi bila hal ini dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa arca itu hidup penuh kesadaran dan kekuatan, bahwa Tuhan Yang Maha Segalanya, berada dimana-mana (vyapi vyapaka), meresapi segala yang ada (isvara sarva bhutanam) dan mengejawantah dalam tiap keberadaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (visva virat svarupa), dan dengan keyakinan bahwa Tuhan merupakan kenyataan batin bagi semuanya berada didalamnya, maka pemujaan arca benar-benar bermanfaat dan membangunkan kesadaran Tuhan.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Seorang “Wamana” selama bertahun-tahun tidak pergi ke tempat ibadat manapun dan ia menertawakan orang-orang yang menganggap arca sebagai simbol Ketuhanan. Ketika putrinya meninggal, pada suatu hari ia memegang fotonya sambil menangisi kehilangan tersebut. Tiba-tiba saja ia tersadarkan bahwa bila foto itu dapat menyebabkan kesedihan padanya dan membawa air mata kerinduan-maka arca itu juga dapat menimbulkan kegembiraan dan membawa air mata bhakti pada mereka yang mengerti keindahan dan kemuliaan Tuhan. Simbol-simbol itu adalah alat untuk mengingatkan bahwa Tuhan hadir dimana-mana dan dalam segala sesuatu.

Hindu yang Ajarannya sangat Logis dan paling masuk akal, tentu memiliki banyak pijakan atau dasar Sastra, mengapa pemujaan Arca tersebut menjadi sahih. Penjelasan tentang archanam atau tatacara pemujaan arca sangat jelas disebutkan dalam Srimad Bhagavatam seperti yang dinyatakan Uddhava kepada Shri Krshna;

Śrīmad Bhāgavatam 11.27.2:

“etad vadanti munayo
muhur niḥśreyasaḿ nṛṇām
nārado bhagavān vyāsa
ācāryo ‘ńgirasaḥ sutaḥ.”

Artinya:
Semua orang bijak/Rsi -Rsi mulia berulang kali menyatakan bahwa penyembahan semacam itu (archanam) membawa manfaat terbesar yang mungkin ada dalam kehidupan manusia. Inilah pendapat Nārada Muni, Vyāsadeva yang agung dan guru spiritual saya, Brhaspati (angirasah sutah).

Śrīmad Bhāgavatam 11.27.3-4:

“niḥsṛtaḿ te mukhāmbhojād
yad āha bhagavān ajaḥ
putrebhyo bhṛgu -mukhyebhyo
devyai bhagavān bhavaḥ
etad vai sarva – varṇānām
āśramāṇāḿ ca sammatam
śreyasām uttamaḿ manye
strī – śūdrāṇāḿ ca māna – da.”

Artinya:
Wahai Tuhan yang paling murah hati, pernyataan tentang proses penyembahan dalam bentuk arca ini dipancarkan dari bibir teratai Anda. Kemudian disampaikan oleh Brahmā yang hebat kepada putra-putranya yang dipimpin oleh Bhṛgu , Śiva menyampaikannya kepada saktinya, Pārvatī . Tatacara pemujaan seperti ini (archanam) diterima oleh semua lapisan masyarakat/warna dan semua tingkat kehidupan/asrama (sarwa-varnam asramanam). Oleh karena itu, saya menganggap penyembahan kepada Anda dalam bentuk arca menjadi yang paling bermanfaat dari semua praktik spiritual, bahkan untuk wanita dan pelayan.


kemudian dipertegas lagi oleh pernyataan Krishna dalam sloka berikutnya :

Śrīmad Bhāgavatam 11.27.9

“arcāyāḿ sthaṇḍile ‘gnau vā
sūrye vāpsu hṛdi dvijaḥ
dravyeṇa bhakti -yukto ‘rcet
sva – guruḿ mām amāyayā.”

Artinya:
Seseorang yang telah didwijati harus menyembah-Ku dengan sepenuh hati, mempersembahkan berbagai perlengkapan persembahan yang sesuai dalam pengabdian penuh kasih kepada bentuk KeilahianKu sebagai arca atau bentuk DiriKu yang muncul di atas tanah, di api, di bawah sinar matahari, di air atau di dalam hati pemuja itu sendiri.

Jadi dengan Simbol atau Pengarcaan umat Hindu bisa menjumpai Tuhan Yang Maha Esa.

Semoga bermanfaat bagi Keluasan pemahaman kita. Dan menguatkan Sraddha-Bhakti kita di jalan Dharma. Manggalamastu.

Om Santih Santih Santih Om
I Wayan Sudarma (Jero Mangku Danu) –sumber

Jumat, 15 Juli 2022

4 Penjaga atau Kanda Pat

 



Penulis Kanda Pat berbeda akan menyematkan istilah nama-nama berbeda atas 4 Penjaga tersebut. Tradisi menyebut keberadaan 4 Penjaga juga merupakan tradisi global yang mengakar pada Weda.
Menilik dari 4 Penjaga yang ada bersama tiap diri kita masing-masing sebagai pelindung waktu masih berbentuk janin adalah sebagai berikut dan kaitannya dengan 4 Mahluk Devine sebagai penjaga (Four Guardian Beasts) atau sebagai pengabih.
Anggapati = Naga = Air Ketuban.
Prajapati = Manuk Dewata Api/Vermilion = Esensi Darah (blood essence).
Banaspati = Harimau Putih/Samong = lamas atau selaput janin.
Banaspati raja = Kura-kura dan ular = Ari-Ari atau plasenta.
Yang kelima posisi madya (tengah) adalah Raganta atau rare atau tubuh ini
Empat penjaga atau empat saudara atau catur sanak atau kanda pat ini ada bersama kita dari awal. Saat kelahiran kita para saudara yang juga menjadi pengabih kita tersebut wujud kasarnya ditinggalkan sebab tidak bisa berkembang lagi dan berganti kedalam wujud spirit atau ruh. Sendangkan kita yang berada ditengah masih menguasai tubuh bhuta ini. Mereka tetap terkoneksi dengan hubungan yang rumit dengan diri kita.

Sehingga ilmu mistik kuno yang terkait kemampuan magis akan berisi teknik rapalan memasukkan 4 pelindung tersebut kedalam tubuh sendiri dan menjadikannya elemen kekuatan supranatural yang tak terjelaskan. Disebutkan bahwa 4 pelindung tersebut memiliki ego yang besar yang setara diri kita sendiri. Sehingga memintanya menjadi bagian kekuatan kita adalah sangat sulit ketika kita dari kelahiran sukses dengan tetap memiliki tubuh bhuta sedangkan saudara 4 kita tidak memilikinya. Terlebih ketika kita sama sekali mengacuhkannya sendari lahir hingga kini.
Disebutkan bahwa pada momen peringatan hari lahir atau otonan adalah cara termudah membuat empat saudara itu senang dan girang. Dari momen tersebut kita bisa mengajukan harapan perlindungan, kesuksesan, dll., yang akan dibantu oleh mereka.
-Rendi-
Vajrapani