Minggu, 24 Desember 2023

Pura Tegal Penangsaran Dijaga Dadong Jagal, Tempat Adili Roh






PALINGGIH: Deretan palinggih Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, diyakini sebagai tempat mengadili roh. (Dian Suryantini/Bali Express)

BULELENG, BALI EXPRESS-Pura Tegal Penangsaran tak hanya ada di Pura Dalem Puri Besakih, Karangasem. Namun, juga ada di Desa Tukadmungga, Buleleng. Seperti diceritakan, Pura Tegal Penangsaran diyakini menjadi tempat para roh dihakimi dan yang belum diupacarai Pitra Yadnya.


Di tempat inilah para roh ditentukan, apakah menuju tempat yang baik ataukah buruk. Dan, keputusannya disesuaikan dengan perbuatannya semasa hidup di dunia.


Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, yabg piodalannya jatuh saat Purwani Tilem Kapitu atau Siwaratri ini, juga diyakini sebagai tempat penghakiman bagi para roh.


Menurut cerita terdahulu dari tetua di desa tersebut, sebelum palinggih dibangun di pura ini, areal itu hanya terdapat satu Pohon Bunga Menori Putih yang tumbuh di sebuah tanah lapang di Desa Tukadmungga.

Tanah tersebut tidak berbentuk persegi seperti lahan kosong pada umumnya, namun berbentuk segitiga sempurna.

Kemudian, masih menurut cerita, konon karena warga sekitar tidak mengetahui tempat tersebut angker, ada salah satu warga yang mencabut Pohon Menori tersebut, dan ditanam di rumahnya.

Tidak berapa lama, warga tersebut pun dibayang-bayangi makhluk gaib. Dia juga selalu diteror dan diminta untuk mengembalikan benda yang diambil dari tanah lapang tersebut. Benda yang dimaksud adalah Pohon Menori itu.

Selain dibayang-bayangi makhluk gaib, kejadian aneh juga dirasakan warga itu. Seperti ketika usai memasak, nasi yang yang telah matang tiba-tiba habis bersama lauk-pauknya. Padahal, warga itu belum sempat menikmati masakannya.

Akhirnya warga tersebut mengembalikan dan menanam kembali Pohon Menori di tempat semula, sembari menghaturkan Guru Piduka. Saat itulah terkuak jika tanah lapang berbentuk segitiga itu merupakan tempat berkumpulnya para roh yang akan diadili Sang Jogormanik.

Kejadian lain juga terjadi saat akan dilakukan pembangunan untuk mendirikan pura tersebut. Pohon Kamboja besar yang ada di tanah lapang itu dicabut dan dijual ke salah satu pemilik vila. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah itu, si penjual tidak pernah merasakan tidur dengan tenang. Setiap malam terbangun dan mendengar suara agar mengembalikan Pohon Kamboja itu ke tempatnya.

Kejadian itu terjadi berulang kali, hingga akhirnya penjual pohon tersebut tidak tahan, dan mengembalikan Pohon Kamboja itu dan menanamnya kembali di tempat semula. Kini posisi Pohon Kamboja tersebut terletak di dalam area pura sebelah kanan pintu masuk.

Pangliman Desa Adat Tukadmungga, Gede Parca, menceritakan, seiring berjalannya waktu, warga setempat membangun sebuah palinggih sebagai tempat berstananya Sang Dewa Bagus sebagai ganti Pohon Menori itu. Serta medirikan palinggih sebagai tempat berstananya Ratu Niang.

“Sebelumnya banyak warga yang melihat hal-hal aneh di sekitar tempat itu saat belum dibangun pura seperti sekarang. Dari sana muncul inisiatif warga untuk membuatkan palinggih, " paparnya.

Awalnya, lanjut Gede Parca, cuma ada satu palinggih yang dibangun, yakni Palinggih Dewa Bagus. "Kemudian setelah beberapa lama atau sekitar tahun 1999-2000, baru dibangun lagi palinggih lainnya. Seperti palinggih Ratu Niang. Warga disini sering menyebutnya sebagai Dadong Jagal. Serta dibangun pula palinggih yang lain,” ungkapnya.

Dituturkan pula, Dadong Jagal yang berstana di Pura Tegal Penangsaran bersama Dewa Bagus adalah salah satu hakim untuk mengadili para roh yang belum diupacarai Pitra Yadnya.

Dadong Jagal atau Ratu Niang ini dibantu Sang Jogormanik untuk menentukan hukuman yang pantas bagi roh-roh tersebut.

“Beliaulah penentunya roh-roh itu mau masuk tempat yang baik atau tidak. Beliau yang menentukan jalan kita sesuai karma kita. Jika semasa hidupnya suka mencuri misalnya, maka hukumannya akan disesuaikan. Layaknya hidup di keduniawian, jika mencuri hukuman penjara 7 tahun misalnya, maka di alam baka beda lagi urusanya, mungkin lebih kejam lagi,” tutur Anak Agung Ngurah Dwipa dari PHDI Desa Adat Tukadmungga, akhir pekan kemarin.




Agung Ngurah juga menyebutkan, dalam lontar Atmaprasangga dijelaskan, Tegal Penangsaran ini disediakan bagi atma yang penuh dosa, karena perbuatannya selalu membuat orang lain sengsara atau panas hati.

“Seperti yang saya jelaskan tadi, ini semua sudah diatur. Dalam lontar juga sudah disebutkan seperti itu. Jadi, perbuatan di masa hidup saat bahagia melihat orang susah dan kerap membuat orang susah, maka akan dibayar dan dirasakan sendiri saat penghakiman nanti,” tambahnya.

(bx/dhi/rin/JPR)

Sabtu, 23 Desember 2023

Etika Dalam Mempelajari Yoga Menurut Agama Hindu

Secara umum, konsep etika dalam yoga termasuk dalam latihan yama dan niyama, yaitu disiplin moral dan disiplin diri. Aturan-aturan yang ada dalam yama dan niyama, juga berfungsi sebagai kontrol sosial dalam mengatur moral manusia. Dalam buku Tattwa Darsana, dijelaskan bahwa etika dalam yoga adalah; dalam samadhi, seorang yogi memasuki ketenangan tertinggi yang tidak tersentuh oleh suara yang tak henti-hentinya, yang berasal dari luar dan pikiran kehilangan fungsinya, di mana indra-indra terserap ke dalam pikiran. Apabila semua perubahan pikiran terkendalikan, si pengamat atau purusa, terhenti dalam dirinya sendiri. Keadaan semacam ini di dalam yoga sutra patanjali disebut sebagai svarupa avasthanam (kedudukan dalam diri seseorang yang sesungguhnya), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:21).

Baca: Sang Hyang Widhi (Tuhan) dalam Ajaran Yoga dan Contoh Praktik Sikap-sikap Yoga




image: st_sdk_basangbe
Dalam filsafat yoga dijelaskan bahwa yoga berarti penghentian kegoncangan-kegoncangan pikiran. Ada lima keadaan pikiran itu. Keadaan pikiran itu ditentukan oleh intensitas sathwa, rajas dan tamas. Kelima keadaan pikiran itu adalah sebagaimana tertera dalam uraian berikut.

Ksipta artinya tidak diam-diam. Dalam keadaan pikiran itu diombang-ambingkan oleh rajas dan tamas, dan ditarik-tarik oleh objek indria dan sarana-sarana untuk mencapainya, pikiran melompat-lompat dari satu objek ke objek yang lain tanpa terhenti pada satu objek.
Mudha artinya lamban dan malas. Gerak lamban dan malas ini disebabkan oleh pengaruh tamas yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang alam pikirannya demikian cenderung bodoh, senang tidur dan sebagainya.


Wiksipta artinya bingung, kacau. Hal ini disebabkan oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini, pikiran mampu mewujudkan semua objek dan mengarahkannya pada kebajikan, pengetahuan, dan sebagainya. Ini merupakan tahap pemusatan pikiran pada suatu objek, namun sifatnya sementara, sebab akan disusul lagi oleh kekuatan pikiran.
Ekarga artinya terpusat. Di sini, citta terhapus dari cemarnya rajas sehingga sattva lah yang menguasai pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran pada suatu objek yang memungkinkan ia mengetahui alamnya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan perubahan-perubahan pikiran.
Niruddha artinya terkendali. Dalam tahap ini, berhentilah semua kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada. Ekagra dan niruddha merupakan persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu kelepasan. Bila ekagra dapat berlangsung terus menerus, maka disebut samprajna-yoga atau meditasi yang dalam, yang padanya ada perenungan kesadaran akan suatu objek yang terang. Tingkatan niruddha juga disebut asaniprajnata-yoga, karena semua perubahan dan kegoncangan pikiran terhenti, tiada satu pun diketahui oleh pikiran lagi. Dalam keadaan demikian, tidak ada riak-riak gelombang kecil sekali pun dalam permukaan alam pikiran atau citta itu. Inilah yang dinamakan orang samadhi yoga.
Ada empat macam samparjnana yoga menurut jenis objek renungannya. Keempat jenis itu adalah sebagai berikut. a) Sawitarka ialah apabila pikiran dipusatkan pada suatu objek benda kasar seperti arca dewa atau dewi. b) Sawicara ialah bila pikiran dipusatkan pada objek yang halus yang tidak nyata seperti tanmantra. c) Sananda, ialah bila pikiran dipusatkan pada suatu objek yang halus seperti rasa indriya dan. d) Sasmita, ialah bila pikiran dipusatkan pada asmita, yaitu anasir rasa aku yang biasanya roh menyamakan dirinya dengan ini, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:22).

Dengan tahapan-tahapan pemusatan pikiran seperti yang disebut di atas maka ia akan mengalami bermacam-macam fenomena alam, objek dengan atau tanpa jasmani yang meninggalkannya satu per satu hingga akhirnya citta meninggalkannya sama sekali dan seseorang mencapai tingkat asamprajnata dalam yoganya. Untuk mencapai tingkat ini orang harus melaksanakan praktik yoga dengan cermat dan dalam waktu yang lama melalui tahap-tahap yang disebut Astāngga yoga.



Berikut ini adalah sistematika Astāngga yoga dalam bentuk diagram.

Baca: Pengertian dan Hakikat Yoga menurut Agama Hindu





Renungan Bhagavad Gita. III.4


"Na karmaṇām anārambhān naiṣkarmyaṁ puruṣo ’ṡnute, na ca saṁnyasanād eva siddhiṁ samadhigacchati”.

Terjemahan:



RELATED:
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V
Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu"Tanpa kerja orang tak akan mencapai kebebasan, demikian juga ia tak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja”.


Baca: Mengenal dan Manfaat Ajaran Yoga Dalam Agama Hindu


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2019/01/etika-dalam-mempelajari-yoga-menurut.html




Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm
Untuk SMA/SMK Kelas XI
Kontributor Naskah : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.
Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud
Cetakan Ke-1, 2014

Piodalan Bisa Mengacu dengan Dua Sistem Waktu

 






SISTEM : Piodalan yang digelar umat Hindu di Bali, tergantung sistem waktu yang dipilih. (dok)





DENPASAR, BALI EXPRESS-Piodalan secara etimologi, dapat diartikan sebagai hari lahir atau peringatan kelahiran sebuah pura. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, Piodalan dapat dilakukan dengan dua sistem kalender. Yakni sistem Pawukon (wuku) dan sistem Sasih.


Untuk sistem wuku, pelaksanaan Piodalan dilaksanakan setiap enam bulan sekali atau 210 hari sekali. Karena sistem pawukon ini ditentukan oleh putaran hari yang terdiri dari tujuh hari, dan putaran wuku yang terdiri dari 30 wuku.





“Dalam konsep Balinya dikenal dengan istilah wewaran, yang terdiri dari putaran hari, putaran wuku dan putaran wewaran lainnya, seperti Tri Wara, Ingkel dan Sapta Wara,” paparnya, kemarin.


Selanjutnya adalah Piodalan yang menggunakan sistem sasih. Piodalan ini tidak akan tergantung pada perputaran wuku seperti Piodalan pada sistem pawukon. Selain itu, rentang waktu dari pelaksanaan Piodalan dengan sistem Sasih ini tidak jatuh setiap enam bulan sekali, tetapi setiap satu tahun sekali.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Untuk proses penghitungannya pun, lanjut Ida Rsi, memiliki perbedaan dengan sistem Pawukon. Pada sistem Sasih, perhitungan piodalan tidak tergantung pada hari, tetapi berpatokan pada sistem pengalihan, karena dalam penghitungan Sasih tersebut berpatokan pada sistem Pananggal dan Panglong.

Adapun yang disebut dengan Pananggal adalah hitungan tanggal 1 atau pananggal ping pisan menuju hari Purnama. Sedangkan Panglong adalah hitungan tanggal 1 atau Panglong pisan menuju Tilem (bulan mati). “Digunakannya tegak odalan menurut Sasih ini biasanya untuk menghindari terjadinya perubahan iklim dan cuaca. Sehingga pelaksanaan Piodalan bisa jatuh pada musim yang menguntungkan,” tambahnya.

Jika menggunakan hitungan Sasih ini, umat Hindu pada zaman dahulu, biasanya menetapkan Piodalan pada saat Purnamaning Sasih (purnama yang jatuh pada sasih atau bulan tertentu). Seperti pada Purnamaning Sasih Kapat (purnama pada sasih atau bulan keempat), Purnamaning Sasih Kalima, Purnamaning Sasih Kadasa, dan Purnamaning Sasih Jyesta.

Penetapan ini dilakukan karena pada sasih-sasih tersebut, pola musim di Bali tidak masuk pada musim penghujan. Sehingga pelaksanaan piodalan tidak terganggu cuaca dan didukung sinar bulan yang terang. Karena bertepatan dengan bulan Purnama.



(bx/gek/rin/JPR)

Pranala Mahapatih Gajah Mada Diyakini Muasal Trah Dalem Bali

 






PRASADA : Prasada (tempat suci) yang terdapat Pranala Mahapatih Gajah Mada di wilayah Tegal Sahang, Desa Samplangan, Gianyar. (Putu Agus Adegrantika/Bali Express)





GIANYAR, BALI EXPRESS – Sebuah bangunan yang nampak seperti pura terdapat di areal Tegal Sahang, Desa Samplangan, Gianyar. Di lokasi itu terdapat tiga bangunan palinggih yang baru dibangun, yang disebut dengan Prasada sejenis bangunan Jawa-Bali, Padmasana, dan Penjarakan.


Areal Prasada yang dekat dengan Pura Dalem Pingit, berada di atas aliran Sungai Sangsang dengan Sungai Cangkir itu, diyakini sebagai asal-usul Trah Dalem di Bali.




Penanggung Jawab pembangunan Prasada, Ida Cri Bhagawan Sabda Murthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba, didampingi Ida Cri Bhagawan Istri, akhir pekan kemarin, menjelaskan, pembangunan Prasada tersebut sudah berjalan empat bulan lalu.



Tempat Suci, Pranala Maha Patih Gajah Mada Diyakini Asal Usul Trah Dalem di Bali (Putu Agus Adegrantika)





“Dibangun di sini, karena tanah yang ada di areal persawahan dan ladang ini, merupakan tanah bekas puri atau Istana Kerajaan Dinasti Ida Bhatara Dalem Cri Aji Kresna Kepakisan. Selain saya dapat petunjuk, juga masih adanya beberapa bukti yang ada. Salah satunya ada dua sungai, adanya tanah muntig atau gegumuk,” jelasnya.

Lebih jauh, Ida Bhagawan yang merupakan pensiunan Polisi ini, juga menambahkan, di lokasi itu diyakini sebagai tempat perkemahan Gajah Mada. Selama penyelidikan Kerajaan Bedahulu (setelah runtuh), maka datanglah Adipati Sri Kresna Kepakisan sebagai raja.

