Minggu, 26 November 2023

Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur



Berbahagia atau hidup selalu dalam kebahagiaan sangat didambakan oleh umat sedharma “manusia” yang masih diberikan kesempatan untuk hidup di dunia sampai saat ini. Suasana hati yang berbahagia dapat dilambangkan dengan: seperti saat bertemunya orang tua dengan anak-anak dan cucunya; merasakan tidak kekurangan segala sesuatu ‘uang’ karena nilai kebahagiaan itu tidak dapat diukur dengan banyak atau sedikitnya seseorang memiliki uang; hidup yang berfaedah serta bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara; selalu merasa memiliki (tenaga yang sehat, kekayaan, kerajinan, kecemerlangan dan kejernihan hati). Atas petunjuk dan tuntunan dari Sang Hyang Surya/Tuhan Yang Mahaesa, bagaimana umat dapat mencapai tujuan dan memanfaatkan ajaran Dasa Nyama Bratha untuk mewujudkan kesempurnaan batin dalam hidup ini?






Image; folkbadung
Dasa Nyama Bratha adalah ajaran yang dapat dipergunakan sebagai pegangan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan batin melalui pengamatan hidup di dunia ini. Pegangan untuk mewujudkan kesempuraan batin yang dimaksud adalah berupa pelaksanaan dharma guna mencapai tingkatan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut moksa. Selama manusia hidup pengamalan ajaran Dasa Nyama Brata di dunia inilah tempatnya. Sebab dari perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari itulah dapat diketahui tingkatan keluhuran mental manusia itu sendiri. Oleh karena itu orang dapat dinilai memiliki mental baik dan sehat dapat diperhatikan dari cara seseorang berperilaku.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tujuan dari pada ajaran Dasa Nyama Bratha adalah untuk mewujudkan kesempurnaan batin (bahagia - abadi - moksa) melalui pengamatan dan pengamalan hidup di dunia ini dengan melaksanakan dharma serta berkepribadian luhur. Manfaat dari ajaran Dasa Nyama Bratha adalah sebagai media pembelajaran, pendidikan, pendalaman, pengamalan ajaran Agama Hindu dalam mewujudkan umat sedharma yang berkepribadian luhur berlandaskan pelaksanaan dharma guna mencapai tingkat kebahagiaan batin yang kekal abadi yang disebut moksa. Berikut ini adalah pelaksanaan dharma berdasarkan ajaran dasa nyama bratha yang bermanfaat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” adalah dengan melaksanakan:



1. Dana berarti pemberian-pemberian makanan dan minuman, dan lain-lainnya


Dana Artinya suka berderma (bersedekah) berupa makan dan minum dan bentuk pemberian lain yang sejenis dengan itu. Memberikan dana kepada orang lain berarti orang telah dapat meringankan beban penderitaan orang lain. Membantu seseorang yang sedang dan sangat memerlukan untuk menyambung hidupnya adalah perbuatan yang mulia, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 314).


Dalam hidup dan kehidupan ini seseorang harus saling bantu membantu karena setiap orang mempunyai kelemahan-kelemahan sendiri yang harus dibantu oleh orang lain. Apalagi kalau kita renungkan bahwa sebagian besar kebutuhan hidup ini kita didapati dari orang lain, seperti perabot rumah tangga, barang-barang dari besi, makan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dalam hidup bersama ini orang tidak dibenarkan mementingkan diri sendiri dengan menginjak- injak, menindas yang lain. Memberikan dana puniya dengan sesama adalah merupakan kewajiban hidup sebagai manusia. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Na màtà na pità kiñcit kasyacit pratipadate,
dàna pathyodano jantuh swakarmaphalamacnute.
Ika tang dàna, tan bapa, tan ibu, umukti phalanika, anghing ika wwang gumawayaken ikang dànapunya, ya juga umukti phalanikang danapunya".

Terjemahan:


"Itulah hakikat suatu dana, bukan si bapa, bukan si ibu yang menikmati pahalanya, melainkan hanya orang yang melakukan kebajikan berdana puniya itu, dia saja yang akan menikmati pahala dari berbuat dana punia itu", (Sarasamuscaya, 169).


Manfaat dari ajaran Dana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka berderma (bersedekah) berupa makan dan minum dan bentuk pemberian lain yang sejenis dengan itu.



2. Ijya berarti pujaan kepada Deva, kepada leluhur, dan lain-lainnya


Ijya artinya pemujaan kepada para Deva, leluhur dan pemujaan lainnya yang sejenis dengan itu. Di samping pemujaan kepada Tuhan, maka pemujaan kepada para Deva dan leluhur pun hendaknya dilakukan oleh seseorang yang berkecimpung dalam hidup suci. Kita percaya dan yakin bahwa Deva itu manifestasi Tuhan, dan melalui bantuan manifestasi Tuhan itulah maka manusia adalah memohon dan menikmati berkahnya. Pemujaan itu pula dilakukan oleh para leluhur untuk memohon doa restu-Nya agar sehat dan sejahtera di dunia. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Mayi sarvàói karmàói saònyasyàdhyàtma-cetasà, niràúir nirmamo bhùtvà yudhyasva vigatajvaraá," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 315).


Terjemahan:


"Pasrahkan semua kegiatan kerjamu itu kepada-Ku, dengan pikiran terpusat pada sang àtma, bebas dari nafsu keinginan dan ke-akuan, berperanglah, enyahkanlah rasa gentarmu itu", (Bhagavadgita. III. 30).


Sebagai pemuja yang baik adalah tulus, lepas, menyerahkan sepenuhnya kehadapan-Nya beserta prabhawa. Yakinlah bahwa beliau Sang Pencipta Mahatahu, pemurah dan penyayang kepada ciptaan-Nya.


Manfaat dari ajaran Ijya (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur untuk mewujudkan kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pemuja Tuhan Yang Maha Esa, para Deva, para leluhur, dan pemujaan lainnya yang sejenis dengan itu.


3. Tapa berarti pengekangan hawa nafsu jasmani


Tapa berasal dari kata “tap” artinya mengekang, mengendalikan hawa nafsu agar memperoleh hidup suci. Tapa merupakan salah satu keimanan dalam ajaran Agama Hindu, sebab dengan tapa itu umat Hindu dapat meyakini suatu cita-cita atau tujuan dapat tercapai melalui pelaksanaan tapa itu. Misalnya melalui pengekangan nafsu jasmaniah seseorang dapat mengurangi porsi makanan yang dimakan setiap hari. Cara ini bertujuan untuk mengendorkan gejolak emosi seseorang dapat berpikir dengan tenang.


"Widyām mānāwamānābhyāmātmānam tu pramādatah.
Nihan tang kayatnākena ikang tapa raksan, makasādhana kapa-demaning krodha ika, kuneng hyang çrī, pademning īrsyā pangraksa
ri sira, kuneng sang hyang aji, pademning ahangkāra mwang awa-mana pangraksa ri sira, yapwan karaksanyawakta, si tan pramada sadhana irika", (Sarasamuccaya 103)


Terjemahan:


"Inilah hendaknya engkau perhatikan, pegang teguh tapa dengan jalan memunahkan nafsu amarah itu, adapun Devi Sri (kebahagiaan tertinggi) melalui pengendalian kedengkian (sebagai) penyelamat-Nya, adapun ilmu dharma sastra pemunah keakuan dan lenyapnya kecongkakan yang ada pada dirinya, karena itu supaya engkau menjaga dirimu, orang yang tidak lalai merupakan jalan baginya di situ," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 316).

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Manfaat dari ajaran Tapa (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pengekangan atau memunahkan nafsu amarah.


4. Dhyana berarti merenung memuja Tuhan


Dhyana artinya tekun merenung dan memusatkan pikiran kepada Tuhan sebagai usaha tercapainya kesatuan antara pikiran dengan Tuhan. Usaha tersebut bertujuan untuk tercapainya kondisi mantap dalam konsentrasi sebagai dasar memperoleh kesucian batin. Kondisi ini akan diperoleh secara bertahap, melalui dari tingkatan pemusatan dengan waktu yang singkat sampai dengan tenggang waktu cukup lama. Akhirnya karena sudah terbiasa, maka makin hari makin mencapai tingkat konsentrasi yang makin lama dan mantap, lalu mencapai tingkat semadhi.


Namun demikian menyadari akan kekurangsempurnaan manusia ketika seseorang didorong oleh insting mengarahkan pikiran kepada benda- benda menyenangkan tanpa didasari pengertian kesadaran, atau ketika jiwa pada akhirnya menjadi kasar karena selalu melekat pada motivasi yang mementingkan diri sendiri, apakah ketika itu berpikir menyakiti orang lain atau tidak, maka ketika itupun jiwa kita telah rusak.


Keadaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan jiwa ini tidak lain dari kekotoran dan kekeruhan pikiran. Sama seperti pakaian dan rumah yang akan menjadi kotor dalam sekejap ketika bertiup angin kencang. Orang harus selalu waspada terhadap badai nafsu yang melanda dan berusahalah untuk menekan ego yang ada dalam diri. Karena suatu keadaan pikiran akan sangat tercermin melalui perkataan dan perbuatan, jadi dengan selalu berbuat dan berkata yang jujur sudah tentu mencerminkan pikiran yang bersih. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


“Teûu samyag warttamāno gacchatya mara lokatām, yathā samkalpitāýúceha sarvān kāmān samaúnute”.


Terjemahan:


"Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh semua keinginan yang ia mungkin inginkan", (Manawa Dharmasastra, II.5), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 317).


Sesungguhnya semua yang kita lakukan dalam pengabdian hidup ini telah ada yang menentukan ‘Sang Hyang Widhi Wasa’. Kewajiban kita adalah hanya berbuat/melaksanakannya apa yang patut dilaksanakan, akan semuanya itu adalah sudah menjadi kehendaknya. Beliau tidak akan pernah melupakan apa yang dilakukan oleh umat-Nya. Oleh karena itu pujalah Tuhan sesuai petunjuk yang telah ada.


Manfaat dari ajaran Dhyana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka merenung untuk memuja Deva Siwa sebagai wujud keyakinan kita semua.



5. Swadhyaya berarti mempelajari Veda


Swadhyaya artinya yakin mempelajari kitab suci Veda. Mempelajari kitab suci kerohanian bagi mereka yang berkecimpung dalam hidup suci adalah kewajiban. Di dalam kitab kerohanian terdapat tuntunan atau petunjuk bagi mereka yang sedang akan menjalani hidup suci. Dalam berbagai jenis kitab Veda terdapat penuntun untuk menempuh kehidupan suci. Kitab yang dimaksud menjelaskan sebagai berikut:


"Na karmanàm anàrambhàn Naishkarmyam purusho’snute, Na cha samnyasanàd ewa Siddhim samadhigachchhati".


Terjemahan:


"Orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tiada bekerja juga ia takkan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja", (Bhagawadgita. III. 4)


Dalam sloka selanjutnya disebutkan:


"Yajñàrthàt karmano ‘nyatra Loko ‘yam karma bandhnah, Tadartham karma kaunteya Mukta saògah samàçhara".


Terjemahan:


"Kecuali tujuan berbhakti dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja karenanya, bekerjalah demi bhakti tanpa kepentingan pribadi, oh Kunti Putra", (Bhagawadgita. III. 9), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 318).


"Båhaspate pratamaý vàco agraý yat prairata nàmadheyaý dadhànaá, yad eûàý sreûtaý yad aripram àsit prenà tad eûàý nihitaý guvàviá. saktum iva titaunà punanto yatra ghirà manasà vàcam akrata,
atrà sakhàyaá sàkhayàni janàte bhadraiûaý lakûmiá nihitàdhi vàci".


Terjemahan:


"Sabda pertama dan yang utama, ya Brihaspati, yang disampaikan kepada orang-orang suci, menyebut nama-Nya sabda yang mulia, tiada cahaya yang diungkapkan dengan cinta kasih mengungkapkan yang maha suci dan gaib. Dan mereka mengucapkan sabda itu, tersaring dalam batin, seperti mereka mengayak tepung dengan ayakan, disitulah terjadi ikatan persahabatan, dalam sabda itulah terkandung keindahan", (Ågveda X. 71. 1. 2).


Demikianlah sabda Tuhan Yang Maha Esa, yang patut kita camkan bersama untuk memelajari, memedomani, mendalami, dan menerapkan ajaran- Nya yang mulia ini. Manfaat dari ajaran Swadhyaya (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka mempelajari Veda dan kita yang sejenis dengan itu.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

6. Upasthanigraha berarti pengekangan nafsu kelamin


Upasthanigraha berarti pengekangan upastha (alat kelamin) dari nafsu birahi. Upaya untuk mendapatkan kesucian jiwa bagi umat sedharma yang ingin menjalani hidup suci, maka pengekangan jiwa atas nafsu birahi hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Seseorang yang selalu mengumbar hawa nafsunya adalah sebagai akibat dari yang bersangkutan telah tahu dan merasakan nikmatnya birahi itu, sehingga selalu dipenuhi keinginan seksual- nya dengan berbagai cara yang akhirnya sampai menjadi pemerkosaan. Memperkosa sering disebut berzinah, termasuk sikap-mental yang tidak terpuji. Berzinah merupakan perbuatan yang sangat hina dan terkutuk. Perbuatan ini harus dikendalikan karena bisa menimbulkan kemerosotan moral. Berzinah artinya sikap suka memperkosa wanita atau istri orang lain. Adapun yang termasuk perbuatan berzinah (paradara) antara lain :


a. Mengadakan hubungan kelamin dengan istri/suami orang lain.
b. Mengadakan hubungan kelamin (seksual) antara pria dengan wanita dengan cara-cara yang tidak sah.
c. Mengadakan hubungan kelamin dengan paksa, artinya tidak atas dasar cinta (memperkosa).
d. Mengadakan hubungan kelamin yang dilarang oleh agama, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 319).


Larangan melakukan zinah itu adalah sangat wajar, karena kalau itu dibiarkan maka kemerosotan moral akan semakin merajalela dan memuncak. Semakin banyak kasus pelacuran terjadi maka kehidupan kita sebagai manusia yang menjunjung tinggi budaya dan agama akan menjadi hancur. Dengan berbuat seperti itu menandakan sebagai jiwa manusia yang tetap terikat oleh duniawi. Oleh sebab itu yang bersangkutan harus cepat-cepat mengendalikan nafsu birahi agar segera memperoleh kehidupan suci. Kehidupan yang suci sebagaimana tertulis dalam kitab suci veda yang menyatakan sebagai berikut ;


"Tadvajjàticatairjivah ûuddhyate’lpenà karmanà, yatnena mahatà càpi kyekajatàu viçuddhyate.
Mangkana tang hurip, an ûinocan pinakaûuddhi, kinlabakëràgàdi malanya, yan alpayatna ngwang, alawas ya tan çuddhya, yapwan tibrayatna ngwang, kumlabakë malanya, enggal ûuddhinya".


Terjemahan:


"Demikian jiwa itu, yang dibersihkan agar menjadi suci, dikendalikan nafsu birahi itu dan segala nodanya, jika kurang giat dan pandai melaksanakannya, lemahlah jiwa itu tidak menjadi suci, beratus-ratus kelahiran lamanya, sebelum jiwa itu menjadi suci, jika ia pandai dan sangat giat melenyapkan nodanya, cepatlah suci jiwa itu", (Sarasamuçchaya, 406).


Makna sloka suci patut dipedomani oleh setiap umat sedharma yang mengupayakan kesucian moralnya untuk mempercepat usahanya dapat mewujudkan kesempurnaan batin yang dicita-citakannya.


Manfaat dari ajaran Upasthanigraha (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pengendalian atau pengekangan nafsu birahi yang ada pada pribadinya.


7. Bratha berarti pengekangan nafsu terhadap makanan


Bratha adalah pengekangan nafsu dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Seseorang atau umat sedharma yang bercita-cita untuk mencapai kesucian jiwa hendaknya mampu membatasi diri untuk mengonsumsi makanan dan minuman dari segi jumlah maupun mutunya. Seperti membatasi makanan yang berlebihan, membatasi makanan yang mengandung bahan kimia, makan pedas, makan yang terlalu manis dan sebagainya. Mengonsumsi makanan yang berlebihan sangat memengaruhi perkembangan jasmani dan rohani yang mengonsumsinya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 320).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"Yathà yathà prakstànam ksetrànàm sasyasampadah, Sàkhà phalabhàrena namrah sadhustathàtathà.
Paramàrthanya, upasama ta pwa sang sàdhu ngaranira, Tumukul dening kweh gunanira, mwang wruhnira, kadyangga ning pari,tumungkul dening wwahnya,
mwang pang ning kayu, tumungkul de ning tob ning phalanya", (Sarasamuscaya, 308).


Terjemahan:


"Kesimpulannya, sabar dan tenang pembawaan sang sadhu, merunduk karena banyak kebajikan dan ilmunya, sebagai halnya padi runduk karena beratnya buahnya dan dahan pohon kayu itu runduk, disebabkan karena lebat buahnya".


Manfaat dari ajaran Brata (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka melakukan pengekangan nafsu terhadap makanan.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

8. Upawasa berarti pengekangan diri


Upawasa adalah berpuasa. Cara ini banyak ragamnya, ada puasa makan minum, puasa tidak tidur, puasa melihat, puasa tidak bicara, tidak bepergian, tidak bekerja dan sebagainya. Khusus untuk umat Hindu jenis puasa ini pelaksanaannya dirangkaikan dengan pelaksanaan hari raya, seperti Nyepi, Siwaratri. Misalnya dalam pelaksanaan upawasa nyepi, umat Hindu berkumpul pada suatu tempat yang suci yang telah disepakati dengan harapan puasanya menjadi lebih mantap dan khusuk. Adapun jenis puasa pada hari nyepi umumnya:


a). Puasa makan dan minum
b). Tidak bekerja
c). Tidak tidur (melek)
d). Tidak bepergian, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 321).


Tujuan pokok keempat puasa ini dimaksudkan untuk mendukung keberhasilan meditasi (semadhi) yang merupakan acara pokok dari perayaan hari nyepi.


Bratha penyepian telah dirumuskan menjadi Catur Bratha Penyepian, yang terdiri dari;


a). Amati geni yakni tidak menyalakan api termasuk memasak, itu berarti melakukan upawasa (puasa).
b). Amati karya yakni tidak bekerja, menyepikan indria.
c). Amati lelungan berarti tidak bepergian termasuk tidak keluar rumah.
d). Amati lelanguan berarti tidak menghibur diri.


Pada prinsipnya, saat nyepi panca indria umat sedharma hendaknya diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Dengan meredakan nafsu indria itu umat sedharma dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup ini semakin meningkat. Melaksanakan pengendalian diri pada saat nyepi adalah merupakan kewajiban bagi umat sedharma. Kitab Sarasamuscaya menjelaskan sebagai berikut;


"Àryavåttamidaý vrttamiti vijñàya sàsvatam, santah Paràrthaý, kurvànà nàveksante pratikriyàm.
Tatan pakanimittha hyunira ring pratyupakàra sang sajjana ar gawayaken ikang kaparàrthan, kunang wiwekanira, prawrtti sang sadhu ta pwa iki, maryada sang mahapurusa, mangkana juga wiwekanira, tan prakoseka ring phala".


Terjemahan:


"Bukan karena keinginanannya akan pembalasannya, sang utama budi mengusahakan kesejahteraan orang lain, melainkan karena hal itu telah merupakan keyakinannya. Pembawaan sang sadhu memang demikian. Itulah ciri orang yang berjiwa besar. Demikianlah keyakinan beliau, tidak memandang akan buah hasilnya" (Sarasamuscaya, 313).


"Caritraniyatà ràjan ye krsàh krsavrttayaá, Arthinascopacchanti tesudattam mahà phalam.
Lwirning yukti ikang wehana dana wwang suddhàcara, wwang daridra, tan panemu ahara, wwang mara angegong harep kuneng, ikang dana ring wwang mangkana agong phalanika", (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 322).


Terjemahan


"Orang yang diberikan dana, ialah orang yang berkelakuan baik, orang miskin, yang tidak memperoleh makanan, orang-orang yang benar mengharapkan bantuan, pemberian dana kepada orang yang demikian besar pahalanya", (Sarasamuscaya,187).

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Manfaat dari ajaran Upawasa (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka melakukan pengekangan diri.


9. Mona berarti tidak bersuara


Mona artinya tidak berkata, membatasi bersuara. Dalam kehidupan sehari – hari mona tidak diartikan tidak berkata-kata sama sekali, melainkan adalah kata-kata itu harus dibatasi dalam batasan-batasan kewajaran. Misalnya dianggap wajar bila berkata baik dan benar, berkata menyenangkan orang lain bila didengar.


Dalam perilaku hidup suci upaya membatasi kata-kata itu memang penting, sebab dari kata atau suara itulah seseorang akan disenangi atau tidak, dari kata atau suara itulah akan terletak celaka tidaknya seseorang. Terutama dari kata atau suara itulah akan terdapat kebahagiaan, kedamaian rohani. Orang yang ternoda rohaninya, dia sendiri akan merasakan ketidak- tenteraman dalam batinnya. Lebih-lebih kata-kata itu sengaja diucapkan agar orang lain sakit hati. Sikap demikian itu sama saja membikin batin sendiri ternoda. Selama ucapan itu ternoda maka selama itu pula batin menjadi tidak damai. Minimal ia akan selalu menimbang-nimbang kata yang telah diucapkan. Hal ini tak dapat dihindari, karena semua manusia punya perasaan, pikiran yang selalu membututi dan ikut menimbang-nimbang ucapan yang telah dikeluarkan. Perasaan dan pikiran inilah akan selalu membayangi kehidupan suasana batin tidak tenang.



Berkata-kata baik, menyenangkan, bermanfaat, penuh makna dan suci disebut wacika. Wacika adalah perkataan yang baik (suci). Kata-kata ibarat pisau bermata dua, di satu pihak akan bisa mendatangkan kebaikan dan di lain pihak akan bisa mendatangkan penderitaan bahkan kematian, seperti termuat dalam kitab Nitisastra sargah V.3 sebagai berikut:


“Wasita nimittanta manemu laksmi, Wasita nimittanta pati kapangguh, Wasita nimittanta manemu dukha, Wasita nimittanta manemu mitra”, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 323).


Terjemahan


"Oleh perkataan engkau akan mendapat bahagia, oleh perkataan engkau akan menemui ajalmu, oleh perkataan engkau akan mendapatkan kesusahan, oleh perkataan engkau akan mendapatkan sahabat".


Demikianlah akibat dari perkataan yang diucapkan ada yang baik dan ada yang buruk. Kata-kata kotor atau buruk disebut Mada (dalam Tri Mala). Kata-kata yang kotor seperti raja pisuna (fitnah), wak purusa (berkata kasar), berbohong dan sebagainya tidak usah dipelihara, sebab hal tersebut akan bisa mendatangkan penderitaan bahkan lebih fatal lagi bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu marilah kita sucikan wak/kata-kata sehingga menjadi “wacika” yaitu kata-kata yang suci, karena kata-kata yang suci ini akan dapat mengantarkan kita kepada sahabat atau mitra dan kepada kebahagiaan atau laksmi. Ada empat cara (karma patha) untuk menyucikan perkataan yaitu :


a. Tidak berkata jahat (ujar ahala). Kata-kata jahat yang terucap akan dapat mencemarkan vibrasi kesucian, baik kesucian yang mengucapkan maupun yang mendengarkan. Karena dalam kata-kata yang jahat itu ada gelombang yang mengganggu keseimbangan vibrasi kesucian.


b. Tidak berkata kasar (ujar akrodha), seperti menghardik, mencaci, mencela. Kata-kata kasar itu sangat menyakitkan bagi yang mendengarkan dan sesungguhnya akan dapat mengurangi vibrasi kesucian bagi yang mengucapkan. Perlu diperhatikan, meskipun niat baik, kalau diucapkan dengan kata-kata yang kasar maka niat baik itu akan turun nilainya (menjadi tidak baik). Bagi yang mempunyai kebiasaan berkata kasar, berjuanglah untuk mengubahnya.


c. Tidak memfitnah (raja pisuna). Ada pepatah mengatakan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dalam persaingan hidup orang sering mengalahkan persaingan dengan cara memfitnah agar lawan dengan mudah dikalahkan. Salah satu sifat manusia yang dapat menimbulkan akibat negatif adalah yang disebut “distingsi” yaitu suatu dorongan untuk lebih dari orang lain. Kalau ia tidak mampu berbuat lebih dari kenyataan maka fitnahpun akan dipakai senjata agar ia kelihatan lebih dari yang lain. Cegahlah lidah agar tidak mengucapkan kata-kata fitnah.


d. Tidak mengeluarkan kata-kata yang mengandung kebohongan. Kebiasaan berbohong ini juga sering didorong oleh nafsu distingsi tadi. Agar ia kelihatan lebih dari orang lain berbohongpun sering dilakukan. Berbohongpun sering dilakukan untuk menutupi kekurangan diri. Menghilangkan kebiasaan berbohong memang susah, namun ini haruslah dibiasakan untuk rela menerima apa adanya sesuai karma kita, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 324).


Demikianlah empat hal yang harus dibiasakan agar tidak keluar dari lidah kita kata-kata yang tidak baik atau menyakitkan. Untuk melatih itu biasakanlah menyanyikan nama-nama Tuhan atau Dharmagita atau Mantram-mantram tertentu secara terus menerus, sampai kebiasaan ‘kurang baik’ itu dapat dihapuskan. Hal ini memang memerlukan kesungguhan, karena mengubah kebiasaan jelek memang tidak mudah. Kebaikan itu hanya dapat diwujudkan dengan cara membiasakannya sampai melembaga dalam tingkah laku. Pada mulanya memang dirasakan beban, tetapi lama-kelamaan akan menjadi kebutuhan. Orang suci sudah menjadi kewajibannya untuk selalu bertutur- kata suci, oleh karenanya kebahagiaan batin itu dapat terwujudkan.


Manfaat dari ajaran “mona” (dalam ajaran Dasa Nyama Bratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat selalu mengusahakan untuk berbicara yang baik dan suci.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

10. Snana berarti melakukan pemujaan dengan Tri Sandhya


Snana artinya tekun melaksanakan pembersihan dan penyucian batin dengan sembahyang tiga kali sehari atau tri sandhya. Melaksanakan tri sandhya bila dicermati suasana pelaksanaannya, sesungguhnya adalah dasar dari dhyana. Biasanya seseorang sebelum secara tekun dapat melakukan dhyana maka tingkatan dasar (tri sandhya) dilakukan terlebih dahulu. Praktik ini diawali dengan membersihkan badan, seperti mandi. Aktivitas antara mandi dengan tri sandhya sangat erat hubungannya, di mana dengan membersihkan badan terlebih dahulu pelaksanaan tri sandhya itu akan menjadi lebih mantap. Dengan kata lain terbiasa membersihkan diri, badan, mandi sebelum akan melakukan pemujaan ke hadapan-Nya dapat mendukung suksesnya sembahyang dengan baik. Seperti yang telah terbiasa dipraktikkan atau dilaksanakan oleh umat sedharma dalam memuja isthaDevata, panca sembah atau kramaning sembah dilaksanakan setelah melakukan pemujaan dengan mantram tri sadhya bersama.


Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Sarvà pavitrà vitatà-adhyasmat".


Terjemahan:


"Semua hal (benda) yang suci mengelilingi kita", (Atharvaveda VI.124. 3), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 325).


Dengan kesucian diri dan hati dapat menyebabkan seseorang memperoleh kebahagiaan, menghancurkan pikiran atau perbuatan yang tercela. Orang yang memiliki kesucian hati mencapai sorga dan bila kita berpikiran yang jernih serta suci, maka kesucian akan selalu melindungi kita. Kesucian atau hidup suci telah diamanatkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu ada baiknya sebagai umat sedharma selalu terjaga untuk hidup suci.


Manfaat dari ajaran Snana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat kesucian yang secara tekun melakukan pemujaan dengan ‘Tri Sandhya, dan do’a sehari-hari’ yang lainnya.


Ajaran Dasa Nyama Bratha yang terdapat dalam sloka kitab Saracamucchaya, adalah merupakan pegangan hidup bagi umat sedharma yang hendak mencapai kesempurnaan batin. Upaya itu dapat dicapai ‘moksa‘kehidupan yang abadi melalui pengamalan hidup di dunia dengan berlaksana yang benar. Dunia ini tempat berbuat, oleh sebab itu perilaku sehari-hari yang ditampilkan oleh umat sedharma dapat dijadikan ukuran sampai di mana tingkat kesempurnaan jiwa-nya. Seseorang dalam hidupnya. Dalam pengamalannya keluar, maka sebelumnya orang hendaknya mengadakan pembenahan ke dalam diri sendiri terlebih dahulu, baru mengadakan pembenahan ke luar diri. Hal ini wajar karena bagaimana orang dapat membenahi orang lain jika dirinya belum dibenahi.


Atma merupakan percikan terkecil dari Brahman yang sudah memasuki tubuh sehingga menimbulkan adanya penghidupan, dan gerak yang disemangati oleh atma itu sendiri. Ia menjadi pelaku lima klesa atau sumber kesedihan yakni avidya (ketidaktahuan), asmita (kesombongan/ keakuan), Raga (keterikatan dan kesukaan), Dvesa (kemarahan, keserakahan) dan Abhinivesa (ketakutan yang berlebihan terhadap kematian). Selama adanya perubahan dan kegoncangan pada pikiran, selama itu pula atma terpantulkan pada perubahan-perubahan itu. Dan untuk melepaskan atma dari cengkeraman lima klesa tersebut di dalam yoga dapat dilakukan dengan disiplin kriya-yoga di mana kriya-yoga sekaligus membawa pikiran pada keadaan Samadhi. Di dalam Kriya-yoga itu sendiri di antaranya berisikan beberapa aktivitas yaitu: tapas (kesederhanaan), svadhyaya (mempelajari dan memahami kitab suci), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 326).

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Akal atau budi merupakan azas kejiwaan namun bukan merupakan roh yang memiliki kesadaran. Ia yang halus dari segala proses kecakapan mental untuk lebih mempertimbangkan dan memutuskan segala sesuatu yang diajukan oleh indria yang lebih rendah, namun ia (budi). Sebagai azas kejiwaan atau psikologis, ia memiliki sifat jnana (pengetahuan), dharma (kebajikan, tidak bernafsu / wairagya) dan aiswarya (ketuhanan). Namun terkadang suara-suara kebajikan yang keluar dari budi itu sendiri masih belum mampu mengalahkan kuatnya pengaruh daripada indria-indria yang ada pada diri kita sehingga timbul perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh budi itu sendiri. Melalui kebijaksanaan yang dapat kita peroleh dengan jnana atau pengetahuan akan dapat membersihkan akal itu sendiri sehingga sinar sattva mampu merefleksikan kesadaran jiwa (purusha) itu sendiri, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 327).


Renungan Ågveda X. 37. 7


"Viúvàhà tvà sumanasah sucaksasah, prajàvanto anamivà anàgasah. udyantaý tvà mitramaho divedive, jyogjivàh prati paúyema sùrya".


Terjemahan:


"Sang Hyang Surya, semoga kami dalam suasana hati yang berbahagia, dalam pandangan yang bagus, mempunyai anak cucu yang baik, dalam kesehatan yang bagus, dalam keadaan tanpa dosa, senantiasa menghaturkan persembahan kepadamu. Sang Hyang Surya, yang berfaedah untuk semua sahabat, hendaknyalah kami melihat engkau yang terbit terus-menerus".

Referensi

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

CARA MEMPERSEMBAHKAN CANANG SARI DAN MANTRA MEBANTEN

 


Bila canang dihaturkan sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata yang tepat, canang merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan kerja-nya sendiri. Tapi kekuatan-nya akan menjadi lebih aktif jika kemudian segel suci suci niskala ini kita hidupkan dan gerakkan dengan kekuatan mantra-mantra suci, tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning manah [kemurnian pikiran]. Sehingga turunlah karunia kekuatan suci semua Ista Dewata, yang memberikan kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk.

Inilah urutan caranya :

[Sebelum memulai Mebanten/Menghaturkan Persembahan, sebaiknya di mulai dengan memurnikan persembahan, sebagai berikut]

Memurnikan Persembahan

(Cakupkan tangan di dahi) ucapkan mantra,

OM AWIGNAM ASTU NAMO SIDDHAM
OM SIDDHIRASTU TAT ASTU ASTU SWAHA.

(Ambil sekuntum bunga, Apit bunga dengan membentuk mudra amusti-karana/ mudra saat trisandya) ucapkan,

OM PUSPA DANTA YA NAMAH SWAHA,
OMKARA MURCYATE PRAS PRAS PRANAMYA YA NAMAH SWAHA.

(Setelah selesai mengucapkan mantra, bunga kita lempar atau buang ke depan ke arah persembahan.)
Selanjutnya..

(Siratkan tirtha ke Canang) ucapkan mantra,

OM PRATAMA SUDHA, DWITYA SUDHA, TRITYA SUDHA, CATURTHI SUDHA, PANCAMINI SUDHA,
OM SUDHA SUDHA WARIASTU,
OM PUSPHAM SAMARPAYAMI,
OM DUPHAM SAMARPAYAMI,
OM TOYAM SAMARPAYAMI,
OM SARWA BAKTYAM SAMARPAYAMI.

Dengan demikian semua sarana persembahan telah tersucikan dan siap untuk kita haturkan.

[Setelah proses pemurnian selesai, semeton bisa langsung menghaturkan persembahan canang maupun pejati.]

Menghaturkan Persembahan/Mebanten

(Unggah/taruk canang) ucapkan mantra,
OM TA MOLAH PANCA UPACARA GURU PADUKA YA NAMAH SWAHA.

(Unggah/taruk dupa) ucapkan mantra,
ONG ANG DUPA DIPA ASTRAYA NAMAH SWAHA.

(Sirat/ketis tirtha ke canang) ucapkan mantra,
ONG MANG PARAMASHIWA AMERTHA YA NAMAH SWAHA.

(Ngayab dupa) ucapkan mantra,
OM AGNIR-AGNIR JYOTIR-JYOTIR SWAHA
ONG DUPHAM SAMARPAYAMI SWAHA

(Ngayab canang) ucapkan mantra,
OM DEWA-DEWI AMUKTI SUKHAM BHAWANTU NAMO NAMAH SWAHA,
OM SHANTI SHANTI SHANTI OM.

Demikian lah teknik ringkas MANTRA MEBANTEN,

Om A no bhadraah kratavo yantu visvato ( Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru) OM SWAHA.

Persembahan yang baik adalah persembahan yang memiliki kualitas kesucian. Karena dengan kualitas yang suci barulah persembahan bisa menjadi segel suci niskala yang terang cahaya-nya.



Ini adalah tata-cara dasar untuk menghaturkan persembahan ke luhur [ke alam-alam suci]. Sekali lagi bahwa cara ini tidak terbatas hanya untuk menghaturkan canang saja, tapi juga dapat digunakan untuk menghaturkan segala jenis persembahan ke alam-alam suci. Seperti misalnya pada saat kita tangkil ke sebuah pura dan kita menghaturkan pejati, dsb-nya.

Sebuah catatan penting untuk diperhatikan, yaitu nanti ketika kita menghaturkan canang sangat penting untuk meletakkan warna-warni bunga pada posisi arah mata angin yang tepat. Supaya sesuai dengan arah mata angin pengider-ideran Panca Dewata. Jangan diletakkan secara sembarangan agar canang sebagai segel suci niskala ini nantinya dapat bekerja secara maksimal.

– Bunga berwarna putih diletakkan pada posisi arah timur, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Iswara untuk melimpahkan karunia tirtha sanjiwani yang memberikan kesucian sekala dan niskala.

– Bunga berwarna merah diletakkan pada posisi arah selatan, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Brahma untuk melimpahkankarunia tirtha kamandalu yang memberikan kekuatan kebijaksanaan dan taksu.

– Bunga berwarna kuning diletakkan pada posisi arah barat, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Mahadewa untuk melimpahkan karunia tirtha kundalini yang memberikan kekuatan intuisi dan kemajuan spiritual.

– Bunga berwarna hitam [atau ungu tua] diletakkan pada posisi arah utara, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Wishnu untuk melimpahkan karunia tirtha pawitra yang melebur segala bentuk keletehan atau kekotoran sekala dan niskala.



– Kembang rampe [irisan pandan-arum] diletakkan pada posisi di tengah-tengah, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Shiwa untuk melimpahkan karunia tirtha maha-amertha yang memberikan kekuatan moksha [pembebasan].

Sekali lagi bahwa ini adalah konsep paling ringkas [inti] atau paling mendasar. Tentunya para pembaca saudara-saudara se-dharma memiliki bentuk tradisi dan tattwa yang beragam di tempat masing-masing. Hendaknya tetaplah dijalankan sesuai tradisi dan tattwa masing-masing, agar sesuai dengan desa, kala, patra. Tapi hendaknya juga dilaksanakan dengan berlandaskan pengetahuan tentang tattwa. –sumber

Banten Prayascita

 



Tempeh, kulit sayut, kulit peras5, 5 don tabya bun, nasi sayut, 5 kupak telor dadar, kojong rasmen, raka, peras tulung sayut, payasan, takur tepung tawar n sekarura, payuk pere padma, sesarik, penyeneng, s nagasari, canang

Asta Aiswarya

 



Asta Aiswarya berasal dari bahasa sansekerta, yakni dari kata Asta yang artinya delapan, dan kata Aiswarya yang berarti kemahakuasaan.Dengan demikian Asta Aiswarya mengandung arti Delapan sifat kemahakuasaan Tuhan. Asta Aiswarya dapat digambarkan sebagai kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi sebagai Padma Asta Dala ( teratai berdaun delapan ). Kedelapan kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi tersebut  meliputi : Anima, Laghima, Mahima, Prapti, Prakamya, Isitwa, Wasitwa, dan Yatrakamawasaitwa.



Anima > Sifat Sanghyang Widhi Maha Kecil, lebih kecil dari benda terkecil (otom). Atom bagian terkecil dari unsur-unsur, jadi sifat Ida Sanghyang Widhi menjangkau segala sesuatu yang lebih kecil dari atom. Karena kecilnya sifat Beliau sehingga dapat memasuki tempat-tempat yang sekecil-kecilnya. Tidak ada yang lebih kecil dari Beliau.

Laghima > Sanghyang Widhi Maha Ringan, lebih ringan dari benda yang teringan (ether), atau lebih ringan daripada gas. Sanghyang Widhi mampu mengambang di udara, dan terapung di air, sehingga dapat menjangkau segala tempat.

Mahima > Sanghyang Widhi Maha Besar, lebih besar dari benda yang terbesar. Sanghyang Widhi meresapi dan memenuhi segala tempat,tiada ruang yang kosong bagi beliau. Beliau berada di dalam dan diluar alam ini

Prapti > berarti tiba, maksudnya segala tempat terjangkau oleh Ida Sanghyang Widhi, tidak terbatas oleh ruang dan waktu, pada yang bersamaan beliau berada berada di segala tempat..

Prakamya > Segala kehendak dan keinginan Sanghyang Widhi akan terwujud, segala keinginan Beliau pasti tercapai.

