Warga Desa Adat Kuta menggelar upacara Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih berbarengan, yang dipusatkan di Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu. Apa sejatinya tujuan khusus dua upacara ini?
Sebuah upacara yang dilaksanakan setiap setahun sekali, tentu memiliki makna dan fungsi khusus, di samping sebagai wujud bhakti pada Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung.
Seperti yang jelaskan Bendesa Adat Kuta, I Wayan Swarsa, terkait upacara Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih yang digelar masyarakat Kuta di Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu
Dikatakan Swarsa, dalam sehari terdapat dua upacara. Yang pertama upacara Nangluk Merana dipusatkan pada Pura Segara, yang kemudian dilaksanakan pada masing-masing catus pata. “Ketika rentetan di catus pata selesai, maka akan menuju ke sini yaitu di jeroan pura. Untuk melaksanakan upacara ke dua, yaitu Panglepeh Sasih,” jelas pria yang telah lima tahun menjadi bendesa tersebut.
Swarsa mengatakan, semua prosesi tersebut diselanggarakan secara sederhana. Sebab hanya mengahaturkan banten seadanya, dan tidak terlalu besar. Selain itu, dalam pelaksanaannya masing-masing pelawatan (sasuhunan) diamong oleh krama banjar yang ada di lingkungan pura masing-masing. Yang terdiri atas tujuh pelawatan dengan banjar yang jumlahnya 14 banjar.
Pada catus pata, lanjutnya, sudah dilaksanakan setelah menghaturkan Nangluk Merana di Pura Segara. Setelah itu, dilaksanakan dengan serentak, hanya menuju Pura Penataran Dalem Khayangan, yang kemudian waktunya diatur bergiliran.
Tujuh palawatan tersebut juga diamong oleh seluruh banjar yang ada. Pada pangamong yang pertama, Banjar Plasa mendapat ngamong satu palawatan. Selanjutnya ada juga palawatan yang diamong oleh Banjar Temacun dengan Banjar Pemamoran. Palawatan ketiga diamong oleh Banjar Pande Mas Kuta. Swarsa menjelaskan, palawatan berupa Barong Singa yang berada di Puri Satria Kuta, diamong oleh Banjar Pengabetan dengan Banjar Pering.
Selanjutnya ada juga sasuhunan berupa Barong Selem yang diamong oleh Banjar Tegal.
Palawatan yang dinamai Ratu Ayu dari Pura Lamun, diamong oleh Banjar Segara. Sedangkan palawatan ketujuh berupa Barong Landung diamong oleh Banjar Segara. Setelah berkumpul, semua palawatan akan dilinggihkan, juga dihaturkan sesajen, dan krama semua akan diberi pica berupa tirta.
“Tradisi ini sudah berlangsung dari turun – temurun. Saya hanya menjalanakan ritual dan bhakti. Terlebih juga dengan gejolak Gunung Agung, agar diberikan jalan yang terbaik. Sehingga situasi jagat Bali menjadi normal,”terang Swarsa kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di jeroan Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu.
Krama yang ikut prosesi upacara ini berasal dari warga dari 2268 kepala keluarga yang ada.
Swarsa juga menerangkan prosesi hanya berlangsung sehari. Jalur menuju Kuta diberlakukan sistem buka tutup, dan setelah berakhir upacara sore hari, jalur masuk Kuta sudah dibuka kembali seperti biasanya.
Ditemui pada tempat yang sama, Pemangku Pura Penataran Dalem Khayangan, Jro Mangku I Wayan Durna mengungkapkan, semua krama diberikan tirta, seusai melaksanakan prosesi upacara Nangkuk Merana dan Panglepeh Sasih tersebut. Di mana yang ia yakini sebagai tirta menolak segala bala. “Kalau sudah selesai upacara, krama semua akan diberikan pica berupa tirta. Yang dihaturkan pada kerabat keluarganya yang datang ke pura. Kalau semua krama datang ke pura kan juga tidak memungkinkan tempatnya, maka diberikan juga krama yang masih ada di rumah,” jelas Jro Mangku I Wayan Durna.
Khusus untuk di rumah warga, pada angkul-angkul dihaturkan juga sebuah sesajen, terdiri atas sanggah cucuk dan sebuah pajati, yang tujuannya untuk menetralisir mala pada pekarangan. Sebab, dalam satu hari itu di catus pata dilaksankaan nangluk merana. Jadi, pada catus pata pekarangan juga dipandang perlu diupacarai , yakni pada tengah-tengah halaman rumah,” urainya.
Ditanya pantangan dalam mengikuti tradisi tersebut, ia menjelaskan hanya yang cuntaka saja tidak diperbolehkan. Supaya tidak membuat leteh (kotor), terlebih juga sasuhunan yang ada ngider bhuana, keliling desa.
Seperti biasa, bila sasuhunan yang ada tedun, ada bebepara warga yang kesurupan. Baik itu berawal dari prosesi upacara pada catus pata, atau ketika sudah sampai di jaba pura. “Ada karena ngiring menjadi dasaran, atau kaencepang rencangan (dimasuki oleh penjaga pura) dari salah satu sasuhunan yang sedang melancaran saat itu,” imbuhnya.
Untuk menangani yang kesurupan tersebut, cukup diperciki dengan tirta. Maka mereka yang mengalami kesurupan akan kembali lagi sadar seperti biasa. Saat kesurupan, mereka akan berlari, bahkan ada juga yang teriak-teriak sambil menari, sebelum mendekati palawatan yang ada di depannya. Demi keamanan, yang kerauhan akan diawasi oleh kerabatnya dan pecalang yang sedang ngayah di sana.
Nah, jika penasaran akan tradisi Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih di Desa Adat Kuta, harus bersabar karena dilaksanakan setahun sekali, yakni pada Kajeng Kliwon bertepatan dengan sasih kaenem yang jatuh pada bulan Desember. Tempatnya digelar di masing-masing perempatan jalan, dan upacara inti di Pura Dalem Desa Adat Kuta.
(bx/ade/bay/rin/yes/JPR) –sumber