Bahkan, disampaikannya, di areal itu merupakan wilayah kerajaan Bali tengah pada zaman itu. “Setelah sekian tahun, barulah pindah ke Klungkung, sementara di sini tidak ada yang menghiraukan karena raja pindah ke arah timur wilayah ini,” sambungnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Diyakini wilayah tegalan itu merupakan pasraman terdahulu, sebab Gajah Mada diperkirakan datang dari Majapahit menggunakan perahu dan menepi di Pantai Lebih. Kemudian melewati Sungai Sangsang dan turunlah di tepi sungai yang kini disebut dengan Pura Dalem Pingit. Bahkan, saat ini pura tersebut masih ada dengan melintasi persawahan.

“Setelah menepi, barulah beliau naik di tempat ini yang dahulunya disebut perkemahan Gajah Mada untuk melanjutkan membuat keraton. Seiring waktu sirna, karena tidak ada yang hiraukan tempat ini lagi. Ratu baca babad dan petunjuk dari beliau, membangun di carik untuk disuruh mengingatkan tempat ini asal mula beliau di Bali,” sambungnya.

Dalam proses pembangunan Prasada tidak ada hambatan sama sekali, bahkan dana punia untuk membangun selalu ada. Bukan berupa uang, melainkan berupa barang yang dihaturkan oleh Trah Dalem dan yang masih eling dengan leluhurnya. Maka didirikan awal sebuah Padma, Prasada, dan Penjarakan.

“Prasada ini supaya ada gambar Majapahit, sebagai panunggalan Majapahit di Bali. Di atasnya menjulang ke atas, tapi bukan tumpang. Istilahnya peninggalan Majapahit dan Bali. Karena di sini asal mulai beliau datang ke Bali," urainya.

Setelah tiga Prasada, lanjutnya, beliau kembali datang lagi melalui pawisik (petunjuk gaib) agar dibangun Pranala pemujaan sakral Gajah Mada. "Maka sekarang ini ada patungnya di sini,” tandas Ida Cri Bhagawan.

Patung itu pun disebutkan bukan sebagai dekorasi, dan tempat itu disebut sebagai istilahnya membuat sejarah baru dalam peradaban lama dengan konsep panunggalan Jawa dan Bali.

Dengan adanya bangunan yang sekarang ini, Ida Cri Bhagawan berharap sentana kembali untuk berkumpul. “Elingan asal mulai lelangit (leluhur) tiba di Bali,” sambungnya.

Prasada yang berdiri di barat Sungai Sangsang itu akan dirampungkan 25 November 2020 ini dengan prosesi upacara Tawur Balik Sumpah. Dilanjutkan 28 November prosesi Nilawati, 30 November Mlaspas dan Ngenteg Linggih. “Lahannya ini milik I Dewa Gede Bisma yang juga selaku keturunan Dalem juga,” cetusnya.

Disinggung fungsi dari gumukan tanah yang berisikan batu tersebut? Ida Cri Bhagawan menjelaskan di areal itu diyakini sebagai Merajan beliau yang masih merupakan Keraton. Lantaran dari pawisik yang didapatkan, lanjutnya, di bawah gumukan itu ditanam sebuah abu dari leluhur beliau.

“Sebenarnya raja besar di sini, setelah Bedahulu. Tapi dilupakan oleh leluhur. Ratu tiap hari ke sini kalau tidak ada muput. Kadang bermalam juga di sini, begadang disini.Untuk akses sudah lancar, astungkara subak sudah kasi pinjam jalan,” imbuhnya.

Untuk mencari Prasada itu memang butuh tenaga ekstra, bagi yang pertama kali berkunjung. Sebab, harus memasuki areal persawahan, namun telah diisi paving. Hanya saja menuju Prasada tersebut, baru bisa dilintasi menggunakan sepeda motor. Jalannya masih tanah yang baru dipadatkan sekitar 1 kilometer masuk ke dalam tegalan.

Lokasinya di Timur Balai Banjar Samplangan, terdapat jalan yang diberi nama Jalan Pura Dalem Pingit Samplangan di Selatan jalan. Ikuti jalan tersebut, masuk sekitar 500 meter akan terlihat banner Prasada. Selanjutnya masuk kembali dengan menyusuri jalan setapak kurang lebih 1 kilometer, dan di ujung jalan itulah Prasada Trah Dalem dibangun.



(bx/ade/rin/JPR)

Bagian-Bagian Dasa Nyama Brata atau Bratha



Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, demikian kata orang arif bijaksana. Oleh karena itu kewajiban manusia dalam hidup dan kehidupannya adalah melakukan ajaran dharma untuk kebaikan. Dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, betapapun berat dan banyaknya masalah yang sedang dan akan dihadapi hendaknya dilakoni dengan bersikap sabar. Orang yang sabar pasti hatinya akan tenang, dengan ketenangan hati seseorang akan dapat mengendalikan hawa nafsu. Dengan demikian ketenangan hati (sabar) akan diperoleh seseorang dalam hidupnya, dan inilah yang disebut manusia berbudi luhur, tidak sesat, tidak sesat dari jalan yang benar, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 310).

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19




Image; kesenian_lan_budaya
Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Yah samutpatitam krodham ksamayaiva nirasyati Yathoragastvacam jirman sa vai purusa ucyate".


Terjemahan:


"Jika ada orang yang berhasil meninggalkan kemarahan hatinya berdasarkan kesabaran hati sebagai keadaan ular yang meninggalkan kulitnya yang terlepas, karena kesemuanya itu tidak akan kembali lagi; orang yang demikian keadaannya, itu disebut manusia yag sejati berbudi luhur ",(Sarasmuscaya, 95).


