Rabu, 10 Juli 2024
TRADISI PENAMAAN SUKU BALI
PENGAMALAN DHARMA
Selasa, 09 Juli 2024
14 JENIS PEMANGKU
Senin, 08 Juli 2024
Yadnya dan Punia
Sabtu, 06 Juli 2024
HALA AYUNING PATEMON
Makna dan Fungsi Pemasangan Tedung di Tempat Suci Hindu
Selain wastra, Tedung selalu ada di setiap pura, apalagi saat piodalan. Tampilannya pun beragam, seiring maknanya yang diemban. Benda mirip payung ini memang memiliki fungsi khusus.
Pemasangan Tedung juga wastra dan atribut lainnya di tempat suci, menandakan akan ada upacara. “Selain akan memperindah kawasan pura, Tedung menjadi simbolik peneduh umat,” ungkap Pinandita Ida Bagus Gede Suragatana ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya, Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyar.
Pria yang akrab dipanggil Kakiang Kembar ini, menambahkan ada Tedung Agung dan Tedung Kerajaan. “Tedung Agung itu yang digunakan pada tempat suci, yang berfungsi sebagai pelindung umat, dan sesuai dengan Ista Dewata. Kareana Tedung Agung juga memiliki sifat yang universal, sehingga dapat dikatakan sebagai perlingdungan dunia,” paparnya.
Sedangkan Tedung Kerajaan, lanjutnya, berfungsi untuk seorang raja, sebagai tanda bisa meneduhkan wilayah dan rakyat dari segala macam masalah. Makna dari Tedung Kerajaan adalah melindungi rakyat, sehingga mampu merangkul semua rakyatnya. “Seorang raja harus mampu menguasai wilayah, terlebih di lingkungan kerajaannya sendiri, atas dasar asta brata yang telah ada pada diri seorang raja tersebut, “ terangnya.
Ia sendiri mengaku ketika selesai sembahyang di pura akan merasakan ketenangan, terlebih jika merasakan kesejukan, jika ada di bawaTedung. “Semua itu pertanda di pura yang bisa mengayomi umat. Dengan bentuknya yang bundar itu, berarti mremberikan perlindungan yang menyeluruh,” ujarnya.
Ditegaskannya, Tedung yang ada di pura, juga sebagai Ista Dewata. Bahkan dapat juga sebagai windu, yang terdiri atas bhur, bwah, swah, yang mengayomi ketiga jagat (dunia). Selain di pura, lanjutnya, Tedung juga digunakan pada sebuah bade dan pajegan (sate).
Tedung di sebuah pajegan sebagai lambang sebuah gunung, yang juga berarti peneduh jagat, melindungi umat manusia dari macam mara bahaya. Terlebih lagi dengan sebuah Tedung yang ada pada pula kerti, di mana proses pembuatannya berasal dari sebuah daging atau kulit binatang. Bahkan, pada sebuah bade atau wadah, juga terdapat Tedung yang dipasang sebelum diisi layon (jenazah). Bahkan, sampai di setra (kuburan) masih digunakan Tedung tersebut sampai proses pembakaran.
“Tedung di bagian bade bermakna sebagai mengayomi orang yang telah meninggal . Sebab,selama hidup sudah dapat mengayomi keluarga, maupun orang terdekatnya. Terlebih yang meniggal adalah tokoh adat, atau orang yang mempunyai peran penting di masyarakat. Sehingga digunakanlah sebuah Tedung di bade yang akan diusung ke setra,” terangnya.
Kakiang Kembar menerangkan, jika secara kasat mata bahwa Tedung untuk melindungi diri dari panas ketika matahari terik dan saat hujan . “Akan merasa teduh bila ada di bawah lindungan Tedung karena Tedung juga sebagai karya seni yang bersifat religious, dan sangat berpengaruh terhadap rasa seseorang,” akunya.
Setiap pelaksanaan piodalan, lanjutnya, Tedung tersebut wajib di isi pada areal pura. Apalagi sasuhunan yang ada di pura akan lunga malancaran (berkeliling ke wilayah desa). Sebab, saat itu Tedung berfungsi untuk menunjukkan keagungan sasuhunan yang diamong oleh krama.
Ditambahkannya, setiap kerangka Tedung memiliki makna. Bahkan mempunyai filosofinya yang berbeda juga. Sebuah iga-iga tedung, lanjutnya, bermakna sebagai pangider bhuana (lambang dunia) yang berfungsi sebagai peneduh jagat (melindungi dunia), karena bentuknya yang bundar dan sesuai dengan arah mata angin.
“Sebelum dipakai, Tedung baru harus diupacarai terlebih dahulu, menggunakan banten pangulapan. Pada Tedung juga diisi janur yang dihias disebut dengan sasap. Setelah itu, baru bisa digunakan, karena sudah dianggap suci,” ulasnya. Selain hanya ditaruh pada areal pura, Tedung juga digunakan untuk ngiring saat sasuhunan di pura dan merajan tedun.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber
Titi Gonggang Pura Gunung Raung Pantang Dilewati
Pura atau kawasan suci, kerap ada pantangan khusus, selain orang yang nangkil sedang cuntaka. Seperti halnya di Pura Agung Gunung Raung di Banjar Taro Kaja, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar.
Di Pura Agung Gunung Raung terdapat sebuah tempat yang tidak boleh dilalui. Bila dilanggar akan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan. Seperti dijelasakan Pemangku Pura Agung Gunung Raung, Jero Mangku Gede Ketut Telaga ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin di rumahnya Desa Taro Kaja, Tegallalang, Gianyar.
Dijelaskannya, di pura terdapat empat candi bentar yang difungsikan sebagai pamedalan pura (pintu keluar-masuk), yakni dari arah Utara,Timur, Selatan, dan Barat. Namun, ada dua Titi Gonggang di dua candi bentar di pamedalan sebelah utara dan selatan. “Titi Gonggang itu sebagai penetralisir dari pura dan
tidak boleh dialalui oleh siapapun,” terangnya.
Jero Mangku Ketut Telaga mengatakan , titi tersebut sebagai tempat memarga sasuhunan yang ada di sana secara niskala. Bahkan, jika ada warga yang melintasi titi tersebut, wajib menghaturkan pacaruan. Di samping itu, lanjutnya, harus segera menghaturkan guru piduka di jeroan pura.
“Kalau satu dan dua hari setelah melintasi titi tersebut, hanya menggunakan sarana banten alit saja, yang disebut banten guru piduka sebagai permohonan maaf. Sedangkan jika lebih dari tiga hari, maka akan melaksanakan pacaruan dengan ayam biying,” ujarnya.
Namun, bila lebih dari seminggu belum juga menghaturkan banten guru piduka atau pacaruan, maka upakara yang lebih besar lagi harus dilaksanakan.
Ditegaskannya, ketentuan tersebut sudah sesuai dengan hukum adat yang berlaku di desa setempat. “Maka, pantangan tersebut sampai saat ini tidak ada yang berani melanggarnya,” katanya.
Ditambahkannya, pura yang dibuat oleh Rsi Markandya ketika datang dari Pulau Jawa ini sebagai perlambang Dewa Siwa, yang ditandai dengan nyatur (empat) candi bentar di pura tersebut.
Pantangan lainnya? Jero Mangku Ketut Telaga menjelaskan bahwa ada juga pantangan tidak boleh mengajak anak-anak dan orang hamil melewati Bale Agung. “Hanya anak yang belum tanggal giginya dan orang hamil tidak boleh melewati Bale Agung karena pingin dan disakralkan,” ungkapnya.
Hal unik lainnya, ada tradisi yang dilaksanakan dua hari sebelum piodalan berlangsung, yang dinamai tradisi Mategen-teganan. Tradisi ini adalah prosesi ke pura dimana krama lanang (warga laki) membawa tegenan yang berisi pala bungkah dan pala gantung dari hasil panen. Semua itu dihaturkan ke pura berbarengan dengan krama istri.
“Kalau sejarah yang tertulis memang di sini tidak ada dari dulu, karena kami mengandalkan cerita yang ada secara turun temurun dari leluhur kami. Konon dulu di sini hutan yang sangat luas, didatangi oleh Rsi Markandya dengan 800 orang pangiringnya (pengikut) saat itu,” paparnya.
Namun setiba di kawasan pura yang dibangun ini, lanjutnya, ketika hendak semadhi pangiringnya mengalami kabrebeh (bencana), ditimpa berbagai penyakit. Karena semua pangiringnya mengalamai sakit yang tidak jelas, maka Rsi Markandya kembali lagi ke Gunung Raung yang ada di Jawa untuk beryoga. Maka di sanalah ia mendapatkan pawisik, jika melakukan semadhi di Bali harus mendem panca datu. Kemudian ia kembali ke Bali dan melakukan pembabatan hutan yang ada di utara Pura Gunung Raung di Bali. Dalam pembabatan hutan itu, Rsi Markandya membawa separuh pangiringnya. Namun, kembali lagi mengalami kabrebehan, yang membuatnya untuk kembali lagi ke tanah Jawa.
Dalam semadhinya yang kedua itu, pawisik yang sama didapatkan, agar menghaturkan atau mendem panca datu. Selain di tempat pura yang sekarang dilakukan, lanjutnya, juga dilaksanakan di daerah Pura Agung Besakih yang disebut dengan Basukian.
Dikarenakan mendapat pawisik seperti itu lagi, Rsi Markandya kembali melaksanakan semadhi di Bali, yakni di Puncak Sabang Daet, di utara Desa Taro. Di tempat itu pula akhirnya membabat hutan kembali yang disebut dengan ngeruak, sehingga nama banjarnya kini dinamai Banjar Puakan.
Karena sudah dibabat, mulailah membuat untuk lokasi pura, dimana di tempat itu ditancapkan tanda. Maka di kawasan titik yang ditancapkan itu, kini dinamai Banjar Paku Seba. “Namun di titik yang diharapkan itu, tidak ada pertanda. Malah di sebelah selatan tempatnya beryoga muncul sebuah sinar terang. Sehingga kembali membabat hutan pada titik sinar tersebut, yang kini menjadi tempat dibangunnya Pura Agung Gunung Raung,” tandasnya.
Ditambahkannya, Pura Agung Gunung Raung di Bali ada kaitannya dengan Pura Gunung Raung di Jawa, sehingga bersembahyang menghadap ke Barat. “Kalau pelaksanaan piodalan yang termasuk Karya Agung berlangsung, baru panitia berasal dari seluruh banjar yang ada di Desa Taro dilibatkan. Sedangkan jika piodalan biasa, hanya dari banjar di sini saja, yang berjumlah sekitar 487 krama. Namun, ketika Karya Agung juga ada panganyaran dari seluruh Pemerintah Daerah di Bali,” paparnya.
Setiap tahunnya, lanjut Jero Mangku Ketut Telaga , dilaksanakan pujawali Idha Bhatara Tedun Kabeh, berlangsung selama 11 hari, dan dipuput oleh Ida Pedanda. Sedangkan ketika pujawali pada setiap enam bulan diselenggarakan selama empat hari saja, dan cukup dipuput oleh Jero Mangku.
Pujawali bertepatan Buda Kliwon Ugu, diawali upacara mendak sasuhunan yang ada di seluruh Desa Taro Kaja. Dijelaskannya terdapat 14 pura, di mana pemangkunya ia sendiri saja. Namun, lanjutnya, ada jero kebayan juga membantu dalam pelaksanaan ketika piodalan berlangsung.
Selanjutnya adalah upacara masuciang atau melis yang dilaksanakan cukup sampai di Pura Hyng Rau di dekat Pura Gunung Raung. Setelah itu, baru malinggih di pura kembali, dan nganyarin. Sedangkan prosesi yang terakhir adalah panyineban sebagai tanda prosesi upacara sudah selesai dilaksanakan.
Bendesa Taro Kaja, Made Wisersa menerangkan, sebelum pelaksanaan piodalan berlangsung, krama mareresik terlebih dahulu, yang dilaksanakan tiga minggu sebelum upacara dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan pamiosan dan tempat banten oleh krama banjar lanang. Sedangkan krama istri, membuat persiapan upakara .
Ada dua kelompok krama yang menjadi pangamong Pura Gunung Raung. “Kalau pangarep itu berjumlah 324 krama, dari mereka yang mempunyai karang atau tegalan. Sedangakan jika dihitung kepala keluarga yang sudah menikah itu sekitar 480 krama yang ada di sini,” jelasnya.
Dikatakan Wisersa, ada empat sasuhunan di Pura Agung Gunung Raung, yakni dua sasuhunan berupa barong, dua lainnya berupa rangda.
Sasuhunan Ratu Lingsir, Ratu Anom, dan Ratu Sakti lanang istri itu, lanjutnya, tidak setiap piodalan napak pertiwi atau masolah. Meskipun dalam pementasan calonarang, juga tidak tentu masolah.
“Semuanya tergantung dari pawisik yang diterima oleh pamangku,” katanya.
Nah, jika ingin nangkil ke Pura Agung Gunung Raung tidaklah susah mencari tempatnya. Bila sudah sampai di Patung Barong Batu Bulan, susuri jalan ke utara, sekitar lima kilometer lagi hingga sampai di Desa Kedewatan yang terdapat padmasana besar di pertigaan jalan. Dari tempat ini ke Timur, sekitar seratus meter, ada jalan menuju Desa Taro. Kalau sudah sampai di Desa Taro, tinggal mencari lokasi pura.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber