Di Bali (Hindu) ada beberapa mitologi yang dahulu kerap disampaikan orang tua, agar orang patuh akan aturan. Namun kini banyak mitologi unik ini mulai terlupakan di tengah kemajuan zaman. Salah satunya adalah larangan menyapu pada malam hari. Ada apa dengan aktivitas ringan malam hari ini?
Senin, 15 Agustus 2022
Beberapa mitologi Di Bali (Hindu)
Di Bali (Hindu) ada beberapa mitologi yang dahulu kerap disampaikan orang tua, agar orang patuh akan aturan. Namun kini banyak mitologi unik ini mulai terlupakan di tengah kemajuan zaman. Salah satunya adalah larangan menyapu pada malam hari. Ada apa dengan aktivitas ringan malam hari ini?
Jumat, 12 Agustus 2022
Apakah kaitan Tumpek Landep dan Ukir?
Senin, 01 Agustus 2022
Matebus Belingan
Cokorda Geg, Airlangga, dan Bharadah
Selasa, 26 Juli 2022
MENCARI RUMAH DI SCBD
Usai Mawinten Pantang Makan Daging Suku Empat
Ada sejumlah pantangan untuk orang yang telah Mawinten. Salah satunya adalah pantang makan daging berkaki empat.
Welaka Ida Bagus Gede Suragatana mengatakan, pantangan seseorang yang selesai Mawinten sesuai kemampuannya. Selain itu, niat dari seseorang yang melaksanakan Pawintenan tersebut. “Kalau saya tidak boleh makan daging suku empat, tidak boleh makan dari upacara Pangabenan. Tetapi semua itu tergantung dari niat. Jika itu dilanggar maka akan sangat gampang sakit,” tutur pria yang akrab disapa Gus Suragatana ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyat, pekan kemarin.
Gus Suragatana mengaku saat Pawintenan berjanji menjadi walaka yang menjaga astika asti, yakni arah utara, selatan, timur, dan barat. Sehingga, ketika makan daging suku empat dirinya akan tidak tahu arah. Tetapi, jika makan tidak disengaja, lanjutnya, bisa nunas pangampura (mohon maaf) dengan upakara Prayascita.
“Yang menentukan itu semua adalah janji dan pikiran sendiri. Prayascita itu dilaksanakan dengan syarat pantangan tersebut dilanggar dengan tidak disengaja. Bila sengaja dilanggar, maka upacara tersebut tidak ada gunanya,” imbuhnya.
Gus Suragatana menambahkan, bahan yang digunakan untuk merajah saat Pawintenan berupa sirih dan madu. Di mana di antara kedua kening dirajah dengan aksara suci Yang, di dada dengan aksara suci Dang, kedua bahu dengan aksara suci Bang, di tunggir dengan aksara Sang, di telapak tangan dengan aksara Tang, di tengah lidah dengan aksara Ing, dan pada ujung lidah dengan aksara Ong.
Gus Suragatana menjelaskan, beberapa sarana upakara yang digunakan untuk mawinten, supaya rentetan prosesi Pawintenan berjalan lancar tanpa halangan apapun. “Pertama harus melakukan prayascita sebagai pembersihan, banten durmanggala, banten pangulapan, pangenteb bayu, banten atma rauh, pangenteb hati. Tetapi paling awal harus melakukan natab biyukawonan,” jelasnya.
Setelah melakukan biyukawoanan, baru dilaksanakan majaya-jaya yang harus dipuput oleh sulinggih. Selanjutnya menghaturkan banten kehadapan sasuhunan yang malinggih di merajan. Setelah itu, baru melaksanakan natab Pawintenan. “Banten setelah dihaturkan di merajan ditunas dan ditatab saat Mawinten. Di sana ada yang disebut dengan tebasan guru, baru dirajah badannya,” tandasnya.
Setalah pelaksanaan Pawintenan ada upacara Padambelan yang menggunakan bebek dan ayam. “Ayam menyimbolkan bhuta dan bebek menetralisasikan leteh sebelum diwinten. Rentetan upcara tersebut dilaksanakan sesuai Pawintenan apa yang dibutuhkan saat itu,”pungkasnya.
(bx/ade/yes/JPR) –sumber
Selasa, 19 Juli 2022
Sad rasa