Sabtu, 02 Juli 2022

PUJA TRISANDYA (manfaat dan kegunaan)

 


Semeton Hindu Sedharma dimanapun berada, seperti kita ketahui puja trisandya dilakukan tiga kali sehari. Berikut saya sampaikan manfaat dan kegunaan trisandya menggunakan pendekatan tri guna :

1. Pada Pagi Hari saat matahari terbit.
Pada saat ini alam dipengaruhi sifat satwam, sehingga dgn puja trisandya kita menyerap daya positif dari guna satwam dan menjadikannya bekal untuk menjalankan hari yg baik.

2. Pada Siang Hari saat matahari tepat di atas kepala.
Pada saat ini guna rajas menguasai alam, saat ini manusia bekerja, berusaha, bergerak. Dengan Trisandya kita mengendalikan guna rajas ini untuk menjadi terarah dan positif. Sering saat bekerja kita menemukan masalah sehingga dgn trisandya madyaning dina kita dapat menenangkan pikiran dan memohonkan jalan terang bagi permasalahan kerja kita.


3. Pada Sore Hari saat matahari terbenam
Pada saat ini guna tamas menguasai alam. Orang biasanya akan malas setelah pulang kerja, dan ingin segera makan lalu istirahat. Dengan trisandya kita mengendalikan kemalasan sore hari, sehingga kita mendapat anugerah Hyang Widhi. Disamping itu sebagai syukur atas hari yg telah dijalankan dan menyerahkan semua kerja kehadapan Hyang Widhi seperti tertulis dalam kitab suci.

Demikianlah sekilas tentang manfaat dan kegunaan trisandya. Semoga bermanfaat dan dapat memotivasi umat sedharma melakukan puja trisandya. Para Rsi mengatakan bahwa orang yang sepanjang hidupnya menjalankan Sandya tiga kali sehari dengan tekun ia akan menjadi manusia utama. la selalu berjaya. Ia akan mencapai kebebasan semasih hidup. Ia akan mencapai Jivan Mukti.

“Dia yang mengabdi kepada-Ku sujud dengan kebaktian yoga, ia naik ke atas melampaui guna, ia wajar bersatu dengan Brah·man“. Begitu sabda Krishna kepada Arjuna dalam BG. XlV. 26.

Om Santih Santih Santih Om –sumber

BANTEN ITU MENYEMBUHKAN

 


Upaya penyembuhan itu sungguh beragam diBali, Tarupramna banyak mengulas tentang tumbuhan yang berkhasiat menyembuhkan. Lalu teks usadha Punggung Tiwas bahkan merincikan metoda mengobati tanpa obat, "idep kewala" hanya dengan pikiran, tiupan, tepukan.
Ada metoda penyembuhan yang boleh jadi tak banyak dikenal, sarananya berupa BANTEN. Bahkan banyak penyakit jika "gering taunan tan waras" sakit tahunan tak kunjung sembuh patut di tebus dengan banten.
Ada lima tahap penyembuhan yang dilakukan dengan metoda banten. Terhakir ada yang disebut banten KEKAMBUH agar penyakit yang telah sembuh tak kambuh lagi.

Banten PANGESENG LARA kerap digunakan untuk membakar berbagai sumber akar penyakit, secara bhatin. Konon peralatan medis pun masih menerapkan metoda "membakar" saat pengobatan, operasi misalkan.
Pada upaya penyembuhan gejala gangguan kejiwaan, misalkan TRAUMA banten PANGULAPAN begitu efektif.
Saat terjadi kecelakaan, apalagi korban sempat kehilangan kesadaran, kerap meninggalkan kesan trauma bahkan Phobia.
Maka secepatnya akan dilakukan prosesi pangulapan atma (pemanggilan roh) ditempat kejadian. Korban jika telah pulih akan diajak kelokasi tempat kejadian untuk ma-ulapan.
Lalu pada upaya penyembuhan berbasis kejiwaan, psikologi terapan, ada metoda yang disebut REGRESI. Prinsipnya relatif sama mengulang kejadian saat terjadi kecelakaan misalkan, bertujuan untuk menyadarkan pikiran bawah sadar, agar tak terbelenggu.
Banten pangulapan bertujuan sama, pada kasus ini, mengulang kejadian, agar tak terbelenggu peristiwa kecelakaan.
Tattastu
IBM. Bhaskara


SANGGAH PAMERAJAN







Didalam budaya Hindu khususnya di Bali, salah satu tempat untuk sembahyang disebut Sanggah Pemerajan. Sanggah Pemerajan berasal dari kata Sanggah yang berarti Sanggar (tempat suci), Pemerajan yang berasal dari kata praja (keluarga).Jadi Sanggah Pameraja dapat diartikan sebagai tempat suci bagi suatu keluarga tertentu.

Secara umum kebanyakan orang menyebutnya dengan lebih singkat seperti Sanggah atau Merajan.Akan tetapi yang perlu diingat tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan.

Sejarah Sanggah Pemerajan
Dalam sejarah pembangunan Sanggah Pemerajan, terdapat tiga versi. Yaitu sebagai berikut:

1. Sanggah Pemerajan dengan konsep Mpu Kuturan (Trimurti)

Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari. Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11 adalah Kemulan Rong 3. Di dalam lontar Tutur Kuturan disebutkan bahwa Kemulan Rong 3 adalah stana Sanghyang Tiga Sakti (Brahma, Wisnu, Siwa) sedangkan di ‘Batur Kemulan’ ruangan di bawah Rong 3 adalah stana roh para leluhur yang sudah disucikan (pitra yadnya)




2. Sanggah Pemerajan dengan konsep Danghyang Nirarta (Tripurusha)

Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala. Kemulan yang dikembangkan oleh Danghyang Nirata adalah Kemulan Rong 2 sejak abad ke-14. Di mana distanakan Ida Sanghyang Widhi sebagai ‘arde nareswari’ = rua bhineda (lontar Dwijendra Tattwa). Oleh karena itu maka di setiap perumahan agar dibangun tempat suci keluarga, terdiri dari pelinggih-pelinggih: Padmasari (Tripurusha), Kemulan R3 (Trimurti), Taksu (Saraswati), dan di pekarangan ada pelinggih Sedahan Karang (Bhatara Kala). Acuannya Lontar Gong Besi dan Lontar Sundarigama.




3. Sanggah Pemerajan dengan kombinasi keduanya.

Biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan.

Dalam sejarah ada yang menyebutkan bahwa Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta mendapatkan wahyu mengenai konsep itu di Purancak/ Jembrana.

Apakah itu Trimurti dan Tripurusha? Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Trimurti adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, di mana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.

Tripurusha adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, di mana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.

Pembagian Sanggah Pemerajan
Sanggah Pemerajan dapat dibedakan menjadi 3, yaitu sebagai berikut:

1)Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
2)Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’/ garis keturunan)
3)Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama)

Sedangkan untuk Pelinggih yang ada di Sanggah Pemerajan, yaitu sebagai berikut

1)Sanggah Pamerajan Alit : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu
2)Sanggah Pamerajan Dadia : Padmasana, Kemulan Rong Tiga, Limas Cari, Limas Catu, Manjangan Saluang, Pangrurah, Saptapetala, Taksu, Raja Dewata
3)Sanggah Pamerajan Panti : Sanggah Pamerajan Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan
Pelinggih-pelinggih umum yang ada di Sanggah Pemerajan merupakan stana dalam niyasa Sang Hyang Widhi dan para roh leluhur yang dipuja. Penjelasan yang stana pada setiap pelinggih sebagai berikut:

Kemulan Rong Tiga yaitu Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru . Selain itu juga ada kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Arda nareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong lima (Panca Dewata).
Padmasana/ Padmasari yaitu Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
Sapta Petala yaitu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis: patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai simbol naga Basuki, pemberi kemakmuran.
Taksu yaitu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
Limascari dan Limascatu yaitu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari: pradana – purusha, rwa bhineda.
Pangrurah yaitu Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu.
Manjangan Saluwang yaitu Pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
Raja-Dewata yaitu Pelinggih roh para leluhur (di bawah Bhatara Kawitan).

Jika dalam pembangunan Sanggah Pemerajan semeton bingung yang manakah yang baik atau lebih tepat dalam memilih menggunakan konsep dari Mpu Kuturan , Danghyang Nirarta atau konsep kombinasi dari keduanya. Sebenarnya semeton bisa menggunakan konsep yang mana saja sesuai dengan keyakinan masing-masing. Jika dikutip dari pendapat Bhagawan Dwija

” memakai kedua konsep, atau kombinasi a dan b adalah yang tepat karena kita menghormati kedua-duanya, dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada di mana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal.”

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap ataupun kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…

(sumber:sitidharma.org, inputbali.com) –sumber






Jumat, 01 Juli 2022

Menghilangkan Dasa Mala pada diri manusia

 






"Om Pakulun serda paduka Bhatara Surya Chandra Asunggam tirtha kamandalu, utpeti bhatara Gangga, Stmratan mancur muncrat, angilangaken dasa malaning jadma Kenem spanmg dewa, manusa wisesa, tirtha hening tan pamignaning Sang Hyang Saraswati Om Gangga Sindhu spatika ya namah".
.
Pada saat penulis akan bersembahyang di sebuah pura kahyangan jagat di Karangasem, penulis tertarik dengan mantra yang diucapkan oleh pemangku yang memimpin persembahyangan.
.
Yang sangat menarik dari mantra tersebut adalah ucapan untuk menghilangkan Dasa Mala pada diri manusia {angilangaken dasa malaning jadma).
.
Semeton Hindu mendengar "Dasa Mala" pasti sudah tahu maksudnya, seperti halnya menyebut kata Sad Ripu (enam musuh pada diri manusia) banyak orang sudah tahu karena sering didengar.
.
Uraian Dasa mala kiranya perlu dikenalkan, agar semuanya ingat akan sepuluh kotoran yang melekat pada batin (jiwa) manusia.
.
Dengan mengenalnya, maka diharapkan dapat diupayakan disucikan dengan prilku sehat yang terhindar dari mala itu.
.
1. Tandri yaitu orang y angberpenyakit Asosial, selalu beralasan sakit,letih, lesu, bila diajak bergotong royong atau kegitan sosial lainnya.
.
2. Kleda yaitu orang yang berpenyakit selalu menyesali dirinya, pesimis, malas berusaha, kurang semangatnya.
.
3. Leja yaitu penyakit tamak, sombong, angkuh, bernafsu besar, menghalalkan segala cara, tak tahu malu.
.
4. Kuhaka yaitu penyakit suka mengeluarkan kata-kata kotor, kasar, pemarah, keras kepala memuji diri sendiri dan meremeh¬kan kemampuan orang lain.
.
5. Metraya yaitu penyakit suka berolok-olok, suka menganggu ketenangan orang lain, dengan upaya menekan orang lain.
.
6. Megata yaitu penyakit lain di mulut lain di hati, tak dapat di pecaya, Plintat plintut, suka menyem¬bunyikan maksud jahat.
.
7. Regastri yaitu penyakit mata keranjang, kelekatan cinta kepada terhadap sembarang perempuan atau penuh nafsu.
.
8. Kutila yaitu penyakit suka menipu, menyakiti orang miskin, pemabuk.
.
9. Bhaksa Bhuwana yaitu penyakit suka membuat orang lain melarat dengan menipu orang jujur, suka berfoya-foya, egois.
.
10. Kimburu yaitu penyakit dengki, iri hati, tak peduli keluarga atau teman, maunya enak sendiri.
Inilah sepuluh macam kekotoran pikiran yang dapat dianggap penyakit yang harus diobati dengan prilaku sehat yang selalu melihat orang lain dengan pandangan positif (positif thingking).

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


.
Pandanglah segala sesuatu sebagaimana mestinya bukan sebagaiman adanya. Semoga semua pikiran baik datang dari segala penjuru.
.
Sumbet: I Wayan Ritiaksa : Warta Hindu Dharma NO. 520 April 2010
D gangga/Dewi telaga waja.
Telaga waja juga tukad yg suci dari gunung agung, masih banyak tirta yg bisa di ambil dari sana, seperti tirta tunggang.

Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan tentang Brata Saraswati pada Hari Raya Saraswati.
Bagi orang kebanyakan, hendaknya tidak membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran dharma dari pagi sampai tengah hari.
Karena puja kepada Dewi Saraswati dilakukan pada pagi hari atau tengah hari dan disana semua sastra kita muliakan dan dibantenin.
Bagi orang kebanyakan,
ini dimaksudkan agar kita mensakralkan ajaran suci dharma. Karena dengan mensakralkan ajaran suci dharma, sama dengan mensakralkan perjalanan spiritual kita sendiri.
Dan setelah lewat waktu puja di tengah hari, sastra dapat kita ambil kembali dan kita dapat membaca dan menulis.
Sedangkan pada malam harinya yaitu saat malam sastra, justru sangat dianjurkan melakukan malam pembacaan sastra, diskusi ajaran dharma atau melaksanakan meditasi.
Pada konteks yang mendalam, kepercayaan tradisional itu merupakan ajaran dharma tingkat tinggi. Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan bagi sadhaka yang melaksanakan Brata Saraswati secara penuh, hendaknya tidak membaca dan menulis selama 24 jam sebagaimana dalam ajaran Hindu Dharma, yang disebutkan bahwa :
Pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi adalah pemahaman utuh akan kenyataan diri yang sejati [Atma Jnana / Atma Tattwa].
Ketika seseorang memahami secara utuh kenyataan dirinya yang sejati, dengan sendirinya dia akan memahami segala pengetahuan yang sejati.
Atma tattwa tidak akan pernah dapat dicapai dengan membaca sastra saja, tapi seorang sadhaka harus menyadarinya secara langsung.


Makna dari tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam adalah belajar meninggalkan tahap awal dan melangkah ke tahap berikutnya.
Karena di jalan Atma Tattwa, ada 3 tingkatan pengetahuan.
Tingkat awal adalah membaca dan mendengarkan ajaran suci dharma [sastra],
Tingkat menengah adalah perenungan meditatif dan intuitif [menggunakan intuisi] terhadap ajaran suci dharma yang tersembunyi dalam kehidupan dan di alam semesta, ini disebut anthra guru [guru yang ada di dalam diri sendiri].
Di tahap ini yang lebih dikedepankan adalah pembelajaran meditatif dan intuitif, bukan sastra, karena disini pengetahuan akan dihasilkan dengan sendirinya.
Dan di tingkat puncak adalah samadhi, mengalami secara langsung kesadaran Atma yang terang dalam meditasi.
Hanya di tingkatan samadhi maka pikiran, perasaan dan kesadaran bisa menjadi tidak tergoyahkan.
Sehingga tidak saja perkataan dan perbuatan selaras dengan dharma, tapi juga menemukan kenyataan luhur tentang esensi diri ini dan apa kehidupan ini sesungguhnya.
Tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam merupakan simbolik ajaran dharma tingkat tinggi, untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai sumber mengalirnya ajaran suci dharma.
Bukan untuk merayakan turunnya Veda bagi manusia,
membaca habis semuanya,
kemudian terjebak ke dalam dogma.
Dimana pengetahuan yang bertumpuk itu dapat menjadi dogma yang begitu kaku dan dangkal.
Yang akan lebih berbahaya, jika kita rajin dan semangat membaca sastra, tapi kemudian menggunakannya untuk menghakimi, mengkritisi, merendahkan, memusuhi atau memanipulasi orang lain, sehingga sastra menjadi ular beracun yang mematuk.
Belajar sastra seperti itu akan membuat nasib kita ibaratnya dipatuk ular beracun.
Di tahap puncak kita melepaskan semua konsep sastra untuk memasuki keheningan.
Hanya pikiran hening yang memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang terdalam.
Kesadaran seperti ini memberikan diri sendiri kesempatan untuk memahami secara utuh tentang keberadaan ini. Hanya pikiran yang hening yang dapat menyimak diri sendiri dan alam semesta secara utuh.
Inilah sesungguhnya yang ditawarkan Mahadewi Saraswati di Hari Raya Saraswati.
Tidak lagi pengetahuan berdasar sastra secara biasa, tapi menggali pengetahuan rahasia yang tertinggi, pengetahuan yang sudah ada di dalam diri kita sejak awal yang tidak berawal.
Demikian sebagai perenungan diri sebagaimana disebutkan dalam rumah dharma Indonesia sebagai bekal yang baik untuk menjalani hidup ini.


MAKNA HARI SIWARATRI

 


Oleh: Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag, M.Si
(Bapak Kasi Ura Hindu Kantor Kemenag Kab. Karangasem)

Aktualisasi dan realisasi ajaran agama nampak dan tercermin dalam prilaku dari individu maupun sosial dalam keseharian, sebab walaupun orang memiliki pengetahuan agama yang tinggi bila keserakahan, keangkuhan dan arogansi menyelubungi seseorang, maka pengetahuan agama tersebut hanyalah bersifat teori belaka. Ajaran agama semestinya menjadi pegangan yang mengubah prilaku seseorang dari kurang arif menjadi arif, dan belenggu Asuri Sampad menjadi Daivi Sampad atau dari pengaruh Danawa menjadi prilaku Madhawa.
Demikian secara teoritis yang dianjurkan namun kenyataannya tidak setiap umat beragama mampu merealisasikan seluruh ajaran agama yang demikian luhurnya dalam kehidupan pribadi maupun sisoal. Diturunkannya berbagai macam brata atau ajaran tentang latihan pengekangan diri oleh Tuhan Yang Maha Esa dimaksudkan tidak lain adalah untuk kembalinya diri manusia kepada kesadarannya yang sejati, yakni atma yang berstana pada diri pribadi seseorang.

Kegelapan oleh berbagai fator terutama oleh keterikatan terhadap keduniawian menghambat usaha manusia untuk meningkatkan kualitas dalam hakekat kehidupan.
Salah satu ajaran tentang brata adalah Brata Swaratri yang mengandung ajaran yang sangat luhur, guna meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan melalui brata ini pula seseorang akan dapat meningkatkan keluhuran budhi pekertinya sehingga perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama dapat dicegah, diredam dan dihindari termasuk pula emosi yang dapat meletup dalam kerusuhan sosial yang dapat mengorbankan jiwa dan harta benda.

1. Pengertian Siwaratri
Siwaratri artinya Malam Siwa. Bila diuraikan tersir dari kata Siwa (Sanskerta) yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Tuhan yang diberi nama atau gelar kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemeralina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian. Sedangkan kata Ratri artinya malam, malam disini juga dimaksud kegelapan. Jadi Siwaratri berarti malam untuk melebur atau memeralina (melenyapkan) kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Kekawin Siwaratri karya Mpu Tanakung di kalangan masyarakat Hindu  di Bali lebih dikenal dengan nama Kekawin Lubdaka. Kekawin ini biasanya dibaca pada hari raya Siwaratri, yaitu pada hari Caturdasi Krsnapaksa artinya panglong ping 14 Sasih Kepitu atau sehari sebelum bulan mati pada bulan magha (ke-7) yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun.
Ajaran Siwarati bersumber pada : Siwapurana, Padmapurana, Garudapurana, dan kekawin Siwaratri Kalpa. Mpu Tanakung telah berasil menggubah karya sastra yang bermutu yaitu Kekawin Siwaratri Kalpa atau Lubdaka pada jaman Majapahit (Abad ke-15). Beliau mengambil sumber Padmapurana yang memuat percakapan antara Dilipa dengan Wasistha. Bagian Uttara Kanda dari Padmapurana sangat dekat dengan kekawin Siwaratri Kalpa. Malah bagian-bagian tertentu dalam kekawin Siwaratri Kalpa merupakan terjemahan dari sumber tersebut. Dengan menggubah kekawin Siwaratri Kalpa Mpu Tanakung diduga bermaksud lebih menyebarluaskan cerita itu lewat media seni sastra.
Hari Raya Siwaratri di Bali sudah dilaksanakan dengan sangat baik oleh masyarakat yang lebih menonjol pada perayaan Siwaratri adalah Brata.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



2. Brata Siwaratri
Kata brata dalam bahasa sanskrta berarti janji, sumpah, kewajiban, laku utama atau keteguhan hati.
 Dengan demikian Brata Siwaratri artinya kewajiban sebagai laku utama atau janji untuk teguh hati untuk melaksanakan ajaran Siwaratri. Tujuan utama dari Brata Siwaratri adalah melenyapkan sifat-sifat buruk atau jahat dan hina. Brata Siwaratri ada tiga jenis yaitu :
1. Tingkat Utama yang terdiri dari Monobrata, Upawasa, dan Jagra yang dilaksanakan sekaligus.
2. Brata Tingkat Madya  terdiri dari Upawasa dan Jagra dilaksanakan sekaligus.
3. Brata Tingkat Nista hanya dengan melaksanakan Jagra.

Penjelasan :
• Monabrata artinya pantangan bicara atau berdiam diri tanpa bicara dari pukul 06.00 pada panglong ping 14 sampai pukul 18.00 Tileming sasih Kepitu selama 36 jam.
• Upawasa artinya berpuasa tidak makan dan minum lamanya sama dengan Monabrata.
• Jagra artinya berjaga, bangkit, maksudnya tidak tidur selama 36 jam.

Maksud dari pada Brata tersebut adalah untuk memperoleh kesadaran diri dengan melakukan Brata Siwaratri dengan melenyapkan papa. Kata papa dalam bahasa sanskerta artinya sengsara, neraka, buruk, jahat dan hina.

3. Pelaksanaan Brata Siwaratri di India dan di Indonesia
Pelaksanaan Brata Siwaratri di India pada paro petang ke-14 bulan phalguna (februari-maret) hampir sama dengan di Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan magma (januari-februari), yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang Kepura-Pura Sanghyang Siwa dengan mengucapkan japa pancaksara OM NAMAH SIWAYA. Sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari terbenam.

4. Aktualisasi Pelaksanaan Brata Siwaratri.
Berbagai perayaan dan pelakanaan Brata tidak akan banyak memberikan manfaat bila umat tidak mampu menangkap makna dibalik perayaan atau Brata tersebut, untuk itu hal yang penting adalah merenungkan semua makna keutamaan  Brata itu kemudian mengejewantahkannya dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial.
Brata Siwaratri adalah hari untuk meningkatkan kesadaran kita untuk senantiasa memuja keagungan Sang Hyang Widhi dalam hal ini salah satu abhiseka atau manifestasi utama-Nya adalah sebagai Sang Hyang Siwa.
 Pemujaan terhadap Dewa Siwa dalam upacara Siwaratri karena manusia dalam menghadapi segala hambatan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri, memerlukan tuntunan dan waranugraha Dewa Siwa sebagai pemeralina segala sesuatu yang menghalangi tujuan suci. Dewa Siwa sebagai penuntun dan pelindung manusia dalam perjuangannya melenyapkan kegelapan batin, menuju kehidupan yang penuh kesadaran, karena hidup yang penuh kesadaran dapat melenyapkan kepapaan dan kesengsaraan.
Ciri orang yang telah berasil berjuang melenyapkan kepapaan  adalah orang yang penuh dengan pengendalian diri dalam bidang makan dan minum yang disimboliskan dalam Upawasa (puasa). Orang yang penuh pengendalian diri dalam kata-katanya disimboliskan dengan Monabrata, dan orang yang selalu waspada dan sadar dalam segala tingkah lakunya sehingga selalu dapat berbuat dharma disimboliskan dengan Jagra. Orang yang demikian selalu mendapat perlindungan dan waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Siwa baik selama hidupnya di dunia  maupun di akhirat.




Makna Putih-Kuning yang Sering Dipakai Wastra Palinggih

 


Kain putih dan kuning atau yang lazimnya disebut wastra (pakaian) putih-kuning oleh umat Hindu di Bali, selain digunakan sebagai pakaian sembahyang, biasanya digunakan untuk menghias sejumlah palinggih. Wastra putih-kuning tersebut umumnya mendominasi warna lainnya. Apakah sebenarnya makna warna putih-kuning tersebut?

Dihimpun dari berbagai sumber, banyak pandangan tentang wastra putih-kuning. Ada yang mengatakan, warna putih merupakan simbol kesucian yang bersumber dari ajaran Siwa, sedangkan warna kuning merupakan simbol kebijaksanaan yang bersumber dari ajaran Buddha. Sebagaimana diketahui, Siwa-Buddha merupakan ajaran besar yang sempat berjaya di nusantara beberapa abad silam. Bahkan, Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma menuliskan ‘Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa’ yang diterjemahkan menjadi ‘Berbeda tapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua’.

Pandangan lain menyatakan bahwa warna putih merupakan simbol dari purusha atau unsur kejiwaan, sedangkan warna kuning adalah simbol pradhana, yakni unsur kebendaan. Dua unsur inilah yang menyebabkan manusia bisa hidup di dunia. Tanpa salah satunya, manusia dan mahluk hidup lainnya tak akan bisa hidup di dunia material ini alias mati. Oleh karena itu, ketika keduanya bertemu, maka terciptalah kehidupan di dunia.

Jika dikaitkan lebih jauh, warna putih dan kuning juga dimiliki oleh janur yang notabene merupakan salah satu bahan pembuatan upakara di Bali. Misalnya dalam pembuatan canang, umumnya membutuhkan janur sebagai salah satu bahannya. Bila diperhatikan, janur ternyata terdiri dari warna putih dan kuning. Adapun warna hijau di pinggiran daun biasanya disingkirkan saat proses pembuatan canang. Warna putih dan kuning juga ditemukan dalam segehan. Segehan putih-kuning biasanya dihaturkan di bagian bawah palinggih. Bahkan, tarian tertentu seperti rejang, penarinya diwajibkan menggunakan wastra putih-kuning.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Berkenaan dengan hal itu, Jro Pinandita Ketut Pasek Swastika menyampaikan, warna putih dan kuning memang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Bali yang religius. Wastra putih-kuning memang digunakan untuk menghias beberapa palinggih di sanggah pakomelan atau di pura. Wastra putih-kuning biasanya dipasang pada palinggih-palinggih, kecuali taksu yang biasanya menggunakan warna merah atau panunggun karang dengan warna poleng.

Namun demikian, ia mengaku belum menemukan sumber pasti penggunaan wastra putih-kuning. “Sumbernya belum ada tiang temukan, baik itu lontar maupun sastra lainnya, namun wastra putih-kuning memang sudah biasa digunakan oleh umat Hindu di Bali untuk menghias palinggih,” ungkapnya.

Pemasangan wastra pada palinggih sesungguhnya merupakan salah satu wujud pemuliaan umat Hindu terhadap Tuhan. Wastra yang dipasang pada palinggih tersebut diibaratkan sebuah pakaian. Dengan demikian, perlakukan palinggih tersebut layaknya perlakukan kepada manusia yang sangat dihormati. Dengan demikian, ketika Tuhan, dewa-dewa, atau leluhur berstana di palinggih tersebut, diharapkan ‘berpenampilan’ indah.

Secara filosofi, dikatakannya memang banyak pandangan sebagai bentuk pemaknaan kain putih dan kuning. Namun, menurutnya perpaduan warna putih dan kuning merupakan simbol kesejahteraan.

“Perpaduan putih dan kuning merupakan simbol kesejahteraan atau kebahagiaan dunia, sebagaimana sloka moksartham jagathita ya ca iti dharma,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (22/3).

Hal itu dikatakannya sejalan dengan berbagai pendapat yang ada. Di dalam konsep dewata nawasanga, putih merupakan simbol Dewa Iswara, penguasa arah timur. Sedangkan warna kuning merupakan simbol Dewa Mahadewa, penguasa arah barat. Keduanya pada hakikatnya adalah Siwa itu sendiri. Layaknya matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat, demikianlah kehidupan itu berlangsung. “Jadi selama matahari terbit di timur dan tenggelam di arah barat, kehidupan tetap berlangsung,” jelas Wakil Ketua PHDI Provinsi Bali tersebut.

Lebih lanjut disampaikannya, karena tidak adanya ketentuan pasti mengenai wastra pada palinggih, banyak umat yang kemudian membuat motif wastra. Hal itu tentunya tidak dapat dilarang. Namun demikian, dikatakan Pinandita Pasek Swastika, hendaknya wastra tersebut tetap mencerminkan nilai-nilai kesucian dan kebijaksanaan, sehingga tidak melenceng dari filosofinya.

(bx/adi/yes/JPR) –sumber


Kamis, 30 Juni 2022

Bhagavadgita Dhyana Yoga





Bhagavadgita Bab VI - Dhyana Yoga

Bhagavad-gita 6.1
6.1 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; orang yang tidak terikat pada hasil pekerjaan dan bekerja menurut tugas kewajibannya berada pada tingkatan hidup untuk meninggalkan hal-hal duniawi. Dialah ahli kebatinan yang sejati, bukanlah orang tidak pernah menyalakan api dan tidak melakukan pekerjaan apapun yang menjadi sannyasi dan yogi yang sejati.

Bhagavad-gita 6.2
6.2 Hendaknya engkau mengetahui bahwa apa yang disebut melepaskan ikatan sama dengan yoga atau mengadakan hubungan antara diri kita dengan Yang Mahakuasa, wahai putera Pandu, sebab seseorang tidak akan pernah dapat menjadi yogi kecuali ia melepaskan keinginan untuk memuaskan indria-indria.

Bhagavad-gita 6.3
6.3 Dikatakan bahwa pekerjaan adalah cara untuk orang yang baru mulai belajar sistem yoga yang terdiri dari delapan tahap, sedangkan menghentikan segala kegiatan material dikatakan sebagai cara untuk orang yang sudah maju dalam yoga.

Bhagavad-gita 6.4
6.4 Dikatakan bahwa seseorang sudah maju dalam yoga apabila dia tidak bertindak untuk kepuasan indria-indria atau menjadi sibuk dalam kegiatan untuk membuahkan hasil setelah meninggalkan segala keinginan material.

Bhagavad-gita 6.5
6.5 Seseorang harus menyelamatkan diri dengan bantuan pikirannya, dan tidak menyebabkan dirinya merosot. Pikiran adalah kawan bagi roh yang terikat, dan pikiran juga musuhnya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.6
6.6 Pikiran adalah kawan yang paling baik bagi orang yang sudah menaklukkan pikiranku; tetapi bagi orang yang gagal mengendalikan pikiran, maka pikirannya akan tetap sebagai musuh yang paling besar.

Bhagavad-gita 6.7
6.7 Orang yang sudah menaklukan pikiran sudah mencapai kepada Roh Yang Utama, sebab dia sudah mencapai ketenangan. Bagi orang seperti itu, suka dan duka, panas dan dingin, penghormatan dan penghinaan semua sama.

Bhagavad-gita 6.8
6.8 Dikatakan bahwa seseorang sudah mantap dalam keinsafan diri dan dia disebut seorang yogi (atau ahli kebatinan) apabila ia puas sepenuhnya atas dasar pengetahuan yang telah diperoleh dan keinsafan. Orang seperti itu mantap dalam kerohanian dan sudah mengendalikan diri. Dia melihat segala sesuatu- baik batu kerikil, batu maupun emas- sebagai hal yang sama.

Bhagavad-gita 6.9
6.9 Seseorang dianggap lebih maju lagi apabila dia memandang orang jujur yang mengharapkan kesejahteraan, penolong yang penuh kasih sayang, orang netral, perantara, orang iri, kawan dan musuh, orang saleh dan orang yang berdosa dengan sikap pikiran yang sama.

Bhagavad-gita 6.10
6.10 Seorang rohaniwan seharusnya selalu menjadikan badannya, pikiran dan dirinya tekun dalam hubungan dengan Yang Mahakuasa. Hendaknya dia hidup sendirian di tempat yang sunyi dan selalu mengendalikan pikirannya dengan hati-hati. Seharusnya dia bebas dari keinginan dan rasa memiliki sesuatu.

Bhagavad-gita 6.11
Bhagavad-gita 6.12
6.11-12 Untuk berlatih yoga, seseorang harus pergi ke tempat sunyi dan menaruh rumput kusa di atas tanah, kemudian menutupi rumput kusa itu dengan kulit rusa dan kain yang lunak. Tempat duduk itu hendaknya tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, dan sebaiknya terletak di tempat suci. Kemudian yogi harus duduk di atas tempat duduk itu dengan teguh sekali dan berlatih yoga untuk menyucikan hatinya dengan mengendalikan pikiran, indria-indria dan kegiatannya dan memusatkan pikiran pada satu titik.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.13
Bhagavad-gita 6.14
6.13-14 Seseorang harus menjaga badan, leher dan kepalanya tegak dalam garis lurus dan memandang ujung hidung dengan mantap. Seperti itu, dengan pikiran yang tidak goyah dan sudah ditaklukkan, bebas dari rasa takut, bebas sepenuhnya dari hubungan suami-istri, hendaknya ia bersemadi kepada-Ku di dalam hati dan menjadikan Aku sebagai tujuan hidup yang tertinggi.

Bhagavad-gita 6.15
6.15 Dengan berlatih mengendalikan badan, pikiran dan kegiatan senantiasa seperti itu, seorang ahli kebatinan yang melampaui keduniawian dengan pikiran yang teratur mencapai kerajaan Tuhan (atau tempat tinggal krisna )dengan cara menghentikan kehidupan material.

Bhagavad-gita 6.16
6.16 Wahai Arjuna, tidak mungkin seseorang menjadi yogi kalau dia makan terlalu banyak , makan terlalu sedikit, tidur terlalu banyak atau tidak tidur secukupnya.

Bhagavad-gita 6.17
6.17 Orang yang teratur dalam kebiasaan makan, tidur, berekreasi, dan bekerja dapat menghilangkan segala rasa sakit material dengan berlatih sistem yoga.

Bhagavad-gita 6.18
6.18 Apabila seorang yogi mendisiplinkan kegiatan pikirannya dan menjadi mantap dalam kerohanian yang melampaui hal-hal duniawi-bebas dari segala keinginan material- dikatakan bahwa dia sudah mantap dengan baik dalam yoga.

Bhagavad-gita 6.19
6.19 Ibarat lampu di tempat yang tidak ada angin tidak bergoyang, seorang rohaniwan yang pikirannya terkendalikan selalu mantap dalam semadinya pada sang diri yang rohani dan melampaui hal-hal duniawi.

Bhagavad-gita 6.20
Bhagavad-gita 6.21
Bhagavad-gita 6.22
Bhagavad-gita 6.23
6.20-23 Pada tingkat kesempurnaan yang disebut semadi atau Samadhi, pikiran seseorang terkekang sepenuhnya dari kegiatan pikiran yang bersifat material melalui latihan yoga. Ciri kesempurnaan itu ialah bahwa seseorang sanggup melihat sang diri dengan pikiran yang murni ia menikmati dan riang dalam sang diri. Dalam keadaan riang itu, seseorang berada dalam kebahagiaan rohani yang tidak terhingga, yang diinsafi melalui indria-indria rohani. Setelah menjadi mantap seperti itu, seseorang tidak pernah menyimpang dari kebenaran, dan setelah mencapai kedudukan ini, dia berpikir tidak ada keuntungan yang lebih besar lagi. Kalau ia sudah mantap dalam kedudukan seperti itu, ia tidak pernah tergoyahkan, bahkan di tengah-tengah kesulitan yang paling besar sekali pun. Ini memang kebebasan yang sejati dari segala kesengsaraan yang berasal dari hubungan material.

Bhagavad-gita 6.24
6.24 Hendaknya seseorang menekuni latihan yoga dengan ketabahan hati dan keyakinan dan jangan disesatkan dari jalan itu. Hendaknya ia meninggalkan segala keinginan material yang dilahirkan dari angan-angan tanpa terkecuali, dan dengan demikian mengendalikan segala indria di segala sisi melalui pikiran.

Bhagavad-gita 6.25
6.25 Berangsur-angsur, selangkah demi selangkah, seseorang harus mantap dalam semadi dengan menggunakan kecerdasan yang diperkokoh oleh keyakinan penuh, dan dengan demikian pikiran harus dipusatkan hanya kepada sang diri dan tidak memikirkan sesuatu selain itu.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.26
Dari manapun pikiran mengembara karena sifatnya yang berkedip-kedip dan tidak mantap, seseorang dengan pasti harus menarik pikirannya dan membawanya kembali di bawah pengendalian sang diri.

Bhagavad-gita 6.27
6.27 Seorang yogi yang pikirannya sudah dipusatkan pada-Ku pasti mencapai kesempurnaan tertinggi kebahagiaan rohani. Dia berada di atas pengaruh sifat nafsu, dia menginsafi persamaan sifat antara dirinya dan Yang Mahakuasa, dan dengan demikian dia di bebaskan dari segala reaksi perbuatan dari dahulu.

Bhagavad-gita 6.28
6.28 Dengan demikian, seorang yogi yang sudah mengendalikan diri dan senantiasa menekuni latihan yoga dibebaskan dari segala pengaruh material dan mencapai tingkat tertinggi kebahagiaan yang sempurna dalam cinta-bhakti rohani kepada Tuhan.

Bhagavad-gita 6.29
6.29 Seorang yogi yang sejati melihat Aku bersemayam di dalam semua makhluk hidup, dan dia juga melihat setiap makhluk hidup di dalam diri-Ku. Memang, orang yang sudah insaf akan dirinya melihat Aku, Tuhan Yang Maha Esa yang sama di mana-mana.

Bhagavad-gita 6.30
6.30 Aku tidak pernah hilang bagi orang yang melihat Aku di mana-mana dan melihat segala sesuatu berada di dalam diri-Ku dan diapun tidak pernah hilang bagi-Ku.

Bhagavad-gita 6.31
6.31 Seorang yogi seperti itu, yang menekuni pengabdian yang patut dihormati kepada Roh Yang Utama, dengan mengetahui bahwa Aku dan Roh Yang Utama adalah satu, selalu tetap di dalam diri-Ku dalam segala keadaan.

Bhagavad-gita 6.32
6.32 Orang yang melihat persamaan sejati semua makhluk hidup, baik yang dalam suka maupun dalam dukanya, menurut perbandingan dengan dirinya sendiri, adalah yogi yang sempurna, wahai Arjuna.

Bhagavad-gita 6.33
6.33 Arjuna berkata; o Madhusudana, sistem yoga yang sudah Anda ringkas kelihatannya kurang praktis dan hamba tidak tahan melaksanakannya, sebab pikiran gelisah dan tidak mantap.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.34
6.34 Sebab pikiran gelisah, bergelora, keras dan kuat sekali, o Krsna, dan hamba pikir menaklukkan pikiran lebih sulit daripada mengendalikan angin.

Bhagavad-gita 6.35
6.35 Sri Krsna bersabda; Wahai putera Kunti yang berlengan perkasa, tentu saja sulit mengendalikan pikiran yang gelisah, tetapi hal ini dimungkinkan dengan latihan yang cocok dan ketidakterikatan.

Bhagavad-gita 6.36
6.36 Keinsafan diri adalah pekerjaan yang sulit bagi orang yang pikirannya tidak terkendali. Tetapi orang yang pikirannya terkendali yang berusaha dengan cara yang cocok terjamin akan mencapai sukses, itulah pendapat-Ku.

Bhagavad-gita 6.37
6.37 Arjuna berkata; o Krsna, bagaimana nasib seorang rohaniwan yang tidak mencapai sukses, yang mulai mengikuti proses keinsafan diri pada permulaan dengan kepercayaan, tetapi kemudian berhenti karena pikiran yang duniawi dan dengan demikian tidak mencapai kesempurnaan dalam kebatinan?

Bhagavad-gita 6.38
6.38 O Krsna yang berlengan perkasa, bukankah orang seperti itu yang telah dibingungkan hingga menyimpang dari jalan kerohanian jatuh dari sukses rohani maupun sukses material hingga dirinya musnah, bagaikan awan yang diobrak- abrik, tanpa kedudukan di lingkungan manapun?

Bhagavad-gita 6.39
6.39 Inilah keragu-raguan hamba, o Krsna, dan hamba memohon agar Anda menghilangkan keragu-raguan ini sepenuhnya. Selain Anda, tiada seorang pun yang dapat ditemukan untuk membinasakan keragu-raguan ini.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.40
6.40 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Putera Prtha, seorang rohaniwan yang sibuk dalam kegiatan yang mujur tidak mengalami kemusnahan baik di dunia ini maupun di dunia rohani; orang yang berbuat baik tidak pernah dikuasai oleh kejahatan, wahai kawan-Ku.

Bhagavad-gita 6.41
6.41 Sesudah seorang yogi yang tidak mencapai sukses menikmati selama bertahun-tahun di planet-planet makhluk yang saleh, ia dilahirkan dalam keluarga orang saleh atau dalam keluarga bangsawan yang kaya.

Bhagavad-gita 6.42
6.42 Atau (kalau dia belum mencapai sukses sesudah lama berlatih yoga) dia dilahirkan dalam keluarga rohaniwan yang pasti memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Memang, jarang sekali seseorang dilahirkan dalam keadaan seperti itu di dunia ini.

Bhagavad-gita 6.43
6.43 Sesudah dilahirkan seperti itu, sekali lagi dia menghidupkan kesadaran suci dari penjelmaannya yang dahulu, dan dia berusaha maju lebih lanjut untuk mencapai sukses yang lengkap, wahai Putera Kuru.

Bhagavad-gita 6.44
6.44 Berkat kesadaran suci dari penjelmaan sebelumnya, dengan sendirinya dia tertarik kepada prinsip-prinsip yoga-kendati pun tanpa diupayakan. Seorang rohaniwan yang ingin menemukan jawaban seperti itu selalu berada di atas prinsip-prinsip ritual dari kitab suci.

Bhagavad-gita 6.45
6.45 Apabila seorang yogi tekun dengan usaha yang tulus ikhlas untuk maju lebih lanjut, dengan disucikan dari segala pencemaran, akhirnya ia mencapai kesempurnaan sesudah melatihnya selama banyak penjelmaan, dan ia mencapai tujuan tertinggi.

Bhagavad-gita 6.46
6.46 Seorang yogi lebih mulia daripada orang yang bertapa, lebih mulia daripada orang yang mempelajari filsafat berdasarkan percobaan dan lebih mulia daripada orang yang bekerja dengan maksud mendapatkan hasil atau pahala. Karena itu, dalam segala keadaan, jadilah seorang yogi, wahai Arjuna.

Bhagavad-gita 6.47
6.47 Di antara semua yogi, orang yang mempunyai keyakinan yang kuat dan selalu tinggal di dalam Diri-Ku, berpikir tentang-Aku di dalam dirinya, dan mengabdikan diri kepada-Ku dalam cinta bhakti rohani sudah bersatu dengan-Ku dalam yoga dengan cara yang paling dekat, dan dialah yang paling tinggi diantara semuanya. Itulah pendapat-Ku.

Sumber : cakepane.blogspot.com