Senin, 03 Juli 2023

fungsi dan pengertiannya

  





Sanggah Kamulan berasal dari 2 kata, "sanggah" berarti tempat pemujaan, dan "kamulan" berasal dari kata mūla yang berarti awal atau sumber. Jadi Sanggah Kamulan adalah tempat untuk memuja asal mula darimana manusia itu diciptakan, siapakah Beliau?⁣

"Pada kamulan kanan adalah ayahmu, Sang Parātmā. Pada kamulan kiri adalah ibumu, Sang Śivātmā. Pada kamulan tengah adalah Sang Hyang Ātmā (Tuhan), yaitu roh dari ayah dan ibu (yang telah) kembali ke Dalem (asal mula) menjadi Sang Hyang Tunggal" — Lontar: Tutur Gong Besi, lembar 3a⁣





Jadi, umat Hindu bersembahyang dihadapan Sanggah Kamulan tiada lain sedang memuja asal mula diri kita sendiri yaitu Bhaṭāra Hyang Guru (Tuhan Yang Maha Esa).⁣
Gong Besi lebih lanjut menyatakan, "Aku maraga lanang, meraga wadon, meraga daki, dadi aku meraga sawiji, nga. Aku Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Tunggal." — Aku berwujud laki-laki, juga berwujud perempuan, telah menjadi kotor (papā), beragalah Aku sebagai makhluk hidup. Namun sesungguhnya Aku esa tiada duanya. ⁣

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Adapun Lontar Śivāgama, lembar 328, menyiratkan begitu pentingnya Sanggah Kamulan dibangun sebagai satu-satunya pemujaan yang harus ada pada masing-masing pekarangan untuk memuja Bhaṭāra Dalem (Tuhan) sebagai Sang Hyang Ātmā.⁣
"Dia adalah Sang Hyang Paramawisesa dari Dalem Kawi. Kalian sehat berasal dari Dalem, penyakit dari Dalem, kehidupan dari Dalem, kematian juga dari Dalem. Dari Sang Hyang Pemutering Jagatlah asal mula segala sesuatu, menjadi beranekaragam oleh karena Dalem Sendiri." — Lontar: Tutur Gong Besi, lembar 3b.⁣
yo devānām prabhavaś co'dbhavaś ca
vīśvādhipo rudro maharṣiḥ
hiraṇyagarbham paśyata jāyamānam
sa no buddhyā śubhayā samyunaktu
"Dia adalah sumber dan darimana para devatā itu berasal, penguasa segalanya, Mahaṛṣi Rudra (Bhaṭāra Guru), yang mengawasi segala ciptaan alam semesta (Hiraṇya-garbha). Semoga Dia memberikan cahaya pengetahuan kepada kita." — Śvetāśvatara Upaniṣad (4.12)⁣
______________________________ ⁣
Part 2: Sanggah Kemulan sebagai media penghormatan kepada leluhur (bersambung)⁣
Photo: @ayomoto.id

Minggu, 02 Juli 2023

TUMPEK

 


Saniścara kliwon ngaran tumpěk, wkasing tuduh ring sarwa janma, [Sundarigama, a]
Rahina pertemuan Saptawara Saniscara (Sabtu) dengan Pancawara Kliwon dinamakan Tumpěk, yang bermakna puncak segala titah kepada semua umat manusia.
Yan ring Saniscara Kliwon, ngabhakti pitra guna asih. [Bhuwana Mahbah]
Saat di hari Sabtu Kliwon adalah hari baik untuk memuja leluhur agar mendapatkan berkat kasihnya.
haywa lali umastiti sanghyang paramawisesa, apan sira tuhu tan adoh tan aparèk lawan sira, tan parèk tan pasah, apan sira amet pinet, kala samana turun krēta nugrahanira sanghyang antawisesa ring rat kabeh, [Sundarigama, a]
Karena itu, janganlah lupa memuja Sanghyang Parama - wiśesa, sebab Beliau sungguhnya tidak berada jauh dan juga tidak dekat dengan diri kita, tidak dekat dan juga tidak terpisahkan, sebab Beliau memiliki kekuatan mengambil dan diambil. Pada hari itu SANGHYANG ANTAWISESA turun ke dunia memberikan ANUGRAH.
Ritus Tumpek
Tumpek merupakan rerahinan pertemuan Saptawara, Saniscara bertemu dengan Pancawara Kliwon. Secara umum Tumpek terkait dengan rituas profesi. Ritualnya dengan menghaturkan persembahan ke Sanggah Kemulan. Setelah itu, dilanjutkan dengan ritus nyurud ayu, tatab sesayutnya untuk diri, keluarga serta obyek yang diritualkan.
aturakna wangi - wangi, canang nyasa maring sarwa dewa, pamalakunya, ring sanggar parhyangan, laju matirta gocara, puspa wangi. [Sundarigama, a]
mempersembahkan sesajen berupa canang wangi - wangi, canang yasa kepada para dewa, bertempat di Sanggar dan Parhyangan, lalu memohon air suci.
wenang, base, buah, sudang, taluh, canang limang tanding. [Bhuwana Mahbah]
Sarana yang diperlukan adalah daun sirih (base), buah pinang (buah), ikan laut (sudang), telor, dan lima buah (tanding) canang.
pangacinya kayeng lagi, nghing ri sedenging latri tan wěnang sira anambut gawe, měněng juga pwa hěningakna kang ajñana malilang, tumengětakna śasananira sanghyang dharma, mwang kawyajñana śāstra kabeh, mangkana tělas [Sundarigama, a]

Sesajen persembahan yang patut dibuat sama seperti di atas, namun pada saat malam hari, kalian tidak boleh mengambil pekerjaan. Kalian hanya berdiam diri mengheningkan pikiran (Meditasi Pamurtian Aksara) agar jernih dan terang benderang, membangkitkan kesadaran kepada Sanghyang Dharma, serta kemuliaan semua ajaran suci.
Rahayu Tabik Pekulun, Inti dari rerahinan tumpek adalah RITUS NYURUD AYU sangat jelas di sebutkan dalam kutipan teks lontar Sundarigama di atas.
Gugon Tuwon Tumpek yang kehilangan ETIKA
Seperti yang kita lihat perkembangan yang ada di tengah masayarakat, bahwa setiap tumpek biasanya melakukan upacaranya langsung di lokasi yang akan dibuatkan upacaranya, contoh kalau tumpek landep dibuatkan upacara di hadapan mobil, motor, pabrik yang berhubungan besi dll, tumpek uduh upacaranya di tegalan dimana pohon pohonan yang akan di upacarai, tumpek kendang upacaranya di kandangnya dst…….
Sesungguhnya tidak salah dengan dibuatkan upacara seperti yang disebutkan diatas dan memang seharusnya dibuatkan upacaranya tapi upacara yang dilakukan di tempat yang akan diupacarai adalah RITUS NYURUD AYU, dan pusat ritus setiap tumpek DI LAKUKAN DI SANGGAH KEMULAN
TUMPEK KLURUT yang kebablasan
Tumpek Krulut jatuh pada hari Sabtu Kliwon, wuku Krulut adalah pemujaan kepada Tuhan dalam manisfestasinya sebagai Dewa Iswara, yang telah menciptakan suara-suara suci dalam bentuk Tabuh (kara-wit-an) dan Gamelan (kara-wang).
Krulut memiliki makna RASA, dalam hal ini wujud dari Dewa Iswara merupakan implementasikan dalam bentuk suara yang menimbulkan rasa kasih sayang yang berupa gamelan atau tetabuhan.
Tidak semua masyarakat Hindu Bali melaksanakan Rerainan Tumpek Krulut, Mengapa?
Jika dicermati dari sudut pandang GUGON TUWON sesungguhnya sangat jelas siapa yang melaksanakan RITUS pada saat Tupek Krulut sehingga sangat jelas bagaimana dan siapa saja yang melaksanakan rerainan Tumpek Krulut, yakni LEMBAGA ROHANI YANG MEMPUNYAI SEPERANGKAT GAMELAN
Kembali ke pemahaman tumpek bahwa rerainan Tumpek adalah rerainan yang bersifat LOKA DRESTA (sundarigama) yang artinya tidak semua masyarakat melaksanakan rerainan Tumpek, dan RERAHINAN TUMPEK adalah RITUS NYURUD AYU jadi sesungguhnya upacara yang dilaksanakan pada saat tumpek semestinya di lakukan di Sanggah atau Merajan dari PEMILIK GAMELAN yang akan di buatkan upacara, dan karena sekarang banyak masyarakat dan banjar-banjar membeli sendiri seperangkat gamelan maka etika dalam pelaksanaan upacara ritus tumpek krulut menjadi bias (tidak berdasarkan Tatwa, Susila dan Upacara).
Cara mudah melihat siapa pemilik dari gamelan yang berdasakan GUGON TUWON adalah dengan melihat siapa yang melaksanakan RERAIHAN pada saat tumpek krulut, dialah sesungghnya yang memiliki gambelan (walaupun dimana di tempatkan gamelan tersebut, tidak masalah) dan yang paling penting pada saat upacara TUMPEK adalah proses NYURUD AYU yaitu nunas Tirta Pemuput dan nunas Sesayut serta Ketipat Gong dari pemilik gamelan tersebut.
Dalam kondisi sekarang semestinya di Puri-Puri sejebag Bali dalam perspektif tatwa yang mempunyai otoritas sebagai Sang Prabu yang melaksanakan upacara Tumpek Krulut karena Sang Prabu yang mempunyai dan menjalankan fungsi sebagai lembaga rohani di Bali dan yang memiliki SUARA DAN KEPUTUSAN (ketipat gong)
Via : Aci Skar Dana
Credit : Made Yoga Semadhi