Hidup menjadi manusia hendaknya selalu dapat belajar memuaskan dirinya dengan apa yang menjadi miliknya, dengan demikian ia tidak akan memiliki gejolak iri hati kepada orang lain. Manusia sebaiknya selalu berusaha sekuat tenaga mau belajar untuk mengendalikan diri, sehingga pada pribadinya tercipta keseimbangan, ketenangan hidup secara lahir-batin.

Baca: PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19


Di samping itu umat manusia hendaknya selalu mengupayakan diri untuk selalu belajar, karena berbagai macam pengetahuan kerohanian itu diuraikan dalam berbagai jenis kitab suci Agama Hindu. Yang tidak boleh terlupakan oleh umat manusia adalah hendaknya selalu mengadakan pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa-Nya, mengingat di hadapan Sang Hyang Widhi manusia akan dapat merasakan dirinya kecil, lemah, dan sangat sederhana. Seberapa banyak umat manusia berkewajiban melaksanakan dharmanya untuk dapat mewujudkan kesempurnaan batinnya “moksa”, kitab suci veda menyebutkan sebagai berikut;


Kitab sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut;


“Dànamijyà tapo dhyànam Swàdhayàyopasthanigrahah, Wratopawasa maunam ca ananam Ca niyama daca".


"Nyang bratha sapuluh kwehnya, ikang nyama ngaranya, pratyekadàna, ijjyà, tapà, dhayàna, swàdhyàya, upasthanigraha, bratha upawàsa, mauna, snàna, nahan tawakning nyama, dàna weweh, annadànàdi; ijyà, Devapujà, pitrpujàdi, tapà, kayasangcosana, kasatan ikang çarira, bhucarya, jalatyagadi; dhyàna, ikang çiwasmarana, swàdhyàya, Vedabhyasa, upasthanigraha, kahrtaning upasta, bratha annawarjadi, mauna, wacangyama kahrtaning ujar, hay wàkecek kuneng, snàna, tri sandyàsewana, madyusa ring kàlaning sandhya," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 311).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Terjemahan:


"Inilah bratha sepuluh banyaknya yang disebut Nyama, perinciannya; dana, ijya, tapa, dhyana, swadhyaya, upasthaninggraha, brata, upawasa, mona, stana, itulah yang merupakan Nyama; dana,pemberian; pemberian makan, minuman dan lain-lain; ijya, pujaan kepada Deva, kepada leluhur, dan lain- lain; tapa, pengekangan nafsu jasmaniah, badan yang seluruhnya kurus kering, layu, berbaring di atas tanah, di atas air, dan di atas alas-alas lain sejenis itu; dhayana, merenungkan Deva Siwa; swadhyaya mempelajari Veda; upasthanigraha, pengekangan, upastha, singkatnya pengendalian nafsu sex; brata, pengekangan nafsu terhadap makanan; mona, itu macamnya, tidak menguacapkan kata-kata yaitu tidak mengucapkan kata-kata sama sekali, tidak bersuara; snana, Tri Sandhya sewana, melakukan Tri Sandhya, mandi membersihkan diri pada waktu melakukan Sandhya", (Sarasamuçcaya, 260).


Berdasarkan penjelasan kitab suci Sarasamuçcaya, menyebutkan ada sepuluh bagian ajaran Nyama Bratha yang patut dijadikan pedoman oleh umat sedharma untuk mewujudkan kesempurnaan batin dalam hidup dan kehidupan ini yang terdiri dari;

Dana berarti pemberian-pemberian makanan dan minuman, dan lain- lainnya.
Ijya berarti pujaan kepada Deva, kepada leluhur, dan lain-lainnya.
Tapa berarti pengekangan hawa nafsu jasmani.
Dhyana berarti merenung memuja Tuhan.
Swadhyaya berarti mempelajari Veda.
Upasthanigraha berarti pengekangan nafsu kelamin.
Bratha berarti pengekangan nafsu terhadap makanan.
Upawasa berarti pengekangan diri.
Mona berarti pengendalian kata-kata.
Snana berarti melakukan pemujaan dengan Tri Sandhya.

Demikian perincian ajaran Dasa Nyama Bratha sebagaimana tersurat dan tersirat dalam kitab Sarasamuçcaya.Ajaran “Dasa Nyama Bratha” sesuai uraian di atas dapat dipergunakan sebagai dasar melaksanakan dan mewujudkan kesempurnaan batin oleh umat sedharma. Ajaran Dasa Nyama Bratha menurut yoga, adalah merupakan ajaran tahap kedua untuk mencapai kesempurnaan rohani yang utama. Konsep ajaran ini patut dimengerti, dipahami, didalami, diikuti dan diamalkan dalam mewujudkan kesempurnaan rohani “moksa” yang dicita-citakan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 313).


Renungan Ågveda IX. 67. 26


"Agne dakúaiá punihi óah".


Terjemahan:


“Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Mahaesa), sucikanlah kami dengan menganugrahkan pengetahuan kepada kami".


RELATED:
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban dalam Melaksanakan Tri Rna
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/bagian-bagian-dasa-nyama-brata-atau.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Pengertian Tri Purusa dan Bagian-Bagiannya


Secara etimologi Kata Tri Purusha (bahasa Sanskerta) terdiri dari kata “tri’ berarti tiga, dan “Purusha” berarti Jiwa Agung, Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan sebagai Tri Purusha, Brahman. Tri Purusha adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Úiwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Úiwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Siwa atau Parameswara.


Pura Besakih merupakan sumber kesucian, tempat pemujaan Tri Purusha. Pura Besakih banyak mengandung filosofi. Menurut Piagam Besakih, Pura Agung Besakih adalah Sari Padma Bhuwana atau pusatnya dunia yang dilambangkan berbentuk bunga padma. Oleh karena itu, Pura Agung Besakih dijadikan sebagai pusat untuk menyucikan dunia dengan segala isinya. Pura Besakih juga pusat kegiatan upacara agama bagi umat Hindu.



Photo; kadek_srie26

Di Pura Agung Besakih setiap sepuluh tahun sekali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama dan setiap seratus tahun diselenggarakan upacara Eka Dasa Rudra. Pura Agung Besakih secara spiritual adalah sumber kesucian dan sumber kerahayuan bagi umat Hindu (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 258)

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusha. Fungsi dan jenis pelinggih Padmasana yang memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih, selain digunakan sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tri Purusha, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.


Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah palinggih Padma (Padmasana) Tiga. Letaknya di Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih tersebut terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar. Perkembangan awal dari Tri Purusha ini disebutkan bahwa ketika Dang Hyang Nirartha pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun saka 1411 atau 1489 M, dan ketika itu Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong, beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusha.


Ida Bagus Gede Agastia (Pengamat agama dan budaya) mengatakan bangunan suci Padma Tiga yang berada di Pura Agung Besakih adalah tempat pemujaan Tri Purusa yakni Úiwa, Sada Úiwa, dan Parama Úiwa (Tuhan Yang Mahaesa).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Piodalan di Padmasana Tiga dilangsungkan setiap Purnama Kapat. Ini terkait dengan tradisi ngapat. Sasih Kapat atau Kartika, merupakan saat-saat bunga bermekaran. Kartika juga berarti penedengan sari. Padmasana tersebut dibangun dalam satu altar atau yoni. Palinggih padmasana merupakan sthana Tuhan Yang Maha Esa.


Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti teratai dan asana berarti tempat duduk atau singgasana. Jadi, padmasana artinya tempat duduk atau singgasana teratai.


Tuhan Yang Maha Esa secara simbolis bertahta di atas tempat duduk atau singgasana teratai atau padmasana. Padmasana lambang kesucian dengan astadala atau delapan helai daun bunga teratai. Bali Dwipa atau Pulau Bali dibayangkan oleh para Rsi Hindu zaman dulu sebagai padmasana, tempat duduk Tuhan Úiwa, Tuhan Yang Mahaesa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan Deva penguasanya. Deva Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 259)


Brahma di selatan bersemayam di Pura Andakasa. Deva Mahadeva di barat (Pura Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Úiwa bersemayam di tengah, pada altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Úiwa, Sada Úiwa dan Úwa.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Tri Purusha tersebut dipuja di Padmasana Tiga Besakih. Palinggih Padmasana Tiga tersebut merupakan intisari dari padma bhuwana, yang memancarkan kesucian ke seluruh penjuru dunia. Karena itu, sumber kesucian tersebut penting terus dijaga, sebagai sumber kehidupan.


Pembangunan Pura Agung Besakih dan Pura-pura Sad Kahyangan lainnya adalah berdasarkan konsepsi Padma Mandala, bunga padma dengan helai yang berlapis-lapis (Catur Lawa dan Astadala). Pura Besakih adalah sari padma mandala atau padma bhuwana. Pura Gelap, Pura Kiduling Kerteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batumadeg adalah Catur Lawa. Sedangkan Pura Lempuyang Luhur, Goa Lawah, Andakasa, Luhur Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan Pura Batur adalah Astadala. Pura-pura tersebut sangat disucikan dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pura-pura tersebut pusat kesucian dan kerahayuan bagi umat Hindu.


Di masing-masing Desa Adat/Pekraman dan atau Desa Dinas umat sedharma melaksanakan pemujaan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi-Nya bertempat di Padmasana yang ada pada Kahyangan Tiga dari Desa yang bersangkutan. Selain itu bagi umat sedharma yang berdomisili di wilayah tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa di Padmasana seperti yang dibangun pada Pura Jagatnhata di tingkat Kabupaten/Kota yang ada di seluruh Indoesia. Dalam posisi vertikal Tuhan (Parama Úiwa, Sada Úiwa dan Úiwa) dipuja di Padma Tiga Pura Besakih, sedangkan dalam posisi horisontal Beliau (Berahma, Wisnu dan Siwa) dipuja di Pura Kahyangan Tiga masing-masing Desa Pakrama setempat. Demikianlah Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa dipuja oleh umat sedharma yang ada di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 260)



Bagian-Bagian Tri Purusha


Umat Hindu mempunyai keyakinan atau kepercayaan terhadap kekuatan Hyang Widhi. Agama Hindu mempunyai keyakinan atau kepercayaan akan adanya Hyang Widhi (Tuhan Yang Mahaesa) yang memiliki kemahakuasaan di luar batas kemampuan kita. Keyakinan dan kepercayaan itu dalam ajaran agama Hindu disebut dengan Sraddhà.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Dengan Sraddhà orang akan mencapai Tuhan. Banyak fakta yang menyebabkan timbulnya keyakinan di dalam diri manusia terhadap adanya Tuhan. Bagi kebanyakan orang keyakinan itu timbul berdasarkan agama yaitu berdasarkan cerita-cerita atau ucapan-ucapan dari orang Suci yang dapat dipercaya seperti para Mahàrsi (Agama pramana). Ada juga orang yang percaya akan adanya Tuhan berdasarkan suatu perhitungan yang logis (Anumana pramana). Serta ada juga orang meyakini adanya Tuhan berdasarkan pengalaman langsung (Praktyaksa pramana).


Misalnya kita ketahui bahwa segala yang ada, ada yang mengadakannya, seperti adanya meja dibuat oleh tukang kayu, adanya rumah dibuat oleh tukang bangunan, adanya HP dibuat oleh pabriknya, dan sebagainya. Kemudian adanya matahari, planet, bintang, gunung, laut, hutan, bumi, binatang, tumbuh- tumbuhan yang beraneka ragam. Siapakah gerangan yang mengadakannya?


Beliaulah yang Maha Pencipta yang merupakan asal mula dari yang ada, tanpa permulaan, tanpa tengah, dan tanpa akhir (tan paadi, tan pamadhya, tan paanta) Demikian pula di dunia ini ada tata tertib sehingga nampak adanya suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Seperti misalnya mengenai siklus kehidupan semua makhluk di dunia ini. Peredaran bumi, bulan, planet, bintang yang tidak terhitung banyaknya sebagai isi cakrawala ini namun satu dengan yang lainnya tidak saling bertubrukan dan betapa luasnya ruang angkasa ini.


Dari hal tersebut akan timbul kekaguman dalam hati kita mengenang kebenaran dan keanehan di alam ini yang seolah-olah ada kekuatan yang Maha bijaksana dan cerdas yang menciptakan dan mengatur alam ini. Apakah kiranya yang mengatur alam semesta ini. Apakah kiranya kekuatan-kekuatan itu? Ada yang menyebutkan hukum alam, namun ada juga yang menyebutkan hukum kebijaksanaan Tuhan. Dengan menyimpulkan berdasarkan gejala-gejala yang terjadi dari keanehan alam ini manusia dapat percaya dengan adanya Tuhan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 261)


Tuhan Yang Maha Esa, Tri Purusa, Brahman terdiri dari:


1. Parama Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa agung alam atas, disebut Parama Siwa atau Parameswara.
2. Sadà Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa alam tengah, disebut Sadha Siwa.
3. Siwàtma yaitu Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara.


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/10/pengertian-tri-purusa-dan-bagian.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Apanya Yang Salah Kaprah Mengenai Tantra dan Bhairawa





Apanya Yang Salah Kaprah Mengenai Tantra dan Bhairawa

Bhagavad Gītā, 7.22
sa tayā śraddhayā yuktas tasyārādhanam īhate labhate ca tatah kaman mayaiva vihitān hi tān
Arti:
Setelah diberi kepercayaan tersebut, mereka berusaha menyembah Dewa tertentu dan memperoleh apa yang diinginkannya. Namun sesungguhnya hanya Aku sendiri yang menganugerahkan berkat-berkat tersebut.

Bhagavad Gītā, IX.23
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitā te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam
Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)

Bhagavad-gita 9.25
"Orang yang menyembah dewa akan dilahirkan di tengah masyarakat dewa, orang yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk seperti itu, dan orang yang menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku."


Dalam kitab Maha Nirwana Tantra dinyatakan bahwa menghadapi kemelut hidup di Kali Yuga ini dengan memprioritaskan pemujaan Sakti sebagai manifestasi Tuhan. Sakti adalah Tuhan. Karena pada zaman Kali ini semakin kuat sinergi antara Guna Rajah dan Guna Tamas. Hal ini menyebabkan manusia itu hidup dengan gaya hedonis artinya ingin hidup enak dan bersenang-senang, tetapi dengan bermalas-malas. Artinya gaya hidup enak tanpa kerja.

Sementara Tantrayana itu mengajarkan hidup enak ini baik tetapi jangan seenaknya.
Capailah hidup enak tetapi dengan kerja keras. Seseorang akan bisa kerja keras apabila potensi yang ada dalam dirinya benar-benar bangkit. Beragama dengan menguatkan potensi diri itulah yang disebut dengan Niwrti Marga sebagai konsep beragama yang ditekankan dalam ajaran Hindu Tantrayana.

Melalui Markandeya Purana dapat diketahui bahwa Durga adalah simbol semua kekuatan penciptaan dan kekuatan gabungan ini akan muncul jika kekuatan jahat mengancam keberadaan ciptaan. Jadi, Durga bertugas menghancurkan ketidakharmonisan dan menciptakan harmoni. Kelahiran Durga adalah untuk menciptakan aturan Dharma.

Dalam jejak sejarah pemahaman dan pelakonannya memang ada kecenderungan paham pemujaan terhadap Ibu Dewi Sakti itu terbelah dua, satu ke kiri, dan satu lagi ke kanan. Yang memuja Ibu Sakti dalam aspek "kiri" mencitrakan Ibu Sakti mengerikan, menyeramkan, pemangsa, penghancur, sebagai Kali. Namun yang memilih aspek "kanan" mencitrakan Ibu Sakti sangat positif: mulia, lemah lembut, megah, indah., cantik, kreatif. Maka dalam tradisi India, aspek Ibu Sakti yang menyeramkan dinamakan Kali, Karala, Durga, Candi, Mundi, camundi, Mahisasuramardini, Tripurasundari, Sambhawi. Sedangkan dalam aspek bentuk yang penuh cinta kasih Ibu Sakti dinamakan Uma, Aditi, Usha, Brahmi, Maheswari, Katyayani, Annapurneswari, Minakshi, Durga.

