Rabu, 07 Juni 2023

Beberapa mantra Weda, untuk menyucikan makanan.

 



Dan setelah duduk rapi, sebelum makan wajib mengucapkan beberapa mantra Weda, untuk menyucikan makanan.
Kemudian meneguk air sedikit, dimana menurut ilmu pengetahuan merupakan pengobatan sangat bermanfaat,
Sebelum mengambil makanan.
Kemudian makanan di persembahkan kepada *lima prana* dan Brahmana yg bersemayam di relung hati,* dengan pengulangan mantra.
Om Pranaya swaha, Apanaya Swaha, Wyanaya Swaha, Udanaya Swaha, Samanaya Swaha,* dan diahkiri dengan *Bhramane Swaha*.
Perhatikan benar benar pentingnya persembahan ini.
*Sang diri Bathin yang ilahi*, keberadaan yang sesungguhnya, tidak makan makanan tersebut, karena ia tak terpengaruh oleh rasa lapar dan haus.
Panca prana-lah yang mengambil makanan tersebut.

Jadi seseorang *Hindu* juga mengubah pengembalian makanan menjadi kegiatan *Yoga* atau upacara kurban.
Seseorang hendaknya setiap hari mempersembahkan makanan yg ia persiapkan kepada Tuhan ( *Hyang Widhi* ) sebelum ia sendiri memakannya dan mengatakan. *Twadiyam Wastu Gowinda Tubhyamewa Samarpaye* artinya;
Hamba mempersembahkan makanan ini yang hanya menjadi milik-Mu saja.*Oh Gowinda*
Dan kebiasaan orang orang Hindu adalah bhawa mereka selalu memberi makan para tamu yang mengunjungi rumahnya sebelum mereka sendiri mengambil makanan.
Karna Tamu merupakan wakil dari Tuhan, krana *Sruti telah menyatakannya : Atithi Dewo Bhawa*


Brahma Muhurtha

 


Di dalam Bhagawadgita 4.11
Jelas menyebutkan :
Dengan cara apapun engkau menyembah diriku , aku akan terima .
Karena itu merupakan jalanku ""
Brahman adalah tidak terbatas
dan aspekNya pun tak terbatas .
Oleh karena itu tak terbatas pula untuk mencapaiNya .
Bhagawadgita menjelaskan bahwa melaksanakan ajaran agama kepada pilihan dan keyakinan seseorang .
Menyimak yang disebutkan di dalam Bhagawadgita .
Apa yang sebenarnya kita peributkan dan bahkan saling mencela .
Kita sebagai manusia sangat terbatas dan sangatlah kecil dibandingkan dengan kebesaran Brahman tanpa batas
Tetapi karena begitu angkuhnya yang namanya manusia dan lupa akan ajaran siapa diri kita .

Hanya manusia berpikir sempit selalu mempeributkan apa keyakinan orang lain dan belum mengerti siapa dirinya .
Manusia yang Ideal dalam dunia ini adalah manusia yang tahu budi pekerti , harmonis dengan lingkunganya, Humanisme , Emansipasi , Menghargai pendapat orang lain , Bekerja keras , dan Memiliki Pengetahuan Tentang Atman dan berbakti kepada Brahman .
Selalu berjalan berdasarkan Dharma .
Mari kita saling menghargai agar tidak menghabiskan energi untuk mengusik keyakinan orang lain .
Ngiring �
Bersama sama mempelajari diri dan mencari kelemahan yang ada pada diri kita masing masing agar hidup kita menjadi Shanti �


Rambut Gimbal dan Tradisi Hindu.

 



Lontar Lebur Gangsa dan Bama Kertih, menguraikan: beberapa Kala yang mengganggu kehidupan manusia, dan jika diruat akan berubah menjadi Dewa seperti; Sang Hyang Durgamaya kembali menjadi Sang Hyang Ayu, dan pulang pada pertiwi, Jyesti menjadi Hanjyati, pulang pada manusia jati, Dhurbaga Dhurga Bhucari pulang pada Bhatari, Sarwa sasah merana tatumpur pulang kelautan menjadi isi lautan (Taksu,
Ada beberapa Kala, Kali dan Bhatara yang berambut gimbal, seperti dibawah ini: 
1).Kuta Maja, kalau disomyakan akan dapat memberi perlidungan pada pekarangan rumah dan sebaliknya jika dibiarkan akan menyakiti yang memiliki runah. 

2).Bhatara Yama Raja, hakim para atma di alam sana, penguasa dunia bawah memandang kedelapan senjata untuk kedelapan mata angin. Ya melindungi hidup, menjaga akibat perbuatan jahat orang lain, melindungi akibat penyakit manusia dan tanam-tanaman. 
3).Sang Hyang Durga Mandeg, ketika Dewi Durga hendak memangsa Sahadewa (putra Panca Pandawa yang paling bungsu), ketika diucapkan Stuti dan Stawa, maka Sang Hyang Durga Mandeg, hilang niatnya untuk memangsanya (istilah di Bali, tidak mampu memangsa, akhrnya Sang Hyang Durga Mandeg minta agar di somya oleh Sahadewa, akhirnya kembali menjadi Dewi Parwati, pulang ke sorga mennyatu dengan Dewa Siwa). 
4).Sang Hyang Durga Dadeweng, memiliki magis yang sangat tinggi (sebagai penguasa alam, segala kehendaknya pasti akan terjadi). 
5).Nakula berambut rapi, dan tidak mampu di bunuh oleh Durga Dewi.

Minggu, 04 Juni 2023

4 Jenis Pralaya

 

1 . Nitya Pralaya
( Proses Kematian /
Penghancuran /Kiamat Terhadap Sesuatu
Makhluk
Hidup , Sel , Benda Mati , Yg Terjadi
Setiap Hari yg sering kita Alami Selama
ini ),
*75-100 tahun manusia.

2 . Naimitika Pralaya
( Kehancuran Kiamat Alam
Semesta Dan Isinya Secara Terbatas ,
Seperti yg diakibatkan Wabah Penyakit ,
Bencana Alam ),
* 1 jaman kaliyuga

3 . Atyanthika Pralaya
( Penghancuran /Kiamat Yg Di
akibatkan Oleh Kemampun Seseorang /
Kelompok Yg Dengan Jnana / Kemampun
FikiranNya , Sehingga Semesta dan
Isinya Menjadi Punah , Seperti Bom ,
Nuklir , Perang Dgn Senjata Canggih ,
Atau Orang Yg Mempunyai SPIRITUAL
TINGGI),
*minimal 28 kaliyuga

4 . Prakrtika Pralaya / Maha Pralaya
( Kiamat Total Terjadi Disaat Alam Semesta dan isinya Melebur Menjadi Satu terserap Dan Kembali Ke Asalnya , Kembali Ke Sang Penciptanya ,
Waktu ,
Ruang ,
Rasa
Lebur Menjadi Satu .
*311 triliun tahun manusia
atau 100 tahun brahman. 






Pemujaan Terhadap Bhatara Hyang Guru

 



Sehari setelah perayaan hari suci Tumpek Landep tepatnya Redite (Minggu) Umanis Ukir adalah Piodalan Bhatara Guru yang berstana di Sanggah Kemulan. Dirayakan setiap 210 hari atau enam bulan sekali, Bhatara Guru adalah menifestasi Hyang Widhi Wasa yang memberikan tuntunan pada keturunannya.
Sarana upakara berupa :
Pengambyan 1, sedah ingapon atau sirih diberi kapur sebanyak 25 lembar, kewangen 8 buah. Upakara ini dapat di tambahi lagi, sesuaikan dengan desa, kala, dan patra.
Mengapa di Kemulan? dalam Sastra Hindu disebutkan sebagai berikut :
“Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen bapa ngaran paratma,ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Hyang Siwatma,ring Kamulan tengah ngaran raganta, metu Brahmadadi meme bapa meraga Sang Hyang Tuduh. (Dipetik dari Lontar Usana Dewa)”
Maksudnya:
Di Kamulan disebutkan Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma, di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma, di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahma sebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.
Menurut beberapa sumber pustaka Hindu di Bali, yang dipuja di Pelinggih Kamulan itu adalah Sang Hyang Atma. Di samping dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa yang dikutip di atas juga dinyatakan dalam Lontar Gong Wesi sebagai berikut

…ngarania Sang Hyang Atma, ring Kamulan Tengen bapanta ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalin raga.
Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.
Dalam tradisi Hindu di Bali Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru. Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru yaitu Agni, yaitu sinar suci Hyang Widhi, Atman yaitu unsur yang tersuci dalam diri manusia yang berasal dari Brahman, Mata yaitu ibu yang melahirkan kita, Pita yaitu ayah menyebabkan kita lahir dan Acarya yaitu guru yang memberikan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang nampaknya di Bali menjadi ajaran Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wesesa.
Karena Atman sebagai salah satu Guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa itulah nampaknya menjadi dasar pendirian Kamulan sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Batara Hyang Guru. Atman dalam Upanisad adalah Brahman yang ada dalam diri makhluk hidup yang diselubungi oleh Panca Maya Kosa. Untuk menjadikan Atman itu Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara. Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Atman yang disebut Panca Maya Kosa itu. Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.
Upacara tersebut bagaikan menghilangkan selubung mendung di langit biru yang menutupi sinar matahari sehingga sinar matahari tersebut dapat langsung memberikan penerangan pada bumi ini. Demikianlah proses upacara ngaben untuk melepaskan Atman dari selubung Stula Sarira. Upacara Atma Wedana melepaskan Atman dari selubung Suksma Sarira. Sedangkan upacara Danda Kalepasan adalah upacara untuk mengambil dosa-dosa leluhur oleh keturunannya. Dengan demikian Sang Hyang Atma tanpa selubung lagi sehingga disebut Dewa Pitara.
Upacara Danda Kalepasan di Bali ada yang menyebutnya upacara Maperas yang artinya keturunan orang yang diupacarai itu mengadopsi utang-utang karma leluhur yang diupacarai tersebut. Yang diwarisi oleh keturunan itu bukanlah berupa kekayaan materi saja. Berbagai utang karma dari leluhur itu juga harus diwarisi juga.
Ini artinya pemujaan pada leluhur dalam tradisi Hindu di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan. Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya. Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya.
Pengalaman adalah guru terbaik, demikian orang menyebutkan. Pengalaman yang baik dan buruk dari leluhur itu dijadikan guru dalam hidup ini. Itulah pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.
Rupanya manusia setelah dianugerahi ilmu pengetahuan, kemakmuran serta kejayaan tidak lantas lupa, sehingga tidak sia-sia ilmu pengetahuan , kemakmuran serta kejayaan yang diperoleh. Atau bila manusia masih dalam diliputi kegelapan, dekatlah dan mohon selalu kepada beliau Bhatara Hyang Guru sehingga terbuka jalan terang, berkat bimbingan dan tuntunan beliau segala sesuatu menjadi mudah. Bila manusia telah melenceng dari jalurnya, lali kawitan (lupa menyembah pada Bhatara Guru) maka beliau akan memberi kita teguran, baik dalam bentuk peristiwa atau yang lainnya. Oleh karena itu kita tidak boleh lupa pada kawitan (asal muasal manusia). –sumber alits.shary@gmail.com



Jumat, 02 Juni 2023

Makna tumpek landep

 


Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki seribu pura, tradisi dan budaya yang saling mengisi dan melengkapi dengan ajaran agama Hindu. Bagi warga Bali yang mayoritas Hindu memiliki sebuah tradisi yang dinamakan Tumpek Landep. Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Hari raya Tumpek Landep sendiri merupakan rentetan setelah hari raya saraswati, dimana pada hari ini umat hindu melakukan puji syukur atas berkah yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati.
Makna Tumpek Landep
Hari raya tumpek landep jatuh setiap Saniscara/hari sabtu Kliwon wuku Landep, sehingga secara perhitungan kalender Bali, hari raya ini dirayakan setiap 210 hari sekali. Kata Tumpek sendiri berasal dari “Metu” yang artinya bertemu, dan “Mpek” yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris.
Dewasa kini, senjata lancip itu sudah meluas pengertiannya. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Akan tetapi ada satu hal yang tidak boleh disalah artikan, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup.

Filosofi Tumpek Landep
Dalam Tumpek Landep, Landep yang diartikan tajam mempunyai filosofi yang berarti bahwa Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai – nilai agama. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Tumpek landep merupakan tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran – ajaran agama. Pada rerainan tumpek landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon wara nugraha kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur.
Menurut Dharma Wacana dari Ida Pedanda Gede Made Gunung, Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan.
Jadi bisa disimpulkan menurut pendapat kami bahwa Pada Rahina Tumpek Landep hal yang paling utama yang tidak boleh dilupakan ialah hendaknya kita selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan kita dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan serta mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri. ( Sumber : wr canang sari )


CARU

 



Caru artinya (kemBali) 'harmonis', teknik merubah sifat energi bhuta menjadi dewa (nyomia).

Caru bisa dengan korban binatang bisa juga tanpa korban hewan.
Sarana nyomia tanpa membunuh binatang. Tentu teknikal beda, mantra beda, sarana Banten beda, juga kemampuan, kompetensi, sertifikasi profesional pemuput/sulinggihnya harus mumpuni.
Agar ritual caru tanpa membunuh binatang berjalan sesuai harapan sang yajamana.


JEJAK TANTRA PADA RITUAL di BALI
Tantra adalah perubahan energi bergejolak menjadi tenang, damai dan harmoni atau
kemampuan pengelola energi yang mumpuni (Rajayoga).
Jejak tantra dalam ritual di Bali yi pengejahwantahan filsafat yg supralinguistik melalui sadhana massal yang praktis untuk mencapai tujuan dari filosofi
Proses 'somya' pada ritual bhuta yajnya yakni merubah sifat energi dari yang ganas, kasar dan rajas ( bhuta ) menjadi sifat yang halus, tenang dan satwika ( dewa ).
Ritual ini adalah wujud kontemplasi bathin para manggala (terutama pemuput upacara) didalam tubuhnya, yang mampu memproses dan memancarkan cahaya energi tantranya pada saat mentransformasikan energi bhuta menjadi dewa ( soma ya ).
Pada saat proses penyebrangan roh binatang (pengaskara-an) terjadi pengelolaan tubuh hewan caru, yang rohnya sudah tidak ada digunakan sebagai tubuh baru bagi para roh gentayangan yang bersifat ganas, kasar dan rajas tersebut dirubah menjadi dewa.