Kerauhan

 


Berasal dari akar kata "rauh" yang bermakna "datang, masuk", sehingga kerauhan padanannya kemasukan sesuatu... potensi roh halus, penunggu gaib, atau hal lainnya, tapi mungkin juga ledakan emosi terpendam----goyahnya kesadaran.
Bila dilihat dari tradisi, kerauhan itu dapat dilihat dari beberapa kreteria, seperti menyebutkan siapa dirinya; adanya permintaan; adanya bahasa khusus yang digunakan; gerak-tingkah lakunya; porem wajahnya; dan latar belakang kehidupannya.
Kalau merujuk ajaran "spiritual" pengiwa-panengen, hal ini agak abu-abu----klise----karena ada dalam ranah keyakinan yang berpotensi menabrak logika tatwa dan usadha.
Secara tattwa hingga kekinian, mulai dari weda yang menyebutkan tubuh ini stana tuhan (para dewata), yang juga terurai dalam ajaran Dasa Aksara dan Kanda Pat, belum lagi tattwa lainnya, akan menimbulkan "pertanyaan kritis" pada fenomena kerauhan ini...
Bila kerauhan dewa, dewa"baru" apalagi yang masuk dan dominan ditubuh manusia, padahal hampir semua dewa sudah berstana didalam tubuhnya ..pikirkan??
Bila kerauhan leluhur, mahkluk astral---gamang, demit, jin, setan dll termasuk roh halus----kok bisa masuk? Dikala para dewa siaga dengan senjata astralnya di dalam tubuh ini.. pikirkan ??
Kerauhan butha kala? Lah kok bisa? Sang Kanda Pat itu kan penguasanya..?!
Kalau bicara kesucian, belum ada manusia hidup yang suci, badan kita, pikiran kita bahkan ucapan dan tindakan kita tak luput dari hal yang kotor, itulah sebabnya kita berupaya menyucikan diri, baik lewat karma, ritual atau hal lainnya...

Potensi terbesarnya adalah #psikis, pendaman #emosi yang membuat kesadaran diri goyah... lupa diri, sehingga menjadi wajar ada sesuatu diluar kontrol menguasai dirinya.. Terkadang sesuatu luapan emosi berlebih bakal berdampak efek domino, Memacu adrenaline orang-orang disekitarnya yang memiliki "muatan negatif----pendaman emosi" berlebih untuk memacu dirinya untuk trance. Seperti sesuatu zat yg mudah terbakar terpendam puluhan tahun terus ada pemantiknya----makaTerjadilah Kerauhan Massal...
Namun, potensi kemujizatan akan selalu ada... disinilah posisi #Mintonin diperlukan.. Minimal 3 hal yang digunakan untuk mengujinya...
1. Yang gaib tidak terbakar oleh api, jadi apapun yang melekat tidak terbakar, cara mengujinya ya dengan menyulutkan sebatang dupa atau rokok ke pakiannya, apabila tidak terbakar, maka lulus uji api ini. Kenapa tidak membakar badannya? Ya kita wajib manusiawi lah, kasian kalau orangnya tidak kerauhan bisa melepuh kulitnya.
2. Yang gaib tidak basah oleh air, sehingga cara mengujinya dengan memercikan tirtha, apabila pakian dan tubuhnya tidak basah seperti daun talas, maka dianggap lolos uji air ini.
3. Inti dari kerauhan adalah mematerikan kemujizatan. Jadi apabila apa yang diminta sudah dijanjikan akan dipenuhi---akuagem----harusnya akan ada pembuktian kebenaran dari kemahakuasaannya.
Bila hal itu tidak terjadi, abaikan saja..
tidak perlu memberi hukuman apabila salah satu alat uji itu tidak lolos...
Namun...
sarankan kepada dirinya (orang yang merasa kerauhan) atau keluarganya untuk mengantarkan dia terapi psikis, bisa ke psikiater, hypno atau praktisi spiritual.. orang-orang ini yang berpotensi "ngeletehin", sehingga tanggung jawab kita bersama untuk menjaga mereka.
Rahayu😇🙏
Via : anggawasa


Sesananing Aji Pangeleakan

 


an "rasa", dengan jalan nyungsang (membalikkan rasa).
Sedangkan proses mendapatkan (menjadi) leak ada 4:
1) ada karena membeli "barang", baik membeli sesabukan, bebuntilan, cincin, bèkel; dimana barang tersebut dibangun dengan pemurtian "aksara" yang dituangkan didalam barang tersebut. Seiring berjalannya waktu, disaat "yasa" dari barang tersebut sudah terpenuhi puncaknya (nadi-tasak), menyebabkan pemakai "alat tesebut" bisa "ngeleak" tanpa diketahuinya. Bagi yang kritis "nglitik" dengan perjalanan kehidupan yang dijalani, mereka akan merasakan hal-hal mistis diluar kontrolnya.
2) Belajar pemurtian (tanpa penugran), yang diawali dengan belajar kawisesan, kanda pat, dasa aksara dll..
3) Leak paosan.. disebabkan oleh tetuanya yang memberikan kekuatan, diturunkan lewat media ludah (poes)
4) Leak penugran.. murni anugrah sebagai pahala dari bhakti-tapa- yoga-samadi yang diritualkan, dan/atau rekomendasi dari guru (mekel leak)
Berdasarkan 4 proses tersebut, setiap orang berpotensi bisa ngeleak.. tidak hanya orang awam, para balian, bahkan "orang disucikan" pun berpotensi ngeleak.
Apalah semua negatif...?
Tentu tidak..
Baik/buruk sebuah keilmuan bukan berdasarkan ilmunya, namun murni dari tabiat (pribadi) praktisinya..
Lalu, bagaimana ceritanya, kok orang bisa "disakiti" oleh praktisi leak..?
Sebenarnya, bagi penekun aji leak, sangat teramat sulit "menyerang" menyakiti seseorang (orang lain).

Butuh proses panjang, karena proses menggunakan keilmuan "milik bethari" tidaklah mudah. Menggunakan milik beliau, tentu juga atas seijin pemiliknya. Dengan kata lain, praktisi akan melalukan permohonan dahulu untuk menggunakan keilmuannya. Dasar dari permohonan tersebut adalah "hukuman" kepada target (orang yang akan diserang) atas kesalahannya kepada praktisi. Apabila dikabulkan, barulah keilmuan tersebut boleh dipergunakan.
Tahap kedua adalah memohon ijin kepada hyang guru si target, kemudian pengihang pekarangannya, dilanjutkan seijin peguasa dapur tempat tinggal si target. Salah satu tidak mengijinkan, maka serangan tidak akan dilakukan secara efektif.
Tahap ketiga, setelah tahap sebelumnya terpenuhi, adalah menyelidiki "otonan" si target. Caranya sang praktisi akan mulai memasang kawisesannya guna mendeteksi otonannya. Dengan mengetahui otonan si target, maka akan ditemukan hari terlemah dari si target (dewasa ayu menyerang target).
Itulah 3 tahap guna menyakiti/menyerang seseorang. Ini bukan perkara mudah seperti gosip oknum balian abal-abal itu. Ini adalah penuh proses yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Inilah ciri khas aji pangleakan.
Jadi bila ingin selamat, jagalah harmonisasi anda dengan bethari, dengan hyang guru, pangijeng karang, dapur lewat aci yadnya, disamping harmonisasi dengan sesama manusia. Hanya hal itu yang dapat meminimalisir adanya masalah dengan para praktisi tantra.
Ada satu japa yang lumayan ampuh menentralisir hal-hal negatif, terkait topik ini.. silahkan rafalkan didepan kemulan setelah melakukan persembahyangan "Ong butha Sarwa butha pada bungkem". Power mantra ini cukup ampuh memproteksi diri selama sehari, sehingga butuh ritual rutin dan tekun untuk menghalau masuknya praktisi leak yang hendak memohon ijin mengeksekusi diri kita. Semoga bermanfaat.
Rah ayu 🙏
Via : anggawasa
Gamabali_sesanawongbali


Linggih ngaran lingga, lingga ngaran pancer’

 

Aksara suci Ang, Ung, Mang menjadi salah satu pola dasar perwujudan situs leluhur Bali dimasa lampau. Hal ini menjadi hasil dari temuan saat kelas budaya dan pendataan turun kelapangan yang dilaksanakan oleh tim situs dan ritus kuno leluhur Bali Yayasan BPJ (Yayasan Bakti Pertiwi Jati).

Dalam pendataan langsung di berbagai lokasi tim YBPJ selalu menemukan keselarasan pola dasar tersebut antara wacana teks tua berupa naskah kuno dengan situs – situs kuno di Bali. Dari kajian – kajian yang dilakukan misalnya di Pura Desa Peguyangan, Pura Puseh Peguyangan, serta di Pura Dalem Pemanis Penatih, Pura Dalem Tembau di Denpasar Timur, Dalem Tungkub Khayangan Sakti Kesiman, Pura Dalem Penataran Tangeb, Pura Kentel Gumi Kapal, Merajan Agung Puri Nyalian Klungkung, Pura Dalem Segara Madu Buleleng, hasilnya pola dasar tersebut selalu terkonfirmasi kembali, yaitu, jika aksara Ang, Ung, Mang menjadi salah satu pola dasar perwujudan situs-situs leluhur di Bali. Namun penerapan pola dasar ini selalu mengikuti batasan wilayah rohani dan konten dari alam desa dan ‘sistem gumi ‘ dari leluhur.

Implementasi linggih dari suatu wujud simbolik entitas rohani dari tiga aksara suci itu diterjemahkan secara simbolik oleh leluhur di Bali menjadi wujud –wujud lingga berupa pelinggih-pelinggih di Pura. Pelingih dibangun oleh leluhur di Bali bertebaran mengikuti tatanan alam dan desa –desa di Bali.


Pelinggih menjadi wujud sastra pengetahuan leluhur Bali, menjadi ragam jejak peradaban berada di dalam pura. Pura merupakan satu sistem tatanan rohani yang menentukan wujud dari pelinggih apa saja yang diwujudkan yang akan terkoneksi dengan pemangku, pengempon, kerama dan pakeramaan. Membangun pura, pelinggih, telaga suci, beji, bulakan, bedugul, ulun suwi, ulun subak, setra , pempatan, peteluan bale kul-kul, margi agung , pelinggih-pelinggih pertiwi, danu, tukad segara , pohon besar(khusus) semuanya dilakukan leluhur dengan dengan sepat –siku siku yang menjadi ulu dan pola dasar membangun tatanan pekeraman dan tatanan rohani.

Dalam hal khusus ini YBPJ mengenalkan kembali tatanan situs kuno Bali berdasarkan langgam situs dan konteks sastra leluhur yang menjadi dasar dari pada kesatuan teks leluhur serta situs kuno.

Situs kuno Bali memiliki tiga pola dasar dalam perwujudannya. Tiga pola dasar itu mengacu pada tiga tatanan rohani gunung utama di Bali disebut TRI MAHA LINGGA. Leluhur Bali membangun pelinggih, linggih ngaran lingga lingga ngaran pancer . ini menyiratkan jika lingga merupakan representasi dari gunung yang kokoh dengan segala daya keistimewaannya bagi semesta.

Rah ayu mulyaning jagat

Via : yayasan bakti Pertiwi jati
Credit : mangku Made yoga semadi


RITUS GAMA BALI

 


Ritus GAMA BALI yang dilaksanakan berdasarkan SIMA DRESTA dengan HULU PADA yang jelas (benar) memiliki peranan yang sangat penting dalam keharmonisan hidup masyarakat karena melalui ajaran leluhur yang diwariskan sampai sekarang masyarakat akan terus terkoneksi berhubungan dengan Leluhurnya di masa lalu, masa kini dan masa depan.
Situs dan Ritus adalah data primer yang merupakan jejak asli peradaban leluhur dimasa lampau, karena pengetahuan setiap elemen dari Situs dan Ritus adalah kesastraan dari pengetahuan leluhur yang diimplementasikan untuk sebuah tujuan. Situs merupakan estafet pengetahuan yang dititipkan leluhur pada generasinya, sedangkan Ritus merupakan ritual yang dilaksanakan terkait dengan keberadaan situs tersebut. Leluhur menjabarkan esensi keyakinan masyarakat Gama Bali yang kemudian terpola di dalam kebudayaan, adat tradisi dan ajaran agama yang dapat dilihat dari keberadaan ritus lahir, hidup dan mati.
Situs dan Ritus saling melengkapi, keberadaan situs bisa dilihat dari ritusnya begitu juga sebaliknya ritus bisa menunjukan situs. Melalui situs dan ritus, leluhur telah menanamkan nilai-nilai yang menjadi akar budaya serta pedoman untuk menjaga keharmonisan semesta beserta isinya demi peradaban Bali.
Rahayu semoga selalu sehat dan bahagia

Dalam kesempatan ini tiang akan menyampaikan tentang POLA RITUS MANUSA dan PITRA YADNYA yang dijabarkan menggunakan landasan Tatwa, Susila dan Upa-acara berdasarkan TATWA AJI SARASWATI dengan membuat Batasan di dalam menguaraikan dengan menggunakan konsep SAPTA UPA-YA;
Upawasa, Uparengga, Upakara, Upasedana, Upadesa, Upa-acara, Upapira
dan penjelasanya ditekankan pada SESANA karena kita selama ini diwariskan RITUS yang berbeda-beda serta menguraikan tentang hal tersebut diatas hanya pada perjalanan ROH (Akasara) dari PUTRA menuju PITRA dengan ritus yang telah diwariskan kepada kita diantaranya; Ritus Kelahiran, Ritus Kehidupan dan Ritus Kematian, seperti disebut di bawah ini:
A. RITUS KELAHIRAN (MANUSA YADNYA)
a. Ritus di dalam kandungan
- Pengerujakan (dilakukan pada saat Ngidam)
- Megedong-gedongan
- Ngelukat Bobotan (Purnama dan wuku wayang setelah ritus megedong-gedongan)
b. Ritus setelah lahir
- Mapag Rare/Baru Lahir (matur piuning di kemulan, membuat upakara dapetan dan Ritus Menanam Ari-Ari)
• Pulang dari Rumah Sakit (opsional)
- Penelahan/Kepus pungsed/Ngerorasin (12 hari)
- Pekambuhan/Tutug Kambuhan/Pacolongan/Bulan Pitung Dina (42 hari)
- Penyambutan/Telung Bulanan (105 hari)
- Pewetonan/Otonan/Nem Bulanan (210)
- Ngempugin (Tumbuh Gigi)
- Telung Oton/Ngangkid ke Segara/Tukad/Danau (ritusnya melepaskan jukung dari klopekan kelapa)
- Ketus Untu (gigi lepas pertama)
Catatan Penting; Mepetik, Tuwun ke tanah dan Upasaksi ke Bale Agung (OPSIONAL) biasanya dilakukan pada saat Ritus Penyambutan, Ritus Pawetonan dan pada saat Ritus Ngangkid
B. RITUS KEHIDUPAN (MANUSA YADNYA)
a. Munggah Daha/Teruna (Menek Kelih)
- Raja Singa (laki-laki)
- Raja Swala (wanita)
b. Asalin Panji
- Metatah (Sangging Undagi)
- Mesangih (Sangging Prabangkara)
- Mepandes ( Sangging Meranggi)
c. Sesana Amet Pinet (meminang/ngelamar)
- Ngerorod/Ngerangkat (pengambilan sesana Patih)
- Memadik (pengambilan sesana Prabu)
- Pepadan (tidak ada amet pinet/sesana Bhujangga)
d. Mesakapan
- Mekala-kalaan/Metanjung Sambuk
e. Pawiwahan/Pesta perkawinan
- Mejaya-jaya
- Resespsi pernikahan
f. Mejauman/Metipat Bantal
- Pewarangan
- Serah terima tanggung jawab orang tua dan prejuru Banjar maupun Desa)
g. Nganten/Neteg Pulu
- Membuat Pulu dengan 4 macam beras (injin, ketan, beras putih dan beras merah)
C. RITUS KEMATIAN (PITRA YADNYA DAN SIWA YADNYA)
a. Atiwa-tiwa
- Pebersihan hidup
- Pebersihan mati
- Ngeringkes/Melelet
b. Sawa Wedana/Ngaben
- Sawa Preteka
- Tandang Mantri
- Kumandang Mantri
- Ngelanus
c. Atma Wedana/Nyekah Kurung
- Ngeroras/Ngangseng (tanpa sekah kurung)
- Memukur (membuat bukur)
- Meligya
- Ngeluwer