Senin, 14 Agustus 2023

GALUNGAN - RERAHINAN DALAM PERSPEKTIF GAMA BALI

 



Ong Awignam Astu

Rahayu, Semoga damai dan bahagia serta dilindungi oleh Ida Bhetara Hyang Guru tabik pekulun
Semoga kita selalu sehat dan sejahtera rahayu rahayu rahayu
Sebagai pembuka uraian tentang Galungan kami akan mengutip teks lontar Sundarigama yang memuat tentang Rerainan salah satunya adalah Galungan, yang diawali dengan kutipan yang penting dan luput dari pengamatan masyarakat untuk memahami Galungan, yang isinya sebagai berikut, “Hana mwah warahning Loka Dresta, nga”.
LOKA DRESTA kata kunci dari hari raya Galungan dan tidak pernah kita pahami dengan perspektif yang benar sekarang ini yang berdampak pada PENYERAGAMAN ritus Galungan di seluruh Bali.
Sesungguhnya kalau diperhatikan dengan baik bahwa di seluruh Bali tidak semua daerah melaksanakan RAINAN GALUNGAN karena Galungan merupakan hari raya yang sifatnya “lokadresta”, inilah poin penting kalau kita mau mengacu kepada hari raya kita di Bali (RERAINAN) yang betul-betul kembali ke sastra GAMA BALI.
Gugon Tuwon, Nak Mula Keto, Loka Dresta, Sima Dresta (puniki “siman” tiang deriki) adalah ungkapan dari masyarakat Bali yang sesungguhnya masih menjaga “Etika dan Sesana” didalam menjalankan tradisi GAMA-nya yang tidak berani dilanggarnya karena merupakan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhurnya yang sesungguhnya berdasarkan Tatwa GAMA BALI.
Memahami upacara (ritus) di Bali mestinya dilandasi oleh Tatwa, Susila dan Upacara, sekarang yang luput dari makna pemahaman kita tentang upacara kita di Bali adalah tradisi GAMA BALI mengacu pada kesatuan tafsir dan dipaksakan pendekatannya menggunakan WEDA untuk mengungkap dan menjelaskan makna dari tradisi GAMA BALI, sehingga apa yang tersebut diatas tentang Loka Dresta dalam kutipan teks lontar menjadi bias pelaksanaan dari tradisi GAMA BALI.
Tradisi GAMA BALI kalau dilihat dalam perspektif Tatwa, Susila dan Upacara sangat jelas bisa mengungkap dan menjelaskan tentang makna upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali, dan kita akan mengerti kenapa leluhur kita tatkala ditanya tentang “kenapa” melakukan upacara ini, selalu jawabanya “nak mula keto” (sesungguhnya MULA/AWAL pertama ditanam adalah tatwa dan leluhur kita tidak mau melanggar etika).
Loka Dresta kalau dilihat dari SITUS dan RITUS-nya berdasarkan gugon tuwonnya sangat jelas sekali bahwa di Bali mempunyai tiga wilayah rohani yang berbeda yaitu, Maha Agung, Maha Rata dan Maha Awidya dan mempunyai tiga kelompok hari raya yang berbeda yang disebut dengan RERAHINAN diantaranya Sang Prabu melaksanakan tanggung jawab Sesananya pada saat rerainan GALUNGAN, Sang Bujangga melaksanakan tanggung jawab Sesananya pada saat rerainan PEGORSI dan Sang Patih melaksanakan tanggung jawab Sesananya pada saat rerainan TUMPEK.
Ampura sekarang kami tidak akan membahas TATWA dan SESANA tapi sekarang kita akan bahas RITUS GALUNGAN
GALUNGAN kalau dilihat dari tatwa sesungguhnya merupakan RERAINAN yang menjadi tanggung jawab Sesana Sang Prabu, maka yang paling penting dipahami pada saat Galungan adalah Wuku Sungsang dan Wuku Dungulan.
Ritus Galungan bisa di lihat dari makna dari ritus Sugihan pada saat wuku sungsang yang diawali oleh dimulainya ritus TAPA BRATA YOGA SEMADI oleh Sang Prabu dan Bhujangga pada saat SUGIHAN TENTEN (Pebersihan Bhuana Alit/Mikrokosmos), dilanjutkan esok harinya melaksanak ritus SUGIHAN JAWA pada hari kamis dan SUGIHAN BALI pada hari jumat dengan melakukan PENYAMBLEHAN terlebuh dahulu di NATAH UMAH dan hasil penyamblehan di jadikan PENGEREBUAN (Pebersihan Bhuana Agung/Makrokosmos).
Pertanyaannya, kenapa melakukan PENYAMBLEHAN dan di olah menjadi PENGEREBUAN pada saat Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, karena pada saat wara dungulan akan turun SANG KALA TIGA dan saat Manis Galungan pretima yang berwujud “wisesa” akan napak pertiwi NGELAWANG ke rumah para “Damuh Ida Bhetara” inilah sesungguhnya kenapa kita melakukan penyamblehan di “natah umah” pada saat Sugihan, di bawah ini adalah kutipan teks lontar Sundarigama yang menyebutkan hal tersebut di atas,
“Wara Dungulan, Ra, pa, nga, panyekeban, nga, warahning loka, ika turun Sang Kala Tiga, nga, mandadi Sang Bhuta Galungan, nga, arepa nadah anginum manusa ri madyapada, matangyan sang wiku mwah wong sujana, den pratyaksa wastu nikang adnyana nirmala, lamakane tan kasurupan dening Sang Kala Tiga, kayatna akna wong kabeh, nga”

Sebelum lanjut membahas Galungan, Ritus yang bisa dilihat dari kutipan teks lontar di atas adalah pada saat hari minggu adalah turunnya SANG KALA TIGA yang berwujud menjadi Sang Bhuta Galungan yang akan menggoda umat manusia maka dalam konteks teks tersebut diatas Sang Prabhu dan Sang Bhujangga melakukan kewajiban Sesananya (Tapa Brata Yoga Semadi) dan Sesana-nya sebagai TEDUNG JAGAT melindungi masyarakat supaya terhindar dari godaan Sang Bhuta Galungan, kalau Sang Patih melakukan persiapan untuk menyambut hari raya Galungan dengan mulai membuat tape (nyekeb tape) dan mempersiapan bahan upakara lainnya
“Ca, po, nga, panyajaan paruhning loka, ngawenang wastu wayadi ngamong yoga semadi maka pituhutanya Sadgana lawan Bhatara, nga”
Pada hari senin adalah turunya Sang Kala Tiga dalam wujud Sang Bhuta Dungulan yang akan menggoda umat manusia maka Sang Prabu dan Sang Bhujangga melakukan kewajiban Sesananya (Tapa Brata Yoga Semadi) dan Sesana-nya sebagai AMANGKURAT (BUMI) melaksanakan “ngemong sastra, nengeting setra” dan Sang Patih mulai membuat kue-kue untuk galungan dan mempersiapkan upakara (mejahitan)
“A, wa, nga, panampan, panadah ikangira Sang Kala Tiga, mamaning Sang Nglara dening pakreti de wong kabeh, wenang wehana Bhuta yadnya ring catus patani desa, sarupaning yadnya wenang, anutakna nista madya utama, nga, pinuja dening, Siwa, Boda, Bhujangga, apanika wenang anguriping bayun Raja menala kabeh, nga”………
….………..”ikang wong wenang abyakala, maprayascita, ngayab sasayut, raris mabakti ring Sang Hyang Tiga Sakti, nunas panjang yusa sekala niskala, nemu ayu palanya, tur jaya kosa ring paparangan”
Pada hari selasa adalah turunya Sang Kala Tiga dalam wujud Sang Bhuta Amangkurat yang akan menggoda umat manusia maka Sang Prabu dan Sang Bhujangga melakukan kewajiban Sesananya (Tapa Brata Yoga Semadi) Sesana-nya sebagai CAKRANINGRAT melaksanakan Bhuta Yadnya di CATUSPATA dan PEMPATAN AGUNG dengan memerintahkan para BALA-nya dalam kontek sekala adalah Bendesa dan Penyarikan (kelihan Banjar) dengan melakukan PENYAMBLEHAN di ajeng Ratu Gede Penyarikan atau Pelinggih Hulun Banjar yang di kenal dimasyarakat ritusnya adalah “nampah celeng di banjar”
Jeroan babi dan darahnya dari penyamblehan akan di olah menjadi CARU yang terkecil (sarupaning yadnya wenang) yaitu “nasi sasah nganuting urip ulamnya jejeron matah” yang juga disebut BAKARAN yang akan dipersembahkan di catuspata, pempatan agung, peteluan maupun karang tenget lainya di desa tersebut.
Setelah selesai ritus para Balanya Sang Prabu (ngaturang BAKARAN) sisa penyamblehan babi di bagikan keseluruh ka-RAMA banjar yang akan di oleh sama seperti tersebut di atas (bakaran) yang dipersembahkan di natah umah, hulun karang masing-masing masyarakat dan di jadikan lawar yang akan di persembahkan Hulun Karang masing masing tegak karang yang di tempati dengan “tetandingan be karangan (sate 30)” inilah kewajiban Sesana Sang Patih dan selanjutnya mulai memasang lamak sampyan, mengisi caratan coblong di pelinggih sanggah dan merajan, membuat penjor galungan dipasang pada saat penampan galungan hari selasa kalau Galungannya Nadi
Selanjutnya seluruh masyarakat saat Penampan Galungan ini melaksanakan pebyakawonan dan meprayascita dengan natab sesayut penampan galungan di Natah Umah, mohon kepada Sang Hyang Tiga Wisesa panjang umur dan Berjaya dalam perang kehidupan, karena Sang Kala Tiga sudah di somya oleh Sang Prabu dan Sang Bhujangga menjadi Sang Hyang Tiga Wisesa (perhatikan proses ritual dari sang prabu dan sang bhujangga mulai hari minggu sampai hari selasa)
“Bu, ka, Dungulan, Galungan, nga, patitisi kang adnyana mangda galang apadang, telasakna byaparaning idep, aturakna widi wedananya, ri sarwa dewa, ri sanggar, ri parhyangan agung alit, tumpeng pajegan, penek wangkulan, canang maraka, ajuman, sedah woh, kembang payas, wangi-wangi, pasucian, ika sane munggah, nga. ………….
Yan ya anemu purnama, ika, nga, Galungan Angembak, wenang wang kabeh ananceb penjor ring lambunya suwang-suwang, nga”……………..
RITUS GALUNGAN sangat jelas kami tidak akan bahas lebih lanjut karena pada saat ini kita akan melakukan pemujaan di semua sanggah, merajan dan pura-pura yang menjadi pemujaan kita sebagai BALA (pengempon, pemaksan dan penyungsung)
Selanjutnya keesokan harinya pada saat Manis Galungan apa yang dilakukan oleh masyarakat ada baiknya kami akan lanjutkan kutipan teks lontar di atas;
“Wus mangkana banten ika jenek sawengi, nyejer kabeh, ri enjang enjing semeng, wenang wong kabeh asuci laksana, kabeh ngamet weh putra, kala pranata saha kramas dening kumkuman, anulih mantuk, mabersih, raris mangaturan puspa maring sanggah, saha wangi-wangi, anunas pakuluh, tenga asuguh ri sor, tur ayab wong rarene, nga, wawu wenang parid banten Galungane, nga,
Wong Sang Purahita mwah Sujana wruhe tatwa suksema, mawnang mayoga semadi, nga, mangkana waraning Loka dresta, inukni, nga,
Yan tan samangkana baur kang ikang rat, duka Sang Hyang Tiga Wisesa, nga, anadi Bhuta Dungulan, Bhuta Galungan, Bhuta Amangkurat angadug-adug ring Rajamanala Sang Prabhu, hayuwa ima-ima madesa, nguteran desa rusak kang rat telas
Warahni loka ika”,……………..
Pada Manis Galungan ini adalah ritus dari NYURUD AYU dari Sang Patih, dapat dilihat dari natab banten yang di persembahkan pada saat Galungan yang merupakan penugrahan dari Ida Bhetara (kenapa tidak boleh di surud banten dari pura saat galungan) apa yang dilakukan oleh masyarakat dengan ritus nyurud ayu sekarang mulai menghilang dan bahkan Manis Galungan di kenal sekarang sebagai waktu untuk jalan-jalan yang semestinya kita lakukan adalah tangkil ke Puri maupun ke Griya minta restu kepada Sang Prabu maupun kepada Sang Bhujangga untuk mendapatkan bekal “perang” kehidupan kita kedepannya selanjutnya dilanjutkan minta restu kepada orang tua dan silaturahmi kepada sanak keluarga kita.
Selanjutnya Sang Prabu dan para Bala melaksanakan Sesananya khususnya para Pemangku pada saat Manis Galungan yang mendapatkan “pituduh” dari Ida Bhetara untuk nedunang Ida Bhetara napak pertiwi “Ngelawang” (ke umah-umah damuh-Nya) dan “Ngintar Desa” sehingga masyarakat akan mendapatkan kemakmuran dan inilah tradisi dari Loka Dresta (SIMA DRESTA) yang di maksud masyarakat bali di dalam menjalankan tradisi GAMA BALI
Rangkaian Galungan selanjutnya adalah ULIHAN GALUNGAN dan berakhir pada saat PENELAHAN GALUNGAN dan berakhir pula waktu RITUS BARONG Ngelawang. Penelahan galungan tidak sama waktunya yang dilaksanakan oleh masyarakat karena kewajibanya sebagai pengempon pura dengan TEGAK ODALAN yang berbeda penyebabnya.
RAHAYU RATU BHETRA semoga hati DAMUH IDA BHETARA selalu damai, Tabik Pekulun
Sebelum kami akhiri, ada baiknya kami akan ajak para pembaca untuk merenung dan mendiskusikan tentang makna dari hari raya Galungan karena selama ini kita di jelaskan bahwa hari galungan adalah perayaan hari kemenangan Darma melawan Adarma, benarkah maknanya sperti itu, pertanyaan berikutnya kenapa kemenangan dimeriahkan dengan ritus (upacara) dan paktanya di Bali tidak semua masyarakat bali merayakan galungan, dan bagaimana dengan saudara2 kita di luar bali dalam merayakan galungan, haruskah merayakan galungan………
Kami berharap sekali PARA SUJANA DAN PARA PEMIMPIN UMAT DI BALI mau memberikan pencerahan atas kebodohan kami niki semoga di jawab inggih……
Mohon di simak kutipan teks Sundarigama, di bawah ini
"mabakti ring Sang Hyang Tiga Sakti, nunas panjang yusa sekala niskala, nemu ayu palanya, tur jaya kosa ring paparangan”
Apakah karena kutipan teks diatas di asumsikan perang Darma melawan Adarma, ini adalah kenapa kami kasih judul tulisan ini Siapakah yang berperang? Supaya bisa kita diskusikan, suksme
Rahayu, Rahayu, Rahayu
Kelungkung Semara Pura, kirang langkung nunas ampura dumugi wenten pikenohnyane suksme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar