Rabu, 27 September 2023

Dewi Gayatri - Ibu Segala Mantra


Semua literatur kitab Weda menyatakan bahwa Gayatri merupakan Dewi segala mantra. Namun keberadaan sang Dewi belumlah tenar di lingkungan masyarakat Hindu Bali, sebab untuk membentuk personalitas serta siapa dan bagaimana Beliau, serta dalam hal apa saja Beliau dipuja, masyarakat Hindu Bali belum banyak yang paham. Untuk itulah melalui artikel ini mencoba membedah Dewi Ilmu ini dengan sedikit ulasan yang terkesan back to India.

Ada banyak Dewi dalam ikonografi Hindu yang mewakili Ilmu Pengetahuan dan mantra suci. Kesemuanya memegang banyak atribut yang melambangkan hal tersebut. Namun dari sekian banyak Dewi, Gayatri adalah yang utama. Bergesernya Beliau sebagai Dewinya Ilmu Pengetahuan secara murni oleh Bhatari Hyang Aji Saraswati, mungkin disebabkan karena Gayatri lebih menekankan pada aspek Ilmu Pengetahuan secara apuruseya, mantra Weda yang transcendental. Sedangkan untuk Dewi Saraswati, Beliau meramu seluruh Ilmu yang ada, baik para widya dan apara widya.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Dewi Gayatri banyak dipuja di bharatawarsa dan lengkap dengan segala bentuk sadhana yang khusus ditujukan untuk menghormati Beliau. Dalam wujud Dewi Gayatri sering terlihat berkepala lima dan dengan mengenakan mahkota yang berkilauan. Namun mahkota yang tengah-tengah berhiaskan bulan sabit sangat mirip dengan bulan sabit yang dikenakan oleh Bhtara Siwa.

Beliau terlihat dengan sepuluh tangan yang masing-masing memegang; sankha kala, kapak cemeti, genitri, cakra, bunga padma, sakhu kamandalu, gada, sedangkan dua tangan yang berada di depan terlihat dengan posisi abhaya mudra, memberkati setiap pemuja-NYA dengan lembut dan penuh kasih. Beliau duduk di atas bunga padma berwarna merah, dan kepala Beliau yang paling depan ditengah-tengah tepatnya di selaning lelata (antara alis) Beliau terdapat mata ketiga layaknya mata Bhatara Siwa. Dewi Gayatri juga sering terlihat dengan sekelompok angsa yang mengitari.

Inilah mhamantra Gayatri yang pertama kali diturunkan…
Om bhur, Om bhvah, Om svah,
Om maha, Om janah, Om tapah, Om satyam,
Om tatsavitur varenyam,
Bhargo devasya dhimahi,
Dhiyo yo nah pracodayat,
Om apo jyotih,
Raso mritam brahma,
Bhur bhuah svah Om.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mantra ini awalnya terdapat di dalam kitab Reg Veda Samhita III. 62. 10. setelah itu pada kitab Yayur Veda Samhita dan Sama Veda Samhita. Dewi Gayatri sering disamakan dengan Dewi Savita yang secara harafiah memiliki arti matahari. Ini sebuah hal yang menunjukan bahwa Tuhan adalah bersinar dan Dewi Gayatri adalah Dewinya mantra yang memberikan kecemerlanghan pikiran.

Namun secara umum, mantra Gayatri yang diterima dewasa ini adalah hanya diucapkan sampai kata bhur, bvah, svah, kata maha, janah, tapah, satyam tidak dikumandangkan sama sekali. Secara terperinci ada banyak mantra Gayatri untuk setiap Dewata yang berbeda. Dengan demikian, ini menunjukan bahwa Dewi Gayatri adalah Dewi yang merangkum semua mantra pujian untuk setiap Dewata. Maka ini juga yang menjadikan bahwa Dewi Gayatri desebut dengan Dewinya mantra Weda.

Dalam beberapa pujian untuk Beliau disebutkan;
Ya sandhyamandalagata ya tri murti-svarupini
Sarasvati ya savitri tam vande veda mataram.
Artinya;
“oh Dewi yang berada pada lingkaran sinar matahari, yang adalah berbentuk Tri Murti, yang adalah Saraswati ataupun Sawitri, hamba menghaturkan sembah kepada Gayatri, Ibu segala macam Weda”.

Jika Dewi Gayatri dikatakan sebagai Ibunya Weda, maka secara otomatis Dewi Gayatri merupakan sang Dewi jagat raya, sebab Weda sendiri adalah tidak berbeda dengan dunia nyata dan yang tidak nyata. Ini dibenarkan sebab dalam sebuah peristiwa, pernah suatu kali; Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa mengambil rupa sebagai bayi mungil untuk mendapatkan kasih dari Dewi Gayatri.

