Selasa, 28 Maret 2023

Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati



Secara etimologi Dewi Saraswati berasal dari dua kata yakni Dewi dan Saraswati. Dewi yaitu sosok perempuan yang suci atau bentuk feminim dari kata Dewa yang biasa disebut sakti. Dan Saraswati dalam bahasa sanskerta yang terdiri dari kata “saras” yang berasal dari urat kata “sr” yang artinya mata air, sesuatu yang terus mengalir. Sedangkan “wati” artinya yang memiliki. Jadi Saraswati dapat diartikan sesuatu yang memiliki sifat terus mengalir (air kehidupan dan Ilmu pengetahuan), (PHDI.2006. Online).


Saraswati (Susila. Dkk. 2009) dijelaskna bahwa terdiri dari kata “Saras” yang artinya sesuatu yang mengalir, ucapan. Sedangkan “Wati” yang berarti memiliki. Jadi Saraswati adalah sesuatu yang mempunyai sifat mengalir, sumber pengetahuan dan kebijaksanaan dengan gelar kehormatan-Nya adalah Dewi Saraswati, (Susila.dkk.2009:227).




Foto; Mutiarahindu.com
Kemudian Agastia (1997:6) menjelaskan bahwa Saraswati dalam bahasa sanskerta bermakna sesuatu yang mengalir, percakapan, kata-kata. Di dalam kitab suci weda dipuja sebagai dewi sungai dengan permohonan mendapatkan vitalitas hidup dan kesehatan. Posisinya sebagai Wach atau Dewa Kata-kata baru ditemui dalam kitab-kitab Brahmana, Ramayana, dan Mahabharata. Belakangan Saraswati dikenal sebagai “sakti” dewa Brahma atau Dewi kata-kata atau Dewi Ilmu Pengetahuan. Nama lain dari Saraswati adalah Bharati, Brahmi, Putkari, Sarada, Wagiswari (John Dowson, 1979: 285; Davane, 1968).


Di Bali, Dewi Saraswati disebut Hyangyangning Pangaweruh atau Dewa ning Pangaweruh yaitu dewa yang menguasai ilmu pengetahuan yang linggastana di Aksara atau huruf. Dewi saraswati yang dipuja sebagai penguasa ilmu pengetahuan yang linggastana-Nya adalah aksara, mempunyai berbagai keutamaan. Di dalam pustaka suci Weda terdapat beberapa puja dan pujian mengenai keutamaan Beliau. Seperti misalnya dalam Reg Veda I.3.10 yang berbunyi demikian.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Pavaka nah Saraswati Vajebhir Vajinivari Yajnam vastu dhiyavasuh”


Terjemahan:


“Semoga Saraswati, yang menyucikan, yang amat kaya, yang memiliki sumber ilmu pengetahuan, mendatangi persembahan kami”. (Agastia.1997:52)


Arti Simbol Atribut Dewi Saraswati



Di Indonesia, Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang puteri yang sangat Cantik, anggun dan menarik. Beliau membawa wina/rebab, ganitri, pustaka suci, teratai, duduk diatas angsa dan disampinynya terdapat burung merak (mayura). Adapun arti dan makna simbol-simbol tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Dewi, melambangkan kekuatan yang indah, dan lemah lembut.
Ganitri melambangkan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada habisnya untuk dipelajari sepanjang zaman.
Pustaka suci melambangkan sarana untuk mengabadikan ilmu-ilmu tersebut, sehingga dapat diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.
Wina/rebab melambangkan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi dan memperluas rasa estetika dan keindahan.
Teratai melambangkan ilmu pengetahuan itu suci. Mengapa bunga teratai, karena meskipun tubuhnya di dalam lumpur, ia tetap bersih. Selain itu teratai atau Padma ini akarnya di tanah, batang daunya di air dan bunganya di udara, melambangkan kemampuan hidup di tiga alam (bhur-bhuah-swah).
Angsa melambangkan kekuatan di tiga dunia (bhur-bhuah-swah), sebab ia dapat hidup pada ketiga unsur alam (di air, darat dan udara). Demikianlah ilmu-ilmu pengetahuan menguasai ketiga alam tersebut. Selain itu angsa juga melambangkan kearifan/kebijaksanaan untuk membedakan yang baik dan mana yang buruk. Meskipun ia mencari makan di tempat-tempat yang keruh, ia dapat membedakann mana yang boleh ia makan dan mana yang tidak. Angsa juga peka terhadap rangsangan dari luar. Demikian diharapkan bagi mereka yang berilmu.
Burung merak melambangkan kewibawaan. Burung merak itu memang terlihat anggun dan berwibawa. (Ngurah Nala dan Sudharta. 2009:177)

Mengenai makna simbol-simbol dan atribut Dewi saraswati juga dijelaskan dalam Kamus Istila Dalam Agama Hindu (Kondra.2015:121-122). Dikatakan bahwa Hari Saraswati atau Hari Dewanya Ilmu Pengetahuan juga sebut hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati. Beliau dilambangkan dengan seorang Dewi membawa wina, genitri, pustaka suci, serta duduk diatas angsa. Adapun arti simbul-simbul tersebut antara lain:

Dewi adalah simbol kekuatan yang indah, cantik, menarik, lemah lembut, dan mulia sebagaimana sifat dari ilmu pengetahuan itu.
Alat Musik (wina) adalah simbul seni budaya yang agung.
Genitri adalah simbul dari kekekalan dan tak terbatasnya ilmu pengetahuan itu.
Pustaka Suci adalah simbul dari ilmu pengetahuan suci.
Teratai adalah simbul kesucian ilmu pengetahuan yang bersumber dari Sang Hyang Widhi.
Angsa adalah simbul dari kebijaksanaan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa ilmu-ilmu kesucian dan pengetahuan tidak ada habis-habisnya. Meskipun manusia mampu mengumpulkan berbagai ilmu sebanyak-banyaknya sepanjang hidupnya, tetapi itu hanya sekelumit saja dari yang ada. Jadi kemampuan manusia hanya terbatas. Oleh karena itu, janganlah manusia menyia-nyiakan kehidupanya sebagai manusia. Kumpulkan sebanyak-banyaknya ilmu-ilmu yang menjadi minatnya, tidak hanya ketika manusia masih dalam masa brahmacarya, tetapi seterusnya, hingga tiba saatnya ke asalnya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


RELATED:
Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan
Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu
Pengertian, Makna Dan Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan
Semua pengetahuan kesucian dan ilmu pengetahuan adalah suci, sangat menarik, lemah-lembut, indah memperluas rasa aestetika, mengasah akal/kecerdasan, mempertinggi kemampuan bertindak arif/bijaksana, mendidik, berwibawa, dapat diteruskan ke generasi-generasi yang akan datang, tidak ada habis-habisnya sepanjang saman. Dengan demikian diharapkan, manusia akan makin mampu mewujudkan kehidupan Jagadhita tersebut.




Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/03/pengertian-dan-makna-simbol-atribut.html
Agastia. 1997. Saraswati Simbol Penyadaran dan Pencerahan. Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Kondra, I Nengah. 2015. Kamus Istilah Dalam Agama Hindu. ….:…
Ngurah Nala, I Gusti dan Sudharta, Tjokorda Rai. 2009. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya Dharma.
Susila, I Nyoman. Dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu Modul 1-9. Jakarta: Depag RI Bimas Hindu

Senin, 13 Maret 2023

Brahma Muhurtha

 



Di dalam Bhagawadgita 4.11
Jelas menyebutkan :
Dengan cara apapun engkau menyembah diriku , aku akan terima .
Karena itu merupakan jalanku ""
Brahman adalah tidak terbatas
dan aspekNya pun tak terbatas .
Oleh karena itu tak terbatas pula untuk mencapaiNya .
Bhagawadgita menjelaskan bahwa melaksanakan ajaran agama kepada pilihan dan keyakinan seseorang .
Menyimak yang disebutkan di dalam Bhagawadgita .
Apa yang sebenarnya kita peributkan dan bahkan saling mencela .
Kita sebagai manusia sangat terbatas dan sangatlah kecil dibandingkan dengan kebesaran Brahman tanpa batas
Tetapi karena begitu angkuhnya yang namanya manusia dan lupa akan ajaran siapa diri kita .

Hanya manusia berpikir sempit selalu mempeributkan apa keyakinan orang lain dan belum mengerti siapa dirinya .
Manusia yang Ideal dalam dunia ini adalah manusia yang tahu budi pekerti , harmonis dengan lingkunganya, Humanisme , Emansipasi , Menghargai pendapat orang lain , Bekerja keras , dan Memiliki Pengetahuan Tentang Atman dan berbakti kepada Brahman .
Selalu berjalan berdasarkan Dharma .


Simbolisasi dan Makna Wadah, Bade, dan Lembu

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Upacara Ngaben adalah ritual mengantar arwah keluarga atau orang yang disayangi menuju ke alam sunia. Dalam prosesinya, selain menggunakan Wadah, Bade, juga disertai Lembu. Apa makna sesunggungnya Wadah, Bade, dan Lembu itu?

Wadah, Bade, dan Lembu umumnya memiliki fungsi yang sama sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual Ngaben di Bali. Namun, penggunaan Wadah biasanya digunakan oleh seseorang yang tidak berkasta. Sedangkan Bade dan Lembu digunakan oleh mereka yang memiliki kasta lebih tinggi. “Dalam filosofinya, Wadah dan Bade merupakan simbol dari bagian bawah dari Gunung Maliawan,” papar Undagi yang juga Ketua Yayasan Gases Bali, Dr. Komang Indra Wirawan,S.sn kepada Bali Express (Jawa Pos Group) akhir pekan kemarin di Denpasar.

Tak disanggahnya belakangan ada kecenderungan melaksanakan pangabenan secara berlebihan, bahkan dianggap menyalahi makna Ngaben itu sendiri.

Dikatakan Indra, adanya fenomena melaksanakan pangabenan secara mewah dan besar – besaran, dengan membeli Wadah yang lengkap dan besar dengan tujuan agar atman dapat lebih mudah tiba di Nirwana merupakan stigma yang keliru.

Menurutnya Wadah, Bade, dan Lembu hanya sarana pangabenan, bukan penentu seseorang itu akan mudah masuk surga atau tidak.

“Atman dimudahkan menuju Suargan atau Nirwana, bukan karena Wadah yang digunakan, tapi tergantung seperti apa karma sang atman itu,” bebernya.



Kadang orang salah kaprah, lanjutnya, ketika orang tuanya telah tiada mereka seolah membayar utang mereka dengan menyelenggarakan upacara Ngaben secara jor – joran. “Wadah harus yang paling mahal dan lengkap, baju yang digunakan layonnya harus baju yang terbaik ketika dibakar. Padahal, itu semua tidak perlu. Itu semua tidak dapat memengaruhi sang atman sampai ke Nirwana,” ujarnya.

Indra menyebutkan, secara fisik, Wadah dan Bade memiliki perbedaan yang mencolok. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan. Sedangkan, jika tak memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat jenazah biasa yang menjulang tinggi disebut Wadah. “Memang berbeda, meski fungsinya sama, yaitu untuk membawa dan membakar jenazah ketika ngaben, namun secara riilnya berbeda,” urainya.

Bentuk Wadah yang paling sederhana bertumpang satu. Wadah ini, bentuknya seperti keranda tanpa penutup, dan diusung oleh empat orang. Lalu ada pula Wadah yang disebut dengan Papageh. Papageh umumnya sudah berbentuk seperti Wadah, namun lebih kecil ukurannya. Selain itu, ada juga Wadah (batur sari), yakni Wadah umumnya yang sering digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Dan, terakhir ada Bade. “Nah Bade merupakan prasaranan yang paling lengkap. Biasanya menggunakan boma, angsa, Bedawang Nala,Garuda, dan Meru atau tumpang,” ujar pria yang akrab disapa Komang Gases ini.

Dikatakan pria yang usianya berkepala tiga ini, penggunaan Bade umumnya memiliki aturan khusus . Bade biasanya ada beberapa jenis, ada yang tumpang sembilan, tumpang solas (sebelas), tumpang pitu (tujuh), tumpang lima dan seterusnya. Nah masing – masing tumpang sudah ditentukan kasta apa yang dapat menggunakannya. Contohnya keturunan Dalem, biasanya diperbolehkan menggunakan Bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan Naga Banda dan kelengkapan upakara lainnya.

Indra memaparkan, memang benar dalam tiap inci bagian yang ada pada Bade maupun Wadah memiliki arti dan filosofi khusus. Dalam Lontar Dharma Laksana, dijelaskan makna dari bagian – bagian Bade. “Bade dan Wadah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Dalam undagi biasanya disebut ornamen parta punggel. Itu biasanya berbentuk ornamen simbol,” ujarnya.


Ornamen – ornamen yang ada pada Bade merupakan simbol. Dikatakan Indra, dalam teori Widi Tattwa menyebutkan, agama Hindu di Bali dalam setiap segmen kehidupan, menggunakan media simbol, simbol sebagai sebuah tanda dalam makna kehidupan. Semua tradisi dan kepercayaan di Bali merupakan simbol. Contohnya banten itu simbol, canang itu juga simbol, segehan juga simbol. Begitu juga Wadah dan Bade adalah simbol. “Jadi, bukan berarti dengan menggunakan Wadah bertumpang solas, orang tersebut bisa lebih mudah tiba di Nirwana,” ujarnya.

Dalam Bade ada simbol Bedawang Nala. Wa dalam Bedawang Nala artinya tanah pertiwi. “Jika ditilik dari makna filosofinya, Bedawang Nala merupakan simbolisasi dari rwabhineda, yang artinya manusia harus dapat memilah mana yang baik dan buruk dalam hidup,” ujarnya. Selain itu, ada juga ornamen Naga. Ornamen ini, bisa diartikan sebagai simbol ‘Kamerta pangurip jagat’. Naga identik dengan niat rakus atau momo. Simbol ini menggambarkan, manusia diikat oleh rasa tamasika. “Diletakkannya simbol naga pada Bade diharapkan sifat tamasika orang yang meninggal akan dilebur dan tidak terbawa ke alam sunia. Naga ini merupakan simbolisasi dari Naga Basuki.

Selanjutnya ada juga ornamen yang disebut Boma. Boma merupakan gambaran kepala raksasa yang memiliki caling (taring) dengan mulut terbuka. Boma merupakan simbol perwatakan wujud manusia dari rasa tidak pernah puas. “Boma itu kan simbolisasi seorang manusia dengan hasrat tidak pernah puasnya hidup di dunia. Contohnya mereka yang gila harta, seberapa pun penghasilan yang didapat, mereka tetap merasa kurang dan terus menginginkan lebih,” tuturnya.

Selain itu, terdapat juga ornamen Garuda dalam Bade. Bungsu dari tiga bersaudara ini menjelaskan, Garuda merupakan simbol dari kendaraan Dewa Wisnu. Garuda dipercaya akan membantu menerbangkan segala sesuatu yang masih mengikat sang atman di Mercapada. Kemudian ada juga Angsa yang dinilai simbol istimewa. Sebab, Angsa berarti kembalinya sang atman pada yang kuasa. “Nah sampai di alam sunia, yang bisa dipertanggungjawabkan adalah karma. Jadi, seberapa pun mahalnya Wadah tak akan bisa mengurangi dosa karma kita di Mercapada ini,” ujarnya

Dalam upacara pangabenan banyak tahapan yang harus dilakukan, salah satunya adalah tradisi unik memberi bekal kepada yang meninggal yang hingga kini terus dipertahankan.
“Fenomena memberi bekal berupa uang dan benda – benda berharga bagi jenazah yang akan dibakar, tindakan salah kaprah, ” ujarnya.

Menurutnya, apa yang mereka lakukan adalah hal yang percuma. Sebab, orang yang meninggal tidak membawa benda – benda itu ke alam Nirwana. “ Daripada memberi mereka uang berjuta – juta ketika sudah mati, lebih baik mereka memberinya ketika orang tersebut masih hidup. Ini mereka jor – joran memberi ketika orangnya sudah tiada. Ketika masih hidup, justru mereka menyia – nyiakannya,” paparnya.

