Sebagai orang Bali yang lahir, dan hidup di Bali, saya merasa agak sulit dan riskan bicara tentang yadnya dan punia. Pembicaraan tentang ini sama seperti ungkapan seperti menepuk air di atas dulang akan terpencik muka sendiri, atau dalam peribahasa Bali diungkapkan seperti "makecuh arep menek" (meludah menghadap ke atas). Makna dari kedua ungkapan itu sungguh sangat tidak elok, makna ungkapan dalam bahasa Indonesia yang hanya berarti membuat muka penepuk basah, tidak sesadis makna ungkapan dalam Bahasa Bali yang berarti membasahi wajah sendiri dengan air ludah yang kesannya lebih menjijikan.
Ungkapan dalam bahasa Indonesia maupun Bali yang tak elok ini dengan segala resikonya saya lakukan dengan harapan bisa berbagi tentang rasa percikan air pada wajah sendiri dan rasa ludah yang menjijikan, untuk mengetahui jenis bakteri yang menimbulkan penyakit bagi diri, lingkungan, sesama dan kehidupan.
Seorang pejabat yang dikenal 'bersih' tidak korupsi mengaku tidak siap jika dipilih untuk menjadi pemimpin karena kegairahan warga Bali membangun tempat suci dan menggelar upacara besar. Katanya banyak kalangan yang mengundang pejabat untuk menghadiri pembangunan tempat suci dan upacara besar dengan tujuan untuk mendapatkan punia.
Saya agak terperanjat, "beryadnya untuk mendapatkan punia, meminta punia untuk melaksanakan yadnya?"
Yadnya berarti persembahan suci yang tulus iklas. Punia berarti pemberian yang tulus ikhlas/sedekah.
Yadnya dan punia tak akan bermakna tanpa diikuti kata tulus Iklas.
Jika yadnya adalah persembahan manusia/kelompok manusia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, punia adalah sedekah manusia kepada manusia lain, maka akan jadi aneh jika punia yang disedekahkan oleh manusia yang berpunya kepada manusia yang kurang berpunya, justru dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Segala.
Maka tak heran jika dua kata suci ini kini makin meluntur tuahnya, bahkan menjadi racun, yang makin menyebar dan liar membunuh keluhuran adat, budaya dan kehidupan beragama di Bali.
Saya ingat cerita tentang seorang buronan yang merusak generasi yang dijunjung tinggi bak dewa karena telah menyumbang banyak untuk pembanguan tempat suci dan upacara.
Yadnya dan punia adalah tentang milik sendiri yang dipersembahkan dan disedekahkan dengan tulus iklas.
Yadnya dan punia bukan tentang ukuran, kedudukan, gengsi dan pandangan orang lain, tetapi tentang kesadaran murni yang bisa dirasakan sendiri.
Adat, budaya, agama dan keluhuran Bali makin rusak, dan akan makin rusak saat orang-orang Bali berpura-pura tulus Iklas bernyadnya dan berpunia.
Mungkin penting lagi membaca kutipan Bagawadgita Bagian 9 bait 26 yang berbunyi:
Patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tad aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah
Artinya:
Siapapun yang mempersembahkan dengan bakti dari kesadaran murni patram—daun (yang berbentuk) puspam— bunga (yang mekar, harum, indah); phala—buah (yang dihasilkan) ; toyam—air (yang mengalir) kepada Aku. Aku terima.
Semoga kita selalu terjaga dalam kesadaran murni. Rahajeng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar