Senin, 14 Agustus 2023

GALUNGAN - RERAHINAN DALAM PERSPEKTIF GAMA BALI

 



Ong Awignam Astu

Rahayu, Semoga damai dan bahagia serta dilindungi oleh Ida Bhetara Hyang Guru tabik pekulun
Semoga kita selalu sehat dan sejahtera rahayu rahayu rahayu
Sebagai pembuka uraian tentang Galungan kami akan mengutip teks lontar Sundarigama yang memuat tentang Rerainan salah satunya adalah Galungan, yang diawali dengan kutipan yang penting dan luput dari pengamatan masyarakat untuk memahami Galungan, yang isinya sebagai berikut, “Hana mwah warahning Loka Dresta, nga”.
LOKA DRESTA kata kunci dari hari raya Galungan dan tidak pernah kita pahami dengan perspektif yang benar sekarang ini yang berdampak pada PENYERAGAMAN ritus Galungan di seluruh Bali.
Sesungguhnya kalau diperhatikan dengan baik bahwa di seluruh Bali tidak semua daerah melaksanakan RAINAN GALUNGAN karena Galungan merupakan hari raya yang sifatnya “lokadresta”, inilah poin penting kalau kita mau mengacu kepada hari raya kita di Bali (RERAINAN) yang betul-betul kembali ke sastra GAMA BALI.
Gugon Tuwon, Nak Mula Keto, Loka Dresta, Sima Dresta (puniki “siman” tiang deriki) adalah ungkapan dari masyarakat Bali yang sesungguhnya masih menjaga “Etika dan Sesana” didalam menjalankan tradisi GAMA-nya yang tidak berani dilanggarnya karena merupakan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhurnya yang sesungguhnya berdasarkan Tatwa GAMA BALI.
Memahami upacara (ritus) di Bali mestinya dilandasi oleh Tatwa, Susila dan Upacara, sekarang yang luput dari makna pemahaman kita tentang upacara kita di Bali adalah tradisi GAMA BALI mengacu pada kesatuan tafsir dan dipaksakan pendekatannya menggunakan WEDA untuk mengungkap dan menjelaskan makna dari tradisi GAMA BALI, sehingga apa yang tersebut diatas tentang Loka Dresta dalam kutipan teks lontar menjadi bias pelaksanaan dari tradisi GAMA BALI.
Tradisi GAMA BALI kalau dilihat dalam perspektif Tatwa, Susila dan Upacara sangat jelas bisa mengungkap dan menjelaskan tentang makna upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali, dan kita akan mengerti kenapa leluhur kita tatkala ditanya tentang “kenapa” melakukan upacara ini, selalu jawabanya “nak mula keto” (sesungguhnya MULA/AWAL pertama ditanam adalah tatwa dan leluhur kita tidak mau melanggar etika).
Loka Dresta kalau dilihat dari SITUS dan RITUS-nya berdasarkan gugon tuwonnya sangat jelas sekali bahwa di Bali mempunyai tiga wilayah rohani yang berbeda yaitu, Maha Agung, Maha Rata dan Maha Awidya dan mempunyai tiga kelompok hari raya yang berbeda yang disebut dengan RERAHINAN diantaranya Sang Prabu melaksanakan tanggung jawab Sesananya pada saat rerainan GALUNGAN, Sang Bujangga melaksanakan tanggung jawab Sesananya pada saat rerainan PEGORSI dan Sang Patih melaksanakan tanggung jawab Sesananya pada saat rerainan TUMPEK.
Ampura sekarang kami tidak akan membahas TATWA dan SESANA tapi sekarang kita akan bahas RITUS GALUNGAN
GALUNGAN kalau dilihat dari tatwa sesungguhnya merupakan RERAINAN yang menjadi tanggung jawab Sesana Sang Prabu, maka yang paling penting dipahami pada saat Galungan adalah Wuku Sungsang dan Wuku Dungulan.
Ritus Galungan bisa di lihat dari makna dari ritus Sugihan pada saat wuku sungsang yang diawali oleh dimulainya ritus TAPA BRATA YOGA SEMADI oleh Sang Prabu dan Bhujangga pada saat SUGIHAN TENTEN (Pebersihan Bhuana Alit/Mikrokosmos), dilanjutkan esok harinya melaksanak ritus SUGIHAN JAWA pada hari kamis dan SUGIHAN BALI pada hari jumat dengan melakukan PENYAMBLEHAN terlebuh dahulu di NATAH UMAH dan hasil penyamblehan di jadikan PENGEREBUAN (Pebersihan Bhuana Agung/Makrokosmos).
Pertanyaannya, kenapa melakukan PENYAMBLEHAN dan di olah menjadi PENGEREBUAN pada saat Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, karena pada saat wara dungulan akan turun SANG KALA TIGA dan saat Manis Galungan pretima yang berwujud “wisesa” akan napak pertiwi NGELAWANG ke rumah para “Damuh Ida Bhetara” inilah sesungguhnya kenapa kita melakukan penyamblehan di “natah umah” pada saat Sugihan, di bawah ini adalah kutipan teks lontar Sundarigama yang menyebutkan hal tersebut di atas,
“Wara Dungulan, Ra, pa, nga, panyekeban, nga, warahning loka, ika turun Sang Kala Tiga, nga, mandadi Sang Bhuta Galungan, nga, arepa nadah anginum manusa ri madyapada, matangyan sang wiku mwah wong sujana, den pratyaksa wastu nikang adnyana nirmala, lamakane tan kasurupan dening Sang Kala Tiga, kayatna akna wong kabeh, nga”

Sebelum lanjut membahas Galungan, Ritus yang bisa dilihat dari kutipan teks lontar di atas adalah pada saat hari minggu adalah turunnya SANG KALA TIGA yang berwujud menjadi Sang Bhuta Galungan yang akan menggoda umat manusia maka dalam konteks teks tersebut diatas Sang Prabhu dan Sang Bhujangga melakukan kewajiban Sesananya (Tapa Brata Yoga Semadi) dan Sesana-nya sebagai TEDUNG JAGAT melindungi masyarakat supaya terhindar dari godaan Sang Bhuta Galungan, kalau Sang Patih melakukan persiapan untuk menyambut hari raya Galungan dengan mulai membuat tape (nyekeb tape) dan mempersiapan bahan upakara lainnya
“Ca, po, nga, panyajaan paruhning loka, ngawenang wastu wayadi ngamong yoga semadi maka pituhutanya Sadgana lawan Bhatara, nga”
Pada hari senin adalah turunya Sang Kala Tiga dalam wujud Sang Bhuta Dungulan yang akan menggoda umat manusia maka Sang Prabu dan Sang Bhujangga melakukan kewajiban Sesananya (Tapa Brata Yoga Semadi) dan Sesana-nya sebagai AMANGKURAT (BUMI) melaksanakan “ngemong sastra, nengeting setra” dan Sang Patih mulai membuat kue-kue untuk galungan dan mempersiapkan upakara (mejahitan)
“A, wa, nga, panampan, panadah ikangira Sang Kala Tiga, mamaning Sang Nglara dening pakreti de wong kabeh, wenang wehana Bhuta yadnya ring catus patani desa, sarupaning yadnya wenang, anutakna nista madya utama, nga, pinuja dening, Siwa, Boda, Bhujangga, apanika wenang anguriping bayun Raja menala kabeh, nga”………
….………..”ikang wong wenang abyakala, maprayascita, ngayab sasayut, raris mabakti ring Sang Hyang Tiga Sakti, nunas panjang yusa sekala niskala, nemu ayu palanya, tur jaya kosa ring paparangan”
Pada hari selasa adalah turunya Sang Kala Tiga dalam wujud Sang Bhuta Amangkurat yang akan menggoda umat manusia maka Sang Prabu dan Sang Bhujangga melakukan kewajiban Sesananya (Tapa Brata Yoga Semadi) Sesana-nya sebagai CAKRANINGRAT melaksanakan Bhuta Yadnya di CATUSPATA dan PEMPATAN AGUNG dengan memerintahkan para BALA-nya dalam kontek sekala adalah Bendesa dan Penyarikan (kelihan Banjar) dengan melakukan PENYAMBLEHAN di ajeng Ratu Gede Penyarikan atau Pelinggih Hulun Banjar yang di kenal dimasyarakat ritusnya adalah “nampah celeng di banjar”
Jeroan babi dan darahnya dari penyamblehan akan di olah menjadi CARU yang terkecil (sarupaning yadnya wenang) yaitu “nasi sasah nganuting urip ulamnya jejeron matah” yang juga disebut BAKARAN yang akan dipersembahkan di catuspata, pempatan agung, peteluan maupun karang tenget lainya di desa tersebut.
Setelah selesai ritus para Balanya Sang Prabu (ngaturang BAKARAN) sisa penyamblehan babi di bagikan keseluruh ka-RAMA banjar yang akan di oleh sama seperti tersebut di atas (bakaran) yang dipersembahkan di natah umah, hulun karang masing-masing masyarakat dan di jadikan lawar yang akan di persembahkan Hulun Karang masing masing tegak karang yang di tempati dengan “tetandingan be karangan (sate 30)” inilah kewajiban Sesana Sang Patih dan selanjutnya mulai memasang lamak sampyan, mengisi caratan coblong di pelinggih sanggah dan merajan, membuat penjor galungan dipasang pada saat penampan galungan hari selasa kalau Galungannya Nadi
Selanjutnya seluruh masyarakat saat Penampan Galungan ini melaksanakan pebyakawonan dan meprayascita dengan natab sesayut penampan galungan di Natah Umah, mohon kepada Sang Hyang Tiga Wisesa panjang umur dan Berjaya dalam perang kehidupan, karena Sang Kala Tiga sudah di somya oleh Sang Prabu dan Sang Bhujangga menjadi Sang Hyang Tiga Wisesa (perhatikan proses ritual dari sang prabu dan sang bhujangga mulai hari minggu sampai hari selasa)
“Bu, ka, Dungulan, Galungan, nga, patitisi kang adnyana mangda galang apadang, telasakna byaparaning idep, aturakna widi wedananya, ri sarwa dewa, ri sanggar, ri parhyangan agung alit, tumpeng pajegan, penek wangkulan, canang maraka, ajuman, sedah woh, kembang payas, wangi-wangi, pasucian, ika sane munggah, nga. ………….
Yan ya anemu purnama, ika, nga, Galungan Angembak, wenang wang kabeh ananceb penjor ring lambunya suwang-suwang, nga”……………..
RITUS GALUNGAN sangat jelas kami tidak akan bahas lebih lanjut karena pada saat ini kita akan melakukan pemujaan di semua sanggah, merajan dan pura-pura yang menjadi pemujaan kita sebagai BALA (pengempon, pemaksan dan penyungsung)
Selanjutnya keesokan harinya pada saat Manis Galungan apa yang dilakukan oleh masyarakat ada baiknya kami akan lanjutkan kutipan teks lontar di atas;
“Wus mangkana banten ika jenek sawengi, nyejer kabeh, ri enjang enjing semeng, wenang wong kabeh asuci laksana, kabeh ngamet weh putra, kala pranata saha kramas dening kumkuman, anulih mantuk, mabersih, raris mangaturan puspa maring sanggah, saha wangi-wangi, anunas pakuluh, tenga asuguh ri sor, tur ayab wong rarene, nga, wawu wenang parid banten Galungane, nga,
Wong Sang Purahita mwah Sujana wruhe tatwa suksema, mawnang mayoga semadi, nga, mangkana waraning Loka dresta, inukni, nga,
Yan tan samangkana baur kang ikang rat, duka Sang Hyang Tiga Wisesa, nga, anadi Bhuta Dungulan, Bhuta Galungan, Bhuta Amangkurat angadug-adug ring Rajamanala Sang Prabhu, hayuwa ima-ima madesa, nguteran desa rusak kang rat telas
Warahni loka ika”,……………..
Pada Manis Galungan ini adalah ritus dari NYURUD AYU dari Sang Patih, dapat dilihat dari natab banten yang di persembahkan pada saat Galungan yang merupakan penugrahan dari Ida Bhetara (kenapa tidak boleh di surud banten dari pura saat galungan) apa yang dilakukan oleh masyarakat dengan ritus nyurud ayu sekarang mulai menghilang dan bahkan Manis Galungan di kenal sekarang sebagai waktu untuk jalan-jalan yang semestinya kita lakukan adalah tangkil ke Puri maupun ke Griya minta restu kepada Sang Prabu maupun kepada Sang Bhujangga untuk mendapatkan bekal “perang” kehidupan kita kedepannya selanjutnya dilanjutkan minta restu kepada orang tua dan silaturahmi kepada sanak keluarga kita.
Selanjutnya Sang Prabu dan para Bala melaksanakan Sesananya khususnya para Pemangku pada saat Manis Galungan yang mendapatkan “pituduh” dari Ida Bhetara untuk nedunang Ida Bhetara napak pertiwi “Ngelawang” (ke umah-umah damuh-Nya) dan “Ngintar Desa” sehingga masyarakat akan mendapatkan kemakmuran dan inilah tradisi dari Loka Dresta (SIMA DRESTA) yang di maksud masyarakat bali di dalam menjalankan tradisi GAMA BALI
Rangkaian Galungan selanjutnya adalah ULIHAN GALUNGAN dan berakhir pada saat PENELAHAN GALUNGAN dan berakhir pula waktu RITUS BARONG Ngelawang. Penelahan galungan tidak sama waktunya yang dilaksanakan oleh masyarakat karena kewajibanya sebagai pengempon pura dengan TEGAK ODALAN yang berbeda penyebabnya.
RAHAYU RATU BHETRA semoga hati DAMUH IDA BHETARA selalu damai, Tabik Pekulun
Sebelum kami akhiri, ada baiknya kami akan ajak para pembaca untuk merenung dan mendiskusikan tentang makna dari hari raya Galungan karena selama ini kita di jelaskan bahwa hari galungan adalah perayaan hari kemenangan Darma melawan Adarma, benarkah maknanya sperti itu, pertanyaan berikutnya kenapa kemenangan dimeriahkan dengan ritus (upacara) dan paktanya di Bali tidak semua masyarakat bali merayakan galungan, dan bagaimana dengan saudara2 kita di luar bali dalam merayakan galungan, haruskah merayakan galungan………
Kami berharap sekali PARA SUJANA DAN PARA PEMIMPIN UMAT DI BALI mau memberikan pencerahan atas kebodohan kami niki semoga di jawab inggih……
Mohon di simak kutipan teks Sundarigama, di bawah ini
"mabakti ring Sang Hyang Tiga Sakti, nunas panjang yusa sekala niskala, nemu ayu palanya, tur jaya kosa ring paparangan”
Apakah karena kutipan teks diatas di asumsikan perang Darma melawan Adarma, ini adalah kenapa kami kasih judul tulisan ini Siapakah yang berperang? Supaya bisa kita diskusikan, suksme
Rahayu, Rahayu, Rahayu
Kelungkung Semara Pura, kirang langkung nunas ampura dumugi wenten pikenohnyane suksme.

TUMPEK KUNINGAN

 


Tumpek Kuningan jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan, Tumpek ini merupakan satu satunya yang paling
“ SPESIAL ” karena dalam melaksanakan upacara harus selesai dilaksanakan sebelum “ TENGAI TEPET ” atau jam 12.00 siang. Bandingkan dengan Tumpek Landep, Tumpek Wariga,Tumpek Krulut,Tumpek Uye dan Tumpek Wayang sama sekali tidak ada aturan harus selesai sebelum jam 12.00
Mengapa demikian?
Tumpek Kuningan ini adalah hari terakhir di Wuku Kuningan dan besoknya sudah memasuki WUKU LANGKIR , tepatnya Redite Umanis Langkir. LANGKIR adalah wuku yang dilindungi oleh BHATARA KALA, Sesuai dengan namanya, KALA adalah WAKTU, beliau adalah SANG PENGUASA WAKTU DALAM KEHIDUPAN.
Sujatinya itulah yang menyebabkan sebisa mungkin kita seharusnya selesai sebelum jam 12.00 , Karena tujuannya adalah untuk menghormati beliau BHATARA KALA , KALA atau WAKTU adalah hal yang paling susah ditebak ( Relative).
Jika kita menggunakan waktu dengan baik maka akan menjadi BHATARA KALA sedangkan kalau kita tidak
menggunakan waktu dengan baik maka akan menjadi BHUTA KALA .
Leluhur kita mengajarkan dan
mengingatkan kita agar selalu
memanfaatkan / mengelola waktu dengan baik ( Time Management ), Optimalkan waktu dalam hidup
sehingga kita dapat mengatur ;
• Kapan waktu untuk beragama / upacara,
• Kapan waktu untuk bekerja / usaha
• Kapan waktunya untuk istirahat /
social life.
Sehingga menghasilkan keseimbangan dalam hidup baik dalam Bhuana Agung maupun Bhuana Alit.
Sebagai Tonggak Pemujaan Khusus, Kuningan bahkan lebih “RUMIT ” dan “ RIMIT ” dibandingkan dengan Galungan.
Seperti sarana ;
• TEBOG ,
• SELANGI ,
• CENIGA, dengan daun kayu
sedikitnya lima macam,
• TAMIANG,
• TER,
• ENDONGAN,
• SAMPIAN GANTUNG,
• TUMPENG KUNING ,
• NASI KUNING ,
• SODAN,
• SEGEHAN , dll.
Dan semua sarana tersebut sebelum dihaturkan mesti dikuningkan dan disucikan dengan sarana Gerusan /
Tumbukan DAUN INTARAN dan KUNYIT yang diisi air.

Dalam SUNARIGAMA ,
Pada hari Saniscara Kliwon wara Kuningan Sang Hyang Mahadewa diikuti oleh para Dewa dan Pitara (Leluhur) turun dari “Kayangan” menuju “Mercapada” untukMesuci dan Amukti Sarining Banten”.
Oleh karena itu, Sang Gama Tirtha di Mercapada menyambut kehadiran “Bhatara” dan “Pitara” dengan persembahan Pesucian, Canang wangi, disertai “Selangi”, “Tebog”, Haturan sesaji, dan Segehan, sebagai simbol TAPA dan KETULUSAN memuja Hyang Maha Suci untuk memohon AMERTA, KEMAKMURAN , KEPRADNYANAN / KEBIJAKSANAAN.
Pada hari Kuningan bangunan agar “Mesawen” dipasangi “Tamiang” ( Tameng / Pelindung) sebagai tanda kemeriahan dan keindahan menyambut kehadiran Bhatara dan Pitara di Mercapada.
“Tamiang” dan “Ter” juga sebagai simbol memohon perlindungan dan
keselamatan kehadapan Bhatara dan Pitara.
Sang Gama Tirtha juga melaksanakan “Prayascita”memohon penyucian diri kehadapan Betara dan Pitara dengan Sesayut Prayascita disertai ;
HENING “ADNYANA ” / BHATIN .
1. TAMIANG memiliki dua makna simbolik yaitu :
• Sebagai PERLINDUNGAN atau
PERTAHANAN dari berbagai
serangan.
• Sebagai Perputaran Waktu atau
Roda Waktu yang terus berputar
untuk mengungkap kebenaran.
Memiliki Karakter yang Baik, selalu bersikap Tenang, tanpa mengeluh, Disiplin dengan menyadari Perputaran
Roda Waktu dan memiliki Rasa Syukur dan Bhakti yang tinggi adalah senjata yang terbaik . Siapapun yang memiliki ini akan mengalami kesuksesan .
2. TER adalah simbol PANAH atau SENJATA. Makna simboliknya adalah untuk Selalu Siaga menggunakan
modalitas di dalam diri manusia seperti Pengetahuan, Kebijaksanaan, Pikiran, Kecerdasan, Perasaan, Intuisi dan Modalitas diri lainnya.
3. ENDONGAN adalah simbolLOGISTIK . Berbagai perlengkapan dalam perang yang tentunya dalam konteks ini bermakna untuk selalu siaga melawan musuh dengan memperkuat ketahanan diri. Musuh dimaksud adalah ADHARMA atau KETIDAK-BENARAN, utamanya lagi untuk memerangi musuh-musuh yang ada di dalam diri sendiri.
Endongan yang UTAMA adalah memiliki, BHAKTI dan JNANA, serta KARAKTER yang mulia.
4. SAMPIAN GANTUNG merupakan makna simbolik dari PENOLAK BALA . Alam buana alit (microcosmos) dan
alam buana agung (macrocosmos), kedua-duanya dalam kemurnian. Penolak bala yang dimaksud adalah untuk meletakkan komitmen diri untuk selalu menjaga dengan penuh Kesadaran, Kelestarian, Karakter diri, Lingkungan Fisik, Sosial dan Budaya yang baik.
TAMIANG , TER , KOLEM dipasang pada semua Palinggih, Bale, dan Pelangkiran, sedangkan ENDONGAN dipasang hanya pada Palinggih dan Pelangkiran.
Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna PUTIH diganti dengan Tumpeng berwarna KUNING yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan KUNYIT yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun
PANDAN HARUM
WARNA KUNING yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna ;
• KEBAHAGIAAN,
• KEBERHASILAN, dan
• KESEJAHTERAAN.
Pahamilah juga anak anakKu sekalian ...... !!!
Bahwa SANGHYANG SIWA menjadi KLIWON , dan saat itu juga IBUMU diikuti oleh para KALA dan DENGEN
yang berupa JOTI . Jika pada saat itu AKU tidak datang , tidak mungkin lagi berubah wujud menjadi DURGGA ,
saat itu Kliwon , NAWA SUJI juga bertemu dengan HYANG BRAHMA sehingga menjadi KAJENG KLIWON .
Jika ada yang yang berdoa ......
Semoga BERHASIL apa yang ia lakukan.
KLIWON sebagai JALANNYA : D E W A Dan juga BHUTA KALA DENGEN
®Warih Mula Keto


Jumat, 11 Agustus 2023

Fungsi Kahyangan Tiga Dalam Desa Adat

 







Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Het Godsdienstig Karakter Der Balische Dorpsgemeenschap”, R. Goris mencatat bahwa ciri religius dari desa adat di Bali dibentuk oleh tiga unsur fundamental yaitu:
Sejumlah tempat suci desa (Pura-Pura desa) sebagai tempat pemujaan;
susunan kepengurusan desa (prajuru desa) yang selalu dikaitkan dengan fungsi-fungsi keagamaan;
Berbagai upacara seremonial (upakara)yang konsisten dilakukan oleh desa.

Sejak awal, Maharesi Maharkadia telah memberikan pedoman pada masyarakat Bali bahwa di tempat utama desa seyogyanya dibangun tempat suci desa untuk memuja Tuhan (…tur hana kahyangan patut pauluaning desa-desa) selanjutnya ditegaskan desalah yang wajib mengurus tempat suci desa (desa ika ne wenang mikukuhin parhyangan desa).

Dicatat oleh Goris, pada mulanya pembentukan sebuah desa adat selalu ditetapkan tiga tempat secara khusus yakni :
suatu tempat untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan dan roh-roh leluhur pendri desa;
sebuah tempat untuk melaksanakan penguburan dan upacara kematian beserta kompleks pemujaan terhadap roh-roh yang masih kotor (dalam wujud pirata);
suatu tempat untuk melakukan pertemuan baik bagi pengurus desa maupun bersama-sama warga desa.


Untuk tempat yang pertama selalu diusahakan suatu tempat yang lebih tinggi dari desa. Tempat ini merujuk ke arah gunung atau kaja. Di sinilah kemudian dibuat tempat suci pusat atau asal yang difungsikan untuk memuju Tuhan dalam perwujudannya sebagai dewa pelindung alam dan para roh suci leluhur yang telah menjadi Dewa. Tempat suci inilah kemudian disebut “Pura Puseh”, dan merupakan “tempat suci alam atau (Upper Worldly Temple).

Bagi tempat yang kedua dimana pada tempat itu digunakan untuk prosesi kematian (setra) dan tempat suci untuk memuja Tuhan dalam perwujudan sebagai dewa kematian, akan selalu dicari tempat yang lebih rendah dari desa atau sering disebut ke arah laut (kelod). Tempat suci ini kemudian disebut pura Dalem, yang merupakan tempat suci alam bawah (Nether Worldly Temple). Pura Dalem difungsikan untuk melakukan penyucian terhadap roh (Sang Hyang Dalem).

Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, Roh tidaklah secara serta merta menjadi suci setelah manusia mati. Begitu manusia meninggal dipercaya bahwa roh atau jiwanya masih berada pada alam bawah dalam bentuk Pirata. Baru setelah dilakukan proses upacara penyucian di Pura Dalem rohnya akan menjad| suci dan terangkat dari alam bawah menuju alam atas. Di Tempat Suci (Pura Dalem) ini yang dipuja adalah Dewa penguasa Kematian yang akan memberi restu (panugrahan) untuk menyucikan roh-roh dari warga desa yang telah meninggal.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Untuk tempat pertemuan desa, warga desa (Krama Desa) memilih tempat di tengah-tengah dari wilavah koloni desa, misalnya sering ditemui dekat persimpangan jalan atau tempat dimana Pasar Desa terletak, tempat ini berupa pavilion (Balai, Bale) dimana pada masa yang lalu dipergunakan untuk tempat mangkal pemuda pemudi desa (Truna-Truni), tempat menginap bagi para pelancong luar desa. Di samping itu digunakan juga sebagai tempat pengukuhan (inisiasi) menjadi krama desa. Pusat desa yang memiliki multi fungsi ini, berkembang menjadi Tempat suci yang disebut “Pura Bale Agung”, sebagai tempat melakukan pertemuan. V.E Korn menggambarkan Pura ini sebagai “the sacral men’s house”.

Pada desa-desa tua hampir seluruhnya memiliki tiga jenis tempat suci ini. Hanya saja dalam penempatannya terdapat beberapa variasi. Misalnya Pura Puseh ditempatkan sebagai bagian dari Pura Bale Agung atau sebaliknya. Di daerah Buleleng Pura Puseh dan Pura Bale Agung dijadikan satu kesatuan ke dalam Pura Desa.

Pada tipe Pura Dalem yang sangat tua terdapat bangunan (Pelinggih) yang diperuntukkan bagi roh-roh warga desa yang baru meninggal, tipe ini terdapat di desa-desa pegunungan sekitar danau batur (Desa wintang danu batur). Demikian juga Pura Puseh, awalnya adalah tempat pemujaan yang sangat sederhana. Pada tempat suci ini sering terdapat arca batu besar (Paica, Taulan). Pada Pura Bale Agung dicirikan oleh adanya balai pertemuan yang besar (Bale Agung) ditambah beberapa bangunan suci lainnya.

Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung sering ditemui besar dalam ukurannya, tetapi senantiasa sederhana dalam disainnya. Pura-pura ini mengalami perubahan arsitektur selama berabad-abad. Perubahan itu datang sebagai hasil dari paham Hindu yang secara perlahan-lahan disaring dari karajaan Hindu. Pada masa kerajaan Hindu di Bali, tempat suci kerajaan disebut “Pura Pamerajan”. Pemerintah kerajaan memiliki dua tempat suci yakni : Pura Penataran sebagai pura kerajaan atau pura pemerintahan dan pura prasada (candi) sebagai tempat pemujaan bagi eluhur kerajaan.

Dalam pura penataran, kesatuan kerajaan melakukan peringatan meminta berkah kemasyuran, perlindungan, kekuatan untuk memerintah yang kesemuanya dilaksanakan dengan cara-cara religius. Di pura Prasada keluarga raja mencoba mencari hubungan dengan para leluhurnya mohon doa restu.

Dalam perkembangan kemudian pura penataran menjadi suatu pura yang besar di dalamnya berisi altar, bangunan pemujaan (pelinggih), tempat persembahan, balai pertemuan, balai gong, dapur suci, dan bangunan balai-balai lainnya. Prasada unsur utamanya adalah suatu susunan batu besar (candi). Unsur batu digunakan untuk keseluruhan disain pura ini, apakaha itu untuk altar, maupun bangunan penunjangnya.

Mengikuti contoh-contoh pura kerajaan ini, maka pura-pura desa lambat laun (juga arsitekturnya) kena pengaruh pola kerajaan Hindu. Pura Bale Agung yang terdapat di desa mengikuti pola pura penataran kerajaan dan pura dalem mengikuti pola pura Prasada. Persolannya kemudian, kerajaan memiliki dua tempat suci (Penataran dan Prasada) sedangkan desa memiliki tiga pura (puseh, Bale Agung dan Dalem ) lalu bagaimana gambaran hubungan kedua jenis pura tersebut.

Di dalam pura penataran yang disembah adalah Tuhan penguasa wilayah, (bumi, tanah). Dan sebagai tempat pertemuan keagamaan dari kerajaan. Hal ini merupakan karakteristik dari pura Puseh dan Pura Bale Agung pada tingkat Desa. Sedangkan Pura Prasada sebagai tempat untuk melakukan hubungan dengan para Dewa, leluhur kerajaan adalah sama fungsinya dengan pura Puseh, Desa. Fungsi pura dalem adalah sebagai tempat memuja leluhur yang belum menjadi dewa (masih dalam bentuk pirata) tidak ditemukan dalam kerajaan.

Para leluhur kerajaan selalu disucikan dan distanakan dalam sebuah candi. Proses penyucian roh leluhur raja-raja tidak diijinkan untuk ditangguhkan. Keseluruhan rangkaian upacara kremasi ini berakhir di dalam candi (Prasada). Demikianlah idealnya menurut konsepsi masyarakat Bali Hindu, dimana upacara pengabenan segera mungkin dapat dilakukan.


Akibat kontak yang konstan antara pihak kerajaan dengan orang-orang Bali pedesaan dan tiadanya penyegaran pengaruh India dan Jawa (Hindu), maka kerajaan dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, dengan kekuatan (power) dan perlengkapan yang dimiliki, pihak kerajaan akan membuat dengan segera candi atau prasada bagi raja yang meninggal. Kedua, mulai merasakan dan berpikir lebih sebagai seorang Bali sehingga dirasakan perlu untuk membangun Pura Dalem kerajaan. Biasanya sebutan pura ini mengacu pada nama kerajaan yang bersangkutan. Misalnya Pura Dalem Koripan, Pura Dalem Segening, Pura Dalem Gelgel dan sebagainya.

Dengan cara seperti ini terjadilah kesatuan arsitektur antara pura penataran, pura bale agung dan pura puseh. Di satu pihak dengan pura dalem, pura prasada dan pura dalem kerajaan di pihak yang lain. Sekarang ini dapat dilihat pada candi kurung mengingat kepada jalan utama menuju pura penataran dan candi bentar mengingatkan kepada susunan utama pura candi atau pura prasada. Dewasa ini tak terhitung pura yang mempunyai kedua tipe gerbang tersebut.

Setelah datangnya Mpu Kuturan di Bali (awal abad 11), Pura-pura Desa tersebut mendapat penataan melalui konsep “Tri Murti” yakni paham teologis yang menjabarkan kemaha kuasaan Tuhan dalam bentuk trinitas. Dalam penataan Pura Desa itu, Pura Bale Agung difungsikan sebagai tempat pemujaan Tuhan pencipta(brahma), Pura Puseh sebagai tempat suci untuk memuju Tuhan pelindung (Wisnu) dan Pura Dalem tempat memuja Tuhan pelebur (Siwa). Tiga pura milik desa ini kemudian disebut Kahyangan Tiga. Desa dengan ciri kahyangan tiga ini sekarang lebih populer dengan sebutan Desa Adat atau Desa Pakraman.

Di samping tiga pura utama tersebut, untuk desa-desa yang terletak dekat pantai umumnya memiliki pura segara, demikian juga desa-desa yang terletak di perbukitan biasanya terdapat pura bukit. Pada sejumlah desa di Bali pura-pura kepunyaan desa adat tidak hanya tiga melainkan bisa lebih dari itu sesuai dengan latar belakang historis, geografis dan sosiologis dari desa yang bersangkutan.


Berbagai Sumber | Google Images | Youtube

Kunci Suksesnya Suatu Yadnya Umat Hindu, Ini Penjelasannya

 







SERATI: Serati adalah salah satu dari tiga kunci yadnya umat Hindu. (ISTIMEWA)





Dalam pelaksanaan aktivitas ritual Agama Hindu, ada tiga komponen penting yang berperan dalam acara tersebut. Karena tanpa adanya peran serta ketiga komponen tersebut, maka upacara tersebut tidak bisa berlangsung, karena dalam prosesnya ketiga komponen ini memiliki kaitan yang tidak bisa dipisahkan.


Adapun ketiga komponen tersebut dikatakan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, disebut dengan Tri Manggalaning Yadnya, yang terdiri dari Sang Sulinggih, Sang Tapuni dan Sang Yajamana. “Ketiga komponen ini sering kali disebut dengan Tri Manggalaning Yadnya, dan ketiga komponen ini harus ada dalam pelaksanaan aktivitas ritual,” ungkapnya.




Adapun fungsi dari ketiga komponen ini dikatakan Ida Rsi antara lain, Sang Sulinggih atau juga yang sering disebut Sang Wiku, yaitu orang yang bertugas untuk memuput atau sebagai pengantar upacara sehingga upacara tersebut bisa disebut selesai. Selanjutnya adalah Sang Tapini atau yang juga dikenal dengan nama Serati Banten ialah orang yang memiliki kemampuan dalam mempersiapkan upakara untuk upacara, sehingga upacara tersebut memiliki nama sesuai dengan upakara yang disiapkan oleh Sang Tapini.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dan yang ketiga adalah Sang Yajamana atau Sang Adruwe Karya adalah orang-orang yang menyelenggarakan upacara atau dengan kata lain seseorang yang bertanggung jawab atas aktivitas upacara yang dilaksanakan. “Tugas dari Sang Yajamana ini adalah sebagai penggagas serta membiayai semua upacara yang diselenggarakan,” lanjut.

Namun disamping ketiga komponen tersebut, menurut Ida Rsi sebenarnya ada satu komponen lain yang tidak kalah penting dari ketiga komponen tersebut. Karena komponen ini sangat berperan dalam mensukseskan suatu upacara, baik itu ipacara agama upacara adat.

Adapun komponen yang dimaksud adalah prajuru adat, baik prajuru ini berupa keluhan banjar adat, maupun sebagai Jro Bendesa Adat. “Karena fungsi dari Prajuru adat ini adalah sebagai saksi dilangsungkannya suatu aktivitas ritual, khususnya dalam aktivitas upacara yang bersifat adat, seperti perkawinan dan kematian,” tambahnya.


Kenapa dalam daksina ada kelapa dan telur .....

 





menurut lontar Aji Sangkhya :kelapa dlm daksina sbg simbol alam semesta yg terdiri dari 14 lapis, tujuh lapis bgian bawah yg disebut dgn sapta patala (pertiwi), dan tujuh lapis bgian atas yg disebut dgn sapta loka (aksa).
Telur merupakan simbol bulan/ardha candra yg merupakan cerminan dari ida sang hyang widhi. Telur terdiri dari 3 lapis, yaitu kuning telur sbg lmbng Antah karana sarira, Putih telur sbg lmbng Suksma Sarira, dan kulit telur sbg lmbng stula sarira.
Kenpa terbuat dari janur, pertama scr logika janur sangt mudah dicari, kedua scra filosofi wakul daksina yg terbuat dari jnur melingkar melambngkan hukum tuhan yg abadi (hukum rta), apakh isi daksina hrus sma, secra konteks sastra yg membhs tentang upakara wajib isi daksina sama, namun tdk lepas dari situasi dan kondisi diman orang itu berada, jika berada dibali ya wajib isinya sma krn mash mudah dicari/dibeli bhan2nya, klo diluar bali yg jls intinya yg hrus sma adalah , asa beras, tapak dara, kelapa, telur, porosan (Isi yg lain menyesuaikan dgn tempat dmn mereka berada jika diluar bali).