(bx/tya/bay/yes/JPR) –sumber

Minggu, 12 Maret 2023

Makna dan Tujuan Banten Pawedangan dan Ajengan

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Pernahkah Anda memperhatikan orang tua kita sering kali menghaturkan banten kopi maupun Ajengan di Bale Delod ataupun di Sanggah? Kebiasaan tersebut bahkan tak hanya dilakukan pada hari hari tertentu, namun dilakukan setiap hari.  Untuk apa dan kepada siapa persembahan itu ditujukan?

Nitya Karma atau disebut juga Nitya Yadnya, merupakan upacara yang harus dilakukan setiap hari dan bersifat sederhana. Salah satu pelaksanaannya adalah banten Pawedangan atau banten kopi,  ajengan atau jotan.

Dijelaskan Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba, Nitya Karma dibagi menjadi Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Rsi Yadnya. Dalam pelaksanaannya,
lanjut sulinggih yang juga  dosen Institute Hindu Dharma Negeri Denpasar ini,
mabanten Pawedangan dan Ajengan termasuk dalam Dewa Yadnya. Banten Pawedangan yang berupa kopi dan roti, biasanya dihaturkan di beberapa tempat, seperti Sanggah Kemulan, Rong Telu, Panunggun Karang, Pelangkiran rumah, serta Bale Delod atau Bale Dangin.



Menurutnya, Nitya Karma adalah salah satu bentuk yadnya yang harus dilakukan sebagai upaya untuk menghubungkan Sang Atman dengan Sang Pencipta.  “Secara teoritis, Nitya berarti sehari – hari dan yadnya yang berasal dari kata yaj’ yang berarti memuja, sehingga Nitya Yadnya berarti pengorbanan dilandasi kesucian hati dan ketulusan yang dilaksanakan pada kehidupan sehari – hari,” bebernya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Dijelaskanya, banten Pawedangan itu hanya salah satu dari beberapa implementasi yadnya. Tujuannya sebagai sarana untuk penyatuan Atman kepada Sang Pencipta atau salah satu cara menuju Moksa. Dan, ini hanya salah satu caranya saja.

Ida Pandita memaparkan, dalam pelaksanaan Nitya Karma (yadnya) pada Dewa Yadnya, diwujudkan dengan mabanten Pawedangan di sanggah. Banten  Pawedangan itu biasanya berisi kopi dan roti. Lalu di Rong Telu, banten Pawedangan tersebut berupa kopi, air, roti beserta nasi saur.  Selain itu,  juga dihaturkan di dapur serta di sumur atau sumber air. “Nah satu lagi, jangan lupa untuk mabanten Pawedangan di Panunggun Karang. Biasanya Pawedangan yang dihaturkan berupa kopi, rokok, dan roti,” ungkapnya.

Hal itu juga sesuai dengan kitab Manawa Dharma Sastra yang memaparkan ada beberapa tempat yang dianggap penting dalam pelaksanaan Nitya Yadnya, yaitu bungut paon atau perapian dapur, sumur atau sumber mata air, atap rumah, pekarangan, sanggah/merajan dan Panunggun Karang. “Tempat – tempat tersebut diaggap penting karena dipercaya merupakan stana Dewa. Dapur merupakan stana Dewa Brahma, Sumur identik dengan air,  simbolisasi dari Dewa Wisnu,”ungkapnya. Nitya Yadnya, lanjutnya, bisa dalam berbagai bentuk,  dan banten Pawedangan hanya salah satu cara.

“Ingat, ini hanya satu dari seribu perwujudan Nitya Yadnya. Artinya tak harus mabanten Pawedangan setiap hari. Biasanya disesuaikan dengan desa kala patranya. Kalau bisa dilaksanakan tiap hari alangkah bagusnya. Cara lain melaksanakan Nitya Yadnya yaitu dengan Trisandya dan mabanten Saiban,” ujarnya.

Ketika ditanya, apakah benar Banten Pawedangan adalah persembahan kepada leluhur ? Mantan dosen Universitas Udayanan, ini menjelaska, banten Pawedangan merupakan wujud syukur kepada Tuhan atas rezeki yang berupa makanan.

“Sama seperti banten Saiban, banten Pawedangan juga merupakan perwujudan syukur kita kepada Sang Pencipta. Namun, hanya bentuknya saja yang berbeda. Adanya kepercayaan persembahan terhadap leluhur, itu kembali lagi kepada masing – masing personal dan desa kala patranya,” ujarnya.

Ida Pandita menjelaskan, pelaksanaan Nitya Yadnya  dianggap penting. Dalam kitab Bhagavadgita III.12-13 disebutkan :

Istan bhoan hi vo deva,
Dasyante yajna – bhavitah,
Tair dattan apradayaibhyo,
Yo bhunkte stena eva sah,
Yadnya sishtasinsah santo,
Mucnyante sarva kilbishail,
Bhujante te tv agham papa,
Ye pacanty atma karamat.

Artiya: Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para Dewa karena yadnyamu. Sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri sesungguhnya dosa.

“Dari sloka itu kita bisa mengerti pelaksanaan Nitya Yadnya itu penting. Karena tidak melaksanakan yadnya artinya kita berdosa,” ujarnya.

Terakhir ia nyampaikan agar masyarakat mengerti mana yadnya yang memang harus dijalankan, mana yadnya yang hanya terpaku pada gengsi. “Sesungguhnya yadnya yang harus dijalankan yaitu yadnya sederhana seperti ini, seperti banten Saiban, banten Pawedangan ataupun Ajengan. Namun, belakangan ini masyarakat justeru terpaku pada yadnya yang wah. Harus banten ini dan itu, harus menggunakan buah impor dan mahal. Padahal tidak demikian, itu hanya ego kita sebagai manusia yang ingin terlihat wah,” ungkapnya.

(bx/tya/rin/yes/JPR) –sumber

Makna, Tujuan dan Cara Penggunaan Benang Tri Datu

 



Agama Hindu di Bali memiliki banyak simbul dalam menjalankan agamanya. misalnya ada ritual yang membuat orang Hindu Bali menggunakan gelang benang Tri Datu. Namun benang merah, hitam dan putih ini bak menjadi trend fashion. Karena tak hanya orang Bali, atau orang hindu. Namun non hindu juga “nyaman” menggunakan gelang Tri Datu.

Menurut pandangan Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof I Gusti Ngurah Sudiana, bagi umat Hindu Bali, benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri Datu, secara etimologi, berasal dari dua kata yakni kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti kekuatan, jadi Tri Datu berarti tiga kekuatan. Tiga kekuatan ddi sini adalah kekuatan dari tiga Dewa utama dalam agama Hindu. “Yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa,” jelasnya.

Tri Datu yang memiliki tiga wrna yakni merah, putih dan hitam ini menjadi lambang tiga kekuatan. Yakni Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam.



Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. “Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa,” lanjut dosen IHDN ini.

Sehingga pada hakikatnya, dikatakan Sudiana, benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya.

Salah satu sastra yang membahas tentang penggunaan benang Tri Datu dalam ritual keagamaan Hindu adalah Lontar Agastya Parwa. Dimana dalam lontar Agastya Parwa disebutkan Sudiana, benang Tri Datu untuk manusia yakni Umat Hindu Bali digunakan sebagai sarana perlindungan dari kekuatan negatif. Sehingga manusia bisa terhindar dari hal-hal negatif dan bisa berfikir lebih bijaksana.



Dijelaskan Sudiana untuk jalinan benang ini bisa dikatakan benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. “Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu juga difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan,” tambahnya.

Jika dilihat dilihat dari sejarah penggunaan benang Tri Datu, sebelum menjadi tren seperti saat ini, dikatakan Sudiana, hampir semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajna dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Mulai dari upacara Dewa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.

Selain itu, benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja, sehingga benang Tri Datu pada awalnya adalah sebuah pica (Anugrah) dari beberapa pura seperti Pura dalem Ped yang berlokasi di Nusa Penida. “Bisa dikatakan Pura Dalem Ped inilah yang pertama kali menganugrahkan gelang Tri datu kepada pemedek yang tangkil ke Pura, selanjutnya seiring dengan perkembangan, akhirnya hampir seluruh Pura di Bali saat ini menganugrahkan benang Tri datu kepada umatnya,” urainya.

Dalam upacara Butha Yajna, benang Tri Datu dipakai pamogpog (pelengkap) atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Untuk pelaksanaan upacara Rsi Yajna juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya.

Sedangkan pada upacara Manusa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. “Sedangkan pada upacara Pitra Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal,” paparnya.

Lantas bagaimana dengan benang Sanga Datu dan benang Panca Datu yang bisa didapat di Pura watu Klotok untuk Panca Datu dan Pura Besakih untuk Sanga Datu?

Hingga saat ini Sudiana mengaku jika belum ada literature yang menjabarkan tentang penggunaan Sanga Datu dan Benang Panca datu untuk digunakan sebagai gelang atau kalung oleh umat. “Untuk Sanga Datu dan panca Datu ini, belum ada literature yang menyebutkan tentang penggunaan kedua benang ini untuk gelang bagi manusia,” tambahnya.

Dengan latarbelakang ini, Prof Sudiana mengatakan tidak ada masalah jika umat non hindu menggunakan gelang benang Tri Datu tidak salah. “Selain itu memang tidak ada larangan bagi umat non Hindu untuk menggunakan benang Tri datu ini, sepanjang penggunaannya pada tempat yang tepat,” jelasnya.

Adapun masud tempat yang tepat ini seperti digunakan untuk gelang tangan dan kalung dan bukan gelang kaki. Karena jika digunakan di kaki tanpa adanya tujuan dan ritual yang jelas, maka penggunaan tersebut bisa dianggap sebagai pelecehan, karena mengunakan simbul Tri Murti bukan pada tempatnya. “Posisinya tepat, sehingga tidak menjadi pelecahan terhadap simbol Hindu. Tidak masalah jika digunakan umat lain,” urainya.

(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber


Sabtu, 11 Maret 2023

Tri Rna

 



Dalam melaksanakan Yadnya ada tiga kewajiban utama yang harus dilunasi manusia atas keberadaannya di dunia ini yang disebut Tri Rna (tiga hutang hidup). Tri Rna ini dibayar dengan pelaksanaan Panca Yadnya. Perlu diingat bahwa Yadnya tidak semata-mata dilaksanakan dengan upakara/ritual. 

Dalam Artikel Mutiarahindu.com dijelaskan bahwa Tri Rna berasal dari bahasa sansekerta dari kata Tri dan Rna, Tri artinya tiga, dan Rna artinya hutang atau kewajiban. Jadi Tri Rna artinya tiga hutang atau kewajiban yang dimiliki manusia yang dibawa sejak lahir. Hutang atau kewajiban manusia meliputi hutang jiwa kepada Sang Hyang Widhi, hutang hidup pada orang tua, dan hutang pengetahuan kepada para guru dan orang suci. Ajaran Tri Rna mengajarkan kita untuk mengetahui hak dan kewajiban kita dalam kehidupan, sehingga menuntun kita untuk menyadari bahwa hidup kita ini memiliki hutang atau kewajiban yang wajib kita bayar dan laksanakan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:2).



Tri Rna terdiri dari:
  1. Dewa Rna, yaitu hutang hidup kepada Hyang Widhi yang telah menciptakan alam semesta termasuk diri kita. Untuk semua ini wajib kita bayar dengan Dewa Yanya dan Bhuta Yadnya. Dewa Yadnya dalam bentuk pemujaan kepada Hyang Widhi serta melaksanakan Dharma. Butha Yadnya dilakukan untuk memelihara alam lingkungan sebagai tempat kehidupan semua mahluk.
  2. Rsi Rna, yaitu hutang kepada para Rsi yang mengorbankan kehidupannya sehingga dapat memberikan pencerahan kepada manusia melalui ajaranajarannya sehingga manusia dapat menjalani hidup dengan lebih baik. RsiRna dilunasi dengan melaksanakan Rsi Yadnya.
  3. Pitra Rna, yaitu hutang kepada orang tua dan leluhur. Leluhur dan orang tua sangat memiliki peranan besar atas kehidupan kita saat ini. Karma leluhur dan orang tua berpengaruh terhadap keberadaan setiap orang. Paling tidak kelahiran kita di dunia karena adanya leluhur dan orang tua. Oleh karena itu maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas hutang tersebut. Membayar hutang kepada orang tua dan leluhur dilakukan dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
Untuk lebih jelasnya Silakan Baca Artikel Mutiarahindu.com yang berjudul "Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri RnaArtikel ini membahas tentang tri rna beserta contonya lengkap.


Bhakti dalam Agama Hindu

 


Pengertian dan Makna Bhakti dalam Agama Hindu. Bagi umat Hindu kata “bhakti” sudah menjadi kata kunci dalam hubungannya dengan pelaksanaa ajaran agama. Apalagi yang berkaitan dengan aktivitas ritual, istilah “bhakti” selalu menjadi “roh/jiwa” yang menghidupkan sekaligus menggairahkan pelaksanaan yadnya. Tidak salah dikatakan bahwa apapun yang dilakukan umat Hindu terkait ketaatannya melaksanakan ajaran agama, merupakan ekspresi dari bentuk bhakti. Lebih-lebih jika aktivitas ritual itu berupa upacara, lengkap dengan upakara dan uparengga (sesaji/bebanten) yang kaya simbol dan sarat makna itu, semuanya akan dikatakan sebagai bentuk pelaksanaan bhakti. Sampai kemudian muncul ungkapan bahwa ketika umat Hindu melakukan relasi dengan Ida Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, beserta manifestasi-Nya, dicetuskan dengan kata-kata “titiyang ngaturang bhakti” (saya mempersembahkan sujud bhakti). Kata bhakti benar-benar telah menjadi titik kulminasi pengabdian dan atau pelayanan umat Hindu kehadapan Ida Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, termasuk kepada sesama manusia dan seisi alam lainnya. 


Lalu, apakah sebenarnya pengertian kata “bhakti”. Mengutip "Monier-Williams Sanskrit-English Dictionary" (University of Cologne), kata “Bhakti” (dibaca [bʱəkt̪i], berarti 'pengabdian' atau'bagian', yang dalam praktik Hinduisme menandakan adanya suatu keterlibatan aktif oleh seseorang dalam memuja Yang Mahakuasa. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai "pengabdian", meskipun kata "partisipasi" semakin sering digunakan sebagai istilah yang lebih akurat, karena menyampaikan suatu hubungan dekat dengan Tuhan (Karen, 1999: 24). Menempuh jalan bhakti disebut bhakti marga, sementgara orang yang menjalankan ajaran bhakti disebut bhakta. Bhakti merupakan komponen penting dalam banyak cabang Hindu, yang didefinisikan berbeda-beda oleh berbagai sekte dan aliran (Jones,ed, 2005: 856–857). 

Bhakti sebenarnya menekankan pengabdian dan pelayanan daripada ritual. Namun bagi umat Hindu pada umumnya, apalagi di Bali, yang namanya bhakti pengertiannya lebih berkonotasi pada aktivitas ritual yang disebut dengan istilah ngaturang bhakti atau mabhakti. Jadi, asal sudah ngaturang bhakti, artinya adalah melaksanakan upacara yadnya, dengan mempersembahkan sarana upakaraning bebanten (sesaji/sesajen) yang biasanya diakhiri mabhakti atau muspa (kramaning sembah). Padahal makna dasariah bhakti tidaklah sebatas ritual, melainkan berkaitan dengan luapan cinta kasih dalam suatu relasi atau interaksi, seperti dengan kekasih, dengan teman, orang tua-anak, guru, pemerintah, alam beserta segenap isinya, dan sebagainya. Itulah arti luas dan makna mendalam dari ajaran bhakti, yang dalam praktiknya dipersempit cakupannya seakan-akan hanya sebatas dan terbatas pada urusan aktivitas ritual yadnya. Namun apapun bentuknya, aktivitas ritual umat Hindu tetap diyakini, dipahami dan dilaksanakan sebagai wujud bhakti. 

Referensi

KETUT WIDANA, I GUSTI. 2020. ETIKA SEMBAHYANG UMAT HINDU. Denpasar: UNHI Press