Isitwa > Sifat Sanghyang Widhi Maha Utama / sifat Sanghyang Widhi sangat mulia, selalu unggul, mengungguli segalanya.


Wasitwa > artinya Maha Kuasa, Beliaulah yang paling berkuasa di dunia ini. Beliaulah yang paling menentukan atas kelahiran, kehidupan dan kematian semua makhluk di dunia ini. Beliau pulalah yang menentukan terciptanya dunia (sresti) dan Beliau pulalah yang mengembalikan dunia ini keasalnya (pralaya)

Yatrakamawasaitwa > artinya segala kehendak Sanghyang Widhi akan terlaksana dan tidak ada yang dapat menentang kodratNya.

Maka dapat disimpulkan makna Asta Aiswarya adalah sebagai ajaran yang menuntun umat manusia agar selalu berbakti dan selalu berbuat baik dan jujur, karena Sanghyang Widhi sebagai saksi perbuatan segala makhluk di semua tempat dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.


Bhagavadgita Arjuna Wisada Yogah






Bhagavadgita Bab I - Meninjau Tentara-Tentara Di Medan Perang KurukshetraBhagavad-gita 1.1
dhṛtarāṣṭra uvāca, dharma-kṣetre kuru-kṣetre, samavetā yuyutsavaḥ, māmakāḥ pāṇḍavāś caiva, kim akurvata sañjaya
Artinya;
Dhrtarastra berkata; Wahai Sanjaya, sesudah putera-puteraku dan putera pandu berkumpul di tempat suci kuruksetra dengan keinginan untuk bertempur, apa yang dilakukan oleh mereka?

Bhagavad-gita 1.2
sañjaya uvāca, dṛṣṭvā tu pāṇḍavānīkaḿ, vyūḍhaḿ duryodhanas tadā, ācāryam upasańgamya, rājā vacanam abravīt
Artinya;
Sanjaya berkata; wahai Baginda Raja, sesudah meninjau tentara yang telah disusun dalam barisan-barisan oleh para putera pandu, raja Duryodhana mendekati gurunya dan berkata sebagai berikut.

Bhagavad-gita 1.3
paśyaitāḿ pāṇḍu-putrāṇām, ācārya mahatīḿ camūm, vyūḍhāḿ drupada-putreṇa, tava śiṣyeṇa dhīmatā,
Artinya;
Wahai Guruku, lihatlah tentara-tentara besar para putera pandu, yang disusun dengan ahli sekali oleh putera Drupada, murid anda yang cerdas.

Bhagavad-gita 1.4
atra śūrā maheṣv-āsā, bhīmārjuna-samā yudhi, yuyudhāno virāṭaś ca, drupadaś ca mahā-rathaḥ,
Artinya;
Di sini dalam tentara ini ada banyak pahlawan pemanah yang sehebat Bhisma dan Arjuna dalam pertempuran; kesatria-kesatria yang hebat seperti Yuyudhana, virata dan Drupada.

Bhagavad-gita 1.5
dhṛṣṭaketuś cekitānaḥ, kāśirājaś ca vīryavān, purujit kuntibhojaś ca, śaibyaś ca nara-puńgavaḥ,
Artinya;
Ada juga kesatria-kesatria yang hebat, perkasa dan memiliki sifat kepahlawanan seperti Dhrstaketu, Cekitana, Kasiraja, Purujit, Kunti-bhoja dan Saibya.

Bhagavad-gita 1.6
yudhāmanyuś ca vikrānta, uttamaujāś ca vīryavān, saubhadro draupadeyāś ca, sarva eva mahā-rathāḥ,
Artinya;
Ada Yudhamanyu yang agung, Uttamauja yang perkasa sekali, putera Subhadra dan putera-putera Draupadi. Semua kesatria itu hebat sekali bertempur dengan menggunakan kereta.




Bhagavad-gita 1.7
asmākaḿ tu viśiṣṭā ye, tān nibodha dvijottama, nāyakā mama sainyasya, saḿjñārthaḿ tān bravīmi te,
Artinya;
Tetapi perkenankanlah saya menyampaikan keterangan kepada anda tentang komandan-komandan yang mempunyai kwalifikasi luar biasa untuk memimpin bala tentara saya, wahai brahmana yang paling baik.

Bhagavad-gita 1.8
bhavān bhīṣmaś ca karṇaś ca, kṛpaś ca samitiḿ-jayaḥ, aśvatthāmā vikarṇaś ca, saumadattis tathaiva ca,
Artinya;
Ada tokoh-tokoh seperti Prabhu sendiri, Bhisma, Karna, Krpa, Asvatthama, Vikarna, dan putera Somadatta bernama Bhurisrava, yang selalu menang dalam perang.

Bhagavad-gita 1.9
anye ca bahavaḥ śūrā, mad-arthe tyakta-jīvitāḥ, nānā-śastra-praharaṇāḥ, sarve yuddha-viśāradāḥ,
Artinya;
Ada banyak pahlawan lain yang bersedia mengorbankan nyawanya demi kepentingan saya. Semuanya dilengkapi dengan berbagai jenis senjata, dan berpengalaman di bidang ilmu militer.

Bhagavad-gita 1.10
aparyāptaḿ tad asmākaḿ, balaḿ bhīṣmābhirakṣitam, paryāptaḿ tv idam eteṣāḿ, balaḿ bhīmābhirakṣitam,
Artinya;
Kekuatan kita tidak dapat diukur, dan kita dilindungi secara sempurna oleh kakek Bhisma, sedangkan para pandava, yang dilindungi dengan teliti oleh Bhisma, hanya mempunyai kekuatan yang terbatas.

Bhagavad-gita 1.11
ayaneṣu ca sarveṣu, yathā-bhāgam avasthitāḥ, bhīṣmam evābhirakṣantu, bhavantaḥ sarva eva hi,
Artinya;
Sekarang anda semua harus memberi dukungan sepenuhnya kepada kakek Bhisma, sambil berdiri di ujung-ujung strategis masing-masing di gerbang-gerbang barisan tentara.

Bhagavad-gita 1.12
tasya sañjanayan harṣaḿ, kuru-vṛddhaḥ pitāmahaḥ, siḿha-nādaḿ vinadyoccaiḥ, śańkhaḿ dadhmau pratāpavān,
Artinya;
Kemudian Bhisma, leluhur agung dinasti kuru yang gagah berani, kakek para ksatria, meniup kerangnya dengan keras sekali bagaikan suara singa sehingga Duryodhana merasa riang.

Bhagavad-gita 1.13
tataḥ śańkhāś ca bheryaś ca, paṇavānaka-gomukhāḥ, sahasaivābhyahanyanta, sa śabdas tumulo ‘bhavat,
Artinya;
Sesudah itu, kerang-kerang, gendang-gendang, bedug, dan berbagai jenis terompet semuanya dibunyikan seketika, sehingga paduan suaranya menggemparkan.

Bhagavad-gita 1.14
tataḥ śvetair hayair yukte, mahati syandane sthitau, mādhavaḥ pāṇḍavaś caiva, divyau śańkhau pradadhmatuḥ,
Artinya;
Di pihak lawan, Sri Krsna bersama Arjuna yang mengendarai kereta megah yang ditarik oleh kuda-kuda berwarna putih juga membunyikan kerang-kerang rohani mereka.




Bhagavad-gita 1.15
pāñcajanyaḿ hṛṣīkeśo, devadattaḿ dhanañjayaḥ, pauṇḍraḿ dadhmau mahā-śańkhaḿ, bhīma-karmā vṛkodaraḥ,
Artinya;
Kemudian Sri Krsna meniup kerang-Nya bernama Devadatta; dan Bhisma, pelahap dan pelaksana tugas-tugas yang berat sekali, meniup kerangnya yang mengerikan bernama Paundra.

Bhagavad-gita 1.16-18
anantavijayaḿ rājā, kuntī-putro yudhiṣṭhiraḥ, nakulaḥ sahadevaś ca, sughoṣa-maṇipuṣpakau, kāśyaś ca parameṣv-āsaḥ, śikhaṇḍī ca mahā-rathaḥ, dhṛṣṭadyumno virāṭaś ca, sātyakiś cāparājitaḥ, drupado draupadeyāś ca, sarvaśaḥ pṛthivī-pate, saubhadraś ca mahā-bāhuḥ, śańkhān dadhmuḥ pṛthak pṛthak,
Artinya;
Raja Yudhistira, putera kunti, meniup kerangnya yang bernama Anantavijaya, Nakula dan Sahadeva meniup kerangnya bernama Sugosha dan Manipuspaka. Pemanah yang perkasa raja Kasi, ksatria hebat yang bernama Sikandi, Dhrstadyumna, virata, dan Satyaki yang tidak pernah dikalahkan, Drupada, para putera Draupadi, dan lain-lain, seperti putera Subhadra, yang berlengan perkasa, semua meniup kerang-kerangnya masing-masing; wahai Baginda Raja.

Bhagavad-gita 1.19
sa ghoṣo dhārtarāṣṭrāṇāḿ, hṛdayāni vyadārayat, nabhaś ca pṛthivīḿ caiva, tumulo ‘bhyanunādayan,
Artinya;
Berbagai jenis kerang tersebut ditiup hingga menggemparkan. Suara kerang-kerang bergema baik di langit maupun di bumi, hingga mematahkan hati para putera Dhrtarastra.

Bhagavad-gita 1.20
atha vyavasthitān dṛṣṭvā, dhārtarāṣṭrān kapi-dhvajaḥ, pravṛtte śastra-sampāte, dhanur udyamya pāṇḍavaḥ, hṛṣīkeśaḿ tadā vākyam, idam āha mahī-pate,
Artinya
Pada waktu itu, Arjuna, putera pandu, yang sedang duduk di atas kereta, yang benderanya berlambang hanuman, mengangkat busurnya dan bersiap-siap untuk melepaskan anak panahnya. Wahai paduka Raja, sesudah memandang putera-putera Dhrstaratra, lalu Arjuna berkata kepada Hrsikesa [krsna] sebagai berikut.

Bhagavad-gita 1.21-22
arjuna uvāca, senayor ubhayor madhye, rathaḿ sthāpaya me ‘cyuta, yāvad etān nirīkṣe ‘haḿ, yoddhu-kāmān avasthitān, kair mayā saha yoddhavyam, asmin raṇa-samudyame,
Artinya;
Arjuna berkata; wahai Krsna yang tidak pernah gagal, mohon membawa kereta saya di tengah-tengah antara kedua tentara agar saya dapat melihat siapa yang ingin bertempur di sini dan siapa yang harus saya hadapi dalam usaha perang yang besar ini.

Bhagavad-gita 1.23
yotsyamānān avekṣe ‘haḿ, ya ete ‘tra samāgatāḥ, dhārtarāṣṭrasya durbuddher, yuddhe priya-cikīrṣavaḥ,
Artinya;
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di BaliPerkenankanlah saya melihat mereka yang datang ke sini untuk bertempur karena keinginan mereka untuk menyenangkan hati putera Dhrtarastra yang berpikir jahat.

Bhagavad-gita 1.24
sañjaya uvāca, evam ukto hṛṣīkeśo, guḍākeśena bhārata, senayor ubhayor madhye, sthāpayitvā rathottamam,
Artinya;
Sanjaya berkata; wahai putera keluarga Bharata, setelah disapa oleh Arjuna, Sri Krsna membawa kereta yang bagus itu ke tengah-tengah antara tentara-tentara kedua belah pihak.

Bhagavad-gita 1.25
bhīṣma-droṇa-pramukhataḥ, sarveṣāḿ ca mahī-kṣitām, uvāca pārtha paśyaitān, samavetān kurūn iti,
Artinya;
Di hadapan Bhisma, Drona dan semua pemimpin dunia lainnya, Sri Krsna bersabda, wahai partha, lihatlah para kuru yang sudah berkumpul di sini.

Bhagavad-gita 1.26
tatrāpaśyat sthitān pārthaḥ, pitṝn atha pitāmahān, ācāryān mātulān bhrātṝn, putrān pautrān sakhīḿs tathā, śvaśurān suhṛdaś caiva, senayor ubhayor api,
Artinya;
Di sana di tengah-tengah tentara-tentara kedua belah pihak Arjuna dapat melihat para ayah, kakek, guru, paman dari keluarga ibu, saudara, putera, cucu, kawan, mertua, dan orang-orang yang mengharapkan kesejahteraannya semua hadir di sana.

Bhagavad-gita 1.27
tān samīkṣya sa kaunteyaḥ, sarvān bandhūn avasthitān, kṛpayā parayāviṣṭo, viṣīdann idam abravīt,
Artinya;
Ketika Arjuna, putera kunti , melihat berbagai kawan dan sanak keluarganya ini, hatinya tergugah rasa kasih sayang dan dia berkata sebagai berikut.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bhagavad-gita 1.28
arjuna uvāca, dṛṣṭvemaḿ sva-janaḿ kṛṣṇa, yuyutsuḿ samupasthitam, sīdanti mama gātrāṇi, mukhaḿ ca pariśuṣyati,
Artinya;
Arjuna berkata; Krsna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota badan-badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.

Bhagavad-gita 1.29
vepathuś ca śarīre me, roma-harṣaś ca jāyate, gāṇḍīvaḿ sraḿsate hastāt, tvak caiva paridahyate,
Artinya;
Seluruh badan saya gemetar, dan bulu roma berdiri. Busur Gandiva terlepas dari tangan saya, dan kulit saya terasa terbakar.

Bhagavad-gita 1.30
na ca śaknomy avasthātuḿ, bhramatīva ca me manaḥ, nimittāni ca paśyāmi, viparītāni keśava,
Artinya;
Saya tidak tahan lagi berdiri di sini, saya lupa akan diri, dan pikiran saya kacau. O Krsna, saya hanya dapat melihat sebab-sebab malapetaka saja, wahai pembunuh raksasa bernama Kesi.


Bhagavad-gita 1.31
na ca śreyo ‘nupaśyāmi, hatvā sva-janam āhave, na kāńkṣe vijayaḿ kṛṣṇa, na ca rājyaḿ sukhāni ca,
Artinya;
Saya tidak dapat melihat bagaimana hal-hal yang baik dapat diperoleh kalau saya membunuh sanak keluarga sendiri dalam perang ini. Krsna yang baik hati, saya juga tidak dapat menginginkan kejayaan, kerajaan, maupun kebahagiaan sebagai akibat perbuatan seperti itu

Bhagavad-gita 1.32-35
kiḿ no rājyena govinda, kiḿ bhogair jīvitena vā, yeṣām arthe kāńkṣitaḿ no, rājyaḿ bhogāḥ sukhāni ca, ta ime ‘vasthitā yuddhe, prāṇāḿs tyaktvā dhanāni ca, ācāryāḥ pitaraḥ putrās, tathaiva ca pitāmahāḥ, mātulāḥ śvaśurāḥ pautrāḥ, śyālāḥ sambandhinas tathā, etān na hantum icchāmi, ghnato ‘pi madhusūdana, api trailokya-rājyasya, hetoḥ kiḿ nu mahī-kṛte, nihatya dhārtarāṣṭrān naḥ, kā prītiḥ syāj janārdana,
Artinya;
O Govinda, barang kali kita menginginkan kerajaan, kebahagiaan, ataupun kehidupan untuk orang tertentu, tetapi apa gunanya kerajaan, kebahagiaan ataupun kehidupan bagi kita kalau mereka sekarang tersusun pada medan perang ini? O Madhusudana, apabila para guru, ayah, putera, kakek, paman dari keluarga ibu, mertua, cucu, ipar dan semua sanak keluarga bersedia mengorbankan nyawa dan harta bendanya dan sekarang berdiri di hadapan saya, mengapa saya harus berhasrat membunuh mereka, meskipun kalau saya tidak membunuh mereka, mungkin mereka akan membunuh saya? Wahai pemelihara semua makhluk hidup, jangankan untuk bumi ini, untuk imbalan seluruh tiga dunia ini pun saya tidak bersedia bertempur melawan mereka. Kesenangan apa yang akan kita peroleh kalau kita membunuh para putera dhrtarastra?

Bhagavad-gita 1.36
pāpam evāśrayed asmān, hatvaitān ātatāyinaḥ, tasmān nārhā vayaḿ hantuḿ, dhārtarāṣṭrān sa-bāndhavān, sva-janaḿ hi kathaḿ hatvā, sukhinaḥ syāma mādhava,
Artinya;
Kita akan dikuasai oleh dosa kalau kita membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putera Dhrtarastra dan kawan-kawan kita. O Krsna, suami dewi keberuntungan, apa untungnya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?

Bhagavad-gita 1.37-38
yady apy ete na paśyanti, lobhopahata-cetasaḥ, kula-kṣaya-kṛtaḿ doṣaḿ, mitra-drohe ca pātakam, kathaḿ na jñeyam asmābhiḥ, pāpād asmān nivartitum, kula-kṣaya-kṛtaḿ doṣaḿ, prapaśyadbhir janārdana,
Artinya;
O Janardana, walaupun orang ini yang sudah dikuasai oleh kelobaan tidak melihat kesalahan dalam membunuh keluarga sendiri atau bertengkar dengan kawan-kawan, mengapa kita yang dapat melihat bahwa membinasakan satu keluarga adalah kejahatan harus melakukan perbuatan berdosa seperti itu?




Bhagavad-gita 1.39
kula-kṣaye praṇaśyanti, kula-dharmāḥ sanātanāḥ, dharme naṣṭe kulaḿ kṛtsnam, adharmo ‘bhibhavaty uta,
Artinya;
Dengan hancurnya sebuah dinasti, seluruh tradisi keluarga yang kekal dihancurkan, dan dengan demikian sisa keluarga akan terlibat dalam kebiasaan yang bertentangan dengan dharma.

Bhagavad-gita 1.40
dharmābhibhavāt kṛṣṇa, praduṣyanti kula-striyaḥ, strīṣu duṣṭāsu vārṣṇeya, jāyate varṇa-sańkaraḥ,
Artinya;
O Krsna, apabila hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela dalam keluarga, kaum wanita dalam keluarga ternoda, dan dengan merosotnya kaum wanita, lahirlah keturunan yang tidak diinginkan, wahai putera keluarga vrsni.

Bhagavad-gita 1.41
sańkaro narakāyaiva, kula-ghnānāḿ kulasya ca, patanti pitaro hy eṣāḿ, lupta-piṇḍodaka-kriyāḥ,
Artinya;
Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak diinginkan tentu saja menyebabkan keadaan seperti di neraka baik bagi keluarga maupun mereka yang membinasakan tradisi keluarga. Leluhur keluarga-keluarga yang sudah merosot seperti itu jatuh, sebab upacara-upacara untuk mempersembahkan makanan dan air kepada leluhur terhenti sama sekali.

Bhagavad-gita 1.42
doṣair etaiḥ kula-ghnānāḿ, varṇa-sańkara-kārakaiḥ, utsādyante jāti-dharmāḥ, kula-dharmāś ca śāśvatāḥ,
Artinya;
Akibat perbuatan jahat para penghancur tradisi keluarga yang menyebabkan lahirnya anak-anak yang tidak diinginkan, segala jenis program masyarakat dan kegiatan demi kesejahteraan keluarga akan binasa.

Bhagavad-gita 1.43
utsanna-kula-dharmāṇāḿ, manuṣyāṇāḿ janārdana, narake niyataḿ vāso, bhavatīty anuśuśruma,
Artinya;
O Krsna, pemelihara rakyat, saya sudah mendengar menurut garis perguruan bahwa orang yang membinasakan tradisi-tradisi keluarga selalu tinggal di neraka.


Bhagavad-gita 1.44
aho bata mahat pāpaḿ, kartuḿ vyavasitā vayam, yad rājya-sukha-lobhena, hantuḿ sva-janam udyatāḥ,
Artinya;
Aduh, alangkah anehnya bahwa kita sedang bersiap-siap untuk melakukan kegiatan yang sangat berdosa. Didorong oleh keinginan untuk menikmati kesenangan kerajaan, kita sudah bertekad membunuh sanak keluarga sendiri.

Bhagavad-gita 1.45
yadi mām apratīkāram, aśastraḿ śastra-pāṇayaḥ, dhārtarāṣṭrā raṇe hanyus, tan me kṣemataraḿ bhavet,
Artinya;
Lebih baik bagi saya kalau para putera Dhrtaratra yang membawa senjata di tangan membunuh saya yang tidak membawa senjata dan tidak melawan di medan perang.

Bhagavad-gita 1.46
sañjaya uvāca, evam uktvārjunaḥ sańkhye, rathopastha upāviśat, visṛjya sa-śaraḿ cāpaḿ, śoka-saḿvigna-mānasaḥ,
Artinya;
Sanjaya berkata; setelah berkata demikian di medan perang, Arjuna meletakkan busur dan anak panahnya, lalu duduk dalam kereta. Pikiran Arjuna tergugah oleh rasa sedih

Sumber : cakepane.blogspot.com

Sabtu, 25 November 2023

DESA SEMBIRAN, SALAH SATU DESA TERTUA DI BALI


Mengenal sejarah dan peradaban Bali, maka anda juga perlu tahu akan keberadaan desa Sembiran, desa ini merupakan salah satu desa kuno yang sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi, desa tertua di Bali ini terletak di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, desa tersebut sudah ada sejak jaman batu tua atau zaman Poletithicium atau peradaban manusia pada jaman Batu Tua dan juga Megalitikum yang mana bangunan-bangunan manusia terbuat dari batu. Desa Sembiran di kenal sebagai kuno tentunya masih bisa ditemukannya bukti-bukti sejarah peradaban masa lampau, itulah sebabnya desa Sembiran cukup menarik bagi mereka para arkeolog termasuk juga wisatawan yang liburan ke Bali.

Kabupaten Buleleng sendiri selain memang memiliki banyak objek wisata populer yang dimilikinya seperti atraksi dolphin (lumba-lumba) di lepas pantai Lovina dan sejumlah objek wisata air terjun, Buleleng juga memiliki sejumlah desa tua yang masih mempertahankan budaya dan tradisi unik masa lalu dan mengklaim dirinya penduduk asli Bali beberapa daerah tersebut diantaranya Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa dan juga Sembiran, keberadaan desa-desa tersebut tentunya menjadi daya tarik lebih kawasan wisata Bali Utara ini untuk dikunjungi saat mengagendakan tour di Bali.

Di desa Sembiran di Buleleng ini, setidaknya ditemukan 40 perabotan kuno yang berasal dari peradaban masa lalu yaitu berasal dari jaman batu tua dan jaman besi, bentuk benda-benda tersebut seperti alat berbentuk side chopper yaitu alat pemotong yang terbuat dari batu, bentuk hammeratones yaitu palu batu, bentuk protohan-axses berupa kapak tangan, bentuk flakes yaitu alat batu-batu kecil untuk mengiris dan benda pipih berbentuk setrika yang terbuat dari besi. Di desa Sembiran juga masih bisa ditemukan bangunan kuno seperti balai desa yang masih dilestarikan dan digunakan oleh warga desa.

Selain ditemukanya perabot-perabot yang berasal dari jaman Poletithicium juga ditemukan 20 buah prasasti perunggu yang memuat sejarah tentang keberadaan desa Sembiran tersebut. Semua peninggalan tersebut sekarang tersimpan rapi di rumah tua yang berada di desa ini, rumah yang merupakan peninggalan sejarah masa lampau tersebut pun dibangun kembali oleh pemerintah kabupaten Buleleng, dengan tidak menghilangkan bentuk dan ciri khas aslinya.

Sumber : https://jadesta.kemenparekraf.go.id/desa/rumah_tua_desa_sembiran#:~:text=Mengenal%20sejarah%20dan%20peradaban%20Bali,jaman%20batu%20tua%20atau%20zaman