Bayi-bayi tri murti ini menangis keras dan membuat sang Dewi kembali. Anak Ilahi ini ditidurkan dalam sebuah ayunan yang talinya tergantung di angkasa luar. Jadi tidak salah jika terdapat salah satu mantra yang digunakan untuk mengagungkan Dewi Gayatri seperti berikut;
Ya visva janani devi ya tri murti svarupini
Gayatri-rupini ya hi tan vande sapta matrkam
“oh sang Dewiyang merupkan Ibunya jagat raya, yang adalah berbentuk Tri Murti yang merupakan Gayatrio, hamba menghaturkan sembah sujud yang berbentuk tujuh Ibu”.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Minggu, 24 September 2023

Jenis, Penempatan, dan Doa Saat Menghaturkan Segehan

 






SEGEHAN: Garam yang ada dalam segehan adalah sarana mujarab untuk menetralisasi berbagai energi yang merugikan manusia . (ISTIMEWA)


BALI EXPRESS, DENPASAR - Segehan adalah tingkatan kecil atau sederhana dari upacara Bhuta Yadnya. Sedangkan tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur. Kata segehan, berasal kata 'Sega' yang berarti nasi.

Banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi yang biasa dimakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang merah, jahe, garam, dan lain-lainnya. Dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tetabuhan air, tuak, arak serta berem.


Segehan artinya 'Suguh' atau menyuguhkan. Dalam hal ini, segehan dihaturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu dan juga ancangan iringan para Bhatara dan Bhatari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan, dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisasi dan menghilangkan pengaruh negatif dari limbah tersebut.

“Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan),” ujar, Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) beberapa waktu lalu.



Dijelaskan lebih lanjut, segehan biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah atau sudut- sudut natar merajan, pura, halaman rumah dan di gerbang masuk, bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.


Terdapat beberapa segehan yang dikenal di Bali, yakni segehan kepel putih yang merupakan segehan paling sederhana dan biasanya dihaturkan setiap hari. Sama seperti segehan putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning. Biasanya segehan putih kuning ini dihaturkan di bawah palinggih.

Adapun doanya sebagai berikut : Om Sarwa Bhuta Preta Byo Namah (Hyang Widhi izinkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada bhuta preta seadanya).

Berikutnya segehan kepel warna lima (manca warna) . Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi lima, yakni putih, merah, kuning, hitam, dan brumbun.

Penempatan warna memiliki tempat atau posisi yang khusus, sebagi contoh warna hitam menempati posisi Utara, warna putih menempati posisi Timur, merah menempati posis Selatan, kuning menempati posisi Barat, sedangkan Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna menempati posisi di tengah tengah, yang bisa dikatakan Brumbun tersebut sebagai pancernya.

Segehan manca warna ini biasanya diletakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemedal) atau di perempatan jalan. Adapun doa dari segehan manca warna ini yakni : Om Sarwa Durga Preta Byo Namah ( Hyang Widhi izinkan hamba menyuguhkan sajian kepada Durga Preta seadanya ).


Selanjutnya adalah segehan Cacahan. Segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. Sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau sembilan buah tangkih. Kalau menggunakan tujuh tangkih, di mana lima tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di Timur, Selatan, Barat, Utara, dan Tengah. Dan, satu tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam. Satu tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Jika menggunakan sembilan tangkih sebagai tempat nasi yang posisinya mengikuti arah mata angin. Satu tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya, yaitu bawang, jahe dan garam. Dan satu tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten.

“Keempat jenis segehan tersebut dapat dipergunakan setiap kajeng kliwon atau pada saat upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan,” jelasnya.


Selanjutnya ada segehan agung yang merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, panyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar lainnya.

Adapun isi dari segehan agung ini, yakni alasnya ngiru atau ngiu yang di tengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas, tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, dilengkapi dengan tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tapak dara).


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Adapun tata cara saat menghaturkan segehan adalah pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian dipecahkan 'diayabin' kemudian ditutup dengan tetabuhan.

Doa dalam menghaturkan segehan ini yakni Om sarwa kala preta byo namah (Hyang Widhi izinkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada kala preta seadanya).

Setiap menghaturkan segehan lalu disiram dengan tetabuhan. Tetabuhan ini bisa menggunakan air putih yang bersih, atau tuak, brem, dan arak. Dengan cara mengelilingi segehan yang dihaturkan. Ketika menyiram atau menyiratkan kita ucapkan doa Om ibek segara, ibek danu, ibek bayu, premananing hulun. "Artinya, Hyanng Widhi semoga hamba diberkahi bagaikan melimpahnya air laut, air danau, dan memberi kesegaran jiwa dan batin hamba," tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.



(bx/gus /yes/JPR)

Cara dan Mantra Menanam Ari-ari Menurut Hindu

  






BATU BULITAN: Batu bulitan sebagai simbol anugerah panjang umur untuk bayi. (ISTIMEWA)


Bayi yang terlahir ke dunia tak sendirian. Berdasar kepercayaan Hindu, ada empat saudara yang mengikuti yang disebut Catur Sanak. Lantaran itu pula, ada prosesi ritual khusus, salah satunya menanam Ari-ari sang bayi.

Ari-ari merupakan bagian dari kehidupan sang bayi yang menjadi personifikasi dari Sang Catur Sanak, yakni Sang Anta Preta, Sang Kala , Sang Bhuta, dan Sang Dengen

Sang Anta Preta merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai personifikasi saudara tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi lahir ke dunia. Sang Kala merupakan sebutan darah yang keluar a saat melahirkan sebagai sumber energi dari bayi, sehingga bayi bisa bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu. Selanjutnya Sang Bhuta, merupakan sebutan untuk selaput ari atau lamas yang membungkus tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir, sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus sebagai sarana pelicin saat bayi lahir. Dan, yang terakhir adalah Sang Dengen, yakni sebutan untuk Ari-ari atau placenta yang ikut lahir.


Ida Pedanda Gede Manara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs. Ida Bagus Putu Sudarsana, MBA, mengatakan, Ari-ari sangat berguna sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan. Sebab, ari-ari merupakan transformator dan mediator zat-zat makanan dari ibu kepada bayi dalam pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh bayi terhadap suhu badan si ibu

Lebih lanjut dijelaskan, saat bayi lahir, ada upacara khusus yang harus dilakukan untuk mendem Ari - ari si bayi.

Saat si ibu dalam proses bersalin, maka disiapkan sebuah periuk tanah yang berisi tutup untuk tempat Ari-ari, setelah bayi lahir.

Ari-ari tersebut, dibawa pulang, dan setelah itu diletakkan di dalam baskom atau ember baru, dan ember itu tidak boleh dipakai lagi. Lalu, Ari – ari tersebut dicuci dengan air. Sang ayah harus membersihkannya dengan bersih, menggunakan kedua tangan, tanpa perasaan jijik dan dilakukan dengan perasaan penuh syukur dan kasih saying. Setelah bersih lalu dibilas dengan air kumkuman (air bunga). Siapkan sebuah kelapa ukuran besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu dipotong dan dikeluarkan airnya. Pada bagian atas kelapa (bagian tutupnya) ditulis aksara Ah yang melambangkan Akasa, dan pada bagian bawahnya ditulis aksara Ang yang melambangkan Pertiwi.

"Jadi, penanaman Ari-ari memiliki tujuan untuk menyatukan pertiwi dan akasa guna memberikan keseimbangan perjalanan si bayi," imbuhnya.

Kemudian Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa tersebut, diisi dengan 1 kwangen yang berisi 11 kepeng uang bolong yang diletakan di atas Ari - ari, 1 potong lontar atau ental yang ditulis aksara Ongkara, 1 ikat duri - durian (3 macam duri), Rempah - rempah (anget - angetan), wewangian dan boleh juga diisi pesan - pesan lain dari sang ayah dalam hal ini mengacu kepada Desa Kala Patra.

Tempat menanamnya sesuai dengan jenis kelamin si bayi. Kalau si bayi laki-laki, maka ditanam di sebelah kanan pintu balai, sedangkan kalau bayinya perempuan, maka Ari-arinya ditanam di sebelah kiri pintu balai (dilihat dari dalam rumah).

Di lain pihak, Mangku I Wayan Satra menjelaskan, sebelum mulai menanam Ari-ari, pertama harus menyalakan dupa untuk memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan mantra “ Om Ang sri basunari jiwa mertha, trepti paripurna ya namah suaha. Selanjutnya dengan ucapan “Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, pinakengulun aminta sih, ingsun angengkap pertiwi, ngulati amendem Ari-ari, tan kenang sira keletehan, rinaksanan denira Sang Catur Sanak, manadi pageh uripe di jabang bayi, Om sidhi rastu ya namah swaha.”

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah mengucapkan mantra tersebut, lanjutnya, barulah membuat lubang, selanjutnya Ari-ari dicuci dengan air biasa sampai bersih. Sesudah itu diusapi dengan boreh gading sampai rata, kemudian dibilas dengan air kumkuman agar bersih. Semua air pencucinya dimasukkan ke lubang tersebut. Ari-ari dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah menjadi dua dan diisi ngad, lontar yang telah ditulisi aksara, kewangen yang berisi uang bolong 11 kepeng, duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar ijuk dibungkus dengan kain putih, dibuat simpul di atasnya, dan dipasangkan kwangen di atasnya. Masukkan Ari-ari ke dalam lobang atau bangbang dengan muka kwangen ke arah halaman rumah. Sambil meletakkan di dalam lubang, ucapkan mantra dalam hati

“Om presadha stiti sarisa sudha ya namah“ dan ucapakn "Ong sang ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, ngamertanin sarwa tumuwuh, ( nama bayi ) mangda dirgayusa nutugang tuwuh.

"Artinya, Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai pertiwi, penguasa segala kekuatan, penguasa kehidupan, menghidupi segala yang lahir atau tumbuh, si anu (nama si bayi) semoga panjang umur.

Setelah ditanam, di atasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan. Di atas batu diletakkan sebuah lampu Bali yang telah menyala dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam.

Di bagian hulu dari ari-ari, ditanam ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah, lengkap berisi sampian, gantung-gantungan, sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.

Suguhkan segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada Ari-ari sebanyak empat tanding yang merupakan persembahan kepada Catur Sanak yakni, kepelan putih satu tanding, lauknya garam menghadap ke timur. Kepelan merah (bang) satu tanding, dengan lauk bawang menghadap ke selatan.

Kepelan kuning satu tanding, lauk jahe menghadap ke barat. Kepelan hitam (ireng) satu tanding, lauk uyah areng menghadap ke utara, dengan mantra "Ong sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit."

Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak, dan lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan dina kelahiran bayi. Selanjutnya setiap hari di atas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam di atas daun dapdap dengan lauk garam dan arang. 

Setiap selesai memandikan bayi, siramkan air memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut. Menghaturkan soda putih kuning, canang sari pada sanggah tutuan, dengan mantra “Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana ring pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken bhakti seprakaraning penek putih kuning, maduluran kesuma, pinakengulun aminta nugeraha, kemit rareningulun rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing joti maetmahan jati, Ang, Ah amertha sanjiwani ya namah swaha.”

Selain itu, ada beberapa makna yang terkandung dalam perlengkapan menanam Ari-ari, yakni batu bulitan mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur. Pohon pandan duri diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic. Lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan minyak lampu wayang (tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya). Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karena itu lampu tersebut ditatabkan atau ayab dengan mantra “Om Ang Ah surya candra gumelar ya namah swaha.“

Ini sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas pandang alam semesta), di mana Catur Sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi. "Sanggah Tutuan merupakan simbol dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang bayi," tutup Satra.



https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/11/12/26172/ini-cara-dan-mantra-menanam-ari-ari-menurut-hindu

Bentuk, Isi, serta Makna Sepuluh Canang yang Digunakan di Bali

  








BALI EXPRESS, DENPASAR - Bali memiliki tiga tingkatan upakara, yakni Nista, Madya dan Utama. Ketiga tingkatan inilah yang mendasari umat Hindu dalam beryadnya sesuai kemampuan, agar yadnya yang dilakukan tidak memberatkan.

Upakara dengan kwantitas terkecil dikenal dengan istilah Nista, di mana salah satunya cukup dengan sarana upakara berupa canang. Canang berasal dari sukukata ‘Ca’ yang artinya indah, sedangkan kata ‘Nang’ artinya tujuan.

“Dapat didefinisikan canang merupakan sarana untuk mencapai tujuan yaitu keindahan (Sundharam) kehadapan Ida Sang Hyang widhi Wasa,” Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran kepada Bali Express (Jawa Pos Group).


Lebih lanjut dijelaskan Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran , canang yang dialasi sebuah ceper adalah simbol Ardha Candra, sedangkan canang yang dialasi sebuah tamas kecil merupakan simbol Windhu. Di dalam ceper terdapat porosan silih asih yang memiliki makna welas asih dalam melaksanakan upakara. Selai porosan, di dalam ceper juga berisi jajan, tebu dan pisang yang merupakan simbol ‘Tedong Ongkara’ yang menjadi perwujudan kekuatan Utpeti, Stiti, dan Pralin. Di atas raka-raka tadi disusunkan sebuah sampian urasari yang merupakan simbol windhu, sedangkan ujungnya merupakan simbol nadha.

Di atas sampian urasari disusun bunga dengan susunan sebagai berikut, bunga putih diletakkan di arah timur yang merupakan simbol Sang Hyang Iswara. Bunga Merah diletakakan di arah selatan yang merupakan simbol Dewa Brahma. Bunga Kuning diletakkan di arah barat yang merupakan simbol Dewa Mahadewa. Bunga biru atau hijau diletakkan di arah utara yang merupakan simbol Dewa Wisnu.

“Dan, yang terakhir adalah Kembang Rampai yang diletakkan di tengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata,” jelasnya.

Dengan demikian, canang mengandung makna sebagai permohonan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi (berwujud Ongkara), bahwa umatnya memohon kekuatan agar Beliau bermanifestasi menjadi Ista Dewata.

Berikut Beberapa jenis canang yang dikenal di Bali: 
1. Canang Sari


Canang Sari (ISTIMEWA)


Canang Sari adalah sebuah canang yang alasnya menggunakan ceper atau tamas kecil dan sampian urasarinya membentuk astadala, sehingga bentuknya bundar yang berfungsi sebagai sarining yadnya.

Canang sari terdiri dari dua jenis, yaitu Canang Sari Ageng dengan sampian urasari berbentuk astadala dan Canang Sari Alit yang pada sampian urasarinya menunjuk empat arah mata angin, namun maknanya tetap sama. 
2. Canang Genten


Canang Genten (ISTIMEWA)


Canang Genten, pada intinya sama dengan canang sari hanya ditambahkan dengan jajan kiping, pisang mas dan bubur sesuruh merah dan putih. Di masing-masing bubur tersebut dibungkus dengan janur yang digiling menyerupai sebatang rokok serta diletakkan di bawah sampaian urasari.

Fungsi canang ini adalah untuk memohon anugerah keremajaan, sehingga sering digunakan pada saat upacara matatah atau menek kelih (beranjak dewasa).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

3. Canang Pesucian

Canang Pesucian yang dialasi dengan sebuah taledan kecil yang berbentuk segi empat panjang dan memiliki satu sibeh pada bagian pangkalnya. Di atas taledan ini dijahitkan lima buah celemik dengan posisi tempatnya di atas yang berisi tepung tawar, merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.

Di kanan yang berisi lenga wangi yang telah dicampur dengan kapas berisi minyak wangi yang merupakan simbol Sang Hyang Brahma. Di bawah berisi daun dapdap yang merupakan simbol Sang Hyang Mahadewa. Di kiri berisi sisig yang merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu dan di tengah berisi burat wangi yang merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Siwa.



4. Canang Gantal

Pada prinsipya hampir sama dengan canang pesucian. Hanya, di tengahnya ditambahkan base tubungan matungkas. Kata ‘Gantal’ berasal dari kata Gana yang mengandung arti pertemuan, sedangkan kata ‘Tal’ dapat diartikan bersatu. Dengan demikian, Canang Gantal memiliki makna permohonan kedamaian kepada Tuhan. 
5. Canang Pangrawos


Canang Pangrawos (ISTIMEWA)


Model lainnya adalah Canang Pangrawos, yang pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan canang gental, hanya di tengahnya mempergunakan sebuah takir berisi lima buah lekesan. Hal ini bertujuan untuk memohon kebulatan pendapat berdasarkan ketenangan hati untuk mencapai kedamaian.

Canang ini biasa digunakan saat rapat ataupun pengajuman. 
6. Canang Tubungan


Canang Tubungan (ISTIMEWA)


Model selanjutnya yakni Canang Tubungan. Canang ini pada prinsipnya sama dengan canang pangerawos, bedanya hanya terdapat pada lekesannya saja. Kalau di canang pangerawos terdapat lima, sedangkan di canang tubungan hanya satu.

Canang ini merupakan penghormatan terhadap Ida Sang Hyang Widi agar dianugerahkan kekuatan. Canang ini biasanya digunakan saat upacara nuntun atau mamendak. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


7. Canang Raka


Canang Raka (ISTIMEWA)


Selanjutnya Canang Raka, yang pada prinsipnya sama dengan canang sari. Pada canang raka tedapat buah-buahan sebanyak lima macam yang merupakan simbol permohonan pengeleburan panca mala. Baik terhadap bhuwana agung maupun bhuwana alit. Selain itu, canang ini juga bertujuan agar dianugerahkan Panca Amertha, yakni Amertha Sanjiwani yang disimbolkan dengan pisang kayu, Amertha Kamandalu yang disimbolkan dengan buah salak, Amertha Kundalini yang disimbolkan dengan buah yang berwarna kuning, Amertha Pawitra yang disimbolkan dengan buah manggis, dan Amertha Maha Mertha yang disimbolkan dengan buah jeruk.

Canang ini biasa dugunakan saat upacara Panca Yadnya, khususnya saat mendem pedagingan dan nyejer.

8. Canang Tadah Sukla

Pada prinsipnya sama dengan membuat Canang Payasan, hanya isi celemiknya yang berbeda. Pada canang ini isi celemiknya masing-masing, yakni celemik pada bagian kiri atas berisi kacang ijo, celemik pada bagian kanan atas berisi kacang komak, celemik pada bagian kiri bawah berisi ubi lima iris, celemik pada bagian kanan bawah berisi keladi lima iris, dan celemik pada bagian tengah bersisi kacang botor dan pisang kayu mentah sebanyak lima iris. Kemudian di atasnya diletakkan canang sari.

Canang ini merupakan simbol kekuatan iman, kesucian dan kesejahteraan. Canang ini biasa digunakan saat upacara pebersihan. 
9. Canang Pangengkeb


Canang Pangengkeb (ISTIMEWA)


Canang ini pada prinsipnya sama dengan Canang Payasan, hanya ditengahnya berisi dua bua takir dengan posisi tempat kanan dan kiri. Yang di kanannya berisi beras kuning dengan satu buah base tubungan, sedangkan takir yang kiri berisi cendana.

Canang ini bertujuan agar dianugerahkan kekuatan kewibawaan atau taksu dalam berkesenian. Canang ini biasa digunakan saat pementasan tarian sakral. 
10. Canang Saraswati


Canang Saraswati (ISTIMEWA)


Canang ini menggunakan tamas kecil atau sebuah ceper sebagai alasnya. Di dalamnya berisi jajan, pisang, tebu, porosan, sampian plaus yang diletakkan pada bagian hulunya. Kemudian dipasangkan lima buah celemik. Celemik bagian atas berisi jajan suci bungan temu putih kuning, celemik di bagian kanan berisi jajan suci karang putih kuning, celemik di bagian bawah berisi jajan suci kekuluhan putih kuning, di bagian kiri berisi jajan karna putih kuning, di bagian tengah berisi jajan suci candigara putih kuning.

Di atas tetandingan jajan suci tadi disusunkan lagi sebuah ceper yang merupakan ceper kedua yang di dalamnya berisi lima buah celemik. Masing-masing celemik berisi pala bungkah dan pala gantung. Kemudian di atas panca ini disusun sebuah ituk-ituk yang berisi eteh-eteh tetukon. Selanjutnya ituk-ituk ini diisi dengan jajan saraswati yang dialas dengan daun beringin, selanjutnya di atas jajan saraswati diisi dengan pesucian dan canang sari.

Canang ini bertujuan untuk memohon anugerah kepintaran dan biasa digunakan saat hari Suci Saraswati. 

(bx/rin/gus /yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/12/03/31018/ini-bentuk-isi-serta-makna-sepuluh-canang-yang-digunakan-di-bali

Makna dan Simbolik Makala-Kalaan dalam Pewiwahan

 






PEWIWAHAN: Prosesi pernikahan umat Hindu di Bali. (ISTIMEWA)




Pawiwahan atau perkawinan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap insan,termasuk juga umat Hindu. Pernikahan sekaligus mengakhiri masa Brahmacari Asrama dan memulai kehidupan pada tingkat Grhasta Asrama. Namun, kapan seseorang dikatakan sah berkeluarga?

Perkawinan atau Wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut 'Yatha Sakti Kayika Dharma' yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi, seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. "Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan," ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express, Selasa (13/12/2016).

 
Satra menjelaskan, di dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi, bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut 'Makala-kalaan' (natab beten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita.
Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan 'Kala Bhucari' sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata 'kala' yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam 'sebel kandel'.
Dengan upacara Makala-kalaan sebagai sarana penetralisasi (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk mengubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). "Dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih," ujar Satra
Upacara Makala-Kalaan dimaknai sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai yang berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.
Lebih lanjut dijelaskan Satra, adapun alat-alat yang digunkan saat upacara Makala-Kalaan adalah Sanggah Surya yang di sebelah kanannya digantungkan Biyu Lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah Kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
 
Biyu Lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai Dewa Kebajikan, Ketampanan, Kebijaksanaan simbol pengantin pria. Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, Dewa Kecantikan serta Kebijaksanaan simbol pengantin wanita.
Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg) sebagai simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara Makala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin. Tikeh Dadakan (tikar kecil) diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, Tikeh Dadakan adalah simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni). Selanjutnya, Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.
Dalam Makala-kalaan dibuatkan juga benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu. Pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon Dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara Makala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.
Perlengkapan lainnya adalah Tegen - tegenan, merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Suwun-suwunan (sarana jinjingan) melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon Kunir dan Talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
Sementara Dagang-dagangan melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala risiko yang timbul akibat perkawinan tersebut, seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
Ada juga Sapu Lidi tiga batang merupakan simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna dan agar tabah menghadapi cobaan dalam kehidupan rumah tangga.
Kemudian Sambuk Kupakan (serabut kelapa) adalah serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga, simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), mengisyaratkan kesucian. Sedangkan Telor bebek menjadi simbol manik.
Proses selanjutnya, mempelai saling tendang serabut kelapa (matanjung Sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Hal ini bermakna, apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan Triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut, kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

Sedangkan Tetimpug Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh (daun kelapa kering), bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.
Upacara Makala-kalaan biasanya dilaksanakan pada sore hari. Hal ini dilakukan untuk mencari momentum keluarnya Bhuta Kala. Sebab, Sandi Kala dipercayai sebagai waktu keluarnya Bhuta Kala. "Kesuksesan pelaksanaan upacara ini mengutamakan kehadiran Tri Saksi, yakni saksi Dewa, Saksi Manusia, dan saksi Bhuta Kala," tutup Satra.

Lontar BHUWANA KOSA

 



Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu :
Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya.
Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara / Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra Śiwa dijelaskan juga bersifat immanent dan transcendent.
Immanent, Ia meresapi segalanya, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka).


Transcendent, Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya.
Meskipun Ia Immanent dan Transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini.
Ia tidak tampak,
tetapi Ia ada.
Sungguh sangat rahasia adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia adalah ciptaanNya juga.
Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.
Demikian juga disebutkan dalam beberapa petikan mantra dalam Tattwa III referensi Lontar Bhuwana Kosa yang sebagaimana dijelaskan
Berkedudukan di alam Satya Loka, Bhatara Siva Maha gaib, tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, amat suci:
“Keadaan Sang Hyang Siva berada di hati semua mahluk, tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir, Keberadaan Beliau kekal berwujud seperti putaran air".
Berkedudukan di alam Tapa Loka, Beliau Bhatara Siwa menguasai semua pengetahuan dan selalu terhindar dari ketuaan dan kematian.

Makna Asu Bang Bungkem dalam Caru Panca Kelud

 






ASU : Asu atau Anjing Bang Bungkem tak bisa diganti dengan binatang lain untuk caru. (ISTIMEWA)





BALI EXPRESS, SINGARAJA - Umat Hindu di Bali memiliki keyakinan bahwa untuk menjaga keseimbangan alam, dapat dilakukan dengan menggelar upacara Bhuta yadnya yang disebut dengan caru. Berbagai jenis caru pun dipergunakan dengan kurban binatang sebagai sarana upakara, mulai dari caru eka sata, panca sata, panca sanak, panca kelud, dan balik sumpah.


Menurut dosen upakara STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Dra. Wayan Murniti, M.Ag, salah satu binatang yang mutlak ada sebagai sarana upakara dalam Caru Panca Sanak dan Panca Kelud, yakni Asu Bang Bungkem.





Asu Bang Bungkem terdiri dari kata Asu, Bang, dan Bungkem. Asu berarti anjing, sedangkan Bang berarti merah, dan Bungkem berarti diam. Jadi , Asu Bang Bungkem berarti Anjing yang berwarna merah pada badannya, namun moncong mulut dan ekornya berwarna hitam.


“Caru Panca Sanak merupakan caru yang dasarnya adalah panca sato, lalu ditambah dengan satu hewan lagi, yakni Asu Bang Bungkem yang ditempatkan di sebelah neriti (barat daya). Mungkin karena mempergunakan tambahan seekor anjing yang termasuk kaki empat, sehingga disebut catur sanak,” ujar Murniti kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (5/7/2016) lalu.



Lebih lanjut diungkapkan Murniti, khusus untuk caru Anjing Bang Bungkem ini merupakan simbol dari Bhuta Kala yang di bawah kekuasaan Dewa Rudra. Bahkan, dalam Lontar Bhama Kertih penggunaan Asu Bang Bungkem sebagai sarana utama dalam caru Panca Sanak maupun Caru Rsi Gana yang dimaksudkan untuk manyomya (menyeimbangkan) Bhuta Ulu Kuda yang tempatnya dalam pangider-ider di neriti atau barat daya agar kembali menjadi Sang Hyang Rudra.

“Iki pemahayun karang, awet denya manggih ayu, caru angkus nga, lwirnya:...asu bang bungkem 1, dagingya olah jangkep, wewalungannya wahan sengkwi...katur ring Bhatara Kala, kesaksanan de Bhatara Surya mwah para watek dewata nawasangha, tumut hyangnya make sami...mangkana kramanya, genahe mecaru ri natar wenang.”

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sedangkan merujuk dalam tattwa (filsafat), sambung Murniti, warna hitam pada mulut anjing Bang Bungkem sebagai simbol kekuatan Dewa Wisnu. Warna merah pada bagian badannya sebagai simbol Dewa Brahma. Selain dalam kisah Mahabarata, khususnya bagian Suarga Rohana Parwa, Dharma Wangsa diikuti oleh seekor anjing dikisahkan dapat menempuh perjalanan menuju alam Sunya (moksa).



“Sebisa mungkin, anjing Bang Bungkem yang dipergunakan untuk caru diusahakan usianya sudah dewasa, namun belum memiliki anak. Karena pada umumnya yang dewasa sudah memiliki kekuatan penuh yang dibutuhkan dalam caru,” paparnya.


Murniti menambahkan, jika penggunaan Asu Bang Bungkem sebagai sarana untuk menetralisasi, energi dari negatif menjadi positif, sehingga menjadi seimbang. Bahkan, kekuatan Asu Bang Bungkem untuk menetralisasi energi negatif menjadi positif tidak hanya dipergunakan untuk di pekarangan rumah saja. Melainkan di sebuah daerah, bila mengalami musibah, karang panes, karang tenget, pamali agung, terserang hama untuk lahan pertanian.


Di sisi lain, Murniti menegaskan jika penggunaan Asu Bang Bungkem merupakan tetadahan (makanan) Bhuta Ulu Kuda. Disebut tetadahan karena dalam prakteknya manusia banyak memiliki keterbatasan untuk menciptakan alam yang harmonis, maka dipakailah penggantinya, yakni Asu Bang Bungkem. “Di sini manusia harus mengerti tentang alam, bahwa bukan hanya manusia saja yang menikmati alam ini, melainkan ada makhluk lain, termasuk hewan dan tumbuhan. Kalau alam tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan bencana. Sehingga penggunaan Asu Bang Bungkem sangatlah penting,” ujar Murniti.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Saat ditanya apakah boleh Asu Bang Bungkem diganti dengan hewan lain atau anjing jenis lain? Dengan tegas Murniti mengatakan tidak boleh digantikan. Menurutnya, selama ini berdasarkan pengalaman belum ada masyarakat yang batal melaksanakan caru karena tak mendapatkan Asu Bang Bungkem.

“Makanya, betapa pun sayangnya terhadap Anjing Bang Bungkem, jika sudah layak menjadi caru, maka harus direlakan. Karena kalau dilarang, maka secara tattwa kita melakukan kesalahan besar akibat menghambat anjing tersebut untuk mendapatkan panyupatan atau penyucian dalam meningkatkan kualitas dan tingkatan hidupnya kelak,” tegasnya.

Untuk mencari Asu Bang Bungkem sebagai sarana upakara, sambung Murniti, memang tidak segampang mencari atau menemui anjing pada umumnya. “Namun, apabila dipergunakan untuk sarana upakara, sudah pasti dapat dimanapun tempatnya. Itulah kehebatan Sang Pencipta. Sekali lagi Asu Bang Bungkem ini memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap alam niskala. Oleh karena itulah kita harus melestarikannya, mengingat kebutuhan akan anjing ini begitu besar di Bali,” paparnya.


Dalam upacara pacaruan, yang dipentingkan dari caru Asu Bang Bungkem adalah kepala yang masih melekat dengan kulitnya (belulang). Sedangkan dagingnya diolah menjadi urab barak, urab putih, sate calon sebanyak 33, dirangkai menjadi tiga tanding, berdasarkan Lontar Bhuta Yadnya. Pun demikian, dalam Lontar Bhama Kertih, mantram yang diucapkan saat penggunaan Asu Bang Bungkem adalah “Pakulun sang bhuta ulu kuda saking kidul, pahing panca waran sira, iki asu bang bungkem rinancana, makadi runtutannya, tuak sagoca, Bali salyus, enak sira amangan anginum, ring raga, ring sawah, ring pomahan, tukalen kang sasab, mrana kabeh, om sidhi rastu ya namah swaha.”



(bx/dik/yes/JPR)