Selasa, 15 Agustus 2023

Kisah Terbentuknya Pura Melanting di Buleleng

 


Pura ini terletak berdekatan dengan Pura Pulaki, maupun Pura Kerta Kawat. Secara administratif, Pura Melanting terletak di desa Banyupoh, Kecamatan Grokgak, Buleleng.

Konon, keberadaan pura ini terkait dengan kedatangan Danghyang Nirarta atau Pedanda Sakti Wawu Rauh yang datang ke Bali dari Jawa. Dikisahkan, Danghyang Nirarta datang ke Bali bersama sang istri, Danghyang Biyang Ketut atau Danghyang Biyang Patni Keniten yang berasal dari Belambangan.

 

Dalam perjalanan, ketika memasuki wilayah Banyupoh, sang istri yang tengah hamil tua tak kuasa melanjutkan perjalanan. Oleh karena Danghyang Nirarta masih harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, dengan berbagai pertimbangan akhirnya sang istri ditinggal di sana. Di sana sang istri ditemani oleh beberapa pengiring dan juga putrinya, Dyah Ayu Swabawa. Sebelum pergi, Danghyang Nirarta berjanji akan mengirim utusan ke sana.

 

Di tempat itu, Danghyang Biyang Patni Keniten bersama pengikutnya membangun sebuah pemukiman, membuka sawah dan juga ladang serta memberikan ilmu kepada masyarakat di sekitarnya. Hingga akhirnya Ida melahirkan seorang anak lelaki bernama Bagus Bajra. Nama ini diberikan sesuai dengan permintaan Danghyang Nirarta.

 

Dyah Ayu Swabawa tumbuh menjadi orang yang cerdas terutama dalam ilmu berdagang. Nasihat yang diberikan salah satunya memikat pembeli dengan membantu dalam memilih barang-barang yang mau dibeli. Karena daerah tersebut kemudian ramai dikunjungi oleh saudagar, maka perlahan berubah menjadi pusat perdagangan.

 

Akan tetapi, Dyah Ayu Swabawa selalu menantikan utusan sang ayah datang ke tempatnya. Bahkan ia selalu naik ke pohon dan bergelantungan berharap dari atas pohon bisa melihat kedatangan utusan ayahnya. Oleh masyarakat di sana diberi nama Dyah Ayu Melanting.

 

Tempat tinggal mereka kemudian dikenal dengan Pulaki. Sementara Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting, serta Pangeran Bajra di Pura Kerta Kawat. Para pemedek yang memiliki profesi sebagai pedagang biasanya akan meminta berkah ke pura ini.

Hari Sangkep Leak

 


Kajeng Kliwon adalah hari yang dikenal angker bagi sebagain besar umat Hindu di Bali. Pada hari itu juga diyakini sebagai hari pertemuan dan perkumpulan Leak untuk mengasah keilmuannya. Benarkah?

Kajeng Kliwon merupakan hari yang perhitungannya jatuh pada Tri Wara, yaitu Kajeng dan Panca Wara, Kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya. “Energi dalam alam semesta yang ada di Bhuwana Agung semuanya terealisasi dalam Bhuwana Alit atau tubuh manusia itu sendiri,” ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (30/1).

Lebih lanjut dijelaskan Mangku Satra, rahinan Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali, dan dapat dibagi menjadi tiga, yakni, Kajeng Kliwon Uwudan, Kajeng Kliwon Enyitan, dan Kajeng Kliwon Pamelastali.

Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon yang jatuh setelah terjadinya purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setelah bulan mati atai Tilem. Sementara Kajeng Kliwon Pamelastali adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setiap hari Minggu pada Wuku Watugunung, dilaksanakan setiap enam bulan sekali.

Pada setiap hari kliwon, umat hindu di Bali mengadakan upakara di rumah maupun di beberapa tempat sesuai adat masing-masing. Ada pun penjelasannya diambil dari Lontar Cundarigama yang menyebut ‘Mwah ana manut Pancawara Kliwon ngaran, samadhin Bhatara Siwa, kawenangnia anadah wangi ring sanggah, mwang luhuring haturu, meneher aheningana cita, wehana sasuguh ring natar sanggar mwah dengen, dening. Maksudnya, segehan kepel kekalih dadi atanding, wehana pada tigang tanding. Ne ring natar sambat Sang Kala Bhucari, ne ring sanggar sambat Sang Bhuta Bhucari, ring dengen sambat Durga Bhucari. ‘Ikang wehana laba nangken kliwon, saisinia, dan sama hanemu rahayu, paripurna rahasya’. Yang artinya, pada hari pancawara, yakni setiap datangnya Hari Kliwon adalah saatnya beryoga Bhatara Siwa, sepatutnya pada saat yaang demikian, melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangi bertempat di pamerajan, dan di atas tempat tidur. Sedangkan yang patut disuguhkan di halaman rumah, segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut disuguhkan tiga tanding, yakni di halaman sanggar kepada Bhuta Bhucari, di dengen kepada Durga Bhucari, untuk di halaman rumah kepada Kala Bhucari. Adapun maksud memberikan laba setiap Kliwon, yakni untuk menjaga pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi bahagia.

‘Kunang ring byantara kliwon, prakrtinia kayeng lagi, kayeng kliwon juga, kewala metambehing sege warna, limang tanding, ring samping lawang ne ring luhur canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, astawakna ring Hyang Durgadewi, ne ring sor, sambat Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, phalania rahayu paripurna wang maumah. Yen tan samangkana ring Bhatara Durgadewi angrubeda ring wang adruwe umah, angadeken gring mwang angundang desti, teluh, sasab mrana, amasang pamunah, pangalak ring sang maumah, mur sarwa Dewata kabeh, wehaken manusa katadah dening wadwanira Sang Hyang Kala, pareng wadwanira Bhatara Durga. Mangkana pinatuhu, haywa alpa ring ingsun. Maksudnya, lain lagi pada hari Kajeng Kliwon, pelaksanaan widhiwidananya, seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya tambahannya dengan segehan warna 5 tanding, yang disuguhkan pada samping kori sebelah atasnya, ialah canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa dan yang dipuja adalah Durgadewi. Yang disuguhkan di bawahnya, untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah. Sebab, kalau tidak dilakukan sedemikian rupa, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon lelugrahan kepada Bhatari Durga Dewi, untuk merusak penghuni rumah, dengan jalan mengadakan atau menyebarkan penyakit, dan mngundang para pangiwa, segala merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan, yang merajalela di rumah-rumah, yang mengakibatkan perginya para Dewata semua.

Dan, akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sanghyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatari Durga. “Demikianlah agar disadari, dan jangan menentang pada petunjuk kami,” sarannya.

Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama. Pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Pada Kajeng Kliwon hendaknya menghaturkan segehan mancawarna. Tetabuhannya adalah tuak atau arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. “Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi,” imbuhnya.

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Segehan dihaturkan di tiga tempat yang berbeda, yaitu halaman Sanggah atau Mrajan, atau di depan palinggih pengaruman, dan ini di tujukan pada Sang Bhuta Bhucari. Kemudian di halaman rumah atau pekarangan rumah tempat tinggal, ditujukan kepada Sang Kala Bhucari. Kemudian yang terakhir adalah dihaturkan di depan pintu gerbang pekarangan rumah atau di luar pintu rumah yang terluar. Ini ditujukan kepada Sang Durgha Bhucari .

Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha umat kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari. “Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar),” tandasnya.

Pada dasarnya, lanjutnya, Kajeng Kliwon merupakan hari yang sangat keramat karena kekuatan negatif dari dalam diri maupun dari luar manusia, amat mudah muncul dan mengganggu kehidupan manusia.Jadi, dapat diambil kesimpulan adanya peringatan dan upacara yadnya pada hari kajeng kliwon ini, dengan harapan bahwa baik secara sekala maupun niskala dunia ataupun alam semesta ini tetap menjadi seimbang.

Dikatakannya, sebagaimana dijelaskan pula bahwa saat malam kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkep (rapat) Leak di Bali. Pada malam Kajeng Kliwon ini para penganut aji Pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga, dan Bhairawi. “Ritual Kajeng Kliwon ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan atau uluning setra, pemuwunan, ” tutup Satra.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber

Pura Bukit Indrakila

 

Pura Bukit Indrakila merupakan salah satu Pura Kahyangan Jagat, terletak di sebuah perbukitan Desa Dausa Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Berjarak kira-kira 40 km dari Kota Bangli kearah utara menuju Singaraja.
Pura Bukit Indrakila memiliki dua prasasti, satu disimpan oleh desa adat Satra dan satunya lagi disimpan oleh desa adat Cenigaan. Walau belum ditemukannya bukti tertulis sehubungan dengan pembangunan pura tersebut, namun Dr R Goris dalam bukunya sejarah Bali kuno menyimpulkan kalau pura tersebut dibangun pada saat pemerintahan raja Jaya Sakti (1133-1150), dengan tujuan sebagai tempat meditasi (tapa) para raja. Prasasti Bukit Humintang (prasasti yang disimpan di desa adat Cenigaan) yang bertahunkan caka 938 (1016 masehi) menyatakan masyarakat Arcanigayan (sekarang Cenigaan) meminta raja mereka Anak Wungsu untuk menghadiri upacara peringatan yang akan diadakan oleh Betari Mandul (istri terakhir Anak Wungsu) di Bukit Humintang (Indrakila). Sedang Betari Mandul sendiri adalah anak dari raja Tegeh Kaoripan di Penulisan. Bukti lain akan keberadaan pura Bukit Indrakila adalah lontar Catur Dharma Kalawasan di pura Penulisan yang menyatakan “penduduk desa Dausa dan pendukung mereka “belajar” bahwa para leluhur mereka sejak abad ke 11 telah dibebaskan dari menyumbang untuk pura Pucak Penulisan berdasarkan tugas-tugas mereka yang ada menuju “Pura Hyang Api” (pura Bukit Indrakila). Berarti sebelum bernama Bukit Indrakila pernah bernama Bukit Humintang dan Hyang Api. Sejak pertama kali dibangun,pura ini sudah beberapakali mengalami perbaikan. Juga belum ada bukti yang jelas menyebutkan hubungan antara perbaikan-perbaikan tersebut dengan perubahan namanya. Diperkirakan sebelum gunung Agung meletus sudah dua kali mengalami perbaikan,kemudian rusak lagi akibat letusan gunung Agung (1963) dan langsung diperbaiki. Beberapa tahun kemudian pura rusak lagi dan mengalami perbaikan pada tahun 1968 dan selanjutnya pada tahun tujuh puluhan diperbaiki lagi.


Pura Bukit Indrakila terbagi menjadi tiga bagian (tri mandala)bangunan. di utama mandala (jeroan) terdapat pohon beringin besar dan rindang,bersebelahan dengan pohon cempaka seliwah (satu pohon berbunga dua macam) yang menciptakan suasana magis yang luar biasa. Kemudian di bawah rimbunnya pohon-pohon tadi, berjejerlah pelinggih-pelinggih yang membentuk huruf u yang terbalik. Pada jajaran utama terdapat pelinggih Padmasana yang memiliki tiga ruang tempat penyungsungan Ida Betara Tiga Wisesa.Dan di ujung selatannya tedapat pelinggih berbentuk stups tempat penyungsungan Ida Betara Ciwa Bhuda. Lingga yoni sebagai lambang kesuburan/kemakmuran. Pada jajaran sisi kiri terdapat pelinggih-pelinggih yang sama persis dengan di sisi kanan sebagai lambang rwabineda. Pada madya mandala (jaba tengah) terdapat dua jajar balai gong yang disekat-sekat menjadi sembilan bagian. Kedua jajar bangunan balai gong tersebut dipisahkan oleh ruang lapang yang cukup luas. Pada mandala ketiga(jabaan) terhampar pemandangan yang mengitari lokasi pura.
Pura ini diempon oleh dua Desa Dinas yaitu Desa Dinas Dausa dan Desa Dinas Satra ini, melangsungkan piodalan bertepatan dengan Purnama Sasih Kapat (keempat) yang dikenal dengan ‘Ngusaba Kapat. Piodalan ini bersamaan waktunya dengan piodalan di Pura Tulukbiyu dan Pura Pucak Penulisan Kintamani.
Suksma...kirang langkung sinampura 🙏
Dumogi Rahayu Sareng Sami🙏

Ngereh, Ritual Magis Mohon Restu dari Tempat Pembakaran Mayat

 

Sasuhunan yang dimiliki krama masing-masing desa di Bali ada berupa Barong, Rangda, dan tapakan lainnya. Namun, sebelum dilinggihkan pada suatu pura, harus ada beberapa prosesi yang harus dilewati, seperti Ngerehang.

Ngerehang merupakan upacara wajib dilaksanakan jika akan membuat ulang atau memperbaiki sasuhunan. Seperti yang diungkapkan Ida Ratu Peranda Gede Diksa Manuaba, saat ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) di Griya Babakan, Desa Cau Belayu, Marga, Tabanan, pekan lalu. Ia menerangkan Ngereh sering dilakukan di setra (kuburan) agar mendapat restu dari Dewa Banaspati Raja. Tetapi sebelum ngereh adalah nunas taru (mencari kayu tapakan), jika membuat ulang Sasuhunan.

“Yang pertama dilakukan, harus nunas taru di sebuah pura atau setra menggunakan sarana berupa pejati dan banten lainnya,” urai pria asli Babakan, Marga ini. Nunas taru, lanjutnya, sering disebut dengan ngepel (mencari kayu tanpa memotong), yang diiringi oleh krama desa setempat. ” Yang mengerjakannya harus seorang undagi. Jika bisa harus seorang peranda. Namun jika tidak ada, cukup sang walaka (sebelum menjadi pedanda). Sedangkan saat nuasen (pengerjaan pertama kali) diwajibkan dari Ida Peranda,” terangnya.

Sampai di pura, ada namanya upacara nuasen yang bertujuan untuk memilih hari baik dan dilanjutkan mengawali pengerjaan prarai (tapakan) berupa barong atau rangda. Jika sudah selesai, maka selanjutnya upacara ngodak, yakni renovasi Sasuhunan agar menjadi baru lagi penampilannya. Ketika sudah pas, dan sesuai ukuran prarai dengan badan suatau barong atau rangda, lantas dilakukan ngaratep (memasang). Yaitu penyatuan prarai (wajah) dengan badan sasuhunan tersebut. “Jika semua itu sudah dilaksanakan, maka selanjutnya adalah prosesi ngereh yang pelaksanaannya mengambil tempat di atas tanah pamuunan (tempat membakar mayat). Dikarenakan rambut Sasuhunan yang akan diupacarai harus terkena tanah pamuunan,” ungkap Pedanda Diksa.

Banten yang digunakan dua soroh pragembal bebangkit. Bebangkit berwarna hitam satu, tebasan nawa sanga, pangideran sebagai lambang Cakra Geni Dharma Wiku, dan tebasan sung-sung baru. Semuanya ditaruh pada sebuah tempat disebut dengan pepaga (tempat banten).

Ditegaskannya, dalam proses Ngerehang harus dilaksanakan pada malam hari. Tepat pada pukul 12 malam, agar mendapat panugerahan (kesaktian) dari Sang Hyang Baerawi dan Siwa Tangkara yang ada di setra. Di mana prarai yang merupakan lambang dari Siwa Tangkara, dan setra dikuasai oleh Sang Hyang Baerawi. “Ngereh yang dianggap berhasil, jika ada sebuah tanda-tanda muncul saat itu. Seperti sebuah api datang dari langit menuju Sasuhunan, yang menuju ubun-ubun dari prarai yang dihidupkan secara niskala di atas tanah pamuunan,” terangnya.

Pedanda Diksa mengaku, selama diminta untuk Ngerehan sasuhunan semuanya berjalan lancar. Dilaksanakan saat tengah malam, lanjutnya, agar dalam keadaan sepi karena tujuannya supaya bisa menyatu. “Bawa gong juga tidak boleh. Ibaratkan menyatukan seorang suami istri atau lanang wadon saat tengah malam,” terang pria yang sudah 25 tahun menjadi pedanda tersebut.

Ia juga mengaku, sering ditinggal saat Ngerehang yang dilaksanakan di kuburan. Karena ada api yang beterbangan menuju tanah pamuunan. Sehingga membuat krama desa yang ikut Ngerehang berlari saking takutnya. “Krama saja yang lari, sedangkan saya sehabis muput di pamiosan tinggal,” ungkap pria yang juga mantan undagi bade tersebut.

Setelah rampung, Sasuhunan berupa barong tersebut, di ambil cepat-cepat karena ketakutan. Dan, langsung dilinggihkan pada pura setempat, agar bisa diupacarai selanjutnya.

Dijelaskannya, tujuan dari Ngerehang untuk memberikan urip (nyawa), kepada Sasuhunan, yakni sebuah benda yang akan disembah oleh warga. Baik sebagai penjaga dari desa setempat maupun untuk sebagai tapakan atau manifestasi dari Tuhan. Agar dapat dilhat dengan mata, dan disungsung bersama. Soal ada gangguan yang berniat buruk, diakuinya.kerap ada, tapi semuanya teratasi. “Biasanya ada api datang, tapi bukan api yang sebagai Ngerehang tersebut,” terang pria

yang dalam satu bulan bisa dua sampai tiga kali lunga (pergi), muput Ngerehang tengah malam.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber

Senin, 14 Agustus 2023

PENAMPAHAN

 



Brata hari ke-6, waktu Sang Kala Tiga yaitu Bhuta Amangkurat menca mangsa. Mangsanya adalah kekuatan material semesta.
Untuk menetralisirnya, pada pagi hari (douh pison) dilakukan ritual Bhutayadnya, nyambleh dengan sarana "bakaran yang dihaturkan di notar sanggah, natah, lebuh, teras dapur dan sor (dibawah/hadapan) tugu ponging karang. Bakaran merupakan persembahan organ pencernaan (jajron): Jantung Hati, Usus, Ginjal, dan Paru-paru serta diurip dengan Darah
Setelah menjelang malam (sandikala), melaksanakan meditasi dengan busana perang. Inilah ritus perang dharma, perjuangan dengan aji kawisesan Meditasi diawali dengan ritus ngringkes Tri Aksara, dan menstanakan di dalam diri menjadi Ongkara. Setelah penstanaan Ongkara, dilanjutkan puja pregolan (kawisesan)
Ritual Bhuana Agung dengan ritual bhutayadnya, Sang Kala Tiga dinetralisir untuk diletakkan pada Penjor depan rumah. Itulah sebabnya Songgah Penjor bentuknya segitiga sebagai simbol pangringkesan Tri Aksara somyo-nya Song Kala Tiga menjadi Ongkara. Penjor itu sendiri merupakan simbol Sang Hyang Sapto Rsi, juga Wujud dari Sapta Ongkara.
Anggoro wage, panampahan ngaran, yo to panadahira song bhuta gelungen, marmani pasanggraha dening pakréti ring desa desa pakraman, wehana bhutayajha rikeng catuspato ning dela, sarupa ning yaja wnang, anitakna nista madya mottamanya, pinuja dening sang pandhita, siwo buddha Bundorigoma, o
Pada hari Selasa Wage Dungulan dinamakan Panampahan, merupakan waktu bag Bhuta Galungan mencari mangsa. Karena itu, umat manusia di setiap desa paraman patut menyambutnya dengan membuat upacara Bhuta-yadnya, yang dksanakan di perempatan desa, segala bentuk dan tingkatan upacara perbolehkan, sesuaikan dengan kemampuan masing-masing, mulai pada trista, madia, hingga utama. Upacara itu dipimpin oleh pendeta bak pendeta Siwa maupun pendeta Budha.

kunang sakech nikang sanjate paperangan kabeh, jaya jayaka uniach ung wwang kabeh prayalcitanda, mwong jaya jaya sang
Pada hari itu juga segala jenis senjata peperangan wajib dibuatkan upacara untuk mendoakan munculnya kekuatan dan keampuhan pada senjata tersebut, terutama dibuatkan sesajen prayaścita, dan dipimpin oleh pendeta.
maka prakosa pratameng perang, wehana caru ring sokuwu-kuwu kunang. sèga warna 3, sinasah tandinganya, manut hurip, putih 5, bang 9, kuning 7, ireng 4, mancawarna 8, iwak olah bawi, saha tatabuhan, sega agung 1. [Sundarigama,
Agar senjata itu benar-benar ampuh di medan perang, perlu dibuatkan upacara persembahan kepada Bhuta-Kala atau caru di setiap rumah, berupa ségéhan warna 3 tanding, formasinya diatur menurut neptu, yaitu putih 5 jumput, merah 9 jumput, kuning 7 jumput, hitam 4 jumput, dan campuran lima warna 8 jumput. Lauknya berupa olahan daging babi. Sesajen itu juga dilengkapi dengan tetabuhan dan segehan agung 1 tanding.
genah ing acaru ring natar umah, sanggar mwang dengen, sambat sang bhuta galungan, [Sundarigama, a)
Adapun tempat melakukan upacara caru tersebut adalah di halaman rumah, di halaman Sanggar, ataupun di jalan keluar masuk perumahan, dengan cara memanggil Sang Bhuta Galungan.
ikang wwang lakibi, wnang abyakala, aprayascita, kang laki ayabin sasayut, angrègepakna sarwa japa mantra pragolan, saha bhusana ning paperangan, sakala niskala, phalanya jaya prakoseng perang. [Sundarigama, a)
Suami-istri patut melakukan upacara byakala dan prayaścita. Bagi suami wajib ngayab sesajen sasayut sambil memusatkan batin dan merapalkan doa-doa untuk memohon keperkasaan dan kekebalan, mengenakan busana perang, baik dalam wujud nyata (sakala) maupun tidak nyata (niskala). Pahalanya adalah perkasa dan menang dalam peperangan..
Sumber : kebalian ( anggawasa )


GALUNGAN - RERAHINAN DALAM PERSPEKTIF GAMA BALI

 



Ong Awignam Astu

Rahayu, Semoga damai dan bahagia serta dilindungi oleh Ida Bhetara Hyang Guru tabik pekulun
Semoga kita selalu sehat dan sejahtera rahayu rahayu rahayu
Sebagai pembuka uraian tentang Galungan kami akan mengutip teks lontar Sundarigama yang memuat tentang Rerainan salah satunya adalah Galungan, yang diawali dengan kutipan yang penting dan luput dari pengamatan masyarakat untuk memahami Galungan, yang isinya sebagai berikut, “Hana mwah warahning Loka Dresta, nga”.
LOKA DRESTA kata kunci dari hari raya Galungan dan tidak pernah kita pahami dengan perspektif yang benar sekarang ini yang berdampak pada PENYERAGAMAN ritus Galungan di seluruh Bali.
Sesungguhnya kalau diperhatikan dengan baik bahwa di seluruh Bali tidak semua daerah melaksanakan RAINAN GALUNGAN karena Galungan merupakan hari raya yang sifatnya “lokadresta”, inilah poin penting kalau kita mau mengacu kepada hari raya kita di Bali (RERAINAN) yang betul-betul kembali ke sastra GAMA BALI.
Gugon Tuwon, Nak Mula Keto, Loka Dresta, Sima Dresta (puniki “siman” tiang deriki) adalah ungkapan dari masyarakat Bali yang sesungguhnya masih menjaga “Etika dan Sesana” didalam menjalankan tradisi GAMA-nya yang tidak berani dilanggarnya karena merupakan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhurnya yang sesungguhnya berdasarkan Tatwa GAMA BALI.
Memahami upacara (ritus) di Bali mestinya dilandasi oleh Tatwa, Susila dan Upacara, sekarang yang luput dari makna pemahaman kita tentang upacara kita di Bali adalah tradisi GAMA BALI mengacu pada kesatuan tafsir dan dipaksakan pendekatannya menggunakan WEDA untuk mengungkap dan menjelaskan makna dari tradisi GAMA BALI, sehingga apa yang tersebut diatas tentang Loka Dresta dalam kutipan teks lontar menjadi bias pelaksanaan dari tradisi GAMA BALI.
Tradisi GAMA BALI kalau dilihat dalam perspektif Tatwa, Susila dan Upacara sangat jelas bisa mengungkap dan menjelaskan tentang makna upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali, dan kita akan mengerti kenapa leluhur kita tatkala ditanya tentang “kenapa” melakukan upacara ini, selalu jawabanya “nak mula keto” (sesungguhnya MULA/AWAL pertama ditanam adalah tatwa dan leluhur kita tidak mau melanggar etika).
Loka Dresta kalau dilihat dari SITUS dan RITUS-nya berdasarkan gugon tuwonnya sangat jelas sekali bahwa di Bali mempunyai tiga wilayah rohani yang berbeda yaitu, Maha Agung, Maha Rata dan Maha Awidya dan mempunyai tiga kelompok hari raya yang berbeda yang disebut dengan RERAHINAN diantaranya Sang Prabu melaksanakan tanggung jawab Sesananya pada saat rerainan GALUNGAN, Sang Bujangga melaksanakan tanggung jawab Sesananya pada saat rerainan PEGORSI dan Sang Patih melaksanakan tanggung jawab Sesananya pada saat rerainan TUMPEK.
Ampura sekarang kami tidak akan membahas TATWA dan SESANA tapi sekarang kita akan bahas RITUS GALUNGAN
GALUNGAN kalau dilihat dari tatwa sesungguhnya merupakan RERAINAN yang menjadi tanggung jawab Sesana Sang Prabu, maka yang paling penting dipahami pada saat Galungan adalah Wuku Sungsang dan Wuku Dungulan.
Ritus Galungan bisa di lihat dari makna dari ritus Sugihan pada saat wuku sungsang yang diawali oleh dimulainya ritus TAPA BRATA YOGA SEMADI oleh Sang Prabu dan Bhujangga pada saat SUGIHAN TENTEN (Pebersihan Bhuana Alit/Mikrokosmos), dilanjutkan esok harinya melaksanak ritus SUGIHAN JAWA pada hari kamis dan SUGIHAN BALI pada hari jumat dengan melakukan PENYAMBLEHAN terlebuh dahulu di NATAH UMAH dan hasil penyamblehan di jadikan PENGEREBUAN (Pebersihan Bhuana Agung/Makrokosmos).
Pertanyaannya, kenapa melakukan PENYAMBLEHAN dan di olah menjadi PENGEREBUAN pada saat Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, karena pada saat wara dungulan akan turun SANG KALA TIGA dan saat Manis Galungan pretima yang berwujud “wisesa” akan napak pertiwi NGELAWANG ke rumah para “Damuh Ida Bhetara” inilah sesungguhnya kenapa kita melakukan penyamblehan di “natah umah” pada saat Sugihan, di bawah ini adalah kutipan teks lontar Sundarigama yang menyebutkan hal tersebut di atas,
“Wara Dungulan, Ra, pa, nga, panyekeban, nga, warahning loka, ika turun Sang Kala Tiga, nga, mandadi Sang Bhuta Galungan, nga, arepa nadah anginum manusa ri madyapada, matangyan sang wiku mwah wong sujana, den pratyaksa wastu nikang adnyana nirmala, lamakane tan kasurupan dening Sang Kala Tiga, kayatna akna wong kabeh, nga”

Sebelum lanjut membahas Galungan, Ritus yang bisa dilihat dari kutipan teks lontar di atas adalah pada saat hari minggu adalah turunnya SANG KALA TIGA yang berwujud menjadi Sang Bhuta Galungan yang akan menggoda umat manusia maka dalam konteks teks tersebut diatas Sang Prabhu dan Sang Bhujangga melakukan kewajiban Sesananya (Tapa Brata Yoga Semadi) dan Sesana-nya sebagai TEDUNG JAGAT melindungi masyarakat supaya terhindar dari godaan Sang Bhuta Galungan, kalau Sang Patih melakukan persiapan untuk menyambut hari raya Galungan dengan mulai membuat tape (nyekeb tape) dan mempersiapan bahan upakara lainnya
“Ca, po, nga, panyajaan paruhning loka, ngawenang wastu wayadi ngamong yoga semadi maka pituhutanya Sadgana lawan Bhatara, nga”
Pada hari senin adalah turunya Sang Kala Tiga dalam wujud Sang Bhuta Dungulan yang akan menggoda umat manusia maka Sang Prabu dan Sang Bhujangga melakukan kewajiban Sesananya (Tapa Brata Yoga Semadi) dan Sesana-nya sebagai AMANGKURAT (BUMI) melaksanakan “ngemong sastra, nengeting setra” dan Sang Patih mulai membuat kue-kue untuk galungan dan mempersiapkan upakara (mejahitan)
“A, wa, nga, panampan, panadah ikangira Sang Kala Tiga, mamaning Sang Nglara dening pakreti de wong kabeh, wenang wehana Bhuta yadnya ring catus patani desa, sarupaning yadnya wenang, anutakna nista madya utama, nga, pinuja dening, Siwa, Boda, Bhujangga, apanika wenang anguriping bayun Raja menala kabeh, nga”………
….………..”ikang wong wenang abyakala, maprayascita, ngayab sasayut, raris mabakti ring Sang Hyang Tiga Sakti, nunas panjang yusa sekala niskala, nemu ayu palanya, tur jaya kosa ring paparangan”
Pada hari selasa adalah turunya Sang Kala Tiga dalam wujud Sang Bhuta Amangkurat yang akan menggoda umat manusia maka Sang Prabu dan Sang Bhujangga melakukan kewajiban Sesananya (Tapa Brata Yoga Semadi) Sesana-nya sebagai CAKRANINGRAT melaksanakan Bhuta Yadnya di CATUSPATA dan PEMPATAN AGUNG dengan memerintahkan para BALA-nya dalam kontek sekala adalah Bendesa dan Penyarikan (kelihan Banjar) dengan melakukan PENYAMBLEHAN di ajeng Ratu Gede Penyarikan atau Pelinggih Hulun Banjar yang di kenal dimasyarakat ritusnya adalah “nampah celeng di banjar”
Jeroan babi dan darahnya dari penyamblehan akan di olah menjadi CARU yang terkecil (sarupaning yadnya wenang) yaitu “nasi sasah nganuting urip ulamnya jejeron matah” yang juga disebut BAKARAN yang akan dipersembahkan di catuspata, pempatan agung, peteluan maupun karang tenget lainya di desa tersebut.
Setelah selesai ritus para Balanya Sang Prabu (ngaturang BAKARAN) sisa penyamblehan babi di bagikan keseluruh ka-RAMA banjar yang akan di oleh sama seperti tersebut di atas (bakaran) yang dipersembahkan di natah umah, hulun karang masing-masing masyarakat dan di jadikan lawar yang akan di persembahkan Hulun Karang masing masing tegak karang yang di tempati dengan “tetandingan be karangan (sate 30)” inilah kewajiban Sesana Sang Patih dan selanjutnya mulai memasang lamak sampyan, mengisi caratan coblong di pelinggih sanggah dan merajan, membuat penjor galungan dipasang pada saat penampan galungan hari selasa kalau Galungannya Nadi
Selanjutnya seluruh masyarakat saat Penampan Galungan ini melaksanakan pebyakawonan dan meprayascita dengan natab sesayut penampan galungan di Natah Umah, mohon kepada Sang Hyang Tiga Wisesa panjang umur dan Berjaya dalam perang kehidupan, karena Sang Kala Tiga sudah di somya oleh Sang Prabu dan Sang Bhujangga menjadi Sang Hyang Tiga Wisesa (perhatikan proses ritual dari sang prabu dan sang bhujangga mulai hari minggu sampai hari selasa)
“Bu, ka, Dungulan, Galungan, nga, patitisi kang adnyana mangda galang apadang, telasakna byaparaning idep, aturakna widi wedananya, ri sarwa dewa, ri sanggar, ri parhyangan agung alit, tumpeng pajegan, penek wangkulan, canang maraka, ajuman, sedah woh, kembang payas, wangi-wangi, pasucian, ika sane munggah, nga. ………….
Yan ya anemu purnama, ika, nga, Galungan Angembak, wenang wang kabeh ananceb penjor ring lambunya suwang-suwang, nga”……………..
RITUS GALUNGAN sangat jelas kami tidak akan bahas lebih lanjut karena pada saat ini kita akan melakukan pemujaan di semua sanggah, merajan dan pura-pura yang menjadi pemujaan kita sebagai BALA (pengempon, pemaksan dan penyungsung)
Selanjutnya keesokan harinya pada saat Manis Galungan apa yang dilakukan oleh masyarakat ada baiknya kami akan lanjutkan kutipan teks lontar di atas;
“Wus mangkana banten ika jenek sawengi, nyejer kabeh, ri enjang enjing semeng, wenang wong kabeh asuci laksana, kabeh ngamet weh putra, kala pranata saha kramas dening kumkuman, anulih mantuk, mabersih, raris mangaturan puspa maring sanggah, saha wangi-wangi, anunas pakuluh, tenga asuguh ri sor, tur ayab wong rarene, nga, wawu wenang parid banten Galungane, nga,
Wong Sang Purahita mwah Sujana wruhe tatwa suksema, mawnang mayoga semadi, nga, mangkana waraning Loka dresta, inukni, nga,
Yan tan samangkana baur kang ikang rat, duka Sang Hyang Tiga Wisesa, nga, anadi Bhuta Dungulan, Bhuta Galungan, Bhuta Amangkurat angadug-adug ring Rajamanala Sang Prabhu, hayuwa ima-ima madesa, nguteran desa rusak kang rat telas
Warahni loka ika”,……………..
Pada Manis Galungan ini adalah ritus dari NYURUD AYU dari Sang Patih, dapat dilihat dari natab banten yang di persembahkan pada saat Galungan yang merupakan penugrahan dari Ida Bhetara (kenapa tidak boleh di surud banten dari pura saat galungan) apa yang dilakukan oleh masyarakat dengan ritus nyurud ayu sekarang mulai menghilang dan bahkan Manis Galungan di kenal sekarang sebagai waktu untuk jalan-jalan yang semestinya kita lakukan adalah tangkil ke Puri maupun ke Griya minta restu kepada Sang Prabu maupun kepada Sang Bhujangga untuk mendapatkan bekal “perang” kehidupan kita kedepannya selanjutnya dilanjutkan minta restu kepada orang tua dan silaturahmi kepada sanak keluarga kita.
Selanjutnya Sang Prabu dan para Bala melaksanakan Sesananya khususnya para Pemangku pada saat Manis Galungan yang mendapatkan “pituduh” dari Ida Bhetara untuk nedunang Ida Bhetara napak pertiwi “Ngelawang” (ke umah-umah damuh-Nya) dan “Ngintar Desa” sehingga masyarakat akan mendapatkan kemakmuran dan inilah tradisi dari Loka Dresta (SIMA DRESTA) yang di maksud masyarakat bali di dalam menjalankan tradisi GAMA BALI
Rangkaian Galungan selanjutnya adalah ULIHAN GALUNGAN dan berakhir pada saat PENELAHAN GALUNGAN dan berakhir pula waktu RITUS BARONG Ngelawang. Penelahan galungan tidak sama waktunya yang dilaksanakan oleh masyarakat karena kewajibanya sebagai pengempon pura dengan TEGAK ODALAN yang berbeda penyebabnya.
RAHAYU RATU BHETRA semoga hati DAMUH IDA BHETARA selalu damai, Tabik Pekulun
Sebelum kami akhiri, ada baiknya kami akan ajak para pembaca untuk merenung dan mendiskusikan tentang makna dari hari raya Galungan karena selama ini kita di jelaskan bahwa hari galungan adalah perayaan hari kemenangan Darma melawan Adarma, benarkah maknanya sperti itu, pertanyaan berikutnya kenapa kemenangan dimeriahkan dengan ritus (upacara) dan paktanya di Bali tidak semua masyarakat bali merayakan galungan, dan bagaimana dengan saudara2 kita di luar bali dalam merayakan galungan, haruskah merayakan galungan………
Kami berharap sekali PARA SUJANA DAN PARA PEMIMPIN UMAT DI BALI mau memberikan pencerahan atas kebodohan kami niki semoga di jawab inggih……
Mohon di simak kutipan teks Sundarigama, di bawah ini
"mabakti ring Sang Hyang Tiga Sakti, nunas panjang yusa sekala niskala, nemu ayu palanya, tur jaya kosa ring paparangan”
Apakah karena kutipan teks diatas di asumsikan perang Darma melawan Adarma, ini adalah kenapa kami kasih judul tulisan ini Siapakah yang berperang? Supaya bisa kita diskusikan, suksme
Rahayu, Rahayu, Rahayu
Kelungkung Semara Pura, kirang langkung nunas ampura dumugi wenten pikenohnyane suksme.