Selasa, 08 Agustus 2023

Kebudayaan Cina

  


Selain pengaruh kuat kebudayaan India, pengaruh kebudayaan Cina pada Bali Kuno hingga kini adalah tidak bisa disangkal baik itu mulai dari bukti DNA dari orang Bali dan juga kebudayaannya. Bahkan pada acara megebangan (kewajiban berjaga) saat upacara adat di Bali umumnya akan terlihat dua benda ini yakni Domino dan Cekian. Untuk diketahui Bersama bahwa domino berasal dari Tiongkok yang disebutkan dimulai saat festival di Wulin, sebelumnya dikenal sebagai kota Hang Zhou. Domino yang sering digunakan sebagai media perjudian serta dadu, dijual oleh penjaja keliling barang-barang unik di rezim Raja Xiao Zong dari Dinasti Song (1162-1494). Pada catatan sejarah dikatakan bahwa Yang Chu dikatakan telah memberi potongan kartu tersebut sebagai salah satu persembahan kepada Kaisar Hui Tsung, dan setelah itu permainan ini pun mulai tersebar luas pada saat era pemerintahan putra Hui, Kao-Tsung (1127-1163 M). Meski begitu sumber lain mengatakan jika dokumen yang ini mengacu pada standardisasi dan bukan penemuan permainan domino itu sendiri. Buku manual domino tertua yang diketahui adalah Manual of the Xuanhe Period yang ditulis oleh Qu You (1341–1437), tetapi beberapa sejarawan Tiongkok percaya bahwa manual ini bukanlah yang tertua. Prihal Ceki atau Koa adalah juga permainan yang berasal dari Cina dan selain pada jaman Belanda dunia Ceki dianggap dunia Kriminil, Ceki tidak hanya sekedar nampak pada perjudian demikian juga kartu domino tersebut. Ceki dan Domino ini juga memiliki sisi magis yakni untuk sarana nujum atau meramal nasib.
Selain hal diatas untuk dapat diketahui bersama bahwa dimasa lalu perekonomian Bali dijalankan oleh orang asing yakni orang Cina sebelum kedatangan bangsa Eropa. Pelabuhan-pelabuhan penting Bali Kuno di Bali Utara seperti Pabean Buleleng dan Pabean Sangsit dikendalikan dan dipengaruhi oleh pedagang terkemuka, sekalian merangkap sebagai pejabat militer Cina. Di Pabean Buleleng pejabat itu berpangkat Kapitain, dan seorang berpangkat Mayor yang bernama Kho Bun Sing sebagai penguasa di Pabean Sangsit. Perkawinan Raja Sri Jayapangus dengan seorang wanita Cina, dimana beliau begitu dipuja-puja rakyatnya. Bentuk pemujaan ini dengan menstanakan Bhatari Cina di Pura Ulun Danu Batur, Bhatari Ratu Subandar di Pura misalnya di Pura Dalem Balingkang, Besakih, dan symbol-symbol lain misalnya adanya barong landung lanang wadon yang merupakan replika Sri Jayapangus dan permaisurinya yang merupakan orang Cina. Kebudayaan dan ceritera-ceritera rakyat Cina-pun menyebar di Bali, misalnya kisah Sampik – Ing Tay. Ilmu silat dari Cina juga berkembang di Bali Kuna dalam bentuk pencak, dan dalam bentuk tarian masal misalnya : baris dapdap, baris demung, baris presi, baris tumbak, baris tamiang, baris cina dan lain-lain.
Dibidang kemiliteran, tentara Bali Kuno mulai mengenal senjata-senjata jenis panah, tombak, pedang dan perisai (tamiang) yang lebih berkwalitas karena dibuat dari baja yang halus dan tajam. Industri peleburan baja belum ada di Bali. Oleh karena itu senjata-senjata jenis itu kebanyakan diimpor dari Cina. Pakaian-pakaian mahal yang digunakan oleh Raja-Raja dan kaum bangsawan berbahan sutera (kain pere) yang dibeli dari saudagar-saudagar Cina. Sejenis kertas buatan Cina yang dinamakan kertas ulan taga, di Bali Kuna disakralkan, hanya digunakan sebagai salah satu sarana penting dalam upacara ngaben. Perkawinan campuran antara orang-orang Cina dengan penduduk asli banyak terjadi. Orang Cina yang sudah membaur menjadi penduduk Bali biasanya menggunakan nama kombinasi Cina-Bali, misalnya : Babah Ketut, Babah Nyoman, dll. Dikalangan bangsawan dan saudagar kaya, dikenal nama-nama yang berbau Cina, misalnya : Kho Cin Bun (yang menetap di Desa Sinabun), Kho Ping Gan (yang menetap di Desa Pinggan – Kintamani), Ma Sui La dan Ma Sui Lie, anak-anak kembar buncing dari Kho Ping Gan (oleh orang Bali dinamakan Masula – Masuli?), keluarga Beng Kui Lun yang menetap di Desa Adat Bungkulan, dan keluarga Ma Pa Cung yang menetap di Desa Pacung. Selain Pinggan ada banyak nama Desa di Bali yang erat kaitannya dengan Cina atau tokoh Cinanya misal saja salah satunya Tinga-tinga.


HARI SUCI KUNINGAN DIRAYAKAN DI PAGI HARI

 


Sebaiknya hari RAYA Kuningan di katakan hari “SUCI kuningan” karena Kalau di bilang hari RAYA, konotasinya cendrung Pesta ataupun Hura Hura, sedangkan hari SUCI, ada kecendrung untuk membangun Kontruksi diri ke jalan Dharma dlm pendakian spiritual, dharma adalah pondasi kita untuk Mewujudkan kedamain, dimana ada dharma disanalah ada Kedamaian, kedamaian imposible kita bisa capai tanpa ada usaha yg kita perjuangkan, maka dari itu untuk bisa damai dan sejahtera setelah kita bisa memenangkan dharma dalam kehidupan kita itulah sebabnya Kuningan di awali dg memenangkan dharma terlebih dahulu yaitu Wuku yang 11 Dungulan-Kemenangan
Hari suci Kuningan jatuh pada Wewaran yang disebutkan dengan Wuku, yaitu wuku yang ke 12 Dwa dasa, Dasa = 10 dan dua = 2, angka 12 dalam Hindu memiliki nilai Magis/ mistik sering di uraikan dalam pemujaan kita memuja 33 Dewata, yaitu 12 Aditya, 11 ludra, 8 Wasu, 1 Indra, dan 1 prajapati maka pada 12 ini disitu ada pencerahan, karena Aditya itu adalah Surya-Matahari, dimana ada Matahari terutama satwika kala yang melahirkan Brahma Muhurta, sering kita kenal dg istilah SAWITRI disitulah kita tercerahkan dlm gayatri mantram Diyo yonad Praco dayat, setelah kita menang ( dalam galungan ) kita kembali mencerahkan diri dalam Kuningan, jangan sampai kita menang tetapi ADIGANG ADIGUNG.

Jadi kuningan adalah pencerahan-Kuning = Mahadewa, dalam tradisi Bali maka Kuningan dirayakan jangan sampai lewat titik Barat atau Kulminasi mentari, maka kuningan selalu dirayakan dipagi hari, dalam teks nya Isanggal konyol, yang merayakan kuningan lewat titik barat maka ngaturang suguhan kepada DEWA BERUNG ( kurang tepat-dauhnya dauh sunia), ternyata dipagihari itu ada energy SATWIKA KALA, maka sering dilakukan puja Gayatri di Pagi hari, intinya adalah jalan pembuka terakhir untuk improvement Internal self, so marilah kita bangun lingga didalam diri kita, maka KUNINGAN adalah Upaya untuk meneguhkan perjalanan, sebelum kita melakukan Tirtayatra kita menuju kedalam hati sanobari. Pertanyaan mungkil muncul nah….kenapa ada sekelompok daerah justru melaksanakan puja-wali pada kuningan, misalnya Pura Sakyamuni, Waylunik dsb, hal ini sangat berbeda karena umat ini NEDUNANG ida Bhetara saat itu terlepas dari Titik Kulminasi atas ( tajeg surya )


Wiwaha Samkara


Siapa bilang tradisi perkawinan Hindu di Bali tidak ada kemiripan dengan Hindu di India? Menurut Manawa Dharmasastra pada upacara perkawinan memang hendaknya berisi Homa dan atau Hotra demikianpula catatan lontar di Bali yang anonim juga menyebutkan hal sama.
Pada upacara Panigraha dan Saptapadi yang tampaknya kemudian kita sebut mekalan-kalan atau metegen-tegenan adalah sebenarnya upacara tradisi weda yang seiring waktu dikemas berbeda oleh waktu yang berjalan. Demikianlah penjelasan dari Bapak Dr. Swasti Puja yang juga di benarkan oleh Ida Bhagawan Saraswati bahkan Ida Bhagawan menerangkan ada beberapa rangkaian upacara yang kemudian menjadi tidak umum dan menghilang dilakukan oleh berbagai kalangan Hindu di Bali misalkan rangkaian ngekeb yang berisi siraman (memandikan) bagi pengantin wanita dll.
Pada ilustrasi gambar sepertinya berbeda dengan kenyataan proses mekalan-kalan dimana mempelai wanita yang didepan. Mempelai wanita berjalan didepan juga dipraktikan di India pada prosesi Wiwaha Samkara.



 

Yama Raja jadi Utusan Tuhan

 



Ketika masa hidup setiap makhluk hidup berakhir, Yama mengirim utusannya dan membawa jiwa tersebut keYamapurī (kota Yama). Dari sana, jiwa-jiwa suci dikirim ke Vaikuṇṭa dan jiwa-jiwa berdosa ke Neraka.

*Silsilah Yama*.
Dari Mahāviṣṇu-Brahmā-Marīci-Kaśyapa-Sūrya (Matahari)-Yama (Kāla).
Sūrya menikahi Saṃjñā, putri Viśvakarmā, menghasilkan tiga orang anak, Manu, Yama dan Yamī, kemudian lahir Aśvinīkumāra, Revanta dan Bhayā. Suatu ketika, Saṃjñā yang tidak mampu menahan sinar Sūrya yang panas, memerintahkan pembantunya Chhāyā menggantikannya, dia pergi kehutan untuk melakukan penebusan dosa.
Sūrya dengan Chhāyā melahirkan tiga putra, yaitu Śaniścara (Sani), Manu dan Tapatī. Suatu ketika Chhāyā mengutuk Yama karena ketidaktaatan, kemudian Sūrya dan Yama mengerti bahwa dia bukanlah Saṃjñā.
Viṣṇu Purāṇa bagian III, Bab 2 mengatakan bahwa Yama adalah saudara Manu, Yamī, Aśvinī Kumāra, Tapatī, Śanaiścara dan Bhayā. Kakak Yama, Bhayā, dinikahi oleh Asura Heti. Sunīthā putri sulung Yama, menikahi raja Aṃga, yang berputra raja Vena yang terkenal.
*Sebagai Dikpālaka*.
Suatu ketika Kubera melakukan tapa penebusan dosa kepada Brahmā selama sepuluh ribu tahun didalam air, menghadap ke bawah dan di tengah-tengah Pañcāgni. Brahmā yang senang, muncul di hadapannya dan Kubera berdoa kepadanya agar dia dijadikan salah satu Lokapālaka. Brahmā mengatur untuk selanjutnya, Indra memerintah di Timur, Yama diSelatan, Varuṇa diBarat, dan Kubera diUtara. Kota Yama disebut Saṃyaminī. (Uttara Rāmāyaṇa).

ŚrīRāma memerintah negara Ayodhya selama 11.000 tahun. Tiba waktunya untuk kembali keVaikuṇṭha, Brahmā mengirim Yama ke bumi untuk membawa kembali Śrī Rāma.
Yama yang menyamar sebagai seorang Maharṣi muda, pergi ke Ayodhyā dan mengunjungi ŚriRāma. Dia berkata bahwa dia adalah murid dari orang bijak Atibala dan datang untuk memberitahunya sebuah rahasia. Jadi Lakṣmaṇa ditempatkan di pintu masuk untuk mencegah siapa pun memasuki ruangan. Diumumkan bahwa siapa pun yang mencoba masuk akan dibantai.
Saat Śrī Rāma dan Yama sedang melakukan pembicaraan rahasia, Durvāsa, orang bijak, yang lapar setelah puasa 1.000 tahun, tiba di depan pintu, meminta makanan. Lakṣmaṇa memberitahunya dengan rendah hati bahwa dia tidak boleh masuk saat itu. Durvāsas, yang menjadi sangat marah, hendak mengutuk seluruh ras Raja, maka Lakṣmaṇa memasuki ruangan dan memberitahu Śrī Rāma tentang kedatangan Durvāsa.
Disaat yang sama, sebagai pemenuhan sumpah, Laksmana siap untuk dibunuh. Vasiṣṭha menyarankan bahwa cukuplah jika diusir dari istana. Karena itu dia diusir dan dia pergi dan menenggelamkan dirinya di kedalaman sungai Sarayū. Śrī Rāma yang patah hati karena berpisah dari Lakṣmaṇa pergi ke sungai yang sama dan menenggelamkan dirinya di sana tidak lama kemudian. Yama kemudian membawa jiwa mereka ke Vaikuṇṭha. (Uttara Rāmāyaṇa).


10 RAHASIA KEHIDUPAN DARI VEDA

 

1. "Hanya Kebenaran Yang Berjaya":
Menurut Veda, kebenaran adalah senjata utama dan landasan dari semua nilai moral.

2. "Pikiran Menjadi Kenyataan":
Veda mengajarkan bahwa pikiran kita menciptakan realitas kita dan kita memiliki kekuatan untuk membentuk takdir kita sendiri.

3. "Dunia Adalah Satu Keluarga":
Veda menekankan pentingnya kesatuan dan keterkaitan semua makhluk, mengakui bahwa kita semua adalah bagian dari keluarga universal yang sama.

4. "Pengetahuan Adalah Kekayaan Terbesar":
Veda menghargai pengetahuan sebagai bentuk kekayaan tertinggi, menekankan pentingnya pendidikan dan pengembangan diri.

5. "Kebahagiaan Ada di Dalam":
Veda mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam, bukan dari kepemilikan atau keadaan eksternal.

6. "Pikiran Seperti Kuda Liar":
Veda mengakui pentingnya menjinakkan pikiran, menyadari bahwa pikiran bisa menjadi liar dan sulit dikendalikan.

7. "Amal dan Kebaikan Adalah Penting":
Veda menekankan pentingnya kemurahan hati dan belas asih, menyadari bahwa kualitas ini sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.

8. "Jalan Menuju Kebijaksanaan Melalui Pengalaman":
Veda mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati datang melalui pengalaman dan perenungan, bukan hanya melalui menghafal fakta atau ajaran.

9. "Jiwa Itu Abadi":
Veda mengakui bahwa jiwa itu abadi dan tidak terbatas, dan bahwa kita semua adalah bagian dari kesadaran kosmik yang lebih besar.

10. "Semua Kehidupan Itu Suci":
Veda menghargai segala bentuk kehidupan, mengakui bahwa setiap makhluk dan entitas di alam semesta memiliki nilai dan pantas dihormati.

(Semoga Kebijaksanaan Veda dapat Menuntun Kita Semua pada Jalan Kebajikan.) 



Kamis, 27 Juli 2023

Tri Sadhaka (3 jenis sulinggih) beserta gelarnya"

  





"AGAR TIDAK SESAT, apa itu ida pedanda, IDA SRI BHAGAWAN, empu,rsi,mangku,dll.. Ini dia Tri Sadhaka (3 jenis sulinggih) beserta gelarnya"

Sebelumnya sy ingin menerangkan dl bahwa IDA PEDANDA & IDA SRI BHAGAWAN itu sulinggih NAMUN "berasal" dr GOLONGAN (trah/kasta/gelar) yg BERBEDA.Ida Pedanda brasal dr golongan Brahmana,& Sri Empu,Bhagawan dll itu "berasal" dr golongan yg BUKAN BRAHMANA.Langsung saja Tri Sadhaka yaitu:
1.Sulinggih Siwa > beliau memiliki kewenangan untuk menghaturkan yadnya dengan pesaksi sanggah surya, menyucikan ALAM ATAS dengan menurunkan kekuatan Sanghyang Widhi.
2. Sulinggih Buddha > beliau memiliki kewenangan menghaturkan yadnya untuk menyucikan alam tengah atau awang-awang dengan mempertemukan kekuatan suci dari Sanghyang Widhi dengan kekuatan Bhuta Kala yang telah di Somya.
3.Sulinggih Bujangga > beliau memiliki kewenangan untuk mengaturkan yadnya untuk membersihkan alam bawah ( bumi dan jagat ), nyupat Butha Kala sehingga beliau menjadi Somya.


Adapun gelarnya diantaranya:
a.Pedanda/Ratu Peranda, adalah gelar kesulinggihan dari Brahmana wangsa yg telah melalui upacara diksa.Dan leluhur para Brahmana Wangsa sekaligus jadi guru besar dalam keagamaan krn telah berjasa terhadap keselamatan umat dlm menumbuh kembangkan & menjaga keagamaan diberi gelar DANG HYANG,seperti Danghyang Dwijendra/Nirartha yg sering disebut PEDANDA SAKTI WAWU RAWUH.

b. Rsi atau Bhagawan, adalah gelar kesulinggihan dari Wangsa Kesatria, beliau telah dipandang suci dan terhormat dalam masyarakat. { kata bhagawan berasal dari kata bhaga yang berarti bagian, kata wan berarti yang mempunyai. Bhagawan berarti yang mempunyai bagian}

c. Empu, adalah sebutan kesulinggihan dari wangsa Pasek, Pande. Beliau dipandang dan dihormati karena beliau berhak melakukan Loka Phala Sraya di masyarakat. { Kata empu berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti tuan, empunya, mempunyai, yang memiliki. Kata empu dipakai sebagai sebutan kehormatan kepada pandhita, pujangga, sang sujjana.}

d. Sengguhu adalah gelar kesulinggihan dimana beliau ahli dalam tugas untuk muput upacara seperti Bhuta Yadnya.

e. Dukuh, sebagai gelar kesulinggihan yang kedudukan beliau dipandang dan dihormati dalam masyarakat. Beliau juga berhak muput upacara agama.

f. Pemangku sebagai gelar kesulinggihan hanya saja ruang lingkup tugas beliau berkait pada suatu pura tertentu. Seperti : mangku pura puseh, mangku pura desa, mangku pura dalem, dsb.

g. Wasi pemangku untuk umat Hindu di Jawa.

Dan disini jg ditarik kesimpulan perbedaan antara Pandita dg Pinandita,perbedaan antara Dwijati dg Eka jati.Yg tergolong Pandita adlh yg di Dwijati sperti Pedanda, Sri Bhagawan, Empu dll
Dan yg tergolong Pinandita adlh yg di Eka Jati seperti Pemangku, Balian, Mangku Dalang dll.

Karena bnyk yg bertanya tentang Brahmana, maka tiang tambahkan lg sedikit, mari belajar bersama.Sepengetahuan tiang pada jaman dahulu sebutan Brahmana memang benar untk orang2 suci contohnya sperti empu markandya,baradah,dll. Dan datanglah Danghyang Nirartha k Bali pd masa Raja Dalem Waturengong,kemudian beliau menyempurnakan dan menata sistem kasta,upakara,dll,yg dilaksanakan sampai detik ini.Dan saat itulah yg disebut dg Trah Brahmana hanyalah orng2 yg bergelar ida ayu dan ida bagus atau Trah(keturunan langsung) dr Danghyang Nirartha,sperti Brahmana Manuaba,Keniten, Kemenuh,dll yaitu anak2 dari Dang Hyang Nirartha atau sering disebut Pedanda Sakti Wawu Rawuh.

https://web.facebook.com/photo?fbid=4411051422243589&set=a.104035579611883

Rabu, 26 Juli 2023

Ini Makna dan Jenis Piodalan untuk Pemujaan Umat Hindu

 






PIODALAN: Piodalan dilaksanakan, setelah sebuah pura dianggap lahir atau ada ketika sudah dilakukan upacara Ngenteg Linggih. (dok)





DENPASAR, BALI EXPRESS-Selain menjadi tempat merayakan hari besar keagamaan, seperti Galungan, Kuningan hingga Nyepi, pura yang ada di Bali juga memiliki hari rayanya sendiri, disebut dengan piodalan, yang identik sebagai 'hari lahirnya' pura tersebut.



Menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, selain sebagai ungkapan rasa terima kasih umat kepada Ida Sang Hyang Widi atas segala anugerah yang diberikannya, piodalan secara etimologi, dapat diartikan sebagai hari lahir atau peringatan kelahiran sebuah pura.





“Sesuai dengan beberapa sastra disebutkan, sebuah pura dianggap lahir atau ada ketika sudah dilakukan upacara Ngenteg Linggih,” jelasnya.


Pada saat dilakukannya upacara Ngenteg Linggih inilah Ida Betara diyakini sudah mulai malinggih atau berstana di pura atau Pameranjan atu Palinggih tersebut.

Jika dilihat dari beberapa litertur yang ada, lanjut Ida Rsi, dapat dijelaskan saat dilakukan prosesi Ngenteg Linggih tersebut, pura diberikan kekuatan atau tenaga kehidupan atau prana oleh Ida Sang Hyang Widhi.

Bila melihat tata cara dan pelaksanaan Piodalan di Bali pada masa lalu, Ida Rsi menyebutkan, dapat ditemui beberapa macam bentuk pelaksanaan piodalan. Seperti Piodalan Biasa, Piodalan Nadi serta Piodalan Nyepen.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jenis-jenis piodalan tersebut, lanjutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya pelaksanaan piodalan di Bali pada masa lalu. Salah satunya pola hidup agraris, dimana faktor-faktor pelaksanaan piodalan di Bali tidak terlepas dari pola musim. Seperti musim tanam dan musim pane.

Ketika piodalan jatuh bertepatan pada musim tanam, maka piodalan akan diselenggarakan dengan cara yang lebih sederhana. Ini karena konsentrasi masyarakat saat musim ini masih terfokus pada aktivitas menanam padi di sawah.

Namun, jika piodalan jatuh pada musim panen, dimana pada musim ini konsentrasi masyarakat di sawah sudah selesai dan masyarakat Bali memiliki hasil panen yang melimpah, maka ketika piodalan yang jatuh pada musim ini, penyelenggaraannya dibuat lebih meriah.

“Apalagi jika piodalan bertepatan dengan bulan purnama, maka piodalan akan dibuat lebih meriah lagi, bahkan sampai menyelenggarakan acara hiburan,” ungkapnya.

Lantas bagaimana dengan Piodalan Nyepen? Ida Rsi menyebutkan, pelaksanaan Piodalan Nyepen atau yang juga dikenal dengan istilah Ngempet, berasal dari kata nyepi atau sepi. Ini biasanya dilakukan umat Hindu jika piodalan jatuh pada saat masyarakat menderita kekeringan atau musim paceklik.

(bx/gek/rin/JPR)