Rabu, 29 November 2023

Makna dan Cara Mabija Yang Benar

Tahap terakhir persembahyang selain nunas tirtha kita juga nunas bija (mebija atau mewija). Bija atau wija didalam bahasa Sansekerta disebut gandaksata yang berasal dari kata ganda dan aksata yang artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi.

Image by: Koleksi Pribadi. Besakih 08 April 2018.
Wija atau bija biasanya dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.Wija atau bija adalah lambang kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.
Cara Menempatkan Bija
Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an / Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan /ke-Siwa-an. Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa. Yaitu sebagai berikut:
  1. Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
  2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
  3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
  4. Di dalam mulut atau langit-langit.
  5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.


Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija. Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :
  1. Pada Anja Cakra, sedikit diatas, diantara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
  2. Pada Wisuda Cakra, Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
  3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Kenyataannya hingga dewasa ini dalam masyarakat Hindu, selain pada titik-titik diatas. Ada juga yang meletakkan pada titik-titik yang lain. Misalnya ditaruh diatas pelipis, sebelah luar atas alis kanan dan kiri. Ada juga yang menaruh pada pangkal di telingah bagian luar.
Bisa dikatakan kurang tepat menaruh bija selain pada 3 titik-titik yang telah disebutkan diatas. Karena titik-titik yang lain dalam tubuh kurang peka terhadap sifat kedewataan atau Tuhan yang ada dalam diri manusia. Sehingga cukup sulit menumbuh kembangkan sifat Kedewataan dalam diri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/Ke-Siwa-aan/sifat Tuhan dalam diri. Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.

Selasa, 28 November 2023

Pengertian Sadripu

 


Sad Ripu berasal dari kata sad yang berarti enam dan ripu yang berarti musuh. Jadi secara harfiah Sad Ripu berarti enam musuh yang berada dalam diri manusia. Bagian – bagian sad ripu meliputi :
1. kama : nafsu, keinginan
2. lobha : tamak, rakus
3. krodha : kemarahan
4. moha : kebingungan
5. mada : mabuk
6. matsarya : dengki, iri hati

Enam musuh ini memberikan pengaruh yang berbeda – beda, bila kita tidak dapat mengendalikanya maka akan jatuh ke dalam kesengsaraan. Oleh karena itu hendaknya kendalikanlah enam musuh yang ada dalam diri masing – masing.

1. Kama
Kama yang dimaksud dalam sad ripu ini adalah nafsu atau keinginan yang negative. Manusia memang harus memiliki keinginan, tanpa keinginan hidup ini akan terasa datar sekali. Tetapi keinginan yang sifatnya positif, seperti ingin jadi dokter, guru dan lainnya. Keinginan yang terkendali akan menjadi teman yang akrab bagi kita.


2. Lobha
Lobha berarti tamak atau rakus yang sifatnya negative sehingga merugikan orang lain. Lobha yang sifatnya negative akan menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan kejahatan karena merasa tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Contohnya tindakan mencuri, merampok dan sebagainya. Lobha yang sifatnya positif hendaknya dipertahankan, seperti tidak puas terhadap ilmu pengetahuan yang positif, lobha terhadap amal / dana punia.

3. Krodha
Krodha berarti kemarahan. Orang yang tidak bisa mengendalikan amarahnya akan menyebabkan kerugian pada diri sendiri maupun orang lain. Bahkan bisa sampai membunuh orang lain. Banyak tindakan – tindakan anarkis dan criminal yang timbul karena kemarahan. Seperti merusak barang milik orang lain, memukul teman, bahkan ada yangtega membunuh keluarganya sendiri.

4. Moha
Moha berarti kebingungan yang dapat menyebabkan pikiran menjadi gelap sehingga seseorang tidak dapat berfikir secara jernih. Hal ini akan menyebabkan orang tersebut tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Akibatnya hal – hal yang menyimpang akan dilakukannya. Banyak penyebab seseorang menjadi bingung, seperti marah, mendapatkan masalah yang berat, kehilangan sesuatu yang dicintai dan sebagainya.

5. Mada
Mada berarti mabuk. Orang mabuk pikiran tidak berfungsi secara baik. Akibatnya timbulah sifat – sifat angkuh, sombong, takabur dan mengucapkan kata – kata yang menyakitkan hati orang lain. Seperti mabuk kekayaan yang dimilikinya, mabuk karena ketampanan. Mabuk juga dapat ditimbulkan karena minum minuman keras. Dengan minum minuman keras yang berlebihan akan menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran, sehingga menimbulkan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

6. Matsarya
Matsarya berarti dengki atau iri hati. Hal ini akan menyiksa diri sendiri dan dapat merugikan orang lain. Orang yang matsarya merasa hidupnya susah, miskin, bernasib sial, sehingga akan menyiksa batinnya sendiri. Selain itu bila iri terhadap kepunyaan orang lain maka akan menimbulkan rasa ingin memusuhi, berniat jahat, melawan dan bertengkar, sehingga merugikan orang lain.

Senin, 27 November 2023

TUMPEK LANDEP, BUKAN SEMATA-MATA OTONAN MOTOR

 Tumpek Landep merupakan hari raya yang tidak asing lagi bagi umat Hindu di Bali. Hari raya ini jatuh pada Saniscara Keliwon Wuku Landep. Hari raya ini diperingati setiap 6 bulan sekali atau 210 hari.  Pada hari ini umat Hindu biasanya membuat banten/sesajen yang dihaturkan pada merajan, alat-alat fisik, serta sarana pendukung kegiatan lainnya.

Secara filosofis, Tumpek Landep Berasal dari kata Tumpek dan Landep. Tumpek berasal dari kata tampek yang berarti dekat dan Landep berarti tajam/lancip. Adapun ketajaman yang dimaksud tersebut itu layaknya senjata yang berbentuk lancip/runcing seperti keris, tombak, dan pedang.
Hari Raya Tumpek Landep di Bali sejatinya merupakan rangkaian dari Hari Raya Saraswati yang jatuh pada dua minggu sebelum hari raya ini. Jika pada saat hari raya Saraswati umat Hindu melakukan puji syukur atas turunnya ilmu pengetahuan dimana diimplementasikan dengan mengupacari berbagai sumber-sumber ilmu pengetahuan, seperti buku, lontar, prasasti dan berbagai sumber-sumber sastra dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan pada hari raya Tumpek Landep ini lebih mengucapkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugrahi kecerdasan dan ketajaman pikiran kepada manusia, yang mana dari pikiran-pikiran  tersebut melahirkan suatu ciptaan yang dapat mempermudah kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan. Sederhananya, ilmu pengetahuan yang turun dan didapatkan dua minggu sebelumnya maka diasah pada hari Tumpek Landep ini.


Dalam perkembangannya, kini perayaan hari raya Tumpek Landep di Bali tidak hanya mengupacarai benda-benda sakral/pusaka seperti keris dan peralatan persenjataan, melainkan juga benda-benda lain yang membantu umat manusia dalam menjalani kehidupan dan mampu memberikan nilai positif terhadapnya. Adapun benda-benda tersebut yang sering kita lihat diupacarai para hari Tumpek Landep ini antara lain : motor, mobil, komputer, mesin-mesin, dan benda-benda fisik lainnya. Sesungguhnya hal ini tidaklah salah, namun pemahaman orang awam di Bali terkadang sedikit keliru dalam memaknai hari Tumpek Landep ini. Bahkah, mirisnya lagi tak jarang kita jumpai umat yang bersembahyang di depan mobilnya di pinggir jalan seakan-akan menTuhankan mobilnya.
Sesungguhnya, senjata yang paling utama dalam kehidupan ini adalah pikiran, karena pikiranlah yang mengendalikan semuanya yang ada. Semua yang baik dan yang buruk dimulai dari pikiran. Maka dari itu dalam perayaan hari Tumpek Landep ini, hal mendasar dan utama yang semestinya kita harapkan adalah agar senantiasa mampu menajamkan pikiran lewat kecerdasan dan mengendalikan pikiran lewat pengalaman-pengalaman yang ada. Jadi, setiap enam bulan sekali umat diingatkan melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau diasah agar tajam. Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih teliti melakukan analisa, serta lebih tepat dalam mengambil keputusan.

Penulis : I Kadek Maryana (Mahasiswa Fak. Pertanian Unud 2011)

Sejarah Pura Agung Besakih

 

Gunung Agung sering juga disebut dengan Giri To Langkir untuk menyatakan keagungannya. Giri artinya gunung, to artinya orang, sedangkan langkir artinya menjulang tinggi. R.Goris seorang ahli sastra membandingkan perkataan to yang berarti orang dengan keluarga bahasa yang terdapat di tempat-tempat lain yang hampir sama ejaannya menunjukkan persamaan asal. Misalnya, orang-orang Bugis, Makasar dan Toraja, mereka menyebutkan orang itu dengan perkataan tou atau tow, orang Sasak di Pulau Lombok mengatakan “TAU”, orang-orang Bima di Pulau Sumbawa mengatakan dou, sedangkan orang-orang Philipina mengatakan tawuw. Perkataan langkir dalam bahasa sanskerta dapat juga diartikan Maha Dewa (Rencana Induk Pembinaan dan Pengembangan Pura Besakih). Di dalam Lontar Sangkul Putih, ada disebutkan : “...Kang umungguh ring tolangkir Bhatara Pasupati Ngaran... “artinya: “... yang bersthana di Gunung Agung adalah Bhatara Pasupati namanya...”
Kata Tolangkir berasal dari kata to (tu) yang berarti terhormat dan langkir artinya melangkahi atau gunung yang dimuliakan atau terhormat tempat linggih (stana) Hyang Pasupati (Dewa) yang paling dimuliakan oleh masyarakat Bali (panitia Pembangunan Pura Pasar Agung Besakih). Gunung Agung itu disebut Giri To Langkir karena besar dan tingginya, sebagai ungkapan lain untuk menerangkan Maha Agung. Letak Pura Besakih di desa yang dianggap suci karena berada di ketinggian, yang disebut Hulundang Basukih yang kemudian menjadi Desa Besakih. Nama Besakih diambil dari Bahasa Sansekerta, wasuki atau dalam bahasa Jawa Kuno basuki yang berarti selamat. Selain itu, nama Pura Besakih didasari pula oleh mithologi Naga Basuki sebagai penyeimbang Gunung Mandara.


Dengan keagungan Gunung Agung inilah didirikan stana beliau Hyang Pasupati yang diberi nama Pura Besakih. Pura Besakih merupakan salah satu Pura Sad Kahyangan di Bali. Pura ini terdiri atas 86 buah kelompok pura, yaitu terbagi ke dalam 18 (delapan belas) buah pura umum, 4 buah Pura Catur Lawa, 11 buah Pura Padharman, 6 buah Pura yang bukan Padharman, 29 Pura Dadia, dan 11 buah tidak termasuk kelompok tersebut. Semua kelompok pura ini tidak dibangun sekaligus, tetapi dibangun secara bertahap. Diperkirakan Pura ini dibangun pertama kali oleh Raja Wira Dalem Kesari Warmadewa (th. 913 Masehi), kemudian dilanjutkan oleh Raja Sri Kesari Warmadewa yang berpermaisurikan Sri Gunapriya Dharmapatni (th. 1007 Masehi). Perkembangan pembangunan yang pesat terjadi zaman Dalem Waturenggong, dimana Danghyang Nirartha dan Empu Kuturan amat berperan (Nala, 1996:1). Tata letak bangunan suci (pelinggih) di dalam dan di luar area Pura Agung Besakih.
Diceritakan dalam Lontar Babad Gunung Agung bertahun Çaka 11, pada tahun tersebut terjadi letusan dan perpindahan empat gunung yang dinyatakan dengan sebutan Candra Sangkala yang berbunyi Rudhira Bumi. Rudhira dan Bumi masing-masing berarti angka 1 (satu) sehingga Rudhira Bumi berarti angka 11 (sebelas) atau 89 Masehi. Pada tahun Çaka 13 yang dinyatakan dengan sebutan Candra Sangkala Gni Bhudara: Gni artinya angka tiga dan Bhudara sama dengan satu, jadi Çaka 13 tahun 92 Masehi, terjadi letusan kembali. Letusan itu menimbulkan gempa bumi yang amat hebat disertai hujan lebat tiada henti-hentinya siang dan malam selama 2 (dua) bulan. Sesudah turunnya Hyang Putran Jaya, Hyang Gni Jaya dan Dewi Danuh ke Bali. Di antara ketiganya itu Hyang Putran Jayalah yang paling dimuliakan dengan sebutan Hyang Maha Desa berkahyangan di Pucak Gunung Agung sebagai Çiwa. Sedangkan Hyang Gni Jaya berkahyangan di Puncak Gunung Lempuyang dan Dewi Danuh berkahyangan di Danau Batur yang dipuja sebagai Wisnu.
Di Pura Besakih terdapat pemujaan bagi para Dewa-Dewa yakni; di Pura Kiduling Kreteg tempat memuja Dewa Brahma, di Pura Gelap tempat memuja Dewa Iswara, di Pura Ulun Kulkul tempat memuja Dewa Mahadewa, dan Pura Batumadeg tempat memuja Dewa Wisnu, Pura Penataran Agung letaknya di tengah-tengah karena dianggap paling terkemuka. Disitulah umat Hindu Dharma mengadakan persembahyangan tiap-tiap setahun sekali yang dinamai Karya Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada hari Purnamaning sasih kadasa. Sedangkan tiap sepuluh tahun sekali diselenggarakan Upacara Panca Wali Krama dan yang paling utama dilangsungkan tiap-tiap 100 (seratus) tahun sekali yang disebut Upacara Eka Dasa Rudra.
Lebih lanjut dalam Babad Gunung Agung diceritakan bahwa Gunung Agung meletus kedua kalinya pada tahun Çaka 70 atau tahun 148 Masehi, haru Jumat Keliwon Wuku Tolu bulan Kelima atau Çasih kalima Wara Sukra Kaliwon Tolu menurut kalender Bali. Sementara itu di kawah gunung agung terdapat jenis benda yang disebut Salodaka (belerang). Salodaka ini dipandang mempunyai kekuatan gaib oleh penduduk di Bali dan dipergunakan sebagai sarana upakara-upakara agama Hindu yang bersifat besar.


Kemudian Gunung Agung meletus untuk ketiga kalinya pada tahun Çaka 111 (seratus sebelas) disebut dengan Candra Sangkala “Wak Çasih Wak” yang masing-masing kata berarti angka 1 (satu), atau tahun 189 Masehi. Pada waktu itulah konon Karya Eka Dasa Rudra yang pertama kalinya diselenggarakan di Pura Besakih. Karya-karya Eka Dasa Rudra berikutnya pernah beberapa kali tidak dilaksanakan. Adapun Eka Dasa Rufdra berikutnya diselenggarkan pada tahun 1963 Masehi, atau tepatnya pada tanggal 18 Maret 1963 Purnama Kedasa, hari Sukra Pon Julungwangi Çaka 1885, dimaksudkan sebagai Karya Eka Dasa Rudra itu tidak diselenggarakan. Pada saati itu (1963) terjadi letusan Gunung Agung yang sangat hebat dan menyebabkan Pulau Bali menjadi gelap gulita.
Sumber yang bersifat mythologi tradisional disebut-sebut tokoh yang bernama Sri Wira Dalem Kesari yang nmembuat Merajan Selonding lebih kurang 250 Masehi berlokasi disebelah barat Pura Penataran Agung, yang sekarang tersimpan gambelan Selonding. Beliau dikatakan pernah melakukan perbaikan Pura Besakih. Kata Dalem adalah gelar seorang raja di Bali, dengan demikian yang dimaksud dengan Dalem Kesari kemungkinan sekali adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917 Masehi. Ini dintunjukkan dari prasasti-prasasti Pura Puseh Penempahan dan Belanjong (sanur). Dari prasasti-prasasti tersebut hanya yang ada di Belanjong, yang memakai angka tahun berbentuk Candra Sangkala Cara Wahni Murti. Cara artinya bintang dan angkanya 5, Wahni artinya api angkanya 3, murti artinya badan dari Dewa Çiwa angkanya 8. Oleh karena itu cara membaca Candra Sangkala dimulai dari belakang, maka akan terdapat angka 835 Çaka, dan kalau dijadikan tahun masehi harus ditambah dengan 78 dan menjadi tahun 913 masehi.
Zaman pemerintahan Sri Udayana, Pura Besakih juga mendapat perhatian besar, hal ini dapat dijumpai di dalam 2 prasasti yaitu prasasti Bradah yang sekarang salinannya ada disimpan di Merajan Selonding dan Prasasti Gedung Sakti di Selat (Karangasem) yang memuat angka tahun Candra Sangkala “Nawa Sangapit Lawang dan Candra Sangkala Lawang Apit Lawang”. Kedua Candra Sangkaal ini sama artinya yaitu: nawa artinya 9, apit artinya 2 dan lawang artinya 9 (simbol 9 lobang tubuh manusia). Candra Sangkala ini menjadi angka tahun 929 Çaka dan menjadi tahun 1007 masehi. Oleh karena tahun 1007 adalah zaman Pemerintahan Udayana Warmadewa maka rupa-rupanya raja mempunyai cukup perhatian terhadap Pura Besakih.
Pada waktu pemerintahan raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan, Pura Besakih mendapat pengaturan yang lebih khusus, hal ini dapat diketahui dalam raja Purana Besakih (berbentuk lontar), yang menyebutkan jenis pengaci/upacara, nama palinggih, tanah palaba (wakaf), susunan para pangemong, tingkatan-tingkatan upacara semuanya diatur dengan baik. di samping itu adanya 2 buah prasasti yang berangka tahun 1444 M dan 1454 M yang isinya mengenai pengukuhan terhadap otonomi “Desa Hila-hila Hulundang Ing Besuki” yang mana orang luar termasuk pula petugas-petugas Raja tidak boleh memungut pajak di wilayah Pura Besakih dan rakyat Besakih beretugas memelihara Pura Besakih dan palinggih Sasuhunan Kidul (Kasuhunan Kidul). Keadaan yang demikian berlangsung terus sampai jatuhnya Kerajaan Klungkung oleh Belanda tahun 1908.
Pada zaman penjajahan Belanda, pemerintah Belandapun manaruh perhatian terhadap Pura Besakih, terbukti pada tahun 1918-1923 terjadi bencana alam sehingga banyak bangunan-bangunan yang rusak; pemerintah mengadakan restorasi secara besar-besaran. Selanjutnya sesudah Indonesia merdeka, maka pemerintah daerah Bali yang menangani perbaikan-perbaikan dan upacara-upacara di Pura Besakih. Pada tahun 1967 pengawasan dan pemeliharaan terhadap Pura Besakih oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali diserahkan kepada PHDI yang kemudian dimandatkan lagi kepada Yayasan Prawartakan Pura Besakih. Oleh Prawartaka Pura Besakih dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh bencana alam (Rencana Induk Pembinaan dan Pengembangan Pura Besakih).


Besarnya perhatian pemerintah Provinsi Bali beserta Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Bali, maka sampai sekarang perbaikan-perbaikan itu tetap dilanjutkan. Di samping perhatian dari lembaga Adat dan lembaga agama melalui paruman-paruman Sulinggih dan Walaka, seminar-seminar keagamaan dan paruman-paruman lainnya, maka tuntunan upacara-upacara yang harus dilaksanakan di Pura Besakih terungkap melalui sasrta dresta-nya, sehingga dilaksanakanlah upacara-upacara besar yang secara periodik dilakukan, antara lain:
1. Upacara Eka Dasa Rudra pada tahun 1979 (Çaka 1900)
2. Upacara Pancawalikrama pada tahun 1989 (Çaka 1910)
3. Upacara Candi Narmada, di Batu Klotok, Pancawalikrama ring Danu (Batur) dan Upacara Tri Bhuana pada tahun 1993,
4. Upacara Eka bhuana pada tahun 1996 di bencingah Pura Besakih sebagai rangkaian dari Uipacara Eka Dasa Rudra.
🙏🙏🙏
Sumber : DR. Dra. Relin D.E. M.Ag. 2012.TEOLOGI HINDU PURA AGUNG BESAKIH DI DESA BESAKIH, KECAMATAN RENDANG KABUPATEN KARANGASEM. INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR.

Siwaratri

 


Dalam Bhagawad Gita XVIII-5 dikatakan Kegiatan melakukan yadnya, dana punia  tapa brata jangan diabaikan melainkan harus dilakukan sebab yadnya, dana punia, dan tapa brata adalah pensuci bagi orang arif bijaksana.
       Selanjutnya brata yang utama adalah Siwaratri, dapat dilihat pada purana:
1. Skanda Purana (bagian Kedara kanda) dari percakapan para Rsi dan Lomasa, bahwa Canda membunuh berbagai mahluk, juga termasuk membunuh  Brahmana, pada akhirnya sadar (bertobat) melalui ajaran Siwaratri.
2. Garuda Purana (bagian acara kanda), Dewa Siwa menjawab pertanyaan saktinya Dewi Parwati, bahwa ajaran Siwaratri yang utama, roh terbebas dari hukuman neraka.


3. Siwa purana ( bagian jnana samhita) percakapan tentang Siwaratri antar para Rsi dan Suta, perihal kekejaman Rurudruha menjadi sadar, setelah menjalankan ajaran Siwaratri.
4. Padma Purana (bagian uttara kanda) menyampaikan percakapan antara Raja Dilipa dengan Rsi Wasista, Siwaratri adalah brata yang utama 
5. Siwaratri kalpa populer di Indonesia, ditulis oleh  Empu Tanakung tentang kisah Lubdaka yg terdiri 20 wirama.
         Perayaan Siwaratri akan memberikan harapan dituntun dari tidak benar menuju jalan yang benar, dari kegelapan  menuju cahayaMU.

Pembicara Ida Pedanda Gde Pidada
Copas Nyomn Sedana

Upacara Eka Dasa Rudra

 

Upacara Eka Dasa Rudra, sebagaimana tersurat dalam tuntunan sastra, adalah upacara Tawur yang dilaksanakan setiap 100 tahun sekali manakala angka satuan dan puluhan tahun Saka mencapai angka 0, disebut pula rah windu tenggek windu.
Di Pura Agung Besakih, sejauh catatan yang ada, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan tahun 1963, tepatnya pada Sukra Pon Julungwangi tanggal 9 Maret 1963. Upacara Eka Dasa Rudra 1963 yang disebut sebagai Eka Dasa Rudra paneregteg dilaksanakan karena hingga saat itu tidak diperoleh bukti catatan tentang pelaksanaan Eka Dasa Rudra pada masa-masa sebelumnya.
Tahun 1979, pada Buda Paing Wariga tanggal 28 Maret 1979, kembali diselenggarakan upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra. Upacara Tawur Eka Dasa Rudra 1979 ini sesuai dengan perhitungan perputaran tahun Saka saat satuan dan puluhan mencapai angka nol, yaitu pada tahun Saka 1900.
Rangkaian (dudonan) prosesi Tawur Agung Eka Dasa Rudra dilaksanakan dengan berpedoman pada sumber sastra yang ada disertai berbagai kajian para Sulinggih terhadap tata laksana yadnya Tawur. Pelaksanaan upacara diawali dengan Matur Piuning, Nuwasen Karya, Nuwur Tirtha, Melasti hingga puncak Karya Agung. Dengan waktu pelaksanaan yang berhimpitan dengan Sasih Kadasa (puncak Tawur Eka Dasa Rudra dilaksanakan pada Tilem Kasanga), pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1979 dilanjutkan dengan upacara tahunan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa.
Setelah pelaksanaan upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra 1979, sebagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya, di Pura Agung Besakih secara tetap diselenggarakan upacara tahunan yaitu Tawur Tabuh Gentuh pada Tilem Kasanga dan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa dan setiap sepuluh tahun dilaksankan Karya Agung Panca Bali Krama (tahun 1989 dan 1999).
--- Ditulis oleh Made Widnyana Sudibya 22 DESEMBER 2008 ---
------------------------------------------------
Perayaan Eka Dasa Rudra terdiri atas berbagai macam upacara dan ritual, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Pamalik Sumpah. Tujuan upacara ini adalah supaya manusia tidak ingkar janji kepada alam dan leluhur dengan cara melaksanakan upacara korban di tujuh gunung.
b. Madu Parka. Upacara ini merepresentasikan permohonan manusia kepada Sang Pencipta supaya diberikan kehidupan yang manis dan sejahtera.
c. Ngingsah. Memiliki arti “membersihkan beras yang akan dimasak”. Beras ini nantinya akan dijadikan bahan makanan untuk para pelaku kegiatan Eka Dasa Rudra.
d. Pekelem. Tujuan upacara ini adalah untuk menanamkan rasa rela berkorban untuk alam ini dan memelihara keseimbangannya.
e. Mapepada. Ritual ini merupakan aksi arak-arakan sarana upacara menuju laut atau danau.
f. Taur Eka Dasa Rudra. Memiliki arti “korban suci untuk sebelas Dewata Agung (Rudra) yang menguasai seluruh mata angin”. Upacara ini memiliki maksud supaya kehidupan manusia senantiasa serasi dengan alam sehingga manusia selalu mendapat kehidupan yang layak dengan selalu memelihara lingkungan.


g. Mapedanan. Tujuan upacara ini adalah untuk menanamkan rasa syukur kepada Sang Pencipta alam semesta.
h. Mapeselang. Ritual ini berbeda dengan ritual yang lainnya karena bertujuan untuk istirahat dari segala prosesi ritual, diisi dengan berbagai hiburan supaya para peserta tidak merasa jenuh, antara lain berbagai jenis tarian atau pertunjukan wayang.
i. Bhatara Turun Kabeh. Memiliki arti “para Dewata sebagai sinar suci Tuhan hadir dalam upacara”.
j. Megat Sot. Tujuan upacara ini adalah sebagai pengingat manusia supaya mampu memutus ikatan keduniawian karena ikatan keduniawian akan membawa sengsara.
k. Panyimpenan. Upacara ini betujuan untuk mengingatkan manusia bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini akan senantiasa kembali ke sumber asalnya.
(Sumber : Talisha Alvini, Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 )
Foto-foto Eka Dasa Rudra diambil (scan) dari Buku "Album Eka Dasa Rudra" yang diterbitkan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia. Foto-foto tersebut merupakan sumbangan dari berbagai pihak yang turut mengabadikan Karya Agung Eka Dasa Rudra 1979. Terbanyak dari penyumbang foto-foto tersebut adalah fotografer John Wiranatha (alm), Fred B. Eiseman Jr., Gusti Ngurah Oka Supartha (alm).

Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih Jadi Ritual Penangkal Bala

 


Warga Desa Adat Kuta menggelar upacara Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih berbarengan, yang dipusatkan di Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu. Apa sejatinya tujuan khusus dua upacara ini?

Sebuah upacara yang dilaksanakan setiap setahun sekali, tentu memiliki makna dan fungsi khusus, di samping sebagai wujud bhakti pada Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung.

Seperti yang jelaskan Bendesa Adat Kuta, I Wayan Swarsa, terkait upacara Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih yang digelar masyarakat Kuta di Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu

Dikatakan Swarsa, dalam sehari terdapat dua upacara. Yang pertama upacara Nangluk Merana dipusatkan pada Pura Segara, yang kemudian dilaksanakan pada masing-masing catus pata. “Ketika rentetan di catus pata selesai, maka akan menuju ke sini yaitu di jeroan pura. Untuk melaksanakan upacara ke dua, yaitu Panglepeh Sasih,” jelas pria yang telah lima tahun menjadi bendesa tersebut.

Swarsa mengatakan, semua prosesi tersebut diselanggarakan secara sederhana. Sebab hanya mengahaturkan banten seadanya, dan tidak terlalu besar. Selain itu, dalam pelaksanaannya masing-masing pelawatan (sasuhunan) diamong oleh krama banjar yang ada di lingkungan pura masing-masing. Yang terdiri atas tujuh pelawatan dengan banjar yang jumlahnya 14 banjar.

Pada catus pata, lanjutnya, sudah dilaksanakan setelah menghaturkan Nangluk Merana di Pura Segara. Setelah itu, dilaksanakan dengan serentak, hanya menuju Pura Penataran Dalem Khayangan, yang kemudian waktunya diatur bergiliran.

Tujuh palawatan tersebut juga diamong oleh seluruh banjar yang ada. Pada pangamong yang pertama, Banjar Plasa mendapat ngamong satu palawatan. Selanjutnya ada juga palawatan yang diamong oleh Banjar Temacun dengan Banjar Pemamoran. Palawatan ketiga diamong oleh Banjar Pande Mas Kuta. Swarsa menjelaskan, palawatan berupa Barong Singa yang berada di Puri Satria Kuta, diamong oleh Banjar Pengabetan dengan Banjar Pering.

Selanjutnya ada juga sasuhunan berupa Barong Selem yang diamong oleh Banjar Tegal.

Palawatan yang dinamai Ratu Ayu dari Pura Lamun, diamong oleh Banjar Segara. Sedangkan palawatan ketujuh berupa Barong Landung diamong oleh Banjar Segara. Setelah berkumpul, semua palawatan akan dilinggihkan, juga dihaturkan sesajen, dan krama semua akan diberi pica berupa tirta.

“Tradisi ini sudah berlangsung dari turun – temurun. Saya hanya menjalanakan ritual dan bhakti. Terlebih juga dengan gejolak Gunung Agung, agar diberikan jalan yang terbaik. Sehingga situasi jagat Bali menjadi normal,”terang Swarsa kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di jeroan Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu.

Krama yang ikut prosesi upacara ini berasal dari warga dari 2268 kepala keluarga yang ada.

Swarsa juga menerangkan prosesi hanya berlangsung sehari. Jalur menuju Kuta diberlakukan sistem buka tutup, dan setelah berakhir upacara sore hari, jalur masuk Kuta sudah dibuka kembali seperti biasanya.

Ditemui pada tempat yang sama, Pemangku Pura Penataran Dalem Khayangan, Jro Mangku I Wayan Durna mengungkapkan, semua krama diberikan tirta, seusai melaksanakan prosesi upacara Nangkuk Merana dan Panglepeh Sasih tersebut. Di mana yang ia yakini sebagai tirta menolak segala bala. “Kalau sudah selesai upacara, krama semua akan diberikan pica berupa tirta. Yang dihaturkan pada kerabat keluarganya yang datang ke pura. Kalau semua krama datang ke pura kan juga tidak memungkinkan tempatnya, maka diberikan juga krama yang masih ada di rumah,” jelas Jro Mangku I Wayan Durna.

Khusus untuk di rumah warga, pada angkul-angkul dihaturkan juga sebuah sesajen, terdiri atas sanggah cucuk dan sebuah pajati, yang tujuannya untuk menetralisir mala pada pekarangan. Sebab, dalam satu hari itu di catus pata dilaksankaan nangluk merana. Jadi, pada catus pata pekarangan juga dipandang perlu diupacarai , yakni pada tengah-tengah halaman rumah,” urainya.

Ditanya pantangan dalam mengikuti tradisi tersebut, ia menjelaskan hanya yang cuntaka saja tidak diperbolehkan. Supaya tidak membuat leteh (kotor), terlebih juga sasuhunan yang ada ngider bhuana, keliling desa.

Seperti biasa, bila sasuhunan yang ada tedun, ada bebepara warga yang kesurupan. Baik itu berawal dari prosesi upacara pada catus pata, atau ketika sudah sampai di jaba pura. “Ada karena ngiring menjadi dasaran, atau kaencepang rencangan (dimasuki oleh penjaga pura) dari salah satu sasuhunan yang sedang melancaran saat itu,” imbuhnya.

Untuk menangani yang kesurupan tersebut, cukup diperciki dengan tirta. Maka mereka yang mengalami kesurupan akan kembali lagi sadar seperti biasa. Saat kesurupan, mereka akan berlari, bahkan ada juga yang teriak-teriak sambil menari, sebelum mendekati palawatan yang ada di depannya. Demi keamanan, yang kerauhan akan diawasi oleh kerabatnya dan pecalang yang sedang ngayah di sana.

Nah, jika penasaran akan tradisi Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih di Desa Adat Kuta, harus bersabar karena dilaksanakan setahun sekali, yakni pada Kajeng Kliwon bertepatan dengan sasih kaenem yang jatuh pada bulan Desember. Tempatnya digelar di masing-masing perempatan jalan, dan upacara inti di Pura Dalem Desa Adat Kuta.

(bx/ade/bay/rin/yes/JPR) –sumber