Istilah Sakti ini sampai saat ini masih ada kesalahpahaman dalam masyarakat Hindu pada umumnya. Sakti diartikan sangat negatif. Kalau ada orang bisa menjadi siluman monyet, ular, kambing, nyala api (endih) atau rangda, dll. itu disebut orang sakti.

Dalam kitab ''Wrehaspati Tattwa'' rumusan Sakti dinyatakan sbb: Sakti ngarania sang sarwa jnyana muang sang sarwa karya. Artinya: Sakti adalah orang banyak ilmunya dan banyak kerjanya. Jadinya orang sakti itu adalah orang yang rajin belajar dan banyak kerja mengamalkan ilmu yang didapatkan dari rajin belajar itu. Karena ajaran Tantrayana itu Ista Dewatanya adalah Sakti atau Dewi seperti Dewi Uma atu Dewi Durgha, maka timbulah kesalahpahaman tentang pengertian Sakti dalam ajaran Hindu Tantrayana.

Sakti itu dikait-kaitkan dengan ajaran ilmu hitam. Orang-orang yang menganut ajaran Hindu Tantrayana sering dipojokkan negatif dalam masyarakat. Demikian juga praktik upacara Tantrayana dengan konsep Maka Kama Pancaka atau lebih terkenal dengan Panca Ma atau Malima yang juga salah artikan.

Panca Ma itu adalah Mada, mamsa, matsya, Mudra dan Maituna. Mamsa diartikan makan daging bagaikan hewan buas. Mada diterjemahkan mabuk-mabukan. Maituna diterjemahkan melakukan hubungan seks secara erotis, dst. Padahal ajaran tersebut tidaklah sesederhana itu dan mengandung arti ganda(kiri dan kanan, kasar dan halus dan dalam). Lebih diarahkan kepada konsep dari Karma marga, Bakti yoga, Jnana Marga menuju Raja Yoga atau menggerakan posisi kundalini menuju kesaktian tertinggi yaitu bersatu dengan Tuhan.Misalnya:

Mada/Madya (Kebingungan / tengah / dua, Akasa / ruang), sehingga artinya jelas buka mabuk/minuman, atau berada pada ketidaksadaran, namum lebih kepada jalan tengah, tidak terlalu banyak atau kurang, tidak terlalu keras atau lemah atau dengan kata lain secukupnya tidak berlebihan Kata ini berarti mengetahui baik dan buruk justru sadar secara penuh!
Mamsa (mam = aku, sa = dia, pertiwi / tanah) artinya bukanlah berarti otot atau daging, namun lebih kepada tercapai paham bahwa tidak ada perbedaan, kata ini berarti mengandung arti memadamkan nafsu dan keinginan atau penuh dan stabil, atau dengan kata lain mematikan semua indra.
Matsya (nyaman, luwes Air / mengalir) bukanlah memakan ikan, namun lebih kepada keluawesan pergerakan, merasakan (empati dan simpati), tidak kaku, merasakan senang apabila pihak lain merasa senang, begitu pula sebaliknya. Dalam latihan yoga ini disebut juga Pranayama, aliran dalam kedua jalur itu dikendalikan dan pikiran menjadi tenang agar mudah meditasi
Mudra (gerak(an), bayu / tekad / angin / jiwa) bukan untuk melakukan gerak-gerik tangan untuk belajar ilmu hitam. Mudra adalah penjiwaan yang mendalam, penuh tekad, pelaksanaan tindakan dan pembuktian yaitu memelihara hubungan dengan semua yang membantu memperoleh kemajuan rohani dan menghindarkan diri dari kehadiran semua hal yang dapat mengganggu kemajuan kita.
Maithuna (persatuan, api / siwa / panas / menghancurkan / melumatkan) bukan berarti persetubuhan namum lebih menyatakan menyatukan pikiran kepada kosmis, menghancurkan pikiran tenggelam kepada kehampaan, atau mencapai kebebasan pikiran.Bhagawad Gita II.15
Samaduhkhasukham dhiram, somrtatvaaya kalpate.
Seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Mereka yang demikian itulah yang akan mencapai kehidupan yang kekal.


Bhagawad Gita II-56
“Ia yang pikirannya tidak digoyahkan dalam keadaan dukacita dan bebas dari keinginan-keinginan ditengah-tengah kesukacitaan, ia yang dapat mengatasi nafsu, kesesatan dan kemarahan, ia disebut seorang yang bijaksana”

Bhagawad Gita VI-10
“Seorang Yogin harus tetap memusatkan pikirannya kepada atma yang maha besar (Tuhan), tinggal dalam kesunyian dan tersendiri, bebas dari angan-angan dan keinginan untuk memilikinya”

Bhagawad Gita VI-27
“Karena kebahagiaan tertinggi datang pada Yogin, yang pikirannya tenang, yang nafsunya tidak bergolak, yang keadaannya bersih dan bersatu dengan Tuhan (Moksa)”

Kesalahpahaman tentang ajaran Tantrayana itu sampai saat ini masih banyak yang terjadi. Mungkin zaman Kerajaan Singosari saat Raja Kerta Negara memerintah ajaran Maha Kama Pancaka itu pernah dipratikkan secara keliru sampai mentradisi. Dari tradisi yang keliru itulah menimbulkan kesalahpahaman sampai saat ini.

Meskipun di beberapa tempat di India dan juga di Bali kesalahpahaman tentang ajaran Tantrayana pelan-pelan sudah mulai berubah ke arah konsep yang benar sesuai dengan ajaran Tantrayana.

Sumber : cakepane.blogspot.com