Rabu, 10 Juli 2024

TRADISI PENAMAAN SUKU BALI

 



Tradisi penamaan di kalangan suku Bali unik karena berkaitan dengan jenis kelamin, urutan kelahiran, dan status kebangsawanan (kasta). Ini memudahkan masyarakat Bali mengetahui kasta dan urutan kelahiran seseorang. Tradisi ini sudah ada sejak abad ke-14, pada masa pemerintahan Raja Gelgel "Dalem Ketut Kresna Kepakisan," meskipun pengaruhnya dari Majapahit belum pasti.
SISTEM KASTA
1. Brahmana: Gelar Ida atau Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk perempuan. Dulunya, mereka adalah pemuka agama, pendeta, pedanda dan keluarganya, di masa modern saat ini profesi mereka sudah merata di segala bidang termasuk menjadi karyawan, pekerja dan pejabat biasa.
2. Kesatria: Gelar Anak Agung, Cokorda, I Gusti Agung, Gede, Sang dan I Dewa. Mereka adalah keturunan raja, bangsawan dan pejabat tinggi, di masa modern saat ini profesi mereka sudah merata di segala bidang.

3. Waisya: Kasta yang satu ini memiliki hubungan erat dengan keturunan raja-raja masa lalu karena awalnya berasal dari masyarakat yang menjadi prajurit di zaman kerajaan dan merupakan keturunan mereka.Menariknya, beberapa individu dalam kasta Waisya berasal dari kasta Ksatria, tetapi karena melakukan kesalahan, mereka turun status menjadi kasta Waisya.Anggota kasta Waisya biasanya bekerja sebagai pengusaha, prajurit, atau berprofesi dalam kelompok pekerjaan lainnya. Gelar yang diberikan kepada mereka adalah I Gusti Bagus dan I Gusti Agung untuk laki-laki, sementara untuk perempuan, yakni Gusti Ayu. Untuk profesi sudah merata di segala bidang sama dengan kasta yang lain.
4. Sudra: Tidak memiliki gelar kebangsawanan dan menggunakan nama berdasarkan urutan kelahiran seperti Wayan, Putu, Made, Nyoman, dan Ketut, di masa modern saat ini profesi mereka sudah merata di segala bidang bahkan ada yang menjadi pejabat negara.
JENIS KELAMIN
- Laki-laki : Awalan "I".
- Perempuan : Awalan "Ni". Untuk keturunan bangsawan, digunakan "Ida" atau "Ayu" dan "Istri" sebagai padanan "Ayu".
URUTAN KELAHIRAN
1. Anak pertama : Wayan, Putu, atau Gede.
2. Anak kedua : Made, Nengah, atau Kadek.
3. Anak ketiga : Nyoman atau Komang.
4. Anak keempat : Ketut.

PENGAMALAN DHARMA

 



Sri Bagawan Yogananda
Melaksanakan ajaran Hindu apalagi menebarkan ajaran kesucian dharma itu sejatinya tidak lah gampang. Disadari, pastinya tidak semudah membalikkan telapan tangan. Sebab, perlu kepribadian bijaksana, dan pemahaman sangat luas , komprehensif mengurai keberadaan Hyang Widhi Wasa, yang tidak terbatas itu.
Karena itu, membedah ajaran suci dharma perlu persepsi holistik , selain landasan Sruti, smerti, upanisad, itihasa, purana, lontar lontar Bali termasuk lontar kedhyatmikan, juga perlu penalaran, kedalaman inspirasi, logika terkait analisis dan sintesis mencapai resume yang luas, dalam. Dan pastinya pula perlu anubhawa, pengalaman langsung melalui penampakan ( dharsan) suci, sehingga kebenaran yang dibedah tidak memunculkan bias dan distorsi melabar.
Sehingga pemahaman yang diapresiasi terkait ajaran dharma itu tidak dangkal. Intepretasi tidak parsial dan agar dijauhkan dari kecendrungan kontra produktif. Karena itu, perlu penjabaran dan pengertian dengan kesimpulan holistik, penuh kasih dan sesuai tatanan Hindu , Agama yang damai, toleransi , penghormati semua mahluk.
Kesucian dan keluhuran ajaran Dharma itulah, wajib kita kawal dengan sebaik baiknya, sehingga kita bisa menyebarkan ajaran Dharma itu sebagai tuntunan kehidupan yang produktif dan bermaanfaat baik sekala lebih lebih niskala.
Disadari perlu pemahaman pokok pokok formulasi , rumus pengertian yang dijadikan titik tolak, terkait membedah kepercayaan Agama Hindu secara lebih komprehensif.
Bisa kita kutip Atharwa Weda XII. 1.1. , yakni “Satyam brhad rtam ugram dikso tapo brahma yadnya pertiwim dharaayanti so no bhutasya bhavyasya patnyurum lokan pertivi nah krnotu”
Maksudnya: Agama adalah satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yadnya, semoga semua ini dapat memberikan tempat, dan mengatur tempat hidup kita di masa lalu, sekarang dan masa akan datang di dunia ini.
Satya itu merupakan kebenaran yang absolut, rta merupakan dharma atau undang undang yang mengatur hidup manusia, diksa adalah pensucian, dan tapa adalah semua perbuatan suci.
Brahma merupakan doa dan mantra mantra, yadnya merupakan korban. Diksa dan tapa itu merupakan landasan pokok dalam pembentukan watak dan kepribadian manusia, sedangkan doa doa, mantra dan korban, merupakan landasan ideal untuk berbuat suci di dalam agama itu.

Pengertian dalam lontar Kadyatmikan Bali, bisa dikutif dari Wrhaspati Tatwa 25 yang menyatakan :
“ Sila Yajna tapo daanam
Pravraja bhiksu revaca
Yogascaapi savasena
Dharmasyeke vinirnayah
Artinya, mewujudkan Sila, Yadnya, Tapa, Danaa, Prawraja, Bhiksu, dan melakukan Yoga, Inilah rincian pengamalan Dharma.
Itu juga yang disebut Jnyana.
Agar manusia dapat melakukan pengamalan dharma itu,maka dharma diarahkan untuk membina diri sendiri (Swaartha),kemudian dijadikan kekuatan melayani hidup sesama(Para Artha),sebagai wujud Bhakti pada Tuhan (Parama Artha).
Sesuai pustaka Wraspathi Tatwa 25 itu,ada 7 perilaku pengamalam dharma
1 Sila.
Sila ngaranin mangraksa acara rahayu.Sila namanya menjaga kebiasaan baik dan benar.Misalnya sembahyang setiap hari,mengatur pola beristirahat,disiplin soal makanan,mengotrol pikiran,perkataan dan prilaku. Artinya berbagai kebiasaan positif harus senantiasa diupayakan.
2. Yajna.
Yajna, Ngaraning menghadakaken Homa.Homa ini juga disebut Upacara Agni hotra.Yajna ini diajarkan dalam pustaka Rg Weda X.66.8 dan atharwa Weda XXVIII.6.Yajna itu disebut spatika yajna atau mutiaranya Yajna.Upacara ini dilakukan oleh mereka yang hatinya mulia.Agnihotra ini dapat menciptakan kedamaian,dapat menggugah hati para pemimpin untuk bekerja dengan baik,membina masyarakat dan tidak menyakiti hatinya.
3.Tapa.
Tapa ngaraning umatinindryania.
Terus menerus menguasai indriya.Kahrtaning indriya(Sarasamuscaya),
Indriya ini harus dipelihara dengan sebaik baiknya agar sehat dan berfungsi sempurna.Tetapi ekspresi indria ini harus terus menerus dalam kendali pikiran.Pikiran dalam kesadaran budhi. Dengan sruktur diri yang demikian itulah dapat merealisasikan kesucian atman dalam prilaku.Demikian menurut Bhagawad Gita III.42.
4.Daana.
Daana ngaranning paweweh.Membangun sifat suka memberi.Dermawan.
5.Prawrajya
Prawrajya ngaraning Wiku ansaka.Menyebarkan secara terus menerus ajaran dharma.
Dapat dikutip juga bagaimana penegasan Yajur Weda XXVI.2. terkait penyebaran ajaran Dharma itu.
“Yathemaam vaacam kalyanim avadani janebhyah,brahma rajanyabhyam sudraya caryaya ca svaya caranaya ca”
Sabda suci Weda itu, hendaknya disampaikan kepada seluruh umat manusia,cendekiawan rohaniawan,raja,pemerintah,masyarakat,para pedagang,petani dan nelayan serta para buruh,kepada orang orangku dan orang asing sekalipun.
Bertolak dari mantra Yajur Weda ini, Agama Hindu sesungguhnya adalah agama missi,agama yang harus disebarluaskan.Pengertian misi disini tentunya berbeda dengan missi dalam usaha menyebarluaskan agama secara aktif walau itu diamanatkan dalam veda,melainkan karena keluhuran ajaran Hindu lah orang tertarik mendalami dan mengikutinya.
6.Bhiksu.
Bhiksu ngaraning diksa.Proses penyucian diri.Kata diksa dlm bahasa sanskerta artinya suci.Bhiksu adalah tahapan hidup yang keempat yang juga disebut Sanyasin.Tahap ini dicapai setelah melewati Tahap Brahmacari,Grhasta dan Wanaprasta.
7.Yoga.
Yoga ngaraning magawe samadhi.Yoga untuk mewujudkan kejernihan pikiran. Rshi Pantanjali dalam Astanggayogannya mengutip shubashitam, wejangan suci, “Yogascitta vrtti nirodhah”.
Yoga keterhubunga secara intensif harus terus dilakukan dengan Hyang Widhi Wasa, sehingga gelombang pikiran dalam alam pikiran yang sifatnya fluktuatif itu dapat dikendalikan dengan baik.Untuk mencapai rohani, spiritualitas yang jernih Rshi Pantanjali, merekomendasikan agar kita melakukan delapan tahapan yoga secara intensif yang dikenal dengan asthanggayoga yakni “ Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Prathihara, Dharana, Dyana dan Samadhi”.

Selasa, 09 Juli 2024

14 JENIS PEMANGKU

 



1. Pemangku Kusuma Dewa, yaitu pemangku Khayangan Tiga
2. Pembantu pemangku Kusuma Dewa
3. Pemangku Jan Banggul, Memiliki swadarma sebagai petapakan Ida Bethara berupa ciri kesurupan, disamping sebagai pembantu pemangku Kusuma Dewa juga mempunyai tugas menata upakara, memercikkan tirta dan bija.
4. Pemangku Pinandita, Pemangku yang dibimbing oleh sulinggih dan telah “mapodgala”, merajah sastra di raga, adanya pemangku ini biasanya karena loka dresta yang diwarisi sejak dulu, karena ada purana atau sastra agama.
5. Pemangku Sonteng, Memiliki swadharma ngeloka phala sraya, dengan wewenang terbatas
6. Pemangku Dukun, Sebagai balian, menjalankan pengobatan secara tradisional.
7. Pemangku Dalang, Sebagai Dalang, dharmaning pawayangan dan memohonkan pengelukatan “sudha mala” melalui lakon “sapuh leger”
8. Pemangku Sutri (Pemangku Lancuban), Pemangku katakson, memohon petunjuk dari dunia abstrak (metuun)
9. Pemangku Cungkub, Swadharma pada Pemerajan Gede, Panti, Pura Dadya.
10. Pemangku Nilarta, Swadarmaning pada Pura Kawitan, Pura Pedharman
11. Pemangku Tukang, Swadarmaning Undagi, Sangging dan Pande, masungsung penugrahan dan mengamalkan ajaran “Begawan Wiswa Karma”
12. Pemangku Sang Kulputih, Swadarmanya sebagai pemangku yang memakai gegelaran Sang Kulputih
13. Pemangku Sang Kulpinge, Pemangku yang memakai gegelaran Sang Kulputih dan Kusuma Dewa, sebagai pembantu pemengku Sang Kulputih

Senin, 08 Juli 2024

Yadnya dan Punia

 



Sebagai orang Bali yang lahir, dan hidup di Bali, saya merasa agak sulit dan riskan bicara tentang yadnya dan punia. Pembicaraan tentang ini sama seperti ungkapan seperti menepuk air di atas dulang akan terpencik muka sendiri, atau dalam peribahasa Bali diungkapkan seperti "makecuh arep menek" (meludah menghadap ke atas). Makna dari kedua ungkapan itu sungguh sangat tidak elok, makna ungkapan dalam bahasa Indonesia yang hanya berarti membuat muka penepuk basah, tidak sesadis makna ungkapan dalam Bahasa Bali yang berarti membasahi wajah sendiri dengan air ludah yang kesannya lebih menjijikan.
Ungkapan dalam bahasa Indonesia maupun Bali yang tak elok ini dengan segala resikonya saya lakukan dengan harapan bisa berbagi tentang rasa percikan air pada wajah sendiri dan rasa ludah yang menjijikan, untuk mengetahui jenis bakteri yang menimbulkan penyakit bagi diri, lingkungan, sesama dan kehidupan.
Seorang pejabat yang dikenal 'bersih' tidak korupsi mengaku tidak siap jika dipilih untuk menjadi pemimpin karena kegairahan warga Bali membangun tempat suci dan menggelar upacara besar. Katanya banyak kalangan yang mengundang pejabat untuk menghadiri pembangunan tempat suci dan upacara besar dengan tujuan untuk mendapatkan punia.
Saya agak terperanjat, "beryadnya untuk mendapatkan punia, meminta punia untuk melaksanakan yadnya?"

Yadnya berarti persembahan suci yang tulus iklas. Punia berarti pemberian yang tulus ikhlas/sedekah.
Yadnya dan punia tak akan bermakna tanpa diikuti kata tulus Iklas.
Jika yadnya adalah persembahan manusia/kelompok manusia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, punia adalah sedekah manusia kepada manusia lain, maka akan jadi aneh jika punia yang disedekahkan oleh manusia yang berpunya kepada manusia yang kurang berpunya, justru dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Segala.
Maka tak heran jika dua kata suci ini kini makin meluntur tuahnya, bahkan menjadi racun, yang makin menyebar dan liar membunuh keluhuran adat, budaya dan kehidupan beragama di Bali.
Saya ingat cerita tentang seorang buronan yang merusak generasi yang dijunjung tinggi bak dewa karena telah menyumbang banyak untuk pembanguan tempat suci dan upacara.
Yadnya dan punia adalah tentang milik sendiri yang dipersembahkan dan disedekahkan dengan tulus iklas.
Yadnya dan punia bukan tentang ukuran, kedudukan, gengsi dan pandangan orang lain, tetapi tentang kesadaran murni yang bisa dirasakan sendiri.
Adat, budaya, agama dan keluhuran Bali makin rusak, dan akan makin rusak saat orang-orang Bali berpura-pura tulus Iklas bernyadnya dan berpunia.
Mungkin penting lagi membaca kutipan Bagawadgita Bagian 9 bait 26 yang berbunyi:
Patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tad aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah
Artinya:
Siapapun yang mempersembahkan dengan bakti dari kesadaran murni patram—daun (yang berbentuk) puspam— bunga (yang mekar, harum, indah); phala—buah (yang dihasilkan) ; toyam—air (yang mengalir) kepada Aku. Aku terima.

Sabtu, 06 Juli 2024

HALA AYUNING PATEMON

  



Hala Ayuning Patemon atau baik dan buruknya sebuah pertemuan merupakan salah satu kunci yang harus dipegang sebelum mencari Padewasan Nganten (Hari Baik Menikah).
Dengan mengetahui Hala Ayuning Patemon dari sebuah pasangan, maka dapat dicarikan solusi dengan mencarikan Padewasan yang baik untuk pernikahan pasangan tersebut.
Bukan berarti ketika tahu bahwa Patemon dari sebuah pasangan ternyata hasilnya jelek, trus langsung memutuskan ikatan pasangan tersebut.
Adapun cara untuk mengetahui atau mencari Hala Ayuning Patemon dari sebuah pasangan adalah sebagai berikut:
Gebogan (Penjumlahan) Urip palekadan (Kelahiran) yang laki ditambahkan (+) dengan gebogan (Penjumlahan) Urip palekadan (Kelahiran) yang wanita.
Hasil dari penjumlahan kedua Urip Palekadan laki dan perempuan dikurangi terus dengan 16 sampai tidak bisa dikurangi lagi (jika sudah bernilai 16 atau dibawahnya).
Urip palekadan (Urip Kelahiran) adalah Saptawara + Sadwara + Pancawara. Berikut adalah nilai dari masing-masing wewaran diatas:
Saptawara:
Redite/Minggu = 5
Soma/Senin = 4
Anggara/Selasa = 3
Budha/Rabu = 7
Wrespati/Kamis = 8
Sukra/Jumat = 6
Saniscara/Sabtu = 9



Sadwara:
Tugleh = 7
Aryang = 6
Urukung = 5
Paniron = 8
Was = 9
Maulu = 3
Pancawara:
Umanis = 5
Pahing = 9
Pon = 7
Wage = 4
Kliwon = 8
Berikut dibawah adalah Hala Ayuning Patemon berdasarkan penjumlahan Urip Palekadan Laki + Perempuan dan dikurangi terus 16. Sisa dari proses diatas akan menunjukan hasil seperti dibawah:
Jika sisanya adalah:
1 = Madia, Suka - Duka (Standar).
2 = Kawon, Lara - Miskin (Jelek).
3 = Kawon, Lara, Wirang, Sering metungkas (Jelek).
4 = kawon, Pianake Mati (Jelek).
5 = Becik Pisan, Sudha Nulus Pinih Becik (Sangat Bagus).
6 = Kawon, Sengsara Kesakitan (Jelek).
7 = Madia, Suka - Duka (Standar).
8 = Kawon, Lara Kepati-pati (Jelek).
9 = Kawon Pisan, Baya Kepati-pati (Sangat Jelek).
10 = Becik, Bikas Ratune Kapanggih, Berpengaruh, Pangupa Jiwa Becik (Bagus).
11 = Becik, Kepradnyan Pangupa Jiwa Becik (Bagus).
12 = Becik, kedepin Lati (Adung/Akur), Pangupa Jiwa Becik (Bagus).
13 = Becik, Tan Kirang Sandang Pangan (Bagus).
14 = Kawon, Tan Polih Keselamatan (Jelek).
15 = Kawon, Bekung/Tidak Memiliki Keturunan (Jelek).
16 = Becik, Nyama Braya Asih (Bagus).
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa sisa dari penjumlahan Urip Palekadan dari Laki dan Perempuan kemudian dikurangi terus 16 yang baik adalah: 5, 10, 11, 12, 13, 16.
Sedangkan yang madia atau biasa-biasa saja adalah: 1 dan 7.
Dan yang jelek adalah: 2, 3, 4, 6, 8, 9, 14, 15.
Jika hasilnya adalah ternyata jelek janganlah berkecil hati, sebab disinilah fungsi Padewasan atau Wariga. Hasil jelek tersebut dapat disiasati dengan mencarikan Dewasa Ayu yang bertentangan dengan kejelekan patemon diatas.


Makna dan Fungsi Pemasangan Tedung di Tempat Suci Hindu

 

Selain wastra, Tedung selalu ada di setiap pura, apalagi saat piodalan. Tampilannya pun beragam, seiring maknanya yang diemban. Benda mirip payung ini memang memiliki fungsi khusus.

Pemasangan Tedung juga wastra dan atribut lainnya di tempat suci, menandakan akan ada upacara. “Selain akan memperindah kawasan pura, Tedung menjadi simbolik peneduh umat,” ungkap Pinandita Ida Bagus Gede Suragatana ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya, Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyar.

Pria yang akrab dipanggil Kakiang Kembar ini, menambahkan ada Tedung Agung dan Tedung Kerajaan. “Tedung Agung itu yang digunakan pada tempat suci, yang berfungsi sebagai pelindung umat, dan sesuai dengan Ista Dewata. Kareana Tedung Agung juga memiliki sifat yang universal, sehingga dapat dikatakan sebagai perlingdungan dunia,” paparnya.

Sedangkan Tedung Kerajaan, lanjutnya, berfungsi untuk seorang raja, sebagai tanda bisa meneduhkan wilayah dan rakyat dari segala macam masalah. Makna dari Tedung Kerajaan adalah melindungi rakyat, sehingga mampu merangkul semua rakyatnya. “Seorang raja harus mampu menguasai wilayah, terlebih di lingkungan kerajaannya sendiri, atas dasar asta brata yang telah ada pada diri seorang raja tersebut, “ terangnya.




Ia sendiri mengaku ketika selesai sembahyang di pura akan merasakan ketenangan, terlebih jika merasakan kesejukan, jika ada di bawaTedung. “Semua itu pertanda di pura yang bisa mengayomi umat. Dengan bentuknya yang bundar itu, berarti mremberikan perlindungan yang menyeluruh,” ujarnya.

Ditegaskannya, Tedung yang ada di pura, juga sebagai Ista Dewata. Bahkan dapat juga sebagai windu, yang terdiri atas bhur, bwah, swah, yang mengayomi ketiga jagat (dunia). Selain di pura, lanjutnya, Tedung juga digunakan pada sebuah bade dan pajegan (sate).

Tedung di sebuah pajegan sebagai lambang sebuah gunung, yang juga berarti peneduh jagat, melindungi umat manusia dari macam mara bahaya. Terlebih lagi dengan sebuah Tedung yang ada pada pula kerti, di mana proses pembuatannya berasal dari sebuah daging atau kulit binatang. Bahkan, pada sebuah bade atau wadah, juga terdapat Tedung yang dipasang sebelum diisi layon (jenazah). Bahkan, sampai di setra (kuburan) masih digunakan Tedung tersebut sampai proses pembakaran.

“Tedung di bagian bade bermakna sebagai mengayomi orang yang telah meninggal . Sebab,selama hidup sudah dapat mengayomi keluarga, maupun orang terdekatnya. Terlebih yang meniggal adalah tokoh adat, atau orang yang mempunyai peran penting di masyarakat. Sehingga digunakanlah sebuah Tedung di bade yang akan diusung ke setra,” terangnya.

Kakiang Kembar menerangkan, jika secara kasat mata bahwa Tedung untuk melindungi diri dari panas ketika matahari terik dan saat hujan . “Akan merasa teduh bila ada di bawah lindungan Tedung karena Tedung juga sebagai karya seni yang bersifat religious, dan sangat berpengaruh terhadap rasa seseorang,” akunya.
Setiap pelaksanaan piodalan, lanjutnya, Tedung tersebut wajib di isi pada areal pura. Apalagi sasuhunan yang ada di pura akan lunga malancaran (berkeliling ke wilayah desa). Sebab, saat itu Tedung berfungsi untuk menunjukkan keagungan sasuhunan yang diamong oleh krama.

Ditambahkannya, setiap kerangka Tedung memiliki makna. Bahkan mempunyai filosofinya yang berbeda juga. Sebuah iga-iga tedung, lanjutnya, bermakna sebagai pangider bhuana (lambang dunia) yang berfungsi sebagai peneduh jagat (melindungi dunia), karena bentuknya yang bundar dan sesuai dengan arah mata angin.

“Sebelum dipakai, Tedung baru harus diupacarai terlebih dahulu, menggunakan banten pangulapan. Pada Tedung juga diisi janur yang dihias disebut dengan sasap. Setelah itu, baru bisa digunakan, karena sudah dianggap suci,” ulasnya. Selain hanya ditaruh pada areal pura, Tedung juga digunakan untuk ngiring saat sasuhunan di pura dan merajan tedun.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber





Titi Gonggang Pura Gunung Raung Pantang Dilewati

 


Pura atau kawasan suci, kerap ada pantangan khusus, selain orang yang nangkil sedang cuntaka. Seperti halnya di Pura Agung Gunung Raung di Banjar Taro Kaja, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar.

Di Pura Agung Gunung Raung terdapat sebuah tempat yang tidak boleh dilalui. Bila dilanggar akan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan. Seperti dijelasakan Pemangku Pura Agung Gunung Raung, Jero Mangku Gede Ketut Telaga ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin di rumahnya Desa Taro Kaja, Tegallalang, Gianyar.

Dijelaskannya, di pura terdapat empat candi bentar yang difungsikan sebagai pamedalan pura (pintu keluar-masuk), yakni dari arah Utara,Timur, Selatan, dan Barat. Namun, ada dua Titi Gonggang di dua candi bentar di pamedalan sebelah utara dan selatan. “Titi Gonggang itu sebagai penetralisir dari pura dan
tidak boleh dialalui oleh siapapun,” terangnya.

Jero Mangku Ketut Telaga mengatakan , titi tersebut sebagai tempat memarga sasuhunan yang ada di sana secara niskala. Bahkan, jika ada warga yang melintasi titi tersebut, wajib menghaturkan pacaruan. Di samping itu, lanjutnya, harus segera menghaturkan guru piduka di jeroan pura.

“Kalau satu dan dua hari setelah melintasi titi tersebut, hanya menggunakan sarana banten alit saja, yang disebut banten guru piduka sebagai permohonan maaf. Sedangkan jika lebih dari tiga hari, maka akan melaksanakan pacaruan dengan ayam biying,” ujarnya.

Namun, bila lebih dari seminggu belum juga menghaturkan banten guru piduka atau pacaruan, maka upakara yang lebih besar lagi harus dilaksanakan.
Ditegaskannya, ketentuan tersebut sudah sesuai dengan hukum adat yang berlaku di desa setempat. “Maka, pantangan tersebut sampai saat ini tidak ada yang berani melanggarnya,” katanya.

Ditambahkannya, pura yang dibuat oleh Rsi Markandya ketika datang dari Pulau Jawa ini sebagai perlambang Dewa Siwa, yang ditandai dengan nyatur (empat) candi bentar di pura tersebut.

Pantangan lainnya? Jero Mangku Ketut Telaga menjelaskan bahwa ada juga pantangan tidak boleh mengajak anak-anak dan orang hamil melewati Bale Agung. “Hanya anak yang belum tanggal giginya dan orang hamil tidak boleh melewati Bale Agung karena pingin dan disakralkan,” ungkapnya.

Hal unik lainnya, ada tradisi yang dilaksanakan dua hari sebelum piodalan berlangsung, yang dinamai tradisi Mategen-teganan. Tradisi ini adalah prosesi ke pura dimana krama lanang (warga laki) membawa tegenan yang berisi pala bungkah dan pala gantung dari hasil panen. Semua itu dihaturkan ke pura berbarengan dengan krama istri.

“Kalau sejarah yang tertulis memang di sini tidak ada dari dulu, karena kami mengandalkan cerita yang ada secara turun temurun dari leluhur kami. Konon dulu di sini hutan yang sangat luas, didatangi oleh Rsi Markandya dengan 800 orang pangiringnya (pengikut) saat itu,” paparnya.


Namun setiba di kawasan pura yang dibangun ini, lanjutnya, ketika hendak semadhi pangiringnya mengalami kabrebeh (bencana), ditimpa berbagai penyakit. Karena semua pangiringnya mengalamai sakit yang tidak jelas, maka Rsi Markandya kembali lagi ke Gunung Raung yang ada di Jawa untuk beryoga. Maka di sanalah ia mendapatkan pawisik, jika melakukan semadhi di Bali harus mendem panca datu. Kemudian ia kembali ke Bali dan melakukan pembabatan hutan yang ada di utara Pura Gunung Raung di Bali. Dalam pembabatan hutan itu, Rsi Markandya membawa separuh pangiringnya. Namun, kembali lagi mengalami kabrebehan, yang membuatnya untuk kembali lagi ke tanah Jawa.
Dalam semadhinya yang kedua itu, pawisik yang sama didapatkan, agar menghaturkan atau mendem panca datu. Selain di tempat pura yang sekarang dilakukan, lanjutnya, juga dilaksanakan di daerah Pura Agung Besakih yang disebut dengan Basukian.

Dikarenakan mendapat pawisik seperti itu lagi, Rsi Markandya kembali melaksanakan semadhi di Bali, yakni di Puncak Sabang Daet, di utara Desa Taro. Di tempat itu pula akhirnya membabat hutan kembali yang disebut dengan ngeruak, sehingga nama banjarnya kini dinamai Banjar Puakan.

Karena sudah dibabat, mulailah membuat untuk lokasi pura, dimana di tempat itu ditancapkan tanda. Maka di kawasan titik yang ditancapkan itu, kini dinamai Banjar Paku Seba. “Namun di titik yang diharapkan itu, tidak ada pertanda. Malah di sebelah selatan tempatnya beryoga muncul sebuah sinar terang. Sehingga kembali membabat hutan pada titik sinar tersebut, yang kini menjadi tempat dibangunnya Pura Agung Gunung Raung,” tandasnya.

Ditambahkannya, Pura Agung Gunung Raung di Bali ada kaitannya dengan Pura Gunung Raung di Jawa, sehingga bersembahyang menghadap ke Barat. “Kalau pelaksanaan piodalan yang termasuk Karya Agung berlangsung, baru panitia berasal dari seluruh banjar yang ada di Desa Taro dilibatkan. Sedangkan jika piodalan biasa, hanya dari banjar di sini saja, yang berjumlah sekitar 487 krama. Namun, ketika Karya Agung juga ada panganyaran dari seluruh Pemerintah Daerah di Bali,” paparnya.

Setiap tahunnya, lanjut Jero Mangku Ketut Telaga , dilaksanakan pujawali Idha Bhatara Tedun Kabeh, berlangsung selama 11 hari, dan dipuput oleh Ida Pedanda. Sedangkan ketika pujawali pada setiap enam bulan diselenggarakan selama empat hari saja, dan cukup dipuput oleh Jero Mangku.

Pujawali bertepatan Buda Kliwon Ugu, diawali upacara mendak sasuhunan yang ada di seluruh Desa Taro Kaja. Dijelaskannya terdapat 14 pura, di mana pemangkunya ia sendiri saja. Namun, lanjutnya, ada jero kebayan juga membantu dalam pelaksanaan ketika piodalan berlangsung.

Selanjutnya adalah upacara masuciang atau melis yang dilaksanakan cukup sampai di Pura Hyng Rau di dekat Pura Gunung Raung. Setelah itu, baru malinggih di pura kembali, dan nganyarin. Sedangkan prosesi yang terakhir adalah panyineban sebagai tanda prosesi upacara sudah selesai dilaksanakan.

Bendesa Taro Kaja, Made Wisersa menerangkan, sebelum pelaksanaan piodalan berlangsung, krama mareresik terlebih dahulu, yang dilaksanakan tiga minggu sebelum upacara dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan pamiosan dan tempat banten oleh krama banjar lanang. Sedangkan krama istri, membuat persiapan upakara .

Ada dua kelompok krama yang menjadi pangamong Pura Gunung Raung. “Kalau pangarep itu berjumlah 324 krama, dari mereka yang mempunyai karang atau tegalan. Sedangakan jika dihitung kepala keluarga yang sudah menikah itu sekitar 480 krama yang ada di sini,” jelasnya.

Dikatakan Wisersa, ada empat sasuhunan di Pura Agung Gunung Raung, yakni dua sasuhunan berupa barong, dua lainnya berupa rangda.

Sasuhunan Ratu Lingsir, Ratu Anom, dan Ratu Sakti lanang istri itu, lanjutnya, tidak setiap piodalan napak pertiwi atau masolah. Meskipun dalam pementasan calonarang, juga tidak tentu masolah.

“Semuanya tergantung dari pawisik yang diterima oleh pamangku,” katanya.

Nah, jika ingin nangkil ke Pura Agung Gunung Raung tidaklah susah mencari tempatnya. Bila sudah sampai di Patung Barong Batu Bulan, susuri jalan ke utara, sekitar lima kilometer lagi hingga sampai di Desa Kedewatan yang terdapat padmasana besar di pertigaan jalan. Dari tempat ini ke Timur, sekitar seratus meter, ada jalan menuju Desa Taro. Kalau sudah sampai di Desa Taro, tinggal mencari lokasi pura.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber