Rabu, 24 Juli 2024

Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu



Setiap orang yang lahir di dunia ini harus menyadari bahwa dirinya diciptakan oleh Sanghyang Widhi Wasa dan mempakan pancaran dari sinar suci-Nya. Sementara dalam kehidupannya, ia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan di mana mereka hidup, karena koderatnya sebagai mahluk sosial (homo socious) selalu harus berhubungan dengan dunia luar dan dunianya sendiri selaku individu. Di samping itu manusia juga dibelenggu oleh hukum kerja, karena itu mereka wajib melaksanakan tugas hidupnya walaupun harus menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang menimpa dirinya.



Di dalam menjalani kehidupannya, setiap orang harus berusaha menemukan kembali jati dirinya yang suci murni sebagai bagian yang menyatu dengan kepribadian-Nya. Namun kenyataan yang sering terjadi adalah betapa sulitnya manusia menemukan kesadaran untuk membebaskan dirinya dari belenggu dunia maya ini yang membuat dia lalai terhadap hakikat tujuan hidupnya. Dunia maya selalu menawarkan kenikmatan hidup yang seakan akan terasa langgeng, tetapi sering kali justru menambah beban masalah di dalam kehidupannya sehingga kehidupan yang damai makin sulit diwujudkan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sehubungan dengan itu Agama Hindu mengajarkan Tapa Brata Sivaratri. sebagai petunjuk bagi umatnya untuk mencapai kesempurnaan hidup, membebaskan diri dari jerat maya, serta menemukan kebahagiaan dan kedamaian.


Foto: Mutiarahindu.com

Ajaran Tapa Brata Sivaratri

Tapa brata Sivaratri termuat di dalam berbagai pustaka suci agama Hindu, baik di dalam Itihasa Mahabharata dan Purana, maupun Nibanda. Di Indonesia, seorang pujangga bernama Empu Tanakung telah menggubah sebuah ceritra Lubdhaka yang ditulis dalam pustaka Sivaratrikalpa pada akhir jaman Majapahit, tentu dengan tujuan untuk meyakinkan umatnya agar dengan penuh keyakinan dapat melaksanakan brata Sivaratri yang ditetapkan dalam Veda.

Ceritra Lubdhaka ini hampir sama dengan mithologi Nishada di dalam Padma Purana yang ditulis sekitar 1500 tahun S.M. Namun yang terpenting dari mitologi itu ialah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa tentang keutamaan brata Sivaratri. Dialog itu antara lain berbunyi sebagai berikut :


"Tuanku Raja dengarkanlah, saya akan menerangkan kepada tuanku tentang brata Sivaratri, yaitu brata yang paling utama sebagai jalan menuju Sivaloka. Malam ke 14 yang gelap, pada bulan Magha atau Palguna (Purwanining Tilem Kapitu) haruslah disadari sebagai "malam Siva" yang akan membebaskan semua dosa ("sarva papa paharini"). Mereka yang berpuasa dan tetap tidak tidur sambil memetik daun Bilwa selama malam itu untuk berbhakti kepada Siva, maka akan mencapai identitas Siva. Janganlah dibeberkan sembarangan walaupun oleh tuanku sendiri. Brata Sivaratri adalah brata yang paling istimewa, ibarat Mahamerunya pegunungan, Matahari dari yang bersinar, Guru dari para mahluk, Gayatrinya mantra, Amritanya cairan, Visnunya lelaki dan Arundhatinya wanita. Sivaratri yang dikaitkan dengan "bhavani" (bhakti yang murni), begitu terjadi kontak akan segera membakar bahan bakarnya dosa. Brata Agung Sivaratri ini adalah seperti yang telah diajarkan sebelumnya oleh Mahadeva kepada sinar-Nya.


Demikianlah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa. Dikatakan pada pengelong 14 bulan Magha yang merupakan malam tergelap dalam satu tahun, Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasi Siva Mahadeva yang maha pengasih, penyayang, pelindung alam semesta, melakukan Yoga guna melebur dosa -dosa insan yang taat dan pasrah berbhakti kepadafNya.

Kemudian di dalam pustaka suci Mahabharata (Santi Parva) terdapat ajaran tentang brata Sivaratri yang diajarkan oleh Maharsi Bhisma kepada Yudhistira putra Pandu, dengan kisah kehidupan seorang pemburu bernama Susvara dari Varanasi, yang dalam penjelmaannya kemudian, mereka hidup sebagai Maharaja bernama Chitrabhanu.

Adapun ketentuan tentang pelaksanaan Tapa brata Sivaratri tercantum di dalam Lontar Aji Brata, yang pelaksanaannya mencakup tiga kegiatan secara bersamaan, yaitu : Mauna, Upavasa dan Jagra, dimulai pada pukul 06.00 ketika fajar menyingsing.


Mauna : berarti diam, berdiam diri tanpa suara, tanpa ucapan kata, dan mendiamkan pikiran dari obyek indera. Ini dilakukan selama 12 jam.

Upavasa : berarti mengendalikan hawa nafsu, tidak menikmati makanan, minuman dan sebagainya, selama 24 jam.


Jagra : berarti melek, tidak tidur sebagai latihan untuk meningkatkan kewaspadaan dan. kesadaran rohani, dilakukan selama 24 jam sampai 36 jam.

Di dalam melaksanakan Tapabrata Siwaratri di gunakan simbol-simbol suci atau praktika antara lain "Dalung" sebagai simbol kolam suci tempat munculnya Siva-Lingga, pohon beringin sebagai simbol pengganti pohon Bilva, Kwangen dan berbagai Upakara lainnya yang tidak dibicarakan pada naskah ini.

Bagi umat yang melaksanakan brata Sivaratri, kegiatannya diawali dengan persembahyangan, kemudian memasukkan Kwangen ke dalam Dalung, kemudian duduk menghadapi cawan berisi air dan 108 daun beringin serta Dupa yang menyala, bermeditasi melakukan "Nama smaranam" mengagungkan nama suci Siva sang pelebur "papa" dan pembawa "punia" memohon tuntunan dan sinar suciNya agar dijauhkan dari kelalaian yang membawa derita hidup.

Monabrata diakhiri pada petang hari (pukul 18.00 wib) sedangkan Upawasa diakhiri ketika fajar menyingsing yang diawali dengan persembahyangan "Lebur Brata" dilanjutkan mengambil Kwangen didalam Dalung dan memercikkan airnya ke ubun ubun, dengan harapan agar Hyang Widhi selalu menuntun kesucian pikirran dan perasaan hatinya.

Setelah upacara Lebur Brata maka "Jagra" dapat dilanjutkan dengan kegiatan TirthaYatra yaitu perjalanan ke tempat suci atau Pura sampai waktu Jagra itu berakhir. Berikut tinjauan filosofis dari hari suci Sivaratri

Hakikat Kelahiran Manusia

Manusia adalah salah satudari berjuta juta jenis ciptaan Sanghyang Widhi Wasa yang selalu berupaya membebaskan dirinya dari penderitaan hidup dan mencari kebahagiaan.

Lubdhaka, Nishada, Susvara adalah merupakan sosok "sang pencari" yang meniti kehidupannya dengan penuh bhakti kepada Yang Maha Kuasa. Dengan bhakti itulah ia menemukan hakikat dinnya.

Veda mengajarkan bahwa setiap insan dapat hidup karena ada inti hakikat yang menghidupinya.

"Eko devas sarva bhutesu gundhas sarva vyapi sarva bhutantaratma karmadhyaksas sarva bhutadhivasas sakti ceta kevalo nirgunasca" (Svetasvatara Upanisad .VI .11)

("Satu sinar suci Tuhan yang tersembunyi dalam setiap insan, menjadi jiwa bathin semua ciptaan itu, Raja yang menyinari semua perbuatan dan menjadi saksi agung yang bersemayam di dalam hati.")

Inti hidup itu disebut "Atman" sedangkan Sanghyang Widhi Wasa sebagai penciptanya disebut "Parama Atman" atau Brahman. Pada hakikatnya Atman dan Brahman itu tunggal, yang di dalam Aitarya Upanisad disebut: "Brahman Atman aikhyam". Ibarat matahari dengan sinarnya, ibarat air samudera dengan setetes embun, demikianlah hakikat Brahman. dengan Atman yang menyinari Jiwa manusia itu. Kemudian ketika manusia lahir, maka sang J iwa dipengaruhi oleh bakat sifat dari "wasana karmanya".


Di dalam hidup ini setiap manusia akan terkena oleh pengaruh sifat alam yang disebut "Guna". Ada tiga guna yang selalu mangikuti dan mempengaruhi segala aktivitas manusia dalam hidupnya, yaitu: "Sattvam, Rajas, Tamas"; ketiganya disebut "Tri Guna". Sattvam ialah sifat sifat tenang, suci, benar dan sadar.

Rajas ialah sifat lincah, energik dan dinamis. Tamas ialah sifat -sifat lamban, malas dan statis.

Pengaruh Tri Guna itu masing masing berbeda untuk setiap orang, bergantung dari bakat sifat kelahirannya dan aktivitas latihan rohani sepanjang perjalanan hidupnya. Kecenderungan kecenderungan yang sering kita jumpai adalah dominasi pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud "Sadripu" (Kama, Lobha, Kroda, Mada, Moha, Matscarya) yaitu enam musuh utama yang menyelimuti pikiran manusia menjadi gelap dan bodoh atau linglung, sehingga manusia itu terperangkap oleh jerat Maya, yang membawa penderitaan bagi dirinya.


Demikianlah kecenderungan pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud Sadripu itu pada diri manusia sehingga kita seling menemukan suatu kenyataan hidup, bahwa dalam keadaan apapun, serta di manapun mereka ditempatkan seakan-akan kegelisahan senatiasa mengikutinya. Di tengah tengah kecukupan mereka masih merasa miskin, selalu merasa kekurangan, bahkan pada suasana gembira pun mereka masih merasa kekurangan sesuatu. Keadaan seperti itu adalah merupakan "Kerinduan Jiwa kepada Tuhan", karena sang Jiwa (Atman) memang mempunyai hakikat yang sama dengan penciptanya, Brahman Seru sekalian alam.

Selama jiwa ini terpisah dari sumbernya maka ia tak akan merasa tenang. Kebahagiaan sejati hanya terjadi bilamana Jiwa telah bersatu dengan sumbernya. Namun bila Jiwa terpisahkan dari Tuhannya maka ia akan mudah terperangkap ke dalam jerat Maya, kemudian menjadi budak dari pikirannya sendiri, sehingga ia tidak menemukan kebebasan. Jiwa itu menderita, yang keadaannya tidak lebih baik dari keadaan seorang istri yang hidup terpisah dari suaminya.

Walaupun diberikan segala kemewahan kepadanya namun mereka akan tetap murung dan sedih, bahkan tidak dapat terhibur. Kesedihannya itu akan berakhir bila ia bertemu dengan suaminya, memikat hatinya dan menjadikannya sebagai milik satusatunya. Begitulah Jiwa ini, akan tetap menderita selama belum bertemu atau menyatu dengan sumbernya, Sang Maha Sattvam, Siva sang pelebur dosa, Sanghyang Widi Wasa.

Demi melenyapkan kerinduan Jiwa, mendapatkan pancaran kasih dan menyatu dengan hakikat Atman, maka manusia harus melakukan latihan rohani.

Latihan Rohani

Sanghyang Widhi Wasa menciptakan manusia dengan memberikan organ tubuh yang sama, inti hidup yang sama dan hakikat Jiwa yang sejati sama dengan Dia. Apabila manusia tidak memelihara dirinya, membiarkan pikirannya dipengaruhi dan dijerat oleh ikatan Maya, maka sesungguhnya mereka telah menodai kemuliaan

Sanghyang Widhi, karena itu mereka terjerumus ke lembah dosa yang membawa duka dan nestapa. Mereka lupa bahwa Sang Pencipta bersemayam di dalam dirinya sebagai "Isvara", berada dimana-mana, memenuhi tempat yang tiada terbatas. Mereka juga lupa bahwa manusia tidaklah hanya terdiri dari segumpal darah dan daging, melainkan merupakan gudang harta karun dari ratna mutu manikam yang paling berharga, sebagai Kuil Tuhan, Brahma Wihara, Har Mandir, Pura Sanghyang Widhi Wasa, mikrokosmos tubuh yang mencakup seluruh alam semesta yang telah dirancang dengan sempurna. Karena itulah maka tubuh ini harus dirawat dan dijaga dengan penuh perhatian agar dapat diketahui rahasianya, dipecahkan misterinya, serta dikenal kodrat dan tujuannya.

Untuk menemukan jati diri manusia sebagai Pura Sanghyang Widhi Wasa, maka setiap orang harus melakukan latihan rohani melalui pengendalian pikiran dan idera, melaksanakan Upavasa, menundukkan pengaruh Sadripu, sehingga selalu sadar dan waspada terhadap jerat Maya yang mengakibatkan penderitaan Jiwa. Dalam hal ini pustaka suci Manu Smerti II sloka 88 menyebutkan: "Indriyanamvacaratam visayasvapacharesusanyameyatman alishe dvidvamyanteva vajinam" (Seperti halnya seorang kusir mengendalikan kuda kereta, begitulah orang yang berjiwa bijak berusaha mengendalikan inderanya dari pengaruh fantasi duniawi yang menyebabkan dirinyabuas).

Pengendalian indera ini menurut pustaka suci Sarasamuccaya harus dilakukan dengan cara mengendalikan pikiran, karena sesungguhnya pikiran itulah yang merupakan sumber penggerak keinginan yang kemudian akan menimbulkan tindakan baik dan buruk. Sloka 81 kitab suci Sarascamuscaya menyatakan: "Beginilah keadaan pikiran itu, selalu bimbang, jalannya tidak menentu, banyak yang diangan angankan, kadangkala berkeinginan, kadangkala ragu; bila ada orang yang mampu mengendalikan pikirannya, maka mereka itu pasti akan memperoleh kebahagiaan, baik di dunia ini, maupuh dalam dunia yang lain (Niskala)".

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Sifat pikiran memang mudah terpengaruh oleh ilusi duniawi (Mayapada), karena phenomena alam selalu merangsang dengan berbagai hal yang indah, sedap, lezat, nikmat, sehingga naluri keinginan (Kama) bangkit dan menutupi kesadarannya. Justru itulah setiap orang harus melatih diri secara bertahap mengurangi berbagai jenis makanan yang kurang bermanfaat bagi tubuhnya, mengatur makanan agar bermanfaat bagi kesehatan, disiplin menjalani pantangan seperti yang dilakukan pada hari suci Sivaratri ini.

Dengan mengendalikan pikiran, mengekang kemauan pikiran terhadap phenomena alam, maka indera ini dapat dikendalikan dari rangsangan jerat Maya, sehingga secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan.

Karma Penebusan Dosa

Pengamalan Tapa Brata Sivaratri (Jagra, Upavasa dan Mauna), selain bermakna sebagai latihan rohani, juga mengandung nilai spiritual yang sangat tinggi yakni sebagai karma penebusan dosa yang dilakukan di dunia ini. Pengertian "penebusan dosa" ialah menebus kesalahan dan kelalaian(Asubhakarma) karena kebodohan (Awidya), dengan cara melakukan karma yang positif (Subhakarma) yang bernilai "plus", sehingga karma itu akan bergerak seimbang ke titik nol (Sunya). Pada kondisi Sunya itulah Jiwa akan terbebas dari belenggunya, ia mencapai "Jnana" kesadaran murni dalam "Samadhi", bersatu dengan hakikatnya yang sejati, Jiwanya menyatu dalam pengabadian penuh kepada Brahman yang abadi, maha pengasih dan maha suci.

"Tad buddhayas tad atmanas, tanisthas tat parayanah, gacchanty apunara writtim, jnana nirdhuta kalmasah" (Karma Samnyasa Yoga 17) '

(Bila pikiran hanya tertuju padaNya, menyerahkan seluruh Jiwa kepada-Nya, memuja hanya kepadaNya, dan menjadikan-Nya sebagai tujuan utama, maka dosanya akan dihapus oleh Jflana, kesadaran sejati, kemudian mereka akan pergi tak kembali lagi).

Upaya pencapaian pembebasan inilah yang dilambangkan dalam pelaksanaan Tapa Brata pada Hari Suci Sivaratri.



A. Lubdhaka, Nishada dan Susvara melambangkan manusia yang diliputi avidya, hidupnya papa namun patuh pada petunjuk Yang Maha Kuasa (Veda) dan melaksanakan svadharmanya dengan baik.

B. Kwangen sebagai simbol “Ongkaramrta” adalah lambang suci Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhava Siva yang digambarkan hadir dalam air kehidupan (Dalung) dan selalu menganugrahkan kasih-Nya kepada penyembah yang sradha dan bhakti.

C. Duduk tenang bermeditasi menghadapi Cawan berisi air dan 108 daun Bilva atau Beringin serta Dupa harum yang menyala melambangkan semangat mencari "kebenaran Sejati", menuju pembebasan diri dari belenggu Maya dengan mempelajari Veda Rahasyam yang berjumlah 108 Upanisad dan melaksanakan "8" bagian Yoga (Astangga Yoga) untuk menebus karma hingga mencapai titik "O" (sunya) serta Jiwa menemukan kesadaran murni dalam Samadhi mencapai yang "1" yaitu mencapai keadaan "Moksaka", dimana Jiwatman manunggal dengan sifat Brahman.


D. Kegiatan Tirthayatra dalam Jagra Sivaratri bermakna memelihara kesucian hati dan kesadaran Jiwa yang telah dicapai agar tidak jatuh dan terseret kembali oleh jerat Maya. Sesungguhnya Tirthayatra atau perjalanan suci itu harus dilakukan selama masa hidup ini agar kesadaran mental selalu terpelihara dan kelalaian tak bersemi lagi.

Demikianlah Tapa Brata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebus dosa. Karena itu makna filosofis Tapa Brata ini harus direalisasikan ke dalam pengabdian selama hidup melalui svadharma, yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.

Kesimpulan dan penutup

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Setiap manusia memiliki inti hidup (Atman) yang merupakan pancaran sinar suci yang sifat hakikatnya sama dengan Brahman. Hakikat kelahirannya membawa pengaruh karma. Ia terbungkus dan dipengaruhi oleh Tri Guna dan Maya sehingga semakin jauh dari sumbernya, serta mengakibatkan jiwanya menderita.
Pikiran sangat menentukan nasib manusia, oleh karena itu harus dikendalikan melalui pengekangan kemauan pikiran terhadap phenomena alam dan pengendalian indera dari rangsangan jerat maya. Dengan demikian secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan.
Tapabrata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa serta harus disadari sebagai pengabdian suci kepada Sanghyang Widhi Wasa melalui pelaksanaan svadharma yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.
Mari kita hayati dan laksanakan tapa brata Sivaratri ini sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa menuju kesempurnaan hidup, serta menumbuh suburkan kesadaran sradha dan bhakti demi keagungan Sanghyang Widhi Wasa.

Mari kita sadari pula bahwa sradha adalah tanaman yang sangat berharga dalam kehidupan ini, namun sebuah tiupan angin Mayapada akan menjadikannya layu. Karena itu jangan dibiarkan lahan hati yang subur menjadi tandus dipenuhi duri dan rumput nafsu. Mari kita oleh lahan hati ini dengan aliran kasih yang sejati dan taburkan benih nama Tuhan, sembari mencabut rumput-rumput keserakahan. Awasilah tanaman yang tumbuh dengan kesadaran Jiwa dan pagari lahan hati dengan tapabrata. Semoga bunga bunga bhakti dalam wujud cinta kasih yang murni akan menghasilkan buah kebahagiaan (Anandam), dimana Jiwa lebur ke dalam N ya, mencapai pembebasan.

Media Hindu Edisi Januari-Februari 2003, hal 26-29
https://www.mutiarahindu.com/2019/03/makna-filosofis-hari-suci-siwaratri.html.

Selasa, 23 Juli 2024

TUMPEK LANDEP

 


1. APA ITU TUMPEK LANDEP.
Mengambil referencies dari Sundarigama tentang filosofis, esensi Tumpek Landep: 'Tumpek landep pinaka landeping idep.' Artinya, Tumpek Landep pada hakikatnya bertujuan untuk mengasah ketajaman pikiran (landeping idep). Mendekatkan diri, serta memulyakan Sang Maha Pencipta Hyang Siwa Pasupati, beserta ciptaanya
2. KAPAN TUMPEK LANDEP ITU tahun ini tanggal 27-Juli -2024.
Rahina Tumpek Landep jatuh setiap enam bulan sekali atau 210 hari sekali, yang dihitung berdasarkan kalender Bali. Tumpek landep dilaksanakan pada saniscara kliwon (Sabtu Kliwon) wuku landep. Yang sesungguhnya masih berkaitan dengan rangkaian hari raya Saraswaty, Sanisscara Umanis Watugunung, yang esensinya Pengetahuan Mengalir (saras) diasah agar menjadikan tajam ( landep) kemudian di implementasikan dalam perjuangan memerangi untuk memenuhi kebutuhan hidup selaras dengan tujuan hidup.


3. BAGAIMANA IMPLEMENTASI TUMPEK LANDEP.
Saat Tumpek Landep, bermula dari kata “Landep”, meskipun esensinya adalah ketajaman WIWEKA, muncul interprestasi segala sesuatu yang TAJAM terutama alat alat yang berasalkan dari logam, sehingga umat Hindu menyucikan benda-benda berbasis logam, terutama benda benda pusaka, Keris Tombak, pedang, sampai dengan peralatan sehari hari termasuk industry pertanian.
Belakangan ini sudah mulai terjadi pergeseran ke Era perindustrian, shg segala pra-sarana yang digolongkan bisa melancarkan & menunjang perjuangan Hidup seperti alat, electronic Mobil lainnya, yang Nampak paling menonjol lewat Mobil kebanggaannya, sehingga kesannya ngotonin mobil, Tumpek Landep sarat simbol sebagaimana hari suci umat Hindu di Bali lainnya. Adapun, pelaksanaan Tumpek Landep bukan berarti menyembah Mobil, logam atau besi, serta Upacara terhadap berbagai senjata maupun produk teknologi itu bertujuan untuk memohon Wara Nugraha dari Hyang Siwa Pasupati agar keberadaannya berguna bagi kehidupan sehari-hari manusia yg didedikasikan kehidupannya untuk Dharma
4. Tip Tip untuk melaksanakan tumpek landep yg effective dan efficient
Sebaiknya dilaksanakan secara tinambulan (bersama) dg satu paket upakara, sebaiknya semua fasilitas di kumpulkan di Parking area Pura, lakukan persembahyangan bersama maring utama mandala, lakukan penatabam Pasupati, serta lungsur tirtanya dedikasikan pada fasilitas lainnya yang tidak bisa dibawa ke Pura, siratin ring rumah masing masing selesai. rahajeng Rahayu sinamian.

Minggu, 21 Juli 2024

UPACARA SAMADHI SEBELUM MASUK JHANA

 


Upacara samadhi adalah praktik meditasi mendalam yang bertujuan mencapai keadaan kesadaran yang tinggi dan pencerahan spiritual.
Pengertian Samadhi
Samadhi berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "konsentrasi penuh" atau "penyerapan mendalam." Dalam tradisi spiritual seperti Hindu, Buddha, dan Jain, samadhi adalah keadaan meditasi yang sangat dalam di mana individu merasakan kesatuan dengan objek meditasi dan melampaui kesadaran individu.
Tujuan Samadhi
Tujuan utama dari upacara samadhi adalah untuk mencapai kedamaian batin, pemahaman mendalam tentang diri dan alam semesta, serta kebebasan dari siklus kelahiran dan kematian (moksha atau nirvana).


Tahapan Samadhi
1. **Dhyana (Meditasi):** Proses ini dimulai dengan meditasi untuk memusatkan pikiran dan mengurangi gangguan eksternal. Praktisi duduk dalam posisi yang nyaman dan stabil, seperti posisi lotus atau setengah lotus, dengan tulang punggung lurus.
2. **Pratyahara (Penarikan Indra):** Pada tahap ini, praktisi menarik indra dari objek eksternal dan mengarahkan perhatian sepenuhnya ke dalam.
3. **Dharana (Konsentrasi):** Konsentrasi difokuskan pada satu titik atau objek, seperti napas, mantra, atau citra dewa. Tujuannya adalah untuk menstabilkan pikiran dan mencegah gangguan.
4. **Samadhi (Penyerapan Penuh):** Ketika konsentrasi mendalam tercapai, praktisi memasuki keadaan samadhi, di mana perasaan dualitas hilang dan ada perasaan persatuan dengan objek meditasi. Pikiran menjadi tenang dan stabil, dan praktisi mengalami kebahagiaan dan kedamaian mendalam.
Setelah proses ini jika meditator semakin mendalam maka akan masuk ke jhana satu.
Jenis-Jenis Samadhi
1. **Savikalpa Samadhi:** Dalam tahap ini, masih ada kesadaran tentang dualitas dan objek meditasi. Pikiran tetap tenang dan terfokus, tetapi belum sepenuhnya menyatu dengan objek meditasi.
2. **Nirvikalpa Samadhi:** Ini adalah tahap samadhi yang lebih tinggi di mana semua bentuk dualitas hilang. Praktisi merasakan kesatuan total dengan objek meditasi, dan tidak ada lagi kesadaran individu.

Jumat, 19 Juli 2024

Salah paham PETUGUN KARANG


 Salah persepsi menyembah petugun karang

Tidak akan membicarakan berdasarkan sastra karena banyak lontar, akademisi serta nak lingsir menjelaskan tentang penunggun karang Pengertian petugun karang: petugun karang berasal dari kata tugu menjadi menjadi tugu karang, selajutnya menjadi petugun karang akhirnya menjadi penuggun karang. Banyak juga menyebutnya sedahan karang Dalam berbagai lontar kala tatwa yang disebut petugun karang yaitu betara kala yang menjelma menjadi sedahan karang semacam pecalang untuk dirumah.


Sedangkang dalam lontar sudamala menyebutkan petugun karang merupakan manifestasi dari hyang wenang yang menjelma menjadi hyang semar. Ada juga yang memaknai dari kanda pat bahwa petugunkarang merupakang Prajapati manifestasi dari empat saudara kita saat lahir yaitu ari ari. Dalam lontar papicatan menyebutkan bahwa jika salah dalam mengupacarai petugun karang bisa jadi yang berdiam disana mahluk kasar seperti setan jin dan yang lainnya yang dibali dikelompokkan menjadi bhuta cuil. Sedangkan Dalam pandangan saya secara spiritual petugun karang adalah taksu nantah, energi yang dimasukkan kedalam tugu sehingga membentuk taksu disana, mantra sulinggih serta pemangku berdasarkan yang pernah saya dengar menyatakan bahwa yang dimaksukkan disana adalah wong maya, bisa juga disebut semar atau samara tau wong samar. Wujudnya tidak menyeramkan seperti manusia namun berbentuk manusia seperti orang tempo dulu, tidak pakai baju hanya kekancutan saja. ini berdasaarkan pengelihatan spirituyal saya. Dalam ulap ulap petugun karang berupa raksasa membawa pedang. Sebagai simbol penjaga. Memang fungsi dari penunggun karang adalah penjaga karang. Banyak pertanyaan yang saya dapat contoh apakah penunggun karang berjaga 24 jam. Kenapa sudah ada penunggun karang masih aja ada pemali serta buta kala yang menyakiti pemilik rumah. Ini saya bisa jelaskan bahwa penunggun karang tidak bekerja 24 jam seperti togog, seperti pengalaman spiritual saya berdiskusi dengan beliau bahwa beliau juga punya aktivitas di dimensi maya. Kembali ke kampungnya atau beliau ada di seputaran rumah, kadang juga berada jauh dari rumah. Bagai mana caranya supaya beliau tetap menjaga kita? Seperti pengalaman saya berdiskusi dengan kakek dahulu beliau biasa berkomunikasi dengan petugun karang layaknya mengobrol dengan teman, kakek saya seringkali berbicara dengan petugun karang dirumah dan sering menyuruh saya membelikan jajan untuk diberikan ke petugun karang menurut belio peunggun karang sering minta diaturin makanan tertentu yang dia sukai. Menurut kakek saya cara untuk memanggilnya yaitu dengan menepuk pelinggihnya sebanyak 3 kali baru memberikan apa yang ingin kita berikan di rong pelinggihnya. Sebenarnya dahulu petugun karang tidak memiliki rong, namun karena ingin menghaturkan suguhan kepada beliau maka dikasilah rong. Petugun karang hendaknya dihormati bukan di sembah, kita berhak menyuruh untuk menjaga rumah dan menjaga kita. Tentu dengan kita juga harus selalu ingat memberikan suguhan kepada beliau. Satu lagi kenapa petugun karang tidak di sembah karena beliau bukan leluhur kita, beliau juga bukan sang maha pencipta. Ketika menyembah petugun karang maka beliu bisa kabur karena memang bukan untuk disembah ( takut tulah) biasanya petugun karang yg sering disembah tidak ada beliau disana, suung inilah kenapa bhuta kala, atau serangan desti bisa masuk kerumah. Kadang petugun karang sering kena pitnah, disamakan dengan genderuwo, atau bhuta kala raja yang betubuh besar dengan bulu yang lebat mata yang merah. Ketika pemilik rumah ada yang menindih tubuhnya ketika tertidur berbadan besar dan berbulu, Itu bukan petugun karang. Ong rahayu Agungray18722

MAS ARYA MACANAPURA DAN UTUSAN BALI ( 1691 - 1697 )

 


Ditulis oleh : Warisan Adiluhung Blambangan
Pada tanggal 9 November 1691, raja Blambangan Mas Arya Sasranegara dikudeta oleh adik-adiknya yang dibantu para bangsawan Blambangan lainnya, hingga terjadilah perang saudara di dalam istana Macanputih.
Setelah Mas Arya Sasranegara berhasil dikalahkan dengan bantuan tulup Si Baru Klithik milik Mas Bagus Wangsakarya, mengetahui geger di istana, istri Mas Arya Sasranegara yang bernama Mas Ayu Gustipati( puteri Mas Ayu Gringsing ) beserta anak - anaknya Mas Ayu Tawi dan Mas Purba, serta seorang emban yang bernama Mbok Laban Cina melarikan diri melalui gorong-gorong saluran air dibawah istana ke sebuah bukit di Wijenan.
Lalu mereka melarikan diri ke selatan menuju Gunung Srawet di tempat Pesraman Ki Ajar Gunung Srawet Mas Arya Gajah Binarong. Setelah istirahat sejenak, mereka diantarkan ke Puger melalui jalur selatan ditemani oleh Mas Tulup Watangan. Sesampai di Puger mereka segera dibawa ke Pasuruan menemui Tumenggung Wiranegara Untung Surapati, dan melindungi mereka disana ditemani oleh Mas Tulup Watangan sebagai pamomong sekaligus guru kanuragan Mas Purba yang saat itu masih berusia tiga tahun.
Mendengar geger di kutharaja Macanputih, Tumenggung Wiranegara menjadi geram, ditambah lagi ada aktor dibalik layar yaitu patih Pasuruhan Kjai Boen Djaladrija. Sehingga patih Pasuruhan Kjai Boen Djaladrija dikemudian hari dihukum mati oleh Tumenggung Wiranegara, Raden Jayalelana yang merupakan adipati Banger sekaligus putera Kjai Boen tidak terima atas sikap Tumenggung Wiranegara.
Pada bulan Desember 1691, didalam kedhaton Macanputih masih memanas, dimana pergerakan yang dilakukan Mas Arya Macanapura berhasil sehingga ia berhak mendapatkan tahta yang sepantasnya, sementara itu Mas Arya Macanagara yang lebih tua juga tidak mau mengalah karena tanpa bantuan gurunya Mas Bagus Wangsakarya tidak akan mungkin Mas Arya Macanapura berhasil mendapatkan tahta.

Kemelut tersebut terjadi hingga pada tahun 1692, geger di Blambangan didengar oleh Ida I Dewa Agung Jambe penguasa Klungkung dan Cokorda Agung Mengwi. Ida I Dewa Agung Jambe berunding dengan Cokorda Agung Mengwi guna membantu kemelut yang terjadi di Blambangan, karena bagaimanapun juga Blambangan pernah membantu Klungkung maupun Mengwi ketika terjadi konflik diantara keduanya pada masa Prabu Agung Tawangalun II masih bertahta. Ida I Dewa Agung Jambe lalu memerintahkan Gusti Panji Gedhe Danudarastra penguasa Buleleng dan Anglurah Ketut Karangasem untuk menyampaikan surat yang dibawa dari Dewa Agung Klungkung kepada putera-putera Prabu Tawangalun II di Blambangan.
Gusti Panji Gedhe Danudarastra dipercaya memimpin 400 orang pasukan terlatih dan 500 orang pasukan pengangkut.
Seluruh rombongan itu akhirnya sampai di watudodol lalu beristirahat di Tanjungjajang lalu melanjutkan perjalanan ke Banyualit, karena Banyualit adalah salah satu pelabuhan internasional di Blambangan.
Mendengar adanya kapal dari Bali, Mas Arya Macanagara segera melaporkan hal itu kepada kakaknya Mas Arya Macanapura.
Setelah sampai di Kutharaja Macanputih, kedua utusan tersebut yaitu Gusti Panji Danudarastra dan Anglurah Ketut Karangasem menghaturkan hormat dan memberi tahu maksud kedatangan mereka ke Blambangan sebagai utusan dari Dewa Agung Jambe dan Cokorda Agung Mengwi.
Gusti Panji Danudarastra membacakan surat yang diberikan kepada kedua utusan tersebut bahwa :
" Datanglah utusan ini dengan damai dan tidak menunjukkan sikap permusuhan selama di Macanputih.
I Dewa Agung Klungkung mengirimkan utusan sebagai bentuk menyelesaikan konflik saudara yang terjadi di Blambangan belakangan ini, karena setelah Prabu Tawangalun wafat negeri Blambangan menjadi kacau, hendaknya yang mati biarlah mati dan yang hidup biarlah melanjutkan perjuangan Baginda Prabu Tawangalun II. Maka angkatlah raja diantara kalian dengan yang tua menjadi raja dan yang lebih muda menjadi Pangeran Patih nya. Setelah surat ini dibacakan maka hendaklah kedua utusan ini segera pulang tanpa mengganggu, merampas, ataupun berbuat sewenang-wenang kepada saudara di Blambangan. "
Setelah rombongan dari Bali tersebut kembali ke negerinya, maka dinobatkan lah Mas Arya Macanapura sebagai raja di Blambangan. Namun hal itu tidak bisa diterima oleh Mas Arya Macanagara yang merasa yang paling tua daripada Mas Arya Macanapura, sehingga Mas Arya Macanapura hendak memberontak ketika pelantikan Mas Arya Macanapura yang saat itu juga dihadiri utusan dari kompeni Jan Francen.
Akhirnya disepakati bahwa Blambangan dipecah menjadi dua bagian yaitu Blambangan wetan dengan raja Mas Arya Macanapura berkedhaton di Macanputih dan Blambangan kulon dengan raja Mas Arya Macanagara berkedhaton di Panarukan. Kejadian ini tercatat didalam jurnal laporan Jan Francen untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Blambangan, 6 Saniscara Manis wuku Watugunung 1946 saka
Sumber :

Senin, 15 Juli 2024

Asubha Karma

 

Asubha Karma atau Adharma adalah segala bentuk tingkah laku yang tidak baik, tidak suci dan selalu menyimpang dengan perbuatan subha karma dan bertentangan dengan hukum yang berlaku, serta merupakan sumber dari kedursilaan yaitu :
  • Segala bentuk perbuatan yang selalu bertentangan dengan susila atau dharma, dan 
  • Selalu cenderung mengarah kepada kejahatan. 
  • Dan nantinya setelah kematian, akan mendapatkan hukuman berupa penyiksaan di Kawah Candra Gomuka bagi atma yang semasa hidupnya selalu berbuat asubha karma ini.
Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma / Asubha karma ini merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini.

Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma inilah menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita.

Menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma / kejahatan yang harus dihindari di dalam hidup ini adalah :
  • Tri Mala, perbuatan hina, dusta dan angkuh….. 
  • Catur Pataka, 4 perbuatan dosa… 
  • Panca Bahya Tusti, bersifat keduniawian dan kikir….. 
  • Panca Wiparyaya, selalu berharap….. 
  • Sad Ripu, bersifat kejam, serakah dan iri hati…. 
  • Sad Atatayi, menjalankan ilmu hitam dan membunuh ….. 
  • Sapta Timira, kegelapan pikiran…. 
  • Dasa Mala, pemarah dan suka menipu. …
  • Astadewi, sifat yang membuat manusia terus menerus berada dalam kepapaan.
  • Misalnya seperti : memirat, memotoh, judi, memunyah, wegig dll
Demikian bentuk-bentuk acubhakarma perbuatan yang menyimpang dan prilaku dosa dalam kutipan Ã‡ubha dan Açubha Karma yang dijelaskan pada Hindu-Indonesia.com yang harus dihindari.
Sebagaimana yang diuraikan pada kutipan “The Descent Ilahi Tuhan”, hal ini dijelaskan dalam kitab suci sebagai “Dharma Glani” merajalelanya adharma.

Melihat keadaan hari ini, seharusnya tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa inilah waktu dunia sedang mengalami saat Glani Dharma.

 

Dimana masa kegelapan ketika dosa-dosa dan kejahatan dari segala jenis biasanya berlangsung;

  • Ketika manusia meraba-raba untuk menginginkan visi yang jelas. 
  • Ini adalah saat dimana Tuhan campur tangan dalam urusan manusia.  
Pada titi gonggang atau titi ugal agil pun disebutkan, bahwa atma yang terjatuh ke neraka atau alam bhur loka  adalah atma-atma yang diselaputi oleh karma wasana yang terlalu banyak cenderung pada adharma ini. 

Perbuatan asubha karma ini merupakan papa atau dosa yang mesti dihindari oleh setiap orang, terutama yang ingin sukses menempuh jalan rohani (Bhagavadgita (XVI.21).

Dalam sarasamuscaya juga ditegaskan, bahwa berusahalah untuk memahami hakekat penjelmaan sebagai manusia di alam ini sehingga kita mampu untuk meningkatkan atau menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma) ini menjadi perbuatan baik.
***
Ada sebuah cerita yang menceritakan kejahatan seorang manusia, yang bernama Pepaka yang dalam Tantri: Pepaka Manusia Jahat diceritakan sebagai berikut :

Ia pada mulanya merupakan seorang pemburu binatang yang loba tamak, jahat dari kecil. Tidak pernah berbuat yang baik.

“Suatu hari, dilihatnya si macan sudah siap akan menerkamnya. Suaranya meraung keras,”

Hai kamu manusia jahat, yeng selalu membunuh binatang.
Pasrahkan hatimu untuk ku makan.

Sang Pepaka gemetar menangis, Hampir saja ia bisa dimakan, kalau tidak ada si Wenari menolongnya yang selalu melakukan dharma sadhu kebaikan yang berbudi luhur, berpribadi mulia dan berhati suci.

Secara niskala, melakukan prosesi ritual dalam hal menetralisir kekuatan – kekuatan jahat ini juga bertujuan agar menjadi suatu kekuatan yang baik dan berguna yang sebagaimana diantaranya disebutkan sangatlah penting bagi diri manusia itu sendiri dan kehidupan di alam semesta ini;

Sehingga di Bali juga melaksanakan upacara nyomia yang bertujuan untuk mengembalikan kekuatanan negatif dari Bhuta Kala yang dibuat dalam wujud Ogoh-ogoh yang kemudian dilanjutkan dengan natab caru pabiakalan sebuah ritual yang bermakna nyomia, untuk mengembalikan sifat-sifat jahat buta kala ke asalnya.

sumber

Minggu, 14 Juli 2024

Bhagavadgita Bentuk Semesta





Bhagavadgita Bab XI - Bentuk Semesta

Bhagavad-gita 11.1
11.1 Arjuna berkata; Dengan mendengar wejangan tentang mata pelajaran yang paling rahasia ini yang sudah Anda berikan kepada hamba atas kemurahan hati Anda, khayalan hamba sekarang sudah dihilangkan

Bhagavad-gita 11.2
11.2 O Krsna yang mempunyai mata seperti bunga padma, hamba sudah mendengar dari Anda secara terperinci tentang muncul dan menghilangnya setiap makhluk hidup dan hamba sudah menginsafi kebesaran Anda yang tidak pernah dibinasakan.

Bhagavad-gita 11.3
11.3 O kepribadian yang paling mulia, bentuk yang paling utama, walaupun hamba melihat Anda berdiri di sini di hadapan hamba dalam kedudukan Anda yang sejati, sesuai dengan uraian Anda tentang Diri Anda, hamba ingin melihat bagaimana Anda masuk dalam manifestasi alam semesta ini. Hamba ingin melihat bentuk Anda tersebut.

Bhagavad-gita 11.4
11.4 Kalau Anda berpikir hamba sanggup memandang bentuk semesta Anda, sudilah kiranya Anda memperlihatkan bentuk semesta Diri Anda yang tidak terhingga itu kepada hamba, o Tuhan yang hamba muliakan, penguasa segala kekuatan batin.

Bhagavad-gita 11.5
11.5 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Wahai Arjuna yang baik hati, wahai putera prtha, sekarang lihatlah kehebatan-Ku, beratus-ratus ribu jenis bentuk rohani yang berwarna-warni.

Bhagavad-gita 11.6
11.6 Wahai yang paling baik di antara para Bharatha, lihatlah di sini berbagai perwujudan para Aditya, vasu, Rudra, Asvini-kumara dan semua dewa lainnya. Lihatlah banyak keajaiban yang belum pernah dilihat atau didengar oleh siapapun sebelumnya.

Bhagavad-gita 11.7
11.7 Wahai Arjuna apapun yang ingin engkau lihat, lihatlah dengan segera dalam badan-Ku ini! Bentuk semesta ini dapat memperlihatkan kepadamu apapun yang engkau ingin lihat sekarang dan apapun yang engkau ingin lihat pada masa yang akan datang. Segala sesuatu- baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak-berada di sini secara lengkap, di satu tempat.




Bhagavad-gita 11.8
11.8 Tetapi engkau tidak dapat melihat-Ku dengan mata yang engkau miliki sekarang. Karena itu, Aku memberikan mata rohani kepadamu. Lihatlah kehebatan batin-Ku.

Bhagavad-gita 11.9
11.9 Sanjaya berkata; Wahai paduka Raja, sesudah bersabda demikian, Tuhan Yang Mahakuasa, penguasa segala kekuatan batin, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, memperlihatkan bentuk semesta-Nya kepada Arjuna.

Bhagavad-gita 11.10
Bhagavad-gita 11.11
11.10-11 Dalam bentuk semesta itu, Arjuna melihat mulut-mulut yang tidak terhingga, mata yang tidak terhingga, dan wahyu-wahyu ajaib yang tidak terhingga. Bentuk tersebut dihiasi dengan banyak perhiasan rohani dan membawa banyak senjata rohani yang diangkat. Beliau memakai kalung rangkaian bunga dan perhiasan rohani, dan banyak jenis minyak wangi rohani dioleskan pada seluruh badan-Nya. Semuanya ajaib, bercahaya, tidak terbatas dan tersebar kemana-mana.

Bhagavad-gita 11.12
11.12 Kalau beratus-ratus ribu matahari terbit di langit pada waktu yang sama, mungkin cahayanya menyerupai cahaya dari kepribadian yang paling utama dalam bentuk semesta itu.

Bhagavad-gita 11.13
11.13 Pada waktu itu, dalam bentuk semesta Tuhan, Arjuna dapat melihat perwujudan-perwujudan alam semesta yang tidak terhingga terletak di satu tempat walaupun dibagi menjadi beribu-ribu.

Bhagavad-gita 11.14
11.14 Kemudian Arjuna kebingungan dan kagum, dan bulu romanya tegak berdiri. Arjuna menundukkan kepalanya untuk bersujud, lalu mencakupkan tangannya dan mulai berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bhagavad-gita 11.15
11.15 Arjuna berkata; Sri Krsna yang hamba muliakan, di dalam badan Anda hamba melihat semua dewa dan berbagai jenis makhluk hidup yang lain. Hamba melihat Brahma duduk di atas bunga padma, bersama Dewa Siva, semua resi dan naga-naga rohani.

Bhagavad-gita 11.16
11.16 O penguasa alam semesta, o bentuk semesta, di dalam badan Anda hamba melihat banyak lengan, perut, mulut dan mata, tersebar ke mana-mana, tanpa batas,. Hamba tidak dapat melihat akhir, pertengahan, maupun awal di dalam Diri Anda.

Bhagavad-gita 11.17
11.17 Bentuk Anda sulit dilihat karena cahaya-Nya yang menyilaukan, tersebar ke segala sisi, seperti api yang menyala atau cahaya matahari yang tidak dapat diukur. Namun hamba melihat bentuk ini yang bernyala di mana-mana dihiasi dengan berbagai jenis mahkota, gada, dan cakra.

Bhagavad-gita 11.18
11.18 Anda adalah tujuan pertama yang paling utama. Andalah sandaran utama seluruh jagat ini. Anda tidak dapat dimusnahkan, dan Andalah yang paling Tua. Andalah pemelihara dharma yang kekal, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Inilah pendapat hamba.

Bhagavad-gita 11.19
11.19 Anda tidak berawal, tidak ada masa pertengahan bagi Anda dan Anda tidak berakhir. Kebesaran Anda tidak terhingga. Jumlah lengan Anda tidak terbilang. Matahari dan bulan adalah mata Anda. Hamba melihat Anda dengan api yang bernyala keluar dari mulut Anda. Anda sedang membakar seluruh jagat ini dengan cahaya pribadi Anda.

Bhagavad-gita 11.20
11.20 Walaupun Anda adalah satu, Anda berada di mana-mana di seluruh angkasa, planet-planet dan antariksa antar planet-planet. O kepribadian yang Mulia dengan melihat bentuk yang mengagumkan dan mengerikan ini, semua susunan planet goyah.

Bhagavad-gita 11.21
11.21 Semua kelompok dewa menyerahkan diri di hadapan Anda dan masuk ke dalam diri Anda. Beberapa di antaranya sangat ketakutan dan mereka mempersembahkan doa pujian sambil mencakupkan tangannya. Banyak resi yang mulia dan makhluk-makhluk yang sempurna yang sedang berseru, “semoga ada segala kedamaian!” sedang berdoa kepada Anda dengan menyanyikan mantra-mantra veda.

Bhagavad-gita 11.22
11.22 Segala manifestasi dari Dewa Siva, para Aditya, para vasu, para Sandya, para Visvedeva, dua Asvi, para Marut, para Leluhur, para Gandharva, para Yaksa, para Asura dan dewa-dewa yang sempurna memandang Anda dengan rasa kagum.

Bhagavad-gita 11.23
11.23 O kepribadian yang berlengan perkasa, semua planet dengan dewa-dewanya goyah ketika melihat bentuk Anda yang maha Agung, dengan banyak muka, mata, lengan, paha, kaki, dan perutnya, dan banyak gigi Anda yang mengerikan; karena itu, mereka goyah, dan hamba juga goyah.

Bhagavad-gita 11.24
11.24 O Visnu yang berada di mana-mana, ketika hamba melihat Anda dengan berbagai warna Anda yang bercahaya dan menyentuh langit, mulut-mulut Anda yang terbuka lebar dan mata Anda yang besar dan menyala, pikiran hamba goyah karena rasa takut. Hamba tidak dapat memelihara sikap mantap maupun keseimbangan pikiran lagi.

Bhagavad-gita 11.25
11.25 O penguasa para dewa, pelindung dunia-dunia, mohon memberi karunia kepada hamba. Hamba tidak dapat memelihara keseimbangan ketika melihat Anda seperti ini dengan wajah-wajah Anda yang menyala seperti maut dan gigi yang mengerikan. Di segala arah hamba kebingungan.

Bhagavad-gita 11.26
Bhagavad-gita 11.27
11.26-27 Semua putera Dhrtarastra, bersama raja-raja yang bersekutu dengan mereka, Bhisma, Drona, Karna dan – semua pemimpin kesatria di pihak kita – lari masuk ke dalam mulut-mulut Anda yang mengerikan. Hamba melihat beberapa di antaranya tersangkut dengan kepala-kepalanya hancur di antara gigi-gigi Anda.
Bhagavad-gita 11.28
11.28 Bagaikan ombak-ombak banyak sungai mengalir ke dalam lautan, seperti itu pula semua kesatria yang hebat ini menyala dan masuk ke dalam mulut-mulut Anda.


Bhagavad-gita 11.29
11.29 Hamba melihat semua orang lari dengan kecepatan penuh ke dalam mulut-mulut Anda, bagaikan kupu-kupu yang terbang menuju kehancuran di dalam api yang menyala.

Bhagavad-gita 11.30
11.30 O Visnu, hamba melihat Anda menelan semua orang dari segala sisi dengan mulut-mulut Anda yang mengeluarkan banyak api. Anda menutupi seluruh alam semesta dengan cahaya Anda, Anda terwujud dengan sinar-sinar yang mengerikan dan menganguskan.

Bhagavad-gita 11.31
11.31 O penguasa semua dewa, yang mempunyai bentuk yang begitu ganas, mohon beritahukan kepada hamba siapa Anda? Hamba bersujud kepada Anda; mohon memberi karunia kepada hamba. Anda adalah Tuhan Yang Maha Esa yang asli. Hamba ingin mengetahui tentang Anda, sebab hamba tidak mengetahui apa maksud Anda.

Bhagavad-gita 11.32
11.32 Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Aku adalah waktu, penghancur besar dunia-dunia, dan Aku datang ke sini untuk menghancurkan semua orang. Kecuali kalian [para Pandava], semua kesatria di sini dari kedua belah pihak akan terbunuh.


Bhagavad-gita 11.33
11.33 Karena itu, bangunlah. Siap-siap untuk bertempur dan merebut kemasyuran. Kalahkanlah musuhmu dan menikmati kerajaan yang makmur. Mereka sudah dibunuh oleh apa yang telah Ku-atur, dan engkau hanya dapat menjadi alat dalam pertempuran, wahai Savyasaci.

Bhagavad-gita 11.34
11.34 Drona, Bhisma, Jayadratha, Karna, dan kesatria-kesatria besar lainnya sudah Ku-hancurkan. Karena itu, bunuhlah mereka dan jangan merasa goyah. Bertempur saja, dan engkau akan memusnahkan musuh-musuhmu dalam pertempuran.

Bhagavad-gita 11.35
11.35 Sanjaya berkata kepada Dhrtarastra; wahai Baginda Raja, sesudah mendengar kata-kata ini dari kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Arjuna yang sedang gemetar menghaturkan sembah sujud berulang kali dengan mencakupkan tangannya. Hati Arjuna penuh rasa takut dan dia berkata kepada Sri Krsna dengan suara yang tersendat-sendat, sebagai berikut.

Bhagavad-gita 11.36
11.36 Arjuna berkata; O penguasa indria-indria, dunia menjadi riang dengan mendengar nama Anda, dan dengan demikian semua orang menjadi terikat kepada Anda. Kendatipun makhluk-makhluk sempurna bersujud kepada Anda dengan hormat, para raksasa ketakutan sehingga mereka lari ke sana ke mari. Segala hal ini memang patut terjadi.

Bhagavad-gita 11.37
11.37 O Yang Mahabesar, lebih tinggi daripada Brahma, Anda adalah pencipta yang asli. Karena itu, bukankah seyogyanya mereka bersujud dengan hormat kepada Anda? O kepribadian yang tidak terhingga, Tuhan yang disembah oleh semua dewa, pelindung alam semesta! Anda adalah sumber yang tidak dapat dikalahkan, sebab segala sebab, yang melampaui manifestasi alam material ini.

Bhagavad-gita 11.38
11.38 Anda adalah kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, yang paling tua, pelindung utama alam semesta yang terwujud. Andalah yang Mahatahu, dan Andalah segala sesuatu yang dapat diketahui. Andalah pelindung tertinggi, Anda berada di atas sifat-sifat material. O bentuk yang tidak terhingga Anda berada di mana-mana di seluruh manifestasi alam semesta ini!

Bhagavad-gita 11.39
11.39 Andalah udara, dan Andalah Yang Mahakuasa! Anda adalah api, Anda adalah air, dan Anda adalah bulan! Anda adalah Brahma, makhluk hidup yang pertama, Anda adalah kakek moyang semua makhluk. Karena itu hamba bersujud dengan hormat kepada Anda seribu kali, kemudian berulang kali lagi.

Bhagavad-gita 11.40
11. 40 Hamba bersujud kepada Anda dari depan, dari belakang dan dari segala sisi! O kekuatan yang tidak terbatas, Anda penguasa kewibawaan yang tidak terhingga! Anda berada di mana-mana, karena itu Andalah segala sesuatu!

Bhagavad-gita 11.41
Bhagavad-gita 11.42
11.41-42 Oleh karena hamba menganggap Anda sebagai kawan, hamba terlalu berani dan menyapa kepada Anda “hai krsna”, “hai yadava”, “hai kawanku,” tanpa mengetahui kebesaran Anda. Mohon mengampuni apapun yang sudah hamba lakukan karena kebodohan atau karena cinta kasih. Berulang kali hamba kurang hormat kepada Anda, bercanda pada waktu kita sedang istirahat, berbaring di ranjang yang sama, duduk atau makan bersama-sama kadang-kadang sendirian, dan kadang-kadang di depan banyak kawan. O kepribadian yang tidak pernah gagal, ampunilah segala kesalahan itu yang hamba lakukan.

Bhagavad-gita 11.43
11.43 Anda adalah ayah seluruh manifestasi alam semesta ini, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Anda adalah pemimpin jagat yang patut disembah, guru kerohanian yang paling utama. Tiada seorang pun yang sejajar dengan Anda, dan tidak mungkin seseorang bersatu dengan Anda. Karena itu, bagaimana mungkin ada seseorang yang lebih agung daripada Anda di dalam seluruh tiga dunia ini, o penguasa yang memiliki kekuatan yang tidak terhingga.

Bhagavad-gita 11.44
11 44 Anda adalah Tuhan Yang Maha Esa yang patut disembah oleh setiap makhluk hidup. Karena itu, hamba bersujud dengan hormat kepada Anda dan mohon karunia Anda. Seperti halnya seorang ayah membiarkan keberanian puteranya, seorang kawan membiarkan sikap kurang sopan dari kawannya, atau seorang istri membiarkan sikap akrab suaminya, mohon memaafkan kesalahan yang mungkin hamba lakukan terhadap Anda.

Bhagavad-gita 11.45
11.45 Sesudah melihat bentuk semesta ini yang belum pernah hamba lihat sebelumnya, hamba goyah karena ketakutan. Karena itu, mohon memberi karunia Anda kepada hamba dan sekali lagi memperlihatkan bentuk Anda sebagai kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, o Tuhan yang disembah oleh semua dewa, pelindung alam semesta.

Bhagavad-gita 11.46
11.46. o bentuk semesta, Tuhan Yang Maha Esa yang berlengan seribu, hamba ingin melihat Anda dalam bentuk Anda yang berlengan empat, dengan mahkota pada kepala Anda dan gada, cakra, kerang, dan bunga padma pada tangan-tangan Anda. Hamba ingin melihat Anda dalam bentuk itu.

Bhagavad-gita 11.47
11.47 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Arjuna yang baik hati, atas kekuatan dalam dari Diri-Ku, dengan senang hati bentuk semesta yang paling utama di dunia material sudah kuperlihatkan kepadamu. Sebelum engkau, belum pernah ada orang yang melihat bentuk yang abadi ini, yang tidak terhingga dan penuh cahaya yang menyilaukan.

Bhagavad-gita 11.48
11.48 Wahai kesatria kuru yang paling baik, sebelum engkau, belum pernah ada orang yang melihat bentuk semesta-Ku ini, sebab Aku tidak dapat dilihat dalam bentuk ini di dunia material. Baik melalui cara mempelajari veda, melakukan korban suci, kedermawanan, kegiatan saleh, maupun pertapaan yang keras.


Bhagavad-gita 11.49
11.49 Engkau sudah menjadi goyah dan bingung dengan melihat ciri-Ku yang mengerikan ini. Sekarang itu semua akan berakhir. Penyembah-Ku, sekarang engkau bebas lagi dari segala gangguan. Dengan pikiran yang tenang, sekarang engkau dapat melihat bentuk yang engkau inginkan.

Bhagavad-gita 11.50
11.50 Sanjaya berkata kepada Drtarastra; setelah kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Krsna bersabda seperti itu kepada Arjuna, Beliau memperlihatkan bentuknya yang sejati yang berlengan empat, dan akhirnya memperlihatkan bentuknya yang berlengan dua. Dengan demikian, Beliau memberi semangat kepada Arjuna yang sedang ketakutan.

Bhagavad-gita 11.51
11.51 Ketika Arjuna melihat Krsna seperti itu dalam bentuk-Nya yang asli, dia berkata; o Janardana, dengan melihat bentuk ini yang seperti manusia dan sangat tampan, pikiran hamba sudah tenang, dan hamba kembali pada sifat hamba yang asli.

Bhagavad-gita 11.52
11.52 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Arjuna yang baik hati, bentuk-Ku yang sedang engkau lihat sulit sekali dipandang. Para dewa pun senantiasa mencari kesempatan untuk melihat bentuk ini yang sangat tercinta.

Bhagavad-gita 11.53
11.53 Bentuk yang sedang engkau lihat dengan mata rohanimu tidak dapat dimengerti hanya dengan mempelajari veda, melakukan pertapaan yang serius, melalui kedermawanan maupun sembahyang. Bukan dengan cara-cara ini seseorang dapat melihat Aku dalam bentuk-Ku yang sebenarnya.

Bhagavad-gita 11.54
11.54 Arjuna yang baik hati, hanya melalui bhakti yang murni dan tidak dicampur dengan kegiatan yang lain Aku dapat dimengerti menurut kedudukan-Ku yang sebenarnya, yang sedang berdiri di hadapanmu, dan dengan demikian Aku dapat dilihat secara langsung. Hanya dengan cara inilah engkau dapat masuk ke dalam rahasia pengertian-Ku.

Bhagavad-gita 11.55
11.55 Arjuna yang baik hati, orang yang menekuni bhakti yang murni kepada-Ku, bebas dari pengaruh kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala dan pengaruh angan-angan, yang bekerja demi-Ku, menjadikan Aku sebagai tujuan utama dalam hidupnya, dan ramah terhadap semua makhluk-dia pasti datang kepada-Ku.

Sumber : cakepane.